Bangsa Indonesia
memiliki sejarah kelam selama 3 abad ketika berada di bawah kekuasaan penjajah
dari Eropa. Ada Portugis, Inggris dan yang paling lama Belanda. Melihat tujuan
penjajah yakni mencari rempah rempah yang tak ada di Eropa yang selanjutnya meluas
dengan menggali tambang tambang kekayaan bangsa ini; kita dapat menyimpulkan
bahwa semua penjajah ingin mengeruk kekayaan dari hasil bumi bangsa yang
dijajah. Tidak ada bukti mereka mensejahterakan rakyat yang dijajah.
Pengalaman
dijajah selama 3 abad itu ternyata belum membuat bangsa ini; terutama
para pemimpinnya kapok dijajah. Padahal para pendiri Republik Indonesia
berusaha keras menolak penjajahan apapun bentuknya. Bahkan perusahaan milik
asing di nasionalisasi dan dikerjakan sendiri oleh tangan tangan pribumi.
Memang berat dan harus berani susah dalam jangka panjang karena untuk seratus
persen menangani sendiri kekayaan bumi kita memerlukan pendidikan yang tentunya
memakan waktu panjang. Maka pemerintahan Sukarno rajin mengirim mahasiswa
Indonesia untuk sekolah di luar negeri. Ini kesadaran yang terbaik bahwa
pendidikan adalah nomer satu jika ingin menjadikan Indonesia menjadi negara
besar yang tidak kerdil.
Sementara itu
kekuatan kapitalis dunia bukan menjadi bodoh dan menerima begitu saja
kemerdekaan negeri negeri bekas jajahannya. Maka mulailah berusaha keras
menghancurkan musuh besarnya yakni komunis yang tahun 1980 berhasil diporak
porandakan. Indonesia yang termasuk negeri yang dianggap Sukarno ikut komunis juga
bernasib terguling di tahun 1965 dan tahun 1966 Sukarno diganti Suharto yang
didukung Amerika. Kapitalis melalui bank dunia dan IMF menggelontorkan pinjaman
besar besaran untuk membangun pemerintahan orde baru hingga Suharto mendapat
gelar bapak pembangunan. Dan selama dekade kepemimpinannya memang getol
membangun gedung, pabrik, membuka tambang tambang yang semuanya adalah kerja
patungan dengan investor.
Untuk menunjang
sukses Suharto maka kran media dibuka lebar. Televisi swasta yang dikuasai
kerajaan Cendana muncul menjadi corong kapitalis. Anak anak pejabat atau
pengusaha pribumi yang patungan dengan asing dikirim kuliah di Amerika dan
pulang membawa lisensi membuka gerai makanan siap saji yang menjamur di
Indonesia . Mulailah penjajahan lewat ekonomi yang dilakukan tanpa paksaan
seperti zaman VOC. Tidak perlu tentara untuk memaksa dan para jendralnya
dijadikan pemimpin sipil seperti Gubernur, bupati hingga lurah, direktur BUMN,
menteri . Penghijauan merata dan rakyat tetap saja dijadikan sapi perahnya.
Namun hebatnya kaum kapitalis adalah mampu menawarkan kenikmatan duniawi
sehingga tanpa disadari telah menjadi bius yang membuat bangsa ini terlena.
Siapa yang pada zaman orde baru tidak punya hutang? Punya rumah dan isinya
seperti furniture, kulkas, televisi, sepeda motor, semuanya kredit. Dipotong
dari gaji bahkan kalau pegawai negeri hingga 30 tahun bekerja. Ini tanpa sadar
sudah menggadaikan dirinya seumur hidup sehingga selama itu takut berbuat salah
dan nurut saja apa kata atasan agar selamat. Hari tua pensiun dan hutang
selesai. Oleh karenanya pegawai disebut sebagai karyawan. Bukan orang yang
berkarya tapi yang dikaryakan sehingga harus nurut kepada yang mengkaryakan.
Hidup pun tenteram dan aman tapi seperti di kuburan, artinya tidak ada kehidupan.
Gejolak kecil, kritikan di media akan segera diberangus. Kesenian yang berani
bicara kejujuran akan segera dilenyapkan. Di sini peran tentara yang pangkat
rendah digunakan.
Saya teringat
kata kata George Orwell :” Siapapun yang menguasai media akan mampu menguasai
dunia”.
Hari ini saya
sadar bahwa ucapannya benar. Melalui televisi swasta sejak orde baru berkuasa
kita diajar melihat kemewahan kemewahan, kenikmatan duniawi hingga tergiur lalu
ingin memiliki. Memang benar bahwa media televisi memiliki kemampuan mendidik.
Dan justru kemampuan tersebut dipakai untuk mendidik penontonnya menyukai apa
yang diperlihatkan. Berapa persen iklan makanan dengan sasaran kaum remaja dan
anak anak muncul di televisi? Sinetron remaja yang ada selalu berkisar soal
cinta? Hasil penjualan slot iklan cukup besar hingga bisa memberikan kemewahan
hidup pada pelakon sinetron. Lalu dimunculkan acara gosip yang terutama tentang
kehidupan percintaan para selebritis dengan kemewahan mobil, rumah dan pesta
pestanya. Maka hal ini mau atau tidak mau telah mendidik anak muda kita untuk
mengikuti ajaran kapitalis ini. Sekolah bukan hal utama lagi, yang penting
cepat lulus lalu kuliah pun masuk bidang bidang yang cepat selesai dan lalu
menjadi selebritis. Tidak heran jika para rektor perguruan tinggi teknik,
kedokteran menjerit melihat animo orang muda memasuki perguruan tersebut
menurun. Biaya kuliah kedokteran mahal dan cukup makan waktu lama sehingga
untuk segera bekerja dan mendapatkan hasil yang cepat kaya juga perlu waktu
panjang. Lebih enak jadi pemain sinetron, penyanyi, peragawati, host yang bisa
dicapai mudah jika cantik dan seksi dan berani adegan panas. Al hasil
pendidikan menjadi carut marut hingga saat ini.
Adakah media
berhasil menjadikan bangsa ini punya karakter yang dicita citakan para pendiri
bangsa ini? Yang ada adalah karakter manusia yang ingin cepat kaya dengan jalan
pintas. Masalah etika, moral, kebudayaan, bukan lagi menjadi pemikiran para
selebritis karbitan. Jika dibutuhkan kegiatan sosial biar tampak punya perhatian
kepada kaum miskin, maka tidak keberatan menyumbang duit atau barang kepada
rakyat yang terkena bencana alam misalnya. Sekali setahun bulan puasa
mengadakan buka puasa bersama dengan anak yatim. Para penyiar televisi sekali
setahun berpakaian muslim di bulan puasa karena perintah manajer dan pakaian
sudah tersedia. Maka ekonomi, tehnologi, media telah menjadi alat yang hanya
memiskinkan kebudayaan manusia. Pendidikan, kesenian dan agama sudah tak
berdaya dihadapan kekuasaan sang pemodal. Media mampu memberikan
kenikmatan angan angan, melambungkan mimpi mimpi kebahagiaan, mampu menjadi
katarsis. Inilah pendidikan yang dilakukan media secara sadar atau tidak. Di
zaman orde baru, penguasa sangat sadar akan kehebatan media sehingga saat 32
tahun Suharto, media dikuasai dan dikontrol. Mana ada media televisi atau cetak
yang berani menulis kritik terhadap kekuasaan?
Zaman berubah
lagi. Suharto tumbang dan ganti zaman reformasi. Sudah sepuluh tahun berjalan
namun apakah media sudah mereformasi dirinya? Sudahkah media cetak dan televisi
menjalankan misi pendidikannya? Kita bisa bertanya dan menjawab sendiri untuk
keadaan media saat ini. Pendidikan apa yang kita dapat dari menonton sinetron
di televisi? Apa yang didapat dari acara lawakan Opera Van Java? Bukan empat mata?
Acara musik dahsyat dan sejenisnya? Kwis yang berhadiah milyaran? Acara acara
yang selalu menghadirkan kelompok masyarakat atau bahkan mahasiswa menjadi
penonton di studio untuk meramaikan suasana, dimana untuk tepuk tangan dan
tertawa harus tunggu komando? Bahkan banyak anggota penonton yang memang
bayaran 50 ribu dan sebungkus nasi makan siang sekali acara. Bandingkan dengan
penghasilan host nya ? Para host datang dan pulang dengan mobil mewahnya
sementara para pendukung keramaian naik bis umum berdesakan. Jika ada acara
yang cukup ada kritik sosialnya sering adanya sudah jauh malam yang tentu saja
penontonnya bukan generasi muda yang memerlukan pendidikan kesadaran
sosial politik budayanya. Generasi muda sudah terberangus oleh dugem yang dibawa
kaum kapitalis mancanegara. Merekalah yang mencekoki makanan, pakaian, hingga
etika pergaulan yang konsumtif. Pasar bebas juga membawa kebebasan hidup yang
tanpa batas. Remaja kita sudah tidak lagi memanggil bapak atau ibu kepada
ortunya, makan piza merasa modern walau tak tau cara memakai garpu dan
pisaunya. Semua ini tak ada di kurikulum pendidikan di sekolah.
Pembantu rumah
pun banyak yang memberi persyaratan harus ada mesin cuci, kompor gas, strika
listrik, ada sepeda motor dan belanja ke super market. Lihatlah di saku
celananya pasti terselip handphone. Inilah perubahan besar yang sedang terjadi
yang tanpa sadar kita telah dikuasai kaum kapitalis asing. Super market umumnya
milik asing dan sudah merasuk ke pelosok bahkan tidak peduli batasan untuk
tidak dekat pasar tradisional. Barang yang dijual adalah barang import yang
harganya bisa jauh lebih murah dari hasil dalam negeri. Akibatnya buah buahan
dan sayuran hasil kita yang sebenarnya lebih enak menjadi hilang dipasaran. Mau
jual singkong, ubi, jagung, durian Palembang, Pontianak, Parung? Mana laku?
Anak sekarang makanan yang serba made in luar negeri. Sayur lodeh? Sayur asem?
Sayur pare? Rebung? Bunga pepaya? No way bung. Jika masih mau ke warteg adalah
karena terpaksa oleh penghasilan yang memang masih rendah.
Dalam keadaan
ekonomi global ini jangan heran jika pada zaman Suharto, para ortu malu jika
anaknya tidak masuk IPA maka kini mulai berubah. Rata rata sekolah kini IPS
lebih banyak peminatnya. Bahkan yang nilainya bisa masuk IPA sering minta
pindah ke IPS. Orang muda kita sudah mulai terinfeksi wabah karakter yang
diciptakan lewat media televisi, internet, majalah infotemen bahwa hidup harus
cepat kaya apapun jalannya. Bukan menjadi cerdas atau orang pandai dalam artian
memiliki gelar kesarjanaan; tapi kekayaan adalah nilai yang justru mengalahkan
itu semua gelar. Karakter konsumtif sudah mewabah di bangsa Indonesia. Kegiatan
yang sifatnya hura hura pasti akan diikuti. Contohnya adalah yang sedang
terjadi demam sepak bola. Yang tidak pernah nonton aja para kaum muda ikutan
nonton, beli kaos, ikut nyanyi, teriak di stadion; namun bukan soal sepak
bolanya tapi karena ingin melihat dan jika mungkin kenalan dengan pemain yang
di idolakan seperti berita di televisi. Untuk itu pemain pun di gotong kesana kemari
mengikuti acara acara yang sifatnya seremonial, hanya untuk kesenangan badan
saja, yang sebenarnya melelahkan dan bila tidak awas justru akan merusak
ketahanan mentalnya. Mana ada yang berpikir untuk tujuan memberi semangat main
sepak bola? Arus euforia diciptakan melalui media. Yang untung? Para kapitalis
atau pemodal yang menjadi broker besar yang memberi bonus besar, menghadiahkan
tanah; namun ini semua untuk menciptakan citra bagi tujuan politiknya tahun
2014. Maka seorang ketua umum PSSI (Nurdin Halid) berani mengatakan ia
menurunkan harga tiket karena perintah dari ketua umum Golkar dan ia sebagai
kadernya menurut; bukan karena perintah presiden yang dari partai lain. Nah
ketahuan kan permainannya dibelakang riuhnya sepak bola yang kebetulan menang
terus? Tapi siapa yang peduli dengan sang pelatih yang mati matian hanya
berpikir untuk menciptakan pemain pemain yang tangguh dan bisa menang?
Kapitalis
bekerja untuk keuntungan individualnya. Tak ada terlintas untuk kesejahteraan
rakyat banyak apalagi pendidikan bagi pencerdasan bangsa. Justru kebodohan
harus dipelihara agar terus menerus bergantung kepada mereka seumur hidupnya.
Dan media adalah alat ampuh untuk memberikan hiburan segar sambil membodohkan
penikmatnya. Oleh karenanya kesenian apapun bentuknya, entah seni rupa, musik,
teater, tari, sastra yang bicara tentang kebenaran, kejujuran yang mendidik
rakyat menjadi cerdas, sadar akan nasionalisme, sadar akan keburukan kapitalis
ataupun komunis atau borjuasi; pasti tidak akan hidup. Jika kita jujur melihat
keadaan nyata media saat ini maka kita bertanya mana hiburan yang mendidik?
Hiburan yang mampu menyadarkan etika, moral, kebersamaan, kesatuan, sehingga
kita bangun dan ikut bekerja untuk mensejahterakan bangsa; apakah dapat kita
temukan? Pertunjukkan kesenian yang mahal justru laku dan yang ada
hanyalah onani bersama; karena penonton yang berduit adalah kaum yang tak
mementingkan pendidikan karakter, sementara rakyat yang disuarakan lewat
kesenian tersebut tak mampu beli tiketnya sehingga tidak mendapat kesempatan
untuk menjadi manusia yang mampu bertahan dan berjuang merubah nasibnya.
Yang saya merasa
prihatin adalah kenyataan bahwa seniman yang bekerja serius dan bicara tentang
kenyataan bangsanya selalu terpinggirkan. Kaum miskin yang melata yang
sebenarnya butuh pendidikan yang menyegarkan sehingga mampu merubah dirinya
untuk tidak terjebak pada arus kekerasan sehingga mudah diadu domba justru
tidak mendapatkan karena tak mampu beli tiket. Sementara yang mampu beli tiket
tak akan berbuat apa apa untuk bangsa dan negerinya. Mereka adalah anak anak
pemimpi, yang tidak hidup di tanah negerinya. Sedih melihat penggarap seni
merasa telah bicara tentang bangsanya sementara penontonnya nikmat dengan mimpi
mimpinya, sementara itu yang mestinya mendengar dan berbuat nyata serta yang
harusnya mendapat hiburan karena merasa nasibnya ada yang memperjuangkan justru
tidak mendapatkan tempat. Sekali lagi justru kaum pemodal mau menjadi sponsor
agar menutup biaya milyaran karena percaya kesenian tersebut akan tidak
mencapai sasaran; itupun kalau punya sasaran. Tujuan nya tetap adalah memberi
hiburan angan angan sambil menjaga kebodohan . Mengerikan jika para penonton
yang mampu itu ternyata memang tidak jauh beda kebodohannya dengan rakyat
miskin. Sama miskinnya tentang kesadaran berbangsa dan bernegara, atau jangan
jangan justru jauh lebih miskin.
Yang menjadi
pertanyaan adalah kenapa ada acara acara di media telivisi atau artikel di
media cetak yang selalu memberikan kritik kepada penguasa didiamkan saja?
Jawabnya mudah yakni karena peminatnya dalam jumlah kecil dan bukan generasi
muda pada umumnya sehingga tidak mengkawatirkan untuk pemilu presiden tahun
2014. Pendidikan di sekolah sudah dikuasai sehingga sekolah hanya mendidik anak
anak kita untuk menjadi karyawan dan bukan pemimpin atau perubah keadaan.
Maka benar kata george orwell bahwa siapa yang menguasai media maka akan
menjadi penguasa. Kekuasaan yang dimiliki akan mengontrol media, walau katanya
sudah menjadi penguasa yang demokratis.
0 komentar:
Post a Comment