Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Monday, March 5, 2012

PENDIDIKAN BERDAYA SAING DAN DEMOKRASI PARTISIPATIF

Mencerdaskan Kehidupan Bangsa merupakan salah satu tujuan kemerdekaan, sebagaimana tertuang dalam  preambule (pembukaan) Undang Undang Dasar 1945 sebagai landasan yuridis. Seiring dengan transformasi  dan dinamika global, cita-cita luhur itu kemudian terus beradaptasi dengan konteks zaman dan tantangan bangsa.
Kesadaran bahwa pendidikan merupakan suluh penerang kehidupan sekaligus nafas peradaban, secara makro dapatlah kita berguru pada bangsa-bangsa besar yang pernah menjadi imperium, termasuk juga peradaban barat yang kini menjadi kiblat ilmu pengetahuan dan kemjuan kehidupan.
Berbagai literatur menyebutkan bahwa pendidikan merupakan kawah candradimuka lahirnya peradana-peradaban besar yang pernah mengisi ruang sejarah kita. Di dalam kitab Min Rawaaih Hadharatinaamisalnya, cendikian muslim asal Damaskus Dr. Mustafa As Siba’i mendeskripsikan secara eksplisit kemajuan peradaban Islam yang menjadi kiblat peradaban sejak masa Abbasiyah di Irak hingga Andalusia di Spanyol (abad 7 M - 13 M), berkat kemajuan ilmu pengetahuan pada masa itu.

Transformasi Global
Sederet nama cendikiawan muslim yang menjadi rujukan umat manusia, tidak hanya umat Islam, tetapi juga rujukan bangsa barat, mengisi etalase dan menjadi prasasti emas peradaban manusia. Sebutlah misalnya Ibnu Sina dengan kitab Al Qanuun yang kemudian menjadi rujukan ilmu kedokteran modern dan pada abad XII diterjemahkan di Eropa. Oleh orang barat, Ibnu Sina disebut dengan namaAviasinne.
Ilmuwan lain yang buah pemikiran di dalam kitabnya juga diterjemahkan oleh bangsa Eropa adalah AR Razi. Kitab Al Hawiy yang lebih tebal dari Al Qanuun, diterjemahkan pada akhir abad XII. Kedua buku ini masih menjadi rujukan ilmu medis (kedokteran) di Eropa hingga abad XVI.
Pada abad XIII, Ghiteron dari Polska menerjemahkan kitab Al Bashariyyah karya Hasan bin AL Haitsam. Masih pada abad yang sama, Gherardo dari Cremonia, Italia menerjemahkan ilmu falak (perbintangan) yang hakiki dengan  terjemahan Al Majisti karya Ptolemee dan Asy Syarh karya Jabir bin Hayyan.
Integritas ilmuwan-ilmuwan Islam juga diakui oleh orang-orang barat sendiri. Gustave Le Bon, seorang psikolog sosial, sosiolog, dan juga fisikawan amatir dari Prancis mengatakan bahwa terjemahan buku bangsa-bangsa Arab (Islam) lah, terutama buku-buku sains hampir menjadi sumber satu-satunya bagi banyak pengajaran di banyak perguruan tinggi Eropa selama lima hingga enam abad.
Bahkan Le Bon mengatakan bahwa buku-buku karya ulama Islam lah yang dijadikan sandaran oleh Roger Bacon (seorang filsuf Inggris), Leonardo Da Vinci (seorang polymath Italia: pelukis, pematung, arsitek, musisi, ilmuwan, matematikawan, insinyur, penemu, ahli anatomi , ahli geologi, pembuat peta, ahli botani dan penulis), Arnold de Philippe, Raymond Lull, San Thomas, Albertus Magnus, serta Alfonso X.
Transformasi besar-besaran ilmu dari dunia Islam yang memajukan Eropa (barat secara umum), juga diakui oleh Monsieur Renan. Menurut Renan, Al Bertus Magnus adalah pengikut Ibnu Sina, sedangkan San Thomas dalam pandangan filsafatnya adalah penganut Ibnu Rusyd (oleh Barat, dikenal dengan Averroes).
Tidak hanya itu, dalam bidang astronomi, geografi, dan kartografi (ilmu pembuatan peta) yang menjadi acuan bangsa barat dalam penjelajahan selama masa renaissance Eropa, peta yang paling akurat adalah milik Abu Abdillah Syarif Al Idrisi. Al Idrisi merupakan seorang ahli geografi dari Arab yang petanya digunakan oleh Barat selama ratusan tahun.
Eropa yang sebelumnya tidak pernah pergi jauh, hidup dalam zaman kegelapan, akhirnya bisa menjadi penjajah yang menjajah sebagian besar negara di dunia. Padahal jauh sebelum Eropa bisa menjelajah, pedagang-pedagang dan da’i dari Arab pada masa Umar bin Khattab sudah membelah samudera, hingga ke Cina, sebagaimana dicatat oleh Prof. Ahmad Mansur Suryanegara di dalam bukunya, Api Sejarah.
Jika kita berbeser ke Timur, kenyataan tak jauh beda kita dapatkan. Kemajuan bangsa Jepang dengan produk teknologi yang menguasai dunia, juga karena kelimuan yang diformulasi dalam Restorasi Meiji. Jepang sebelum Restorasi Meiji (1868) adalah Negara agraris yang miskin. Akan tetapi, dalam waktu 40 tahun saja, pada akhir ke-19, Jepang mampu mensejajarkan diri dengan Negara-negara Barat.
Diterapkan pendidikan wajib dan bebas bagi seluruh rakyat selama 4 tahun dan dibukanya berbagai macam dan tingkatan sekolah, hingga pada tingkat universitas. Dalam masa Meiji semua orang bisa merubah status sosial sesuai dengan prestasi pendidikannya. Itulah yang membuat dorongan kepada semua orang untuk belajar keras. Hingga kini, produk teknologi Jepang menguasai rumah-rumah kita, di Barat dan di Timur.
Ilmu pengetahuan yang dikuasai oleh Islam abad pertengahan hingga abad 13, juga diikuti oleh oleh Barat, di susul oleh bangsa Jepang dan kini Cina, menjadi bukti bahwa ilmu pengetahuan adlah kunci dalam pembangunan, baik itu bangsa maupun peradaban yang mendunia.
Maka jelaslah kiranya firman Allah SWT di dalam Al Qur’an surat ke 58. Allah SWT berfirman : …Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. (QS. Al-Mujadalah:11)
Kemuliaan suatu umat atau bangsa dengan ilmu pengetahuan sampai pada dijadikannya sebagai kiblat dalam pembangunan, baik fisik maupun non fisik. Walaupun kita meyakini bahwa di Barat, terjadi disparitas antara ilmu yang sifatnya duniawi dan ilmu ukhrawi. Ada ketidak seimbangan, sehingga ilmu menjadi alat yang cenderung merusak tatanan kehidupan.

Bangsa Sempurna
Islam yang mengajarkan nilai-nilai moralitas dan kemanusiaan secara universal dalam ilmu pengetahuan, memiliki potensi untuk kembali menata wajah dunia yang dikuasai oleh materialisme. Indonesia bisa menjadi bangsa yang sempurna, dalam artian menyemai benih kompetisi untuk menuntut ilmu (fastabiqul kahiyrat), dalam kerangka nilai-nilai agama yang di tinggalkan Barat maupun Jepang yang anak mudanya kini mulai terkontaminasi budaya hedonisme barat.
Kesadaran tentang pentingnya ilmu pengetahuan berbasis religiusitas (nilai-nilai keagamaan) ini, juga direfleksikan oleh ayat yang pertama kali turun. Di dalam surat Al ‘Alaq, Allah SWT memulai dengan perintah membaca (Iqra’). Membaca disini bisa diapahami sebagai upaya untuk menggali khazanah keilmuan, baik secara tertulis melalui ayat-ayat Quliyah (perkataan) maupun cesara tersurat melalui fenomena alam atau ayat Kauniyah.
Dalam konteks dan kerangka otonomi dan pembangunan daerah yang dimulai sejak awal reformasi bergulir, pendidikan menjadi urat nadi sekaligus sirkulasi dan instrumen maju tidaknya suatu daerah. Maka program pendidikan gratis sebagai derivasi dari program nasional wajib belajar 9 tahun, menjadi keniscayaan. Daya saing dan kemandirian daerah ditentukn oleh kepedulian pemerintah pada daerah tersebut terhadap pendidikan.
Fakta menarik yang tidak bisa dibantah adalah, sejak program pendidikan dasar 9 tahun dicanangkan, kualitas masyarakat Indonesia mengalami trend posotif. Terjadi transformasi menjadi masyarakat yang melek ilmu pengetahuan. Menurut ekonom Drajat Wibowo, fakta ini didukung oleh statistik tentang semakin sejahteranya masyarakat Indonesia yang dilatari oleh meningkatnya ilmu pengetahuan, sehingga mampu mengakses pekerjaan-pekerjaan yang mensejahterakan.
Jika ini digalakkan dan terus dipertahankan, maka impian menjadikan Indonesia sebagai salah satu dari 5 negara maju di dunia akan segera terwujud. Karena kesejahteraan akan menyebar, sehingga rantai-rantai kemiskinan yang selama ini menciptakan kemiskinan struktural, bisa diputuskan. Logika sederhananya, bahwa orang yang berpendidikan tinggi dan berkualitas, bisa mengakses lapangan pekerjaan yang lebih baik. Bahkan bisa memilih pekerjaan yang diinginkan.
Selain itu, dalam konteks pemerintahan, pendidikan juga akan mendorong lahirnya masyarakat cerdas dan kritis sehingga bisa menjadi penyeimbang dalam pembangunan. Menjadi entitas intelektual organik,  menjadi watchdog yang memonitoring pemerintah. Keterlibatan masyarakat dalam berbagai  kebijakan publik, secara akseleratif akan mendorong lahirnya good governance dan clean governance.Maka salah satu subtansi demokrasi, yaitu terwujudnya partisipasi publik sebagai pelaku demokrasi hanya dapat dicapai melalui kontruksi dasar pendidikan yang berkualitas.
Langkah pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab menjamin pendidikan masyarakt, tentu perlu lebih serius dan kongkrit. Dari pendidikan gratis hingga pendidikan berkualitas. Termasuk juga pemberian reward kepada insan-insan pendidiakn baik, siswa, mahasiswa, maupun guru yang berprestasi.

PENDIDIKAN BERDAYA SAING DAN DEMOKRASI PARTISIPATIF Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment