Sejak berpuluh abad silam, kepemimpinan
telah menjadi tema sentral dalam kehidupan sosial manusia. Agama-agama pun
membahas soal kepemimpinan. Di dalam kitab suci Al Qur’an, tema kepemimpinan
diantaranya terdapat di dalam surat An Nisa ayat 59: “Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya) dan pemimpin
diantara kamu.”. Pun di dalam kitab Injil, misalnya Matius 15:14
mengatakan bahwa “Jika seorang buta menuntun orang buta, keduanya akan
masuk jurang”. Artinya bahwa kepemimpinan dan teladan yang baik diperlukan
untuk mengarahkan dan menelola satu kelompok manusia. Apatah lagi Negara.
Kekhasan model kepemimpinan di abad modern
sesungguhnya telah diperlihatkan oleh Muhammad Saw 14 abad silam, sehingga
pantaslah kiranya Michael H. Hart di dalam bukunya yang berbasis riset, The
100 : A Ranking Of The Most Influential Persons in History, menempatkan
Muhammad Saw sebagai pemimpin yang paling berpengaruh, ”Most Influential
Person” sepanjang sejarah kehidupan manusia. Alasan sederhana Michael Hart
memilih Muhammad Saw, bahwa beliau mampu memadu antara spiritualitas dan
humanisme di dalam jiwa kepemimpinannya.
Alphonse de Lamartine, penulis, sastrawan
sekaligus politisi Prancis, di dalam karyanya yang berjudul Histoire De La Turquie, menulis
dan menyanjung kesempurnaan sosok Muhammad Saw. Bagi Lamartine, Muhammad Saw
adalah Filusuf, orator, rasul, legislator, prajurit, penakluk ide, pemulih dogma
rasional dari kultus, pendiri dua puluh kerajaan bumi dan satu kerajaan
spiritual. Lamartine, seorang Katolik yang taat pada gereja, melihat bahwa
sepertinya semua standar keagungan manusia yang dapat diukur ada pada Muhammad.
Bahkan Lamartine dengan nada sedikit skeptis, bertanya“apakah mungkin masih ada
manusia agung seperti Muhammad?”
Kepemimpinan nasional kita adalah persoalan
yang sangat fundamental dalam kehidupan berbangsa, dari sosok seorang Presiden,
230 juta jiwa penduduk Indonesia menggantung asa. Stephen Covey, pakar
kepemimpinan dengan konsep kepemimpinan efektif, telah mendesain sebuah model
kepemimpinan yang ia sebut sebagai The 4 Roles Of Leadership. Menurut
Covey, ada 4 fungsi kepemimpinan yang efektif, yaitu pemimpin sebagai perintis (patfinding), penyelaras (aligning), pemberdaya (empowering) dan panutan (modeling). Ke empat model ini jauh hari sebelum ditemukan Covey, telah dipraktekkan oleh Muhammad Saw.
Pertama, fungsi pathfinding (perintis). Yaitu
upaya sang pemimpin memahami dan memenuhi kebutuhan utama stakeholdernya, misi
dan nilai anutan, serta visi strategis kemana arah kepeminpinan dibawa dan
bagaimana mencapainya. Pada diri Muhammad Saw, fungsi perintisan ini tegambar
dalam semangat membangun komunikasi saat beliau dan umat Islam berhijrah ke
Madinah, dan akhirnya diterima sebagai bagian dari masyarakat Madinah.
Kedua, fungsi penyelaras (aligning). Yaitu
bagaimana pemimpin mampu melakukan penyelarasan dan sinkronisasi seluruh elemen
organisasi (bangsa) agar dapat terbentuk tim kerja yang sinergis.
Perbedaan-perbedaan pendapat dapat ditanggalkan untuk menyatukan gerak mencapai
visi. Muhammad Saw mampu menyelaraskan berbagai strategi dalam menyiarkan
ajaran Islam dan membangun tatanan sosial yang baik dan modern.
Ketiga, yaitu fungsi pemberdayaan atau empowering.
Pemberdayaan ini berhubungan dengan upaya pemimpin untuk menumbuhkan lingkungan
agar setiap orang mampu berkembang dan semakin lebih baik. Seorang pemimpin
harus memahami sifat pekerjaan yang diembannya, pun dalam pendelegasian tugas,
seberapa besar otoritas yang dimiliki setiap karyawan yang dipimpinnya.
Keempat, yaitu panutan atau modeling. Seorang
pemimpin efektif memberi contoh dalam bentuk teladan bukan hanya kata, walk
the talk. Sebaik-baik pengajaran adalah dengan teladan. Ini pula yang di
ajarkan Rasulullah Saw yang turut menggali parit dan memikul batu saat terjadi
perang Khandaq, sebagaiaman dituliskan Syaikh Safiyurrahman Al Mubarakfuri di
dalam kitab Sirah Nabawiyah.
Dalam konteks kepemimpinan nasional
Indonesia, seharusnya fungsi perintis (patfinding) tercermin dari
sikap tegas seorang Presiden, dalam menegakkan hukum, memberantas korupsi dan
mafia pajak serta sederet problem kebangsaan lainnya. Pada dasarnya dalam
fungsi perintis ini, yang dibuthkan adalah keberanian (courage) dalam
mengambil langkah-langkah strategis walaupun beresiko. Keberanian ini diamini
oleh Imam Al Mawardi, sebagaimana tercatat di dalam kitabnya, Al Ahkam Al
Sulthaniyah. Disana disebutkan bahwa salah satu syarat yang harus
dimiliki seorang pemimpin adalah keberanian dan sikap gentlemen atau
kesatria. Namun sayang, yang tejadi di negeri ini adalah tebang pilih dalam
penegakan hukum, tajam kebawah namun tumpul ke atas.
Di sisi lain, konflik kepentingan yang
mewarnai perpolitikan nasional, dengan aksi saling sandera, secara langsung
memperlemah fungsi ekesekusi Pemerintahan SBY. Durasi untuk bekerja habis
dalam polemik karena tarik menarik kepentingan. Bukan hanya dengan oposisi
seperti PDIP dan Gerindra, akan tetapi di tubuh koalisi yang tergabung dalam
Sekretariat Gabungan (SETGAB) pun, konflik kepentingan itu terjadi. Maka tak
heran memasuki tahun ke 2 kabinet SBY-Budiono, angka kemiskinan masih sangat
besar, 73 juta (Versi Perserikatan Bangsa Bangsa). Jika saja Presiden, sebagai
manager mampu menyelaraskan segala perbedaan yang ada, maka kepentingan
takyat bisa terlayani dengan baik. Pengangguran dan kemiskinan bisa segera
dihilangkan.
Pengangkatan menteri (empowering) yang
dijalankan oleh pemerintah saat ini, lebih pada deal-deal politik, bukan aats
dasar kompetensi. Sebagai partai pengusung dalam pilpres 2009 kemarin, maka
parai yang tergabung dalam koalisi diberi kue kekuasaan sesuai kontribusinya.
Transaksiooanl, tanpa melihat kompetensi. Tak heran, baru setahun berjalannya
pemerintahan, suara-suara reshuffleberhembus, karena dari 34 menteri, 10
persennya mendapat rapor merah. Akhirnya kinerja para menteri pun menurun
karena tidak fokus lagi, yang terjadi malah upaya partai politik sang menteri
menyandera atau menjilat pemilik kuasa istana, agar kue kekuasaan tidak
berpindah tangan.
Sirah nabawiyah (sejarah
kenabian), menceritakan kecakapan Muhammad Saw dalam mensinergikan berbagai
potensi sahabat pada waktu itu. Pengangkatan pejabat sesuai dengan trackrecord, maka
takheran jika dalam waktu relatif singkat (10 tahun), negara Madinah menjadi
disegani oleh negara adidaya pada waktu itu, Persia dan Rum.
Fungsi kepemimpinan modeling bertolak
belakang dengan pemimpin yang dimanipulasi dengan pencitraan. Dalam fungsi
panutan atau modeling, kerja nyata lebih diperlukan dari sekedar
propaganda lewat media. Dalam jangka panjang, kamuflase artifisial media atau
pencitraan justru membangun kekuasaan dengan basis yang rapuh. Ketika rakyat
tahu apa yang sesunguhnya terjadi, maka lahirlah perlawanan seperti reformasi
1998 atau revolusi Tunisia dan Mesir baru-baru ini.
Sepatutnya, pemimpin bangsa ini, dari semua
level, menjadikan momentum Maulid Nabiullah “GreatLeader” Muhammad Saw yang
baru saja diperingati serempak senusantara pada hari Selasa (15/2) yang lalu,
sebagai momentum meneladani dan mengembalikan ruh kepemimpinan nasional.
Sehingga terciptalah tatanan sosial yang dibangun di atas keberanian, realisme
dan ketulusan serta kekuatan.
0 komentar:
Post a Comment