Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Monday, March 5, 2012

Remisi Yang Menyakiti Nurani Rakyat

Indonesia memang subur. Karena bukan saja berbagai jenis tanaman yang bisa tumbuh subur di negeri ini. Akan tetapi juga kejahatan. Saat pemerintah gencar-gencarnya mengumandangkan perang melawan terorisme, justru dijawab oleh kenyataan kian suburnya aksi teror yang hingga saat ini tak pernah habis dibasmi, walau telah dilakukan berbagai cara.
Tak mau ketinggalan, korupsi pun demikian. Berbagai lembaga yang didirikan untuk menghambat laju ‘suburisme’ korupsi, justru memperlihatkan hasil yang berbanding terbalik. Belum selesai satu skandal korupsi, muncul skandal baru yang tak kalah heboh.
Seperti heboh kasus suap di dua kementrian, yaitu di Kementrian Pemuda dan Olah Raga yang melibatkan Sekretaris Menteri Pemuda dan Olah Raga serta mantan Bendahara Umum Partai Demokrat dalam Kasus Wisma Atlet Sea Games, Wafid Munarman dan Nazaruddin.
Kasus tersebut hingga kini belum tuntas, tiba-tiba kita dikejutkan dengan ledakan pemberitaan kasus suap di Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang dikait-kaitkan dengan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar.
Tak hanya itu, suburisme korupsi juga ditandai oleh gurita extraordinary crime ini yang merambah ke pejabat-pejabat di daerah-daerah. Data dari Kementrian Dalam Negeri, saat ini 160 Kepala daerah yang berstatus tersangka, terdakwa, terhukum dari 524 gubernur, bupati dan wali kota yang tersandung kasus korupsi sejak tahun 2004. Ini masih kepala-kepala daerah, belum para pembantunya.
Setali tiga uang, aparat “penegak hukum” pun menjadi sapu kotor, tak luput dari oknum koruptor. Dalam satu kasus saja, yaitu kasus mafia pajak Gayus Tambunan, tak kurang dari 15 orang aparat hukum yang terlibat jual beli perkara sebagaimana diungkapkan Jaksa Agung saat itu, Hendarman Supanji. Sebutlah misalnya Cirus Sinaga  dan Poltak Manulang.
Maka tak heran jika dari ranking yang dirilis berbagai lembaga nasional dan internasional, seperti  Transparency International (TI), Political And Economic Risk Consultancy (PERC),  tingkat korupsi Indonesia terus saja bertengger di posisi teratas.
Survei terbaru pada Juni 2011 oleh Neukom Family Foundation, Bill & Melinda Gates Foundation dan Lexis Nexis,  menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup ke 47 dari 66 negara di dunia dan terkorup kedua dari 13 negara di Asia Pasifik seperti dilansir United Press International.
Dari fakta-fakta tersebut, maka bisa ditarik hipotesa bahwa ada yang tidak normal pengelolaan negara ini. Karena Indonesia adalah negara hukum sebagaimana dituangkan di dalam Undang Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 1 Ayat 3.
Sebagai negara hukum, jika benar-benar hukum ditegakkan maka tentu tak akan terjadi problem yang berkaitan dengan hukum. Seperti kasus korupsi di atas.
Tentang negara hukum, Hans Kelsen dalam bukunya Altgemeine Staatslehre, menuliskan semakin tinggi keinsyafan hukum suatu masyarakat, semakin dekat masyarakat tersebut pada pelaksanaan negara hukum  yang sempurna.
Berangkat dari apa yang dipostulatkan Hans Kelsen tersebut, maka untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum seharusnya yang pertama kali diwujudkan dalam konstruksi supremasi hukum adalah langkah pencegahan.
Langkah preventif tersebut berupa afirmasi positif untuk melahirkan kesadaran. Selain itu, langkah preventif juga harus disinergiskan dengan penindakan berupa pemberian hukuman secara adil hingga menimbulkan efek jera.
Dalam perspektif politik, upaya preventif ini bisa diwujudkan jika awarness tersebut menjadi kristalisasi keinsyafan yang lahir dari rasionalitas relasi kausalis positivistik supremasi hukum berupa keteraturan berdemokrasi, terwujudnya kemakmuran dan terjaminnya hak-hak warga negara, sebagaimana ditulis Frans Hendra Winarta dalam bukunya Pro Bono Publico (2009).
Melihat kenyataan korupsi di Indonesia, kita masih harus bertanya apa benar bangsa Indonesia adalah negara hukum? Karena ternyata supremasi hukum yang kita saksikan tidak sejalan dengan slogan-slogan propagandis yang selama ini di koar-koarkan oleh pemerintah dan diperjuangkan oleh berbagai lembaga NGO (non government organization). Salah satu yang saat ini hangat diperbincangkan, adalah pemberian remisi atau pengurangan masa hukuman yang didasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Disebutkan bahwa remisi adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang telah berkelakuan baik selama menjalani pidana.
Jika dikonfrontir dengan pemberian efek jera pada koruptor, dengan logika sederhana bisa kita nalar bahwa pemberian remisi dengan alasan berkelakuan baik tersebut justru sama sekali menghilangkan efek jera. Karena saat dihukum, dengan mudah mereka pura-pura berkelakuan baik untuk kemudian mendapat kompensasi. Terlebih lagi bagi koruptor, yang sudah sangat meresahkan bangsa ini. Menurut data Ditjen Pemasyarakatan, sebanyak  235 napi koruptor mendapat remisi Idulfitri 2011 bahkan delapan langsung bebas.
Putusan tersebut sangat mengecewakan masyarakat Indonesia, karena koruptor merupakan pelaku oxtraordinary crime (kejahatan luar biasa) yang telah sepakat  untuk kita perangi. Dua pekan lalu 419 napi koruptor mendapat remisi 17 Agustus bahkan membebaskan 21 napi koruptor lainnya. Pemberian remisi kepada koruptor membenarkan pameo “beda negara, beda hukuman untuk koruptor. Di Arab Saudi koruptor dipotong tangan, di China dipotong leher, di Indonesia koruptor dipotong masa tahanan dan dibebaskan”.

Remisi Yang Menyakiti Nurani Rakyat Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment