Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Sunday, March 4, 2012

PENGARUH MEDIA DALAM PENDIDIKAN

Bangsa Indonesia memiliki sejarah kelam selama 3 abad ketika berada di bawah kekuasaan penjajah dari Eropa. Ada Portugis, Inggris dan yang paling lama Belanda. Melihat tujuan penjajah yakni mencari rempah rempah yang tak ada di Eropa yang selanjutnya meluas dengan menggali tambang tambang kekayaan bangsa ini; kita dapat menyimpulkan bahwa semua penjajah ingin mengeruk kekayaan dari hasil bumi bangsa yang dijajah. Tidak ada bukti mereka mensejahterakan rakyat yang dijajah.
Pengalaman dijajah selama 3 abad  itu ternyata belum membuat bangsa ini; terutama para pemimpinnya kapok  dijajah. Padahal para pendiri Republik Indonesia berusaha keras menolak penjajahan apapun bentuknya. Bahkan perusahaan milik asing di nasionalisasi dan dikerjakan sendiri oleh tangan tangan pribumi. Memang berat dan harus berani susah dalam jangka panjang karena untuk seratus persen menangani sendiri kekayaan bumi kita memerlukan pendidikan yang tentunya memakan waktu panjang. Maka pemerintahan Sukarno rajin mengirim mahasiswa Indonesia untuk sekolah di luar negeri. Ini kesadaran yang terbaik bahwa pendidikan adalah nomer satu jika ingin menjadikan Indonesia menjadi negara besar yang tidak kerdil.
Sementara itu kekuatan kapitalis dunia bukan menjadi bodoh dan menerima begitu saja kemerdekaan negeri negeri bekas jajahannya. Maka mulailah berusaha keras menghancurkan musuh besarnya yakni komunis yang tahun 1980 berhasil diporak porandakan. Indonesia yang termasuk negeri yang dianggap Sukarno ikut komunis juga bernasib terguling di tahun 1965 dan tahun 1966 Sukarno diganti Suharto yang didukung Amerika. Kapitalis melalui bank dunia dan IMF menggelontorkan pinjaman besar besaran untuk membangun pemerintahan orde baru hingga Suharto mendapat gelar bapak pembangunan.  Dan selama dekade kepemimpinannya memang getol membangun gedung, pabrik, membuka tambang tambang yang semuanya adalah kerja patungan dengan investor.
Untuk menunjang sukses Suharto maka kran media dibuka lebar. Televisi swasta yang dikuasai kerajaan Cendana muncul menjadi corong kapitalis. Anak anak pejabat atau pengusaha pribumi yang patungan dengan asing dikirim kuliah di Amerika dan pulang membawa lisensi membuka gerai makanan siap saji yang menjamur di Indonesia . Mulailah penjajahan lewat ekonomi yang dilakukan tanpa paksaan seperti zaman VOC. Tidak perlu tentara untuk memaksa dan para jendralnya dijadikan pemimpin sipil seperti Gubernur, bupati hingga lurah, direktur BUMN, menteri . Penghijauan merata dan rakyat tetap saja dijadikan sapi perahnya. Namun hebatnya kaum kapitalis adalah mampu menawarkan kenikmatan duniawi sehingga tanpa disadari telah menjadi bius yang membuat bangsa ini terlena. Siapa yang pada zaman orde baru tidak punya hutang? Punya rumah dan isinya seperti furniture, kulkas, televisi, sepeda motor, semuanya kredit. Dipotong dari gaji bahkan kalau pegawai negeri hingga 30 tahun bekerja. Ini tanpa sadar sudah menggadaikan dirinya seumur hidup sehingga selama itu takut berbuat salah dan nurut saja apa kata atasan agar selamat. Hari tua pensiun dan hutang selesai. Oleh karenanya pegawai disebut sebagai karyawan. Bukan orang yang berkarya tapi yang dikaryakan sehingga harus nurut kepada yang mengkaryakan. Hidup pun tenteram dan aman tapi seperti di kuburan, artinya tidak ada kehidupan. Gejolak kecil, kritikan di media akan segera diberangus. Kesenian yang berani bicara kejujuran akan segera dilenyapkan. Di sini peran tentara yang pangkat rendah digunakan.
Saya teringat kata kata George Orwell :” Siapapun yang menguasai media akan mampu menguasai dunia”.
Hari ini saya sadar bahwa ucapannya benar. Melalui televisi swasta sejak orde baru berkuasa kita diajar melihat kemewahan kemewahan, kenikmatan duniawi hingga tergiur lalu ingin memiliki. Memang benar bahwa media televisi memiliki kemampuan mendidik. Dan justru kemampuan tersebut dipakai untuk mendidik penontonnya menyukai apa yang diperlihatkan. Berapa persen iklan makanan dengan sasaran kaum remaja dan anak anak muncul di televisi? Sinetron remaja yang ada selalu berkisar soal cinta? Hasil penjualan slot iklan cukup besar hingga bisa memberikan kemewahan hidup pada pelakon sinetron. Lalu dimunculkan acara gosip yang terutama tentang kehidupan percintaan para selebritis dengan kemewahan mobil, rumah dan pesta pestanya. Maka hal ini mau atau tidak mau telah mendidik anak muda kita untuk mengikuti ajaran kapitalis ini. Sekolah bukan hal utama lagi, yang penting cepat lulus lalu kuliah pun masuk bidang bidang yang cepat selesai dan lalu menjadi selebritis. Tidak heran jika para rektor perguruan tinggi teknik, kedokteran menjerit melihat animo orang muda memasuki perguruan tersebut menurun. Biaya kuliah kedokteran mahal dan cukup makan waktu lama sehingga untuk segera bekerja dan mendapatkan hasil yang cepat kaya juga perlu waktu panjang. Lebih enak jadi pemain sinetron, penyanyi, peragawati, host yang bisa dicapai mudah jika cantik dan seksi dan berani adegan panas. Al hasil pendidikan menjadi carut marut hingga saat ini.
Adakah media berhasil menjadikan bangsa ini punya karakter yang dicita citakan para pendiri bangsa ini? Yang ada adalah karakter manusia yang ingin cepat kaya dengan jalan pintas. Masalah etika, moral, kebudayaan, bukan lagi menjadi pemikiran para selebritis karbitan. Jika dibutuhkan kegiatan sosial biar tampak punya perhatian kepada kaum miskin, maka tidak keberatan menyumbang duit atau barang kepada rakyat yang terkena bencana alam misalnya. Sekali setahun bulan puasa mengadakan buka puasa bersama dengan anak yatim. Para penyiar televisi sekali setahun berpakaian muslim di bulan puasa karena perintah manajer dan pakaian sudah tersedia. Maka ekonomi, tehnologi, media telah menjadi alat yang hanya memiskinkan kebudayaan manusia. Pendidikan, kesenian dan agama sudah tak berdaya dihadapan kekuasaan sang pemodal.  Media mampu memberikan kenikmatan angan angan, melambungkan mimpi mimpi kebahagiaan, mampu menjadi katarsis. Inilah pendidikan yang dilakukan media secara sadar atau tidak. Di zaman orde baru, penguasa sangat sadar akan kehebatan media sehingga saat 32 tahun Suharto, media dikuasai dan dikontrol. Mana ada media televisi atau cetak yang berani menulis kritik terhadap kekuasaan?
Zaman berubah lagi. Suharto tumbang dan ganti zaman reformasi. Sudah sepuluh tahun berjalan namun apakah media sudah mereformasi dirinya? Sudahkah media cetak dan televisi menjalankan misi pendidikannya? Kita bisa bertanya dan menjawab sendiri untuk keadaan media saat ini. Pendidikan apa yang kita dapat dari menonton sinetron di televisi? Apa yang didapat dari acara lawakan Opera Van Java? Bukan empat mata? Acara musik dahsyat dan sejenisnya? Kwis yang berhadiah milyaran? Acara acara yang selalu menghadirkan kelompok masyarakat atau bahkan mahasiswa menjadi penonton di studio untuk meramaikan suasana, dimana untuk tepuk tangan dan tertawa harus tunggu komando?  Bahkan banyak anggota penonton yang memang bayaran 50 ribu dan sebungkus nasi makan siang sekali acara. Bandingkan dengan penghasilan host nya ? Para host datang dan pulang dengan mobil mewahnya sementara para pendukung keramaian naik bis umum berdesakan. Jika ada acara yang cukup ada kritik sosialnya sering adanya sudah jauh malam yang tentu saja penontonnya  bukan generasi muda yang memerlukan pendidikan kesadaran sosial politik budayanya. Generasi muda sudah terberangus oleh dugem yang dibawa kaum kapitalis mancanegara. Merekalah yang mencekoki makanan, pakaian, hingga etika pergaulan yang konsumtif. Pasar bebas juga membawa kebebasan hidup yang tanpa batas. Remaja kita sudah tidak lagi memanggil bapak atau ibu kepada ortunya, makan piza merasa modern walau tak tau cara memakai garpu dan pisaunya. Semua ini tak ada di kurikulum pendidikan di sekolah.
Pembantu rumah pun banyak yang memberi persyaratan harus ada mesin cuci, kompor gas, strika listrik, ada sepeda motor dan belanja ke super market.  Lihatlah di saku celananya pasti terselip handphone. Inilah perubahan besar yang sedang terjadi yang tanpa sadar kita telah dikuasai kaum kapitalis asing. Super market umumnya milik asing dan sudah merasuk ke pelosok bahkan tidak peduli batasan untuk tidak dekat pasar tradisional. Barang yang dijual adalah barang import yang harganya bisa jauh lebih murah dari hasil dalam negeri. Akibatnya buah buahan dan sayuran hasil kita yang sebenarnya lebih enak menjadi hilang dipasaran. Mau jual singkong, ubi, jagung, durian Palembang, Pontianak, Parung? Mana laku? Anak sekarang makanan yang serba made in luar negeri. Sayur lodeh? Sayur asem? Sayur pare? Rebung? Bunga pepaya? No way bung. Jika masih mau ke warteg adalah karena terpaksa oleh penghasilan yang memang masih rendah.
Dalam keadaan ekonomi global ini jangan heran jika pada zaman Suharto, para ortu malu jika anaknya tidak masuk IPA maka kini mulai berubah. Rata rata sekolah kini IPS lebih banyak peminatnya. Bahkan yang nilainya bisa masuk IPA sering minta pindah ke IPS. Orang muda kita sudah mulai terinfeksi wabah karakter yang diciptakan lewat media televisi, internet, majalah infotemen bahwa hidup harus cepat kaya apapun jalannya. Bukan menjadi cerdas atau orang pandai dalam artian memiliki gelar kesarjanaan; tapi kekayaan adalah nilai yang justru mengalahkan itu semua gelar. Karakter konsumtif sudah mewabah di bangsa Indonesia. Kegiatan yang sifatnya hura hura pasti akan diikuti. Contohnya adalah yang sedang terjadi demam sepak bola. Yang tidak pernah nonton aja para kaum muda ikutan nonton, beli kaos, ikut nyanyi, teriak di stadion; namun bukan soal sepak bolanya tapi karena ingin melihat dan jika mungkin kenalan dengan pemain yang di idolakan seperti berita di televisi. Untuk itu pemain pun di gotong kesana kemari mengikuti acara acara yang sifatnya seremonial, hanya untuk kesenangan badan saja, yang sebenarnya melelahkan dan bila tidak awas justru akan merusak ketahanan mentalnya. Mana ada yang berpikir untuk tujuan memberi semangat main sepak bola? Arus euforia diciptakan melalui media. Yang untung? Para kapitalis atau pemodal yang menjadi broker besar yang memberi bonus besar, menghadiahkan tanah; namun ini semua untuk menciptakan citra bagi tujuan politiknya tahun 2014. Maka seorang ketua umum PSSI (Nurdin Halid) berani mengatakan ia menurunkan harga tiket karena perintah dari ketua umum Golkar dan ia sebagai kadernya menurut; bukan karena perintah presiden yang dari partai lain. Nah ketahuan kan permainannya dibelakang riuhnya sepak bola yang kebetulan menang terus? Tapi siapa yang peduli dengan sang pelatih yang mati matian hanya berpikir untuk menciptakan pemain pemain yang tangguh dan bisa menang?
Kapitalis bekerja untuk keuntungan individualnya. Tak ada terlintas untuk kesejahteraan rakyat banyak apalagi pendidikan bagi pencerdasan bangsa. Justru kebodohan harus dipelihara agar terus menerus bergantung kepada mereka seumur hidupnya. Dan media adalah alat ampuh untuk memberikan hiburan segar sambil membodohkan penikmatnya. Oleh karenanya kesenian apapun bentuknya, entah seni rupa, musik, teater, tari, sastra yang bicara tentang kebenaran, kejujuran yang mendidik rakyat menjadi cerdas, sadar akan nasionalisme, sadar akan keburukan kapitalis ataupun komunis atau borjuasi; pasti tidak akan hidup. Jika kita jujur melihat keadaan nyata media saat ini maka kita bertanya mana hiburan yang mendidik? Hiburan yang mampu menyadarkan etika, moral, kebersamaan, kesatuan, sehingga kita bangun dan ikut bekerja untuk mensejahterakan bangsa; apakah dapat kita temukan?  Pertunjukkan kesenian yang mahal justru laku dan yang ada hanyalah onani bersama; karena penonton yang berduit adalah kaum yang tak mementingkan pendidikan karakter, sementara rakyat yang disuarakan lewat kesenian tersebut tak mampu beli tiketnya sehingga tidak mendapat kesempatan untuk menjadi manusia yang mampu bertahan dan berjuang merubah nasibnya.
Yang saya merasa prihatin adalah kenyataan bahwa seniman yang bekerja serius dan bicara tentang kenyataan bangsanya selalu terpinggirkan. Kaum miskin yang melata yang sebenarnya butuh pendidikan yang menyegarkan sehingga mampu merubah dirinya untuk tidak terjebak pada arus kekerasan sehingga mudah diadu domba justru tidak mendapatkan karena tak mampu beli tiket. Sementara yang mampu beli tiket tak akan berbuat apa apa untuk bangsa dan negerinya. Mereka adalah anak anak pemimpi, yang tidak hidup di tanah negerinya. Sedih melihat penggarap seni merasa telah bicara tentang bangsanya sementara penontonnya nikmat dengan mimpi mimpinya, sementara itu yang mestinya mendengar dan berbuat nyata serta yang harusnya mendapat hiburan karena merasa nasibnya ada yang memperjuangkan justru tidak mendapatkan tempat. Sekali lagi justru kaum pemodal mau menjadi sponsor agar menutup biaya milyaran karena percaya kesenian tersebut akan tidak mencapai sasaran; itupun kalau punya sasaran. Tujuan nya tetap adalah memberi hiburan angan angan sambil menjaga kebodohan . Mengerikan jika para penonton yang mampu itu ternyata memang tidak jauh beda kebodohannya dengan rakyat miskin. Sama miskinnya tentang kesadaran berbangsa dan bernegara, atau jangan jangan justru jauh lebih miskin.
Yang menjadi pertanyaan adalah kenapa ada acara acara di media telivisi atau artikel di media cetak yang selalu memberikan kritik kepada penguasa didiamkan saja? Jawabnya mudah yakni karena peminatnya dalam jumlah kecil dan bukan generasi muda pada umumnya sehingga tidak mengkawatirkan untuk pemilu presiden tahun 2014. Pendidikan di sekolah sudah dikuasai sehingga sekolah hanya mendidik anak anak kita untuk menjadi karyawan dan bukan pemimpin atau perubah keadaan.  Maka benar kata george orwell bahwa siapa yang menguasai media maka akan menjadi penguasa. Kekuasaan yang dimiliki akan mengontrol media, walau katanya sudah menjadi penguasa yang demokratis.

PENGARUH MEDIA DALAM PENDIDIKAN Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment