Pada dasarnya, sejarah kekerasan seumur
dengan keberadaan manusia di muka bumi, kekerasan telah ada pada generasi ke
dua manusia, yaitu dua anak Adam As yang bernama Habil dan Qabil. Kekerasan
yang berakhir dengan pembunuhan Qabil pada Habil berlatar belakang kecemburuan
sosial.
Kekerasan menjadi topik perbincangan yang
hangat di negeri multikultural ini beberapa pekan terakhir. Peristiwa berdarah
di Cikeusik, Pendegelang Banten (6/2), menyebabkan empat orang anggota Jamaah
Ahmadiyah Indonesia (JAI), harus menemui ajal setelah bentrok dengan
massa anti JAI yang diduga datang dari luar Cikeusik.
Seiring perjalanan kehidupan, sejarah
kekerasan yang tak jarang berakhir dengan pembunuhan berkembang dengan motif
beragam. Fritjof Chapra di dalam bukunya The Turning Point, menyebut
kekerasan sebagai “penyakit peradaban”. Fritjof Chapra membaca patologi sosial
ini (kekerasan), sebagai bias dari anomali ekonomi dan krisis budaya. Dari
perspektif ekonomi, kekerasan lahir dari keterdesakan untuk memenuhi kebutuhan
dasar manusia. Sumber daya ekonomi yang terbatas sementara kebutuhan tak
terbatas memaksa manusia untuk bertindak nekad demi memenuhi kebutuhan.
Dengan berbagai jubah kepalsuan, baik atas
nama agama, atas nama kebenaran, dan sederet apologi lainnya menjadi pembenaran
dari tindak kekerasan tersebut. Sebut saja misalnya pimpinan JAI yang ternyata
mendapat suntikan dana sebesar Rp.10 juta setiap bulan, sebagaimana kesaksian
yang disampaikan Kepala Desa Umbulan, Cikeusik, M Johar, yang mendengar
pengakuan langsung dari Suparman (pimpinan JAI).
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai
institusi tertinggi umat Islam di Indonesia, telah berkali-kali menasehati
bahkan berakhir dengan fatwa, perihal kesesatan JAI. Senada dengan MUI,
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada 1985 menyatakan, Ahmadiyah
menyimpang. Di dunia internasional, Rabitah Alam Islami lebih dulu menyatakan
Ahmadiyah tidak masuk dalam Islam, para pengikutnya tidak boleh masuk Tanah
Suci, tidak boleh naik haji. Kemudian, Organisasi Konferensi Islam (OKI) menyatakan
hal yang sama, melarang. Jadi pada dasarnya, sikap keukeh JAI untuk
bertahan dengan pemahamannya, bukan saja soal keyakinan, tapi lebih pada soal
kebutuhan ekonomi.
Belum lagi adanya dugaan massa bayaran yang
kadang berasal dari kelompok professional terorganisir. “Pekerjaan-pekerjaan”
seperti itu, menjadi pilihan karena cukup menjajikan dari segi jumlah bayaran,
sementara di sisi lain, pemerintah tidak mampu menyiapkan lapangan kerja yang
memadai.
Sedang dari perspektif budaya, struktur
sosial yang bergolak dan akhirnya melahirkan kekerasan, merupakan indikasi
adanya proses transformasi sehingga menyebabkan rasa keterasingan dan mental
ketertinggalan. Menurut sejarawan Arnold Toynbee sebagaimana dikutif oleh
Chapra, pergolakan budaya lahir dari pola interaksi sebagai cara sebuah
peradaban melakukan dinamisasi untuk membentuk dirinya, mencari titik
equilibrum. Irama dalam pertumbuhan budaya tersebut menimbulkan fluktuasi yang
saling mempengaruhi antara dua kutub, para filusuf Cina menyebutnya Yin dan Yang,
Empedocles menyebut sebagai pertarungan cinta dan benci.
Toynbee menyebut hilangnya fleksibilitas di
dalam masyarakat multikulural merupakan tanda-tanda keruntuhan sebuah budaya.
Struktur sosial dan pola perilaku masyarakat menjadi kaku, masyarakat tidak
lagi mampu menyesuaikan diri dalam kreativitas respons. Kekakuan dan hilangnya
fleksibilitas ini menyebabkan pudarnya harmoni secara umum dan mengarahkan
masyarakat pada meletusnya perpecahan dan kekacauan sosial.
Sementara itu, di sisi lain, globalisasi
yang terjadi begitu derasnya, menyebabkan erosi dan shockbudaya. Arus
informasi yang menyerang dari berbagai lini kehidupan, merekonstruksi gaya baru
dalam diri bangsa tercinta. Pada akhirnya, anak bangsa kehilangan jati diri
akibat adanya polarisasi niali-nilai luhur yang terkontaminasi oleh budaya
asing. Padahal jika kita mlihat sejarah masa lalu, kemajemukan bangsa Indonseia
justru menjadi modal perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan.
Di abad modern ini, dengan supremasi privat
yang tak terbatas melalui dalih Hak Asasi Manusia (HAM), kebebasan sering kali
berbenturan dengan realitas di dalam suatu masyarakat. HAM menjadi topeng
untuk mengekspresikan diri, sementara masyarakat dengan anutan nilai-nilai yang
luhur melihat perubahan sebagai ancaman.
Kelompok konservatif anti kemapanan menjadi
kontras dengan ide-ide HAM yang dirumuskan atas dasar kebebasan. Friksi sosial
budaya pada akhirnya melahirkan dua kelompok masyarakat yang tidak rukun dan
menjadi bom waktu bagi negara dengan masyarakat yang plural seperti Indonesia.
Pancasila sebagai dasar kehidupan dan ciri
budaya bangsa Indonesia, tidak tertutup dari perubahan. Sehingga nilai-nilai
luhur dan pluralitas, dapat merekatkan masyarakat dari semua golongan baik
suku, agama, maupun afiliasi politik. Membaca tafsir dan membumikan kembali
dasar dan ideologi negara (Pancasila) menjadi solusi atas konflik sosial yang
sering berakhir dengan kekerasan.
Selain itu, konflik tingkat elit yang
menjadi tayangan “plus”, juga perlu dibasmi. Karena elit bangsa ini adalah
panutan masyarakat. Mana mungkin masyarakat hidup damai, jika pemimpinnya
sendiri saling bergulat di tengah kepongahan singgasana. Sehingga penulis
memandang, bahwa sangat mendesak untuk terlebih dahulu menanamkan nilai-nilai
Pancasila pada para pemimpin bangsa.
Dari sisi ekonomi, pemerintah perlu
mendorong pemerataan pertumbuhan ekonomi. Data BPS tentang pertumbuhan ekonomi
tahun 2010 sebesar 6,1 persen jangan hanya dinikmati oleh kelas menengah ke
atas. Namun yang lebih penting adalah masyarakat bawah yang harus diangkat
strata kesejahteraannya, menciptakan lapangan kerja dan memberdayakan mereka.
Adanya pengangguran menyebabkan mereka mudah dimobilisasi dengan iminig-iming
rupiah, karena merekalah yang cenderung mudah dieskploitasi oleh
fihak-fihak tak bertanggung jawab, yang menginginkan chaos dan disintegaris
sosial. Rupiah sering kali membuat manusia buta mata dan buta hati.
0 komentar:
Post a Comment