Masih lekat di benak kita ucapan almarhum menteri pendidikan
pertama Republik Indonesia yakni Ki Hajar dewantara yakni; “pendidikan seni
adalah landasan bagi pendidikan menyeluruh”
Betapa luhurnya kegiatan kesenian yang semestinya diajarkan
sejak dini. Bahkan selayaknya tidak pernah berhenti sepanjang hayat, karena
kesenian akan selalu berhubungan dengan laku hidup manusia justru pada
kehidupan sehari-hari. Tidak peduli bentuk atau cara penyajiannya, yang pasti
setiap pekerja seni perlu menyadari bahwa ada unsur pendidikan didalam
berkesenian. Salah satu pendidikan yang ada dalam kesenian adalah melatih
manusia sejak dini untuk mampu jujur. Jujur pada diri sendiri dan selanjutnya
kepada lingkungannya. Kejujuran ini diperlukan karena akan menjadi kekuatan untuk
berani mengatakan kebenaran.
Bahkan bukan hanya berkata namun juga dalam laku sehari-hari.
Selanjutnya seni pastilah memiliki kekuatan lain yakni keindahan. Keindahan,
kejujuran, kebenaran adalah sesuatu yang abstrak namun ada dan terasa sangat
mempengaruhi tingkah polah manusia. Semua ini akan mengasah kepekaan “rasa”,
ketajaman kecerdasan emosional manusia.
Masa kanak-kanak dulu setiap minggu guru sekolah dasar membawa murid2 ke musium, ke pameran lukisan, nonton pertunjukkan tari atau wayang atau drama. Ajaran pertama adalah menjadi penonton seni. Guru diam saja namun mengamati kegiatan anak menonton seni.
Masa kanak-kanak dulu setiap minggu guru sekolah dasar membawa murid2 ke musium, ke pameran lukisan, nonton pertunjukkan tari atau wayang atau drama. Ajaran pertama adalah menjadi penonton seni. Guru diam saja namun mengamati kegiatan anak menonton seni.
Ketika ada pertanyaan maka sang guru baru memberikan keterangan
yang mendekatkan anak pada seni. Kegiatan ini melatih daya abstraksi anak
sehingga menjadi kekuatan atau daya hidup. Dengan memiliki rangsangan keindahan
maka akan memiliki kekuatan untuk menghindari kekerasan. Pelajaran menyanyi,
menggambar, menari, bermain drama telah terbukti memberikan pendidikan bagi
pengimbangan kegiatan otak kiri yang umumnya melatih daya eksak manusia. Semua
kita paham bahwa otak kanan dan kiri perlu diseimbangkan dan sekolah
bertanggung jawab untuk hal ini.
Oleh karenanya di zaman aku sd, smp, sma kegiatan seni selalu
diselenggarakan dan yang selalu aku rasakan adalah adanya pencerahan jiwa.
Pulang sekolah tidak ada rasa penat atau lelah seperti umumnya anak sekolah
sekarang merasa cape pulang sekolah. Aneh sebenarnya, sekolah kok cape. Pasti
ada yang tidak benar dan apa pernah ada penelitian untuk itu? Mendapat ilmu kok
cape? Bukannya semestinya senang? Dan ketika melatih ekskul teater kemudian
banyak siswa mengatakan senang karena bisa menghilangkan stres seharian
belajar; saya tercenung. Dan lebih prihatin ketika justru guru yang mengatakan
bahwa anak anak senang latihan teater karena stresnya hilang. Barangkali ini
bisa dijadikan masukan penting untuk menjawab kenapa hasil ujian nasional turun
jauh. Perlu diteliti apa yang bernama tambahan belajar seperti pemantapan
materi, TO, les les tambahan dsb itu bukannya justru melelahkan? Menghadapi
ujian nasional seperti menghadapi keadaan gawat darurat, seperti perang di
hutan? Tegang sepanjang tahun. Padahal tentara perang dibatasi 6 bulan harus
diistirahatkan.
Pada kurikulum SMA melalui mata pelajaran bahasa Indonesia ada
bidang drama. Ada waktu untuk menonton pertunjukkan, untuk membuat naskah,
untuk mementaskan drama. Karena merupakan mata pelajaran maka wajib
dilaksanakan dan mendapat nilai. Karena ada nilai yang dikejar tentulah para
siswa mengerjakannya secara sungguh-sungguh. Ada beberapa kendala yang sering dihadapi
mereka adalah sulitnya mencari naskah drama untuk tingkat remaja. Akhirnya
mereka berusaha menulis sendiri dan celakanya referensinya adalah sinetron di
televisi. Dan ketika harus nonton pertunjukkan maka tidak mudah karena tidak
setiap saat tersedia pertunjukkan teater yang layak tonton. Belum lagi jika
harus bayar tiket maka akan semakin terasa kendalanya. Walaupun menonton sudah
merupakan bagian dari mata pelajaran namun masih memerlukan surat rekomendasi
dinas pendidikan; walau sebenarnya sekolah adalah otonom. Artinya kepala
sekolah memiliki kekuasaan untuk menentukan yang terbaik bagi kegiatan
sekolahnya. Tapi tetap saja hal itu masih sering tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Jika memang aturan mengatakan tidak boleh meminta uang kepada siswa;
sementara untuk nonton kesenian tentunya perlu bayar tiket; maka tidak akan
pernah ketemu jadinya. Memproduksi pertunjukkan teater bukan tanpa biaya. Untuk
memakai gedung kesenian bukan murah sewanya. Ditambah lagi mencari sponsor
pertunjukkan teater tidak semudah pertunjukkan band band dalam maupun luar
negeri.
Sementara dari dinas kebudayaan tidak tersedia anggaran untuk
menjadi sponsor. Dalam hal ini sekolah negeri sering jauh tertinggal dengan
swasta karena swasta memiliki dana yang cukup untuk mendukung kegiatan
ekskulnya. Tiap tahun bisa pentas besar di gedung kesenian yang cukup mahal
sewanya dan harga tiket juga mampu menutup biaya produksi. Bahkan banyak
sekolah2 internasional yang membangun gedung teater sendiri yang setara dengan
gedung kesenian Jakarta, serta menggaji guru khusus teater sehingga ada
pelajaran teater sejak kelas 1 sd hingga sma. Biar kelas 6 sd, 3 smp dan sma
tetap ikut kegiatan dan bukan dilarang ikut ekskul kesenian hanya karena akan
menghadapi ujian akhir.
Kadang aku berpikir apa salahnya teater sehingga kelas 3 tidak
boleh ikut? Padahal mereka bilang bisa menghilangkan stres. Dari 24 jam hidup
diberikan 2 jam untuk teater apa salahnya? Sampai hari ini aku tidak bisa
memahami cara berpikir seperti itu. Sering aku prihatin melihat mereka datang
ke tempat latihan ekskul teater dan hanya duduk menahan pengin berlatih. Aku
tawari dan jawabnya pelan memelas “Tidak boleh”. Padahal 2 jam nongkrong di
tempat latihan dan tidak belajar. Ada juga yang nekat dan diam diam ikut
latihan hingga pementasan dan hasilnya luar biasa. Katanya menjadi segar, dan
melihat setumpuk buku pelajaran menjadi ringan lalu ujianpun terasa mengalir
seperti ketika manggung diatas pentas. Merekapun mengatakan bahwa ujian dan manggung terasa sama
ketegangannya namun kekuatan kecerdasan emosional membimbing untuk mampu
melewati ketegangan tersebut . Di teater ada pelatihan apa yang disebut silent
acting. Ini sangat bermanfaat ketika berada di ruang ujian dimana tidak mungkin
akan teriak, berjalan, menari, seperti di panggung. Dalam diam namun mampu
menguasai ruang dan bentuk sehingga mengalir muncul seluruh pelajaran yang
sudah mengendap dalam lubuk hati persis seperti kegiatan menghafal naskah
selama latihan.
0 komentar:
Post a Comment