Indonesia memang subur. Karena bukan saja
berbagai jenis tanaman yang bisa tumbuh subur di negeri ini. Akan tetapi juga
kejahatan. Saat pemerintah gencar-gencarnya mengumandangkan perang melawan
terorisme, justru dijawab oleh kenyataan kian suburnya aksi teror yang hingga
saat ini tak pernah habis dibasmi, walau telah dilakukan berbagai cara.
Tak mau ketinggalan, korupsi pun demikian.
Berbagai lembaga yang didirikan untuk menghambat laju ‘suburisme’ korupsi,
justru memperlihatkan hasil yang berbanding terbalik. Belum selesai satu
skandal korupsi, muncul skandal baru yang tak kalah heboh.
Seperti heboh kasus suap di dua kementrian,
yaitu di Kementrian Pemuda dan Olah Raga yang melibatkan Sekretaris Menteri
Pemuda dan Olah Raga serta mantan Bendahara Umum Partai Demokrat dalam Kasus
Wisma Atlet Sea Games, Wafid Munarman dan Nazaruddin.
Kasus tersebut hingga kini belum tuntas,
tiba-tiba kita dikejutkan dengan ledakan pemberitaan kasus suap di Kementrian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang dikait-kaitkan dengan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar.
Tak hanya itu, suburisme korupsi juga
ditandai oleh gurita extraordinary crime ini yang merambah ke pejabat-pejabat
di daerah-daerah. Data dari Kementrian Dalam Negeri, saat ini 160 Kepala daerah
yang berstatus tersangka, terdakwa, terhukum dari 524 gubernur, bupati dan wali
kota yang tersandung kasus korupsi sejak tahun 2004. Ini masih kepala-kepala
daerah, belum para pembantunya.
Setali tiga uang, aparat “penegak hukum”
pun menjadi sapu kotor, tak luput dari oknum koruptor. Dalam satu kasus saja,
yaitu kasus mafia pajak Gayus Tambunan, tak kurang dari 15 orang aparat hukum
yang terlibat jual beli perkara sebagaimana diungkapkan Jaksa Agung saat itu,
Hendarman Supanji. Sebutlah misalnya Cirus Sinaga dan Poltak Manulang.
Maka tak heran jika dari ranking yang
dirilis berbagai lembaga nasional dan internasional, seperti Transparency
International (TI), Political And Economic Risk Consultancy (PERC),
tingkat korupsi Indonesia terus saja bertengger di posisi teratas.
Survei terbaru pada Juni 2011 oleh Neukom
Family Foundation, Bill & Melinda Gates Foundation dan Lexis Nexis,
menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup ke 47 dari 66 negara di
dunia dan terkorup kedua dari 13 negara di Asia Pasifik seperti dilansir United
Press International.
Dari fakta-fakta tersebut, maka bisa
ditarik hipotesa bahwa ada yang tidak normal pengelolaan negara ini. Karena
Indonesia adalah negara hukum sebagaimana dituangkan di dalam Undang Undang
Dasar (UUD) 1945 Pasal 1 Ayat 3.
Sebagai negara hukum, jika benar-benar
hukum ditegakkan maka tentu tak akan terjadi problem yang berkaitan dengan
hukum. Seperti kasus korupsi di atas.
Tentang negara hukum, Hans Kelsen dalam
bukunya Altgemeine Staatslehre, menuliskan semakin tinggi keinsyafan hukum
suatu masyarakat, semakin dekat masyarakat tersebut pada pelaksanaan negara
hukum yang sempurna.
Berangkat dari apa yang dipostulatkan Hans
Kelsen tersebut, maka untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum
seharusnya yang pertama kali diwujudkan dalam konstruksi supremasi hukum adalah
langkah pencegahan.
Langkah preventif tersebut berupa afirmasi
positif untuk melahirkan kesadaran. Selain itu, langkah preventif juga harus
disinergiskan dengan penindakan berupa pemberian hukuman secara adil hingga
menimbulkan efek jera.
Dalam perspektif politik, upaya preventif
ini bisa diwujudkan jika awarness tersebut menjadi kristalisasi keinsyafan yang
lahir dari rasionalitas relasi kausalis positivistik supremasi hukum berupa
keteraturan berdemokrasi, terwujudnya kemakmuran dan terjaminnya hak-hak warga
negara, sebagaimana ditulis Frans Hendra Winarta dalam bukunya Pro Bono Publico
(2009).
Melihat kenyataan korupsi di Indonesia,
kita masih harus bertanya apa benar bangsa Indonesia adalah negara hukum?
Karena ternyata supremasi hukum yang kita saksikan tidak sejalan dengan
slogan-slogan propagandis yang selama ini di koar-koarkan oleh pemerintah dan
diperjuangkan oleh berbagai lembaga NGO (non government organization). Salah satu yang saat ini hangat
diperbincangkan, adalah pemberian remisi atau pengurangan masa hukuman yang
didasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Disebutkan bahwa remisi adalah pengurangan
masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang telah
berkelakuan baik selama menjalani pidana.
Jika dikonfrontir dengan pemberian efek
jera pada koruptor, dengan logika sederhana bisa kita nalar bahwa pemberian
remisi dengan alasan berkelakuan baik tersebut justru sama sekali menghilangkan
efek jera. Karena saat dihukum, dengan mudah mereka pura-pura
berkelakuan baik untuk kemudian mendapat kompensasi. Terlebih lagi bagi
koruptor, yang sudah sangat meresahkan bangsa ini. Menurut data Ditjen Pemasyarakatan,
sebanyak 235 napi koruptor mendapat remisi Idulfitri 2011 bahkan delapan
langsung bebas.
Putusan tersebut sangat mengecewakan
masyarakat Indonesia, karena koruptor merupakan pelaku oxtraordinary crime
(kejahatan luar biasa) yang telah sepakat untuk kita perangi. Dua pekan lalu 419 napi koruptor mendapat
remisi 17 Agustus bahkan membebaskan 21 napi koruptor lainnya. Pemberian remisi kepada koruptor
membenarkan pameo “beda negara, beda hukuman untuk koruptor. Di Arab Saudi
koruptor dipotong tangan, di China dipotong leher, di Indonesia koruptor
dipotong masa tahanan dan dibebaskan”.
0 komentar:
Post a Comment