Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Monday, March 5, 2012

MELACAK AKAR KEKERASAN DAN SOLUSINYA

Pada dasarnya, sejarah kekerasan seumur dengan keberadaan manusia di muka bumi, kekerasan telah ada pada generasi ke dua manusia, yaitu dua anak Adam As yang bernama Habil dan Qabil. Kekerasan yang berakhir dengan pembunuhan Qabil pada Habil berlatar belakang kecemburuan sosial.
Kekerasan menjadi topik perbincangan yang hangat di negeri multikultural ini beberapa pekan terakhir. Peristiwa berdarah di Cikeusik, Pendegelang Banten (6/2), menyebabkan empat orang anggota Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI),  harus menemui ajal setelah bentrok dengan massa anti JAI yang diduga datang dari luar Cikeusik.
Seiring perjalanan kehidupan, sejarah kekerasan yang tak jarang berakhir dengan pembunuhan berkembang dengan motif beragam. Fritjof Chapra di dalam bukunya The Turning Point, menyebut kekerasan sebagai “penyakit peradaban”. Fritjof Chapra membaca patologi sosial ini (kekerasan), sebagai bias dari anomali ekonomi dan krisis budaya. Dari perspektif ekonomi, kekerasan lahir dari keterdesakan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Sumber daya ekonomi yang terbatas sementara kebutuhan tak terbatas memaksa manusia untuk bertindak nekad demi memenuhi kebutuhan.
Dengan berbagai jubah kepalsuan, baik atas nama agama, atas nama kebenaran, dan sederet apologi lainnya menjadi pembenaran dari tindak kekerasan tersebut. Sebut saja misalnya pimpinan JAI yang ternyata mendapat suntikan dana sebesar Rp.10 juta setiap bulan, sebagaimana kesaksian yang disampaikan Kepala Desa Umbulan, Cikeusik, M Johar, yang mendengar pengakuan langsung dari Suparman (pimpinan JAI). 
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai institusi tertinggi umat Islam di Indonesia, telah berkali-kali menasehati bahkan berakhir dengan fatwa, perihal kesesatan JAI. Senada dengan MUI, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada 1985 menyatakan, Ahmadiyah menyimpang. Di dunia internasional, Rabitah Alam Islami lebih dulu menyatakan Ahmadiyah tidak masuk dalam Islam, para pengikutnya tidak boleh masuk Tanah Suci, tidak boleh naik haji. Kemudian, Organisasi Konferensi Islam (OKI) menyatakan hal yang sama, melarang. Jadi pada dasarnya, sikap keukeh JAI untuk bertahan dengan pemahamannya, bukan saja soal keyakinan, tapi lebih pada soal kebutuhan ekonomi.
Belum lagi adanya dugaan massa bayaran yang kadang berasal dari kelompok professional terorganisir. “Pekerjaan-pekerjaan” seperti itu, menjadi pilihan karena cukup menjajikan dari segi jumlah bayaran, sementara di sisi lain, pemerintah tidak mampu menyiapkan lapangan kerja yang memadai.
Sedang dari perspektif budaya, struktur sosial yang bergolak dan akhirnya melahirkan kekerasan, merupakan indikasi adanya proses transformasi sehingga menyebabkan rasa keterasingan dan mental ketertinggalan. Menurut sejarawan Arnold Toynbee sebagaimana dikutif  oleh Chapra, pergolakan budaya lahir dari pola interaksi sebagai cara sebuah peradaban melakukan dinamisasi untuk membentuk dirinya,  mencari titik equilibrum. Irama dalam pertumbuhan budaya tersebut menimbulkan fluktuasi yang saling mempengaruhi antara dua kutub, para filusuf Cina menyebutnya Yin dan Yang, Empedocles menyebut sebagai pertarungan cinta dan benci.
Toynbee menyebut hilangnya fleksibilitas di dalam masyarakat multikulural merupakan tanda-tanda keruntuhan sebuah budaya. Struktur sosial dan pola perilaku masyarakat menjadi kaku, masyarakat tidak lagi mampu menyesuaikan diri dalam kreativitas respons. Kekakuan dan hilangnya fleksibilitas ini menyebabkan pudarnya harmoni secara umum dan mengarahkan masyarakat pada meletusnya perpecahan dan kekacauan sosial.
Sementara itu, di sisi lain, globalisasi yang terjadi begitu derasnya, menyebabkan erosi dan shockbudaya. Arus informasi yang menyerang dari berbagai lini kehidupan, merekonstruksi gaya baru dalam diri bangsa tercinta. Pada akhirnya, anak bangsa kehilangan jati diri akibat adanya polarisasi niali-nilai luhur yang terkontaminasi oleh budaya asing. Padahal jika kita mlihat sejarah masa lalu, kemajemukan bangsa Indonseia justru menjadi modal perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan.
Di abad modern ini, dengan supremasi privat yang tak terbatas melalui dalih Hak Asasi Manusia (HAM), kebebasan sering kali berbenturan dengan realitas di dalam suatu masyarakat. HAM  menjadi topeng untuk mengekspresikan diri, sementara masyarakat dengan anutan nilai-nilai yang luhur melihat perubahan sebagai ancaman.
Kelompok konservatif anti kemapanan menjadi kontras dengan ide-ide HAM yang dirumuskan atas dasar kebebasan. Friksi sosial budaya pada akhirnya melahirkan dua kelompok masyarakat yang tidak rukun dan menjadi bom waktu bagi negara dengan masyarakat yang plural seperti Indonesia.
Pancasila sebagai dasar kehidupan dan ciri budaya bangsa Indonesia, tidak tertutup dari perubahan. Sehingga nilai-nilai luhur dan pluralitas, dapat merekatkan masyarakat dari semua golongan baik suku, agama, maupun afiliasi politik. Membaca tafsir dan membumikan kembali dasar dan ideologi negara (Pancasila) menjadi solusi atas konflik sosial yang sering berakhir dengan kekerasan.
Selain itu, konflik tingkat elit yang menjadi tayangan “plus”, juga perlu dibasmi. Karena elit bangsa ini adalah panutan masyarakat. Mana mungkin masyarakat hidup damai, jika pemimpinnya sendiri saling bergulat di tengah kepongahan singgasana. Sehingga penulis memandang, bahwa sangat mendesak untuk terlebih dahulu menanamkan nilai-nilai Pancasila pada para pemimpin bangsa.
Dari sisi ekonomi, pemerintah perlu mendorong pemerataan pertumbuhan ekonomi. Data BPS tentang pertumbuhan ekonomi tahun 2010 sebesar 6,1 persen jangan hanya dinikmati oleh kelas menengah ke atas. Namun yang lebih penting adalah masyarakat bawah yang harus diangkat strata kesejahteraannya, menciptakan lapangan kerja dan memberdayakan mereka. Adanya pengangguran menyebabkan mereka mudah dimobilisasi dengan iminig-iming rupiah,   karena merekalah yang cenderung mudah dieskploitasi oleh fihak-fihak tak bertanggung jawab,  yang menginginkan chaos dan disintegaris sosial. Rupiah sering kali membuat manusia buta mata dan buta hati.

MELACAK AKAR KEKERASAN DAN SOLUSINYA Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment