Banyak pengamat politik berpandangan sinis:
"Berbicara etika politik itu seperti berteriak di padang gurun."
"Etika politik itu nonsens". Realitas politik adalah pertarungan
kekuatan dan kepentingan. Politik dibangun bukan dari yang ideal, tidak tunduk
kepada apa yang seharusnya. Dalam politik, kecenderungan umum adalah tujuan
menghalalkan segala cara. Dalam konteks ini, bagaimana etika politik bisa
berbicara?
URGENSI ETIKA POLITIK
Kalau orang menuntut keadilan, berpihak
pada korban, memberdayakan masyarakat melalui civil society, membangun
demokrasi, bukanlah semua itu merupakan upaya mewujudkan etika politik? Dalam
situasi kacau, bukankah etika politik menjadi makin relevan? Pertama, betapa
kasar dan tidak santunnya suatu politik, tindakannya membutuhkan legitimasi.
Legitimasi tindakan ini mau tidak mau harus merujuk pada norma-norma moral,
nilai-nilai hukum atau peraturan perundangan. Di sini letak celah di mana etika
politik bisa berbicara dengan otoritas. Kedua, etika politik berbicara dari
sisi korban. Politik yang kasar dan tidak adil akan mengakibatkan jatuhnya
korban. Korban akan membangkitkan simpati dan reaksi indignation (terusik dan
protes terhadap ketidakadilan). Keberpihakan pada korban tidak akan mentolerir
politik yang kasar. Jeritan korban adalah berita duka bagi etika politik.
Ketiga, pertarungan kekuasaan dan konflik kepentingan yang berlarut-larut akan
membangkitkan kesadaran akan perlunya penyelesaian yang mendesak dan adil.
Penyelesaian semacam ini tidak akan terwujud bila tidak mengacu ke etika
politik. Seringnya pernyataan "perubahan harus konstitusional",
menunjukkan etika politik tidak bisa diabaikan begitu saja.
Tujuan etika politik adalah mengarahkan ke
hidup baik, bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup
kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil (Paul Ricoeur, 1990).
Definisi etika politik membantu menganalisa korelasi antara tindakan
individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur yang ada. Penekanan adanya
korelasi ini menghindarkan pemahaman etika politik yang diredusir menjadi hanya
sekadar etika individual perilaku individu dalam bernegara. Pengertian etika
politik dalam perspektif Ricoeur mengandung tiga tuntutan, pertama, upaya hidup
baik bersama dan untuk orang lain...; kedua, upaya memperluas lingkup
kebebasan..., ketiga, membangun institusi-institusi yang adil. Tiga tuntutan
itu saling terkait. "Hidup baik bersama dan untuk orang lain" tidak
mungkin terwujud kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka
institusi-institusi yang adil. Hidup baik tidak lain adalah cita-cita
kebebasan: kesempurnaan eksistensi atau pencapaian keutamaan.
Institusi-institusi yang adil memungkinkan perwujudan kebebasan dengan
menghindarkan warganegara atau kelompok-kelompok dari saling merugikan.
Sebaliknya, kebebasan warganegara mendorong inisiatif dan sikap kritis terhadap
institusi-institusi yang tidak adil. Pengertian kebebasan yang terakhir ini
yang dimaksud adalah syarat fisik, sosial, dan politik yang perlu demi
pelaksanaan kongkret kebebassan atau disebut democratic liberties: kebebasan
pers, kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan mengeluarkan pendapat, dan
sebagainya.
Dalam definisi Ricoeur, etika politik tidak
hanya menyangkut perilaku individual saja, tetapi terkait dengan tindakan
kolektif (etika sosial). Dalam etika individual, kalau orang mempunyai
pandangan tertentu bisa langsung diwujudkan dalam tindakan. Sedangkan dalam
etika politik, yang merupakan etika sosial, untuk dapat mewujudkan pandangannya
dibutuhkan persetujuan dari sebanyak mungkin warganegara karena menyangkut
tindakan kolektif. Maka hubungan antara pandangan hidup seseorang dengan
tindakan kolektif tidak langsung, membutuhkan perantara. Perantara ini
berfungsi menjembatani pandangan pribadi dengan tindakan kolektif. Perantara
itu bisa berupa simbol-simbol maupun nilai-nilai: simbol-simbol agama,
demokrasi, dan nilai-nilai keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan sebagainya. Melalui
simbol-simbol dan nilai-nilai itu, politikus berusaha meyakinkan sebanyak
mungkin warganegara agar menerima pandangannya sehingga mendorong kepada
tindakan bersama. Maka politik disebut seni karena membutuhkan kemampuan untuk
meyakinkan melalui wicara dan persuasi, bukan manipulasi, kebohongan, dan
kekerasan. Etika politik akan kritis terhadap manipulasi atau penyalahgunaan
nilai-nilai dan simbol-simbol itu. Ia berkaitan dengan masalah struktur sosial,
politik, ekonomi, dan budaya yang mengkondisikan tindakan kolektif.
ETIKA POLITIK VS MACHIAVELLISME
Tuntutan pertama etika politik adalah
"hidup baik bersama dan untuk orang lain". Pada tingkat ini, etika
politik dipahami sebagai perwujudan sikap dan perilaku politikus atau
warganegara. Politikus yang baik adalah jujur, santun, memiliki integritas,
menghargai orang lain, menerima pluralitas, memiliki keprihatinan untuk
kesejahteraan umum, dan tidak mementingkan golongannya. Jadi, politikus yang
menjalankan etika politik adalah negarawan yang mempunyai keutamaan-keutamaan
moral. Dalam sejarah filsafat politik, filsuf seperti Socrates sering dipakai
sebagai model yang memiliki kejujuran dan integritas. Politik dimengerti
sebagai seni yang mengandung kesantunan. Kesantunan politik diukur dari
keutamaan moral. Kesantunan itu tampak bila ada pengakuan timbal balik dan
hubungan fair di antara para pelaku. Pemahaman etika politik semacam ini belum
mencukupi karena sudah puas bila diidentikkan dengan kualitas moral politikus.
Belum mencukupi karena tidak berbeda dengan pernyataan. "Bila setiap
politikus jujur, maka Indonesia akan makmur". Dari sudut koherensi,
pernyataan ini sahih, tidak terbantahkan. Tetapi dari teori korespondensi,
pernyataan hipotesis itu terlalu jauh dari kenyataan (hipotetis irealis).
Etika politik, yang hanya puas dengan koherensi norma-normanya dan tidak memperhitungkan real politic, cenderung mandul. Namun bukankah real politic, seperti dikatakan Machiavelli, adalah hubungan kekuasaan atau pertarungan kekuatan? Masyarakat bukan terdiri dari individu-individu subyek hukum, tetapi terdiri dari kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan yang saling berlawanan. Politik yang baik adalah politik yang bisa mencapai tujuannya, apa pun caranya. Filsuf Italia ini yakin tidak ada hukum kecuali kekuatan yang dapat memaksanya. Hanya sesudahnya, hukum dan hak akan melegitimasi kekuatan itu. Situasi Indonesia saat ini tidak jauh dari gambaran Machiavelli itu. Politik dan moral menjadi dua dunia yang berbeda. Etika politik seakan menjadi tidak relevan. Relevansi etika politik terletak pada kemampuannya untuk menjinakkan kekuatan itu dan mengatur kepentingan-kepentingan kelompok dengan membangun institusi-institusi yang lebih adil.
Etika politik, yang hanya puas dengan koherensi norma-normanya dan tidak memperhitungkan real politic, cenderung mandul. Namun bukankah real politic, seperti dikatakan Machiavelli, adalah hubungan kekuasaan atau pertarungan kekuatan? Masyarakat bukan terdiri dari individu-individu subyek hukum, tetapi terdiri dari kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan yang saling berlawanan. Politik yang baik adalah politik yang bisa mencapai tujuannya, apa pun caranya. Filsuf Italia ini yakin tidak ada hukum kecuali kekuatan yang dapat memaksanya. Hanya sesudahnya, hukum dan hak akan melegitimasi kekuatan itu. Situasi Indonesia saat ini tidak jauh dari gambaran Machiavelli itu. Politik dan moral menjadi dua dunia yang berbeda. Etika politik seakan menjadi tidak relevan. Relevansi etika politik terletak pada kemampuannya untuk menjinakkan kekuatan itu dan mengatur kepentingan-kepentingan kelompok dengan membangun institusi-institusi yang lebih adil.
INSTITUSI SOSIAL DAN KEADILAN PROSEDURAL
Institusi-institusi sosial harus adil
karena mempengaruhi struktur dasar masyarakat. Dalam struktur dasar masyarakat,
seperti dikatakan John Rawls, sudah terkandung berbagai posisi sosial dan
harapan masa depan anggota masyarakat berbeda-beda dan sebagian ditentukan oleh
sistem politik dan kondisi sosial-ekonomi. Terlebih lagi, institusi-institusi
sosial tertentu mendefinisikan hak-hak dan kewajiban masyarakat, yang pada
gilirannya akan mempengaruhi masa depan setiap orang, cita-citanya, dan
kemungkinan terwujudnya. Dengan demikian institusi-institusi sosial itu sudah
merupakan sumber kepincangan karena sudah merupakan titik awal keberuntungan
bagi yang satu dan kemalangan bagi yang lain. Maka membangun
institusi-institusi yang adil adalah upaya memastikan terjaminnya kesempatan
sama sehingga kehidupan seseorang tidak pertama-tama ditentukan oleh keadaan,
tetapi oleh pilihannya. Keutamaan moral politikus tidak cukup tanpa adanya
komitmen untuk merombak institusi-institusi sosial yang tidak adil, penyebab
laten kekerasan yang sering terjadi di Indonesia. Maka sering didengar pepatah
"yang jujur hancur". Ungkapan ini menunjukkan urgensi membangun
institusi-institusi yang adil. Ini bisa dimulai dengan menerapkan keadilan
prosedural. Keadilan prosedural adalah hasil persetujuan melalui prosedur tertentu
dan mempunyai sasaran utama peraturan-peraturan, hukum-hukum, undang-undang.
Jadi prosedur ini terkait dengan legitimasi dan justifikasi. Misalnya, kue tart
harus dibagi adil untuk lima orang. Maka peraturan yang menetapkan "yang
membagi harus mengambil pada giliran yang terakhir" dianggap sebagai
prosedur yang adil. Dengan ketentuan itu, bila pembagi ingin mendapat bagian
yang tidak lebih kecil dari yang lain, dengan sendirinya, tanpa harus
dikontrol, dia akan berusaha membagi kue itu sedemikian rupa sehingga sama
besarnya.
Dengan demikian, meski ia mengambil pada
giliran terakhir, tidak akan dirugikan. Di Indonesia, para penguasa, yang dalam
arti tertentu adalah pembagi kekayaan atau hasil kerja sosial, justru
sebaliknya, berebut untuk mengambil yang pertama. Tentu saja akan mengambil
bagian yang terbesar. Maka banyak orang atau kelompok yang mempertaruhkan semua
untuk berebut kekuasaan. Keadilan prosedural menjadi tulang punggung etika
politik karena sebagai prosedur sekaligus mampu mengontrol dan menghindarkan
semaksimal mungkin penyalahgunaan. Keadilan tidak diserahkan kepada keutamaan
politikus, tetapi dipercayakan kepada prosedur yang memungkinkan pembentukan
sistem hukum yang baik sehingga keadilan distributif, komutatif, dan keadilan
sosial bisa dijamin. Dengan demikian sistem hukum yang baik juga menghindarkan
pembusukan politikus. Memang, bisa terjadi meski hukum sudah adil, seorang
koruptor divonis bebas karena beberapa alasan kepiawaian pengacara, tak cukup
bukti, tekanan terhadap hakim, dan sebagainya. Padahal, prosedur hukum positif
yang berlaku tidak mampu memuaskan rasa keadilan, penyelesaiannya harus mengacu
ke prinsip epieikeia (yang benar dan yang adil).
BAGAIMANA MENENTUKAN KRITERIA KEBENARAN DAN KEADILAN?
Semua diperlakukan sama di depan hukum.
Ketidaksamaan perlakuan hanya bisa dibenarkan bila memihak kepada yang paling
tidak diuntungkan atau korban. Secara struktural, korban biasanya sudah dalam
posisi lemah, misalnya, warga terhadap penguasa, minoritas terhadap mayoritas.
Prinsip epieikeia ini mengandaikan integritas hakim, penguasa atau yang
berkompeten menafsirkan hukum. Maka ada tuntutan timbal balik, prosedur yang
adil belum mencukupi bila tidak dilaksanakan oleh pribadi yang mempunyai
keutamaan moral.
0 komentar:
Post a Comment