Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Monday, March 5, 2012

ISLAM DAN RUH KEPEMIMPINAN NASIONAL

Sejak berpuluh abad silam, kepemimpinan telah menjadi tema sentral dalam kehidupan sosial manusia. Agama-agama pun membahas soal kepemimpinan. Di dalam kitab suci Al Qur’an, tema kepemimpinan diantaranya terdapat di dalam surat An Nisa ayat 59:  “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya) dan pemimpin diantara kamu.”. Pun di dalam kitab Injil, misalnya Matius 15:14 mengatakan bahwa “Jika seorang buta menuntun orang buta, keduanya akan masuk jurang”. Artinya bahwa kepemimpinan dan teladan yang baik diperlukan untuk mengarahkan dan menelola satu kelompok manusia. Apatah lagi Negara.
Kekhasan model kepemimpinan di abad modern sesungguhnya telah diperlihatkan oleh Muhammad Saw 14 abad silam, sehingga pantaslah kiranya Michael H. Hart di dalam bukunya yang berbasis riset, The 100 : A Ranking Of The Most Influential Persons in History, menempatkan Muhammad Saw sebagai pemimpin yang paling berpengaruh, ”Most Influential Person” sepanjang sejarah kehidupan manusia. Alasan sederhana Michael Hart memilih Muhammad Saw, bahwa beliau mampu memadu antara spiritualitas dan humanisme di dalam jiwa kepemimpinannya.
Alphonse de Lamartine, penulis, sastrawan sekaligus politisi Prancis, di dalam karyanya yang berjudul  Histoire De La Turquie, menulis dan menyanjung kesempurnaan sosok Muhammad Saw. Bagi Lamartine, Muhammad Saw adalah Filusuf, orator, rasul, legislator, prajurit, penakluk ide, pemulih dogma rasional dari kultus, pendiri dua puluh kerajaan bumi dan satu kerajaan spiritual. Lamartine, seorang Katolik yang taat pada gereja, melihat bahwa sepertinya semua standar keagungan manusia yang dapat diukur ada pada Muhammad. Bahkan Lamartine dengan nada sedikit skeptis, bertanya“apakah mungkin masih ada manusia agung seperti Muhammad?”  
Kepemimpinan nasional kita adalah persoalan yang sangat fundamental dalam kehidupan berbangsa, dari sosok seorang Presiden, 230 juta jiwa penduduk Indonesia menggantung asa. Stephen Covey, pakar kepemimpinan dengan konsep kepemimpinan efektif, telah mendesain sebuah model kepemimpinan yang ia sebut sebagai The 4 Roles Of Leadership.  Menurut Covey, ada 4 fungsi kepemimpinan yang efektif, yaitu pemimpin sebagai perintis (patfinding), penyelaras (aligning), pemberdaya (empowering) dan panutan (modeling). Ke empat model ini jauh hari sebelum ditemukan Covey, telah dipraktekkan oleh Muhammad Saw.
Pertama, fungsi pathfinding (perintis). Yaitu upaya sang pemimpin memahami dan memenuhi kebutuhan utama stakeholdernya, misi dan nilai anutan, serta visi strategis kemana arah kepeminpinan dibawa dan bagaimana mencapainya. Pada diri Muhammad Saw, fungsi perintisan ini tegambar dalam semangat membangun komunikasi saat beliau dan umat Islam berhijrah ke Madinah, dan akhirnya diterima sebagai bagian dari masyarakat Madinah.
Kedua, fungsi penyelaras (aligning). Yaitu bagaimana pemimpin mampu melakukan penyelarasan dan sinkronisasi seluruh elemen organisasi (bangsa) agar dapat terbentuk tim kerja yang sinergis. Perbedaan-perbedaan pendapat dapat ditanggalkan untuk menyatukan gerak mencapai visi. Muhammad Saw mampu menyelaraskan berbagai strategi dalam menyiarkan ajaran Islam dan membangun tatanan sosial yang baik dan modern.
Ketiga, yaitu fungsi pemberdayaan atau empowering. Pemberdayaan ini berhubungan dengan upaya pemimpin untuk menumbuhkan lingkungan agar setiap orang mampu berkembang dan semakin lebih baik. Seorang pemimpin harus memahami sifat pekerjaan yang diembannya, pun dalam pendelegasian tugas, seberapa besar otoritas yang dimiliki setiap karyawan yang dipimpinnya.
Keempat, yaitu panutan atau modeling.  Seorang pemimpin efektif  memberi contoh dalam bentuk teladan bukan hanya kata, walk the talk. Sebaik-baik pengajaran adalah dengan teladan. Ini pula yang di ajarkan Rasulullah Saw yang turut menggali parit dan memikul batu saat terjadi perang Khandaq, sebagaiaman dituliskan Syaikh Safiyurrahman Al Mubarakfuri di dalam kitab Sirah Nabawiyah.
Dalam konteks kepemimpinan nasional Indonesia, seharusnya fungsi perintis (patfinding) tercermin dari sikap tegas seorang Presiden, dalam menegakkan hukum, memberantas korupsi dan mafia pajak serta sederet problem kebangsaan lainnya. Pada dasarnya dalam fungsi perintis ini, yang dibuthkan adalah keberanian (courage) dalam mengambil langkah-langkah strategis walaupun beresiko. Keberanian ini diamini oleh Imam Al Mawardi, sebagaimana tercatat di dalam kitabnya, Al Ahkam Al Sulthaniyah. Disana  disebutkan bahwa salah satu syarat yang harus dimiliki seorang pemimpin adalah keberanian dan sikap gentlemen atau kesatria. Namun sayang, yang tejadi di negeri ini adalah tebang pilih dalam penegakan hukum, tajam kebawah namun tumpul ke atas.
Di sisi lain, konflik kepentingan yang mewarnai perpolitikan nasional, dengan aksi saling sandera, secara langsung memperlemah fungsi ekesekusi Pemerintahan SBY.  Durasi untuk bekerja habis dalam polemik karena tarik menarik kepentingan. Bukan hanya dengan oposisi seperti PDIP dan Gerindra, akan tetapi di tubuh koalisi yang tergabung dalam Sekretariat Gabungan (SETGAB) pun, konflik kepentingan itu terjadi. Maka tak heran memasuki tahun ke 2 kabinet SBY-Budiono, angka kemiskinan masih sangat besar, 73 juta (Versi Perserikatan Bangsa Bangsa). Jika saja Presiden, sebagai manager mampu menyelaraskan segala perbedaan yang ada,  maka kepentingan takyat bisa terlayani dengan baik. Pengangguran dan kemiskinan bisa segera dihilangkan.
Pengangkatan menteri (empowering) yang dijalankan oleh pemerintah saat ini, lebih pada deal-deal politik, bukan aats dasar kompetensi. Sebagai partai pengusung dalam pilpres 2009 kemarin, maka parai yang tergabung dalam koalisi diberi kue kekuasaan sesuai kontribusinya. Transaksiooanl, tanpa melihat kompetensi. Tak heran, baru setahun berjalannya pemerintahan, suara-suara reshuffleberhembus, karena dari 34 menteri, 10 persennya mendapat rapor merah. Akhirnya kinerja para menteri pun menurun karena tidak fokus lagi, yang terjadi malah upaya partai politik sang menteri menyandera atau menjilat pemilik kuasa istana, agar kue kekuasaan tidak berpindah tangan.
Sirah nabawiyah (sejarah kenabian), menceritakan kecakapan Muhammad Saw dalam mensinergikan berbagai potensi sahabat pada waktu itu. Pengangkatan pejabat sesuai dengan trackrecord, maka takheran jika dalam waktu relatif singkat (10 tahun), negara Madinah menjadi disegani oleh negara adidaya pada waktu itu, Persia dan Rum.
Fungsi kepemimpinan  modeling bertolak belakang dengan pemimpin yang dimanipulasi dengan pencitraan. Dalam fungsi panutan atau modeling, kerja nyata lebih diperlukan dari sekedar propaganda lewat media. Dalam jangka panjang, kamuflase artifisial media atau pencitraan justru membangun kekuasaan dengan basis yang rapuh. Ketika rakyat tahu apa yang sesunguhnya terjadi, maka lahirlah perlawanan seperti reformasi 1998 atau revolusi Tunisia dan Mesir baru-baru ini. 
Sepatutnya, pemimpin bangsa ini, dari semua level, menjadikan momentum Maulid Nabiullah “GreatLeader” Muhammad Saw yang baru saja diperingati serempak senusantara pada hari Selasa (15/2) yang lalu, sebagai momentum meneladani dan  mengembalikan ruh kepemimpinan nasional. Sehingga terciptalah tatanan sosial yang dibangun di atas keberanian, realisme dan ketulusan serta kekuatan.

ISLAM DAN RUH KEPEMIMPINAN NASIONAL Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment