Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Monday, March 19, 2012

MENGEMBANGKAN ILMU DARI GRASS ROOT

Seperti k;ta ketahui pendekatan phenomenologik king berperan dominan dalarn studi antropologi. Dari pengalaman penulis, referensi buku-buku antropologi ketika masih rnahasiswa tingkat Propeudeuse dan Kandidat disodorkan buku-buku bahasa Belanda berkerangka fikir orientalis, yang melihat budaya negara berkembang sebagai budaya primitif, ketika menyiapkan doktoral lengkapnya disodorkan buku-buku lain lagi, sepert i Pattern of Culture-nya Margareth Mead yang telaahnya termasuk Freudian; dan ketika menyusun disertasi telah dihadapkan pada maraknya banyak aliran antropologi.
1.      Pola Kasus Laporan dan Dilemma
Pola kasus pertama: Kita cari grass root-nya perilaku social, ml-alnya. Yang paling dasar dari perilaku orang `kan dapat dicari pada domein kognitif, afektif, atau psikomotorik. Sesuai desain pendekatan phenomenologik, maka teori perilaku sosial secara tentatif dapat diberangkatkan dart salah satu atau dart ketiganya. Ribot secara phenomenologik mempertanyakan apakah ragam bentuk pengalaman manusia'  Simpasi menurut Ribot adalah "the foundation of all social existence." Ribot mengetengahkan tiga bentuk simpasi, yaitu: otomatik, reflektif, dan intellectualized symphaty. Max Scheler juga dengar. pendekatan phenomenologik membedakan 8 bentuk sinlpasi, yaiiu: Linfuehlung, Mitcinanderfuehlung, Gefuehl ansteckung, Einsfueirlang, Nachfuehlung, Mitgefiiehl. Menschenliebe, dan Akos;nistische Person and Gottesliebe. Teori birokrasi dari Max Weber dinyatakan oleh Strauss & Glasser sebagai teon yang diberangkatkan dari empiri. Produk berupa teori birokrasi dart Max Weber dapat dibaca dalam bukunya The Theory of Social and Economic Organization (1947), terjeniahan Henderson dan Parsons. Metodologi ilmu-ilmu sosial menurut Weber tidak dapat disikapi secara positivistik seperti ilmu pengetahuan alam, melainkan perlu verstehen. Di samping itu perlu pula phenomena ditampilkan dalam skema konseptual. Dalam teori Weber, skema konseptualnya nampak sekali dominasinya. Der1gan demikian produk penelitian yang menghasilkan produk seperti Ribot, Scheler, dan Weber perlu difahami untuk dapat diklasifikasikan sebagai produk penelitian phenomenologik.
Dilihat dari sisi metodologik, Phenomenologi pola pertama ini menurut evaluasi penuiis baru sampai ke dataran mengganakan metoda verstehen dan membuat meta-analisis, prinsip-prinsip lain belum tampil. Salah satu yang esensial dalam pendekatan phenornenologi.k adalah membahasakan kerangka fikir subyek teliti, bukan menampilkan kerangka fikir peneliti. Teori-teori dari Ribot, Scheler, dan Weber membuat interpretasi phenomena dengan kecerdasan konseptualisasinya. Teori Weber memarig masih diakui valid sampai sekarang.
Dari penelitian Imam Bawani dihasilkan temuan sistem pendidikan
pesantren anak halita, yang juga diikuti oleh pengembangan di pondok pesantren lain. Dalam konteks lebih luas sistem pendidikan pondok pesantren balita dapat menjadi tawaran alternatif atas model lain, yaitu Taman Pendidikan Al Qur'an (TPA). Keduanya memberikan pendidikan agama kepada anak usia balita secara intensif, yang pertama anak balita masuk pondok, berpisah dari keluarga, yang kedua anak balita hadir di Taman Kanak-Kanak pada pagi hari, dan kesehariannya tetap bersama orang tuanya. Ditata logik-integratif, model pesantren balita dan TPA dapat inenjadi teori pendidikan agama pada usia dini.
Dari penelitian John Fiske, 1996, Audiencing. Cultural Practice and Cultural Str;dies, penulis menangkap dilemma validitas penelitian phenomenologik. Apa dilemmanya? Pada penelitian positivistik kita dibawa mengikuti kerangka fikir peneliti, termasuk juga penelitian phenomenologik pola kasus pertama. Sedangkan pada phenomenologi pola kasus kedua kita dibawa mengikuti kerangka berfikir subyek yang diteliti. Memang menurut evaluasi penulis, bagi yang akan menggunakan pendekatan phenomenologik, sifat grounded dan sifat membahasakan kerangka. fikir subyek teliti itu esensial bagi karakteristik penelitian phenomenologik.
2.      Kesimpulan Generative
Dari sisi epistemoloei, kebenaran phenomeno!oemk diperoleh secara generative. Sangat berbeda dengan penelitian pada umumnya, yang membuktikan kebenaran pernyataan hipotetiknya lewat mengakuirnu Iasi data empirik dibuat kesimpulan generalisasi.
Ketika draf karya Sdr. M. Ridwan Nasir disodorkan kepada penulis sebagai promotor, penulis berkomentar.  penelitian anda pada empat          pondok pesantren di Jombang, oke untuk tesis, malahan 2 tesis. Tetapi  untuk disertasi tidak cukup. Empat pondok pesantren besar di Jombang diperbandingkan, hasilnya hanyalah kesimpulan komparatif.
Dalam buku Metodologi Penelitian Kualitatif, model analisis dari Ridwan Nasir penulis sebut sebagai analisis model multi-case, atau dalam konteks telaah ini penulis sebut sebagai analisis generative multi-case. Kasus sebagai satuan, dianalisis, dilanjutkan disatukan dengan kasus lain berikutnya. Berfikir generative tersebut di Barat yang mengenal banyak salju: menyebut membuat kesimpulan model snowball, karena bila kita membuat bola salju kecil, dan kita gelundungkan di musim salju, dari atas bukit ke bawah, bola salju akan menjadi semakin besar.
Model penyimpulan generative yang kedua dapat penulis sebutkan disertasi Mastuhu, yang berjudul Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Mastuhu secara grounded mencari esensi-esensi yang dapat dijumpai pada enam nondok pesantren. Cara analisisnya berbeda dengan Ridwan Nasir, Mastuhu dalam terminologi penulis menggunakan analisis multisite. Masing-masing pondok tidak didudukkan sebagai satuan kasus, melainkan sekedar site saja. Analisisnya dikerjakan pada setiap esensi yang dijumpai dan tidak dijumpai pada keenam pondok.
3.      Pengembangan Teori
Di lihat dari sisi lain Merton membedakan dua teori, yaitu middle range theories, dan grand theories. Penulis membedakan tiga jenjang atau tahapan pengembangan teori, yaitu_ teori substantif atau teori jenjang pertama, teori formal atau teori jenjang kedua, dan grand teori atau teori jenjang ketiga. Teori jenjang pertama adalah teori yang dibangun atas hasil uji empirik tentang obyek penelitiannya pada kasus atau pada populasi loka!. Sedangkan teori jenjang kedua pada dasariya dibangun dengan cara mengadakan analisis reflektif cerdas mengekstensi arti obyek penelitian tahap pertama, pada populasi yang lebih luas atau pada banyak kasus yang memiliki karakteristik yang sama dengan populasi atau kasus tahap pertama, dan diadakan uji validitasnya' Dengan cara tersebut dapat kita sajikan teori formal.
Rumusan teori formal tersebut dapat kita uji lagi validitasnya lewat teori substantif lain. Dari data World Bank tahun 1966 diperoleh arngka-angka bahwa pekerja di Hongkong yang berpendidikan diploma memperoleh gaji lebih balk dari yang berpendidikan sarjana. Pada tahun 1960-an tingkat industri Hongkong mungkin baru pada tingkat industrial arts sehingga mereka menggaji lebih tinggi lulusan diploma. Interpretasi tersebut sejalan dengan interpretasi pabrik accu di Surabaya tersebut, sehingga teori formal urunan produktivitas terkait pada tingkat pendidikan serta tingkat perkembangan industri, valid.
Bila hasil penelitian dan refleksi cerdas di atas dikaitkan pula dengan data OECD tentang urunan produktivitas berbagaijenjang pendidikan di 23 negara industri, kita dapat membangun konseptualisasi lebih jauh lagi. Dan data tersebut ternyata untuk sektor pertanian dan industri peran dominan produktivitas berada pada para teknisi profesional, sedangkan untuk industri jasa peran dominan produktivitas ada pada para manajerial, maka dapat disusun grand-theory terkonstruk dengan rumusan sebagai berikut: peningkatan produktivitas sumber daya manusia dipengaruhi faktor-faktor: pendidikan yang relevan, tekhr.ologi kerja yang sesuai, dan tingkat serta jenis dunia kerjanya.
4.      Meta Science dan Moralitas
Pada tingkat perkembangan modernis, makna di balik yang sensual adaiah logosentris, linier, dan konvergen. Tunduk kepada otoritas central. Pemaknaan berupaya mengikuti tata logik bahasa, misalnya. Pemaknaan berupaya mengikuti pernaknaan hirarkhik yang berlaku. Ada satu standar yang digunakan. Dilihat dari subyektivitas individual, kesemuanya itu sudah maju satu langkah.
Pemaknaan metascience sebatas yang iasional, dan hanya mengakui yang rasional, dan yang mengakui kebenaran dataran ini adalah rasionalitas positivistic atau postpositivisme Habermas. Pemaknaan metascience yang menjangkau moralitas intransenden, artinya mengakui etik intransenden atau etik sebagai acuan moral obyektif universal, pendekatan yang menjangkau itu adalah etik yang dianut para phenomenolog.
Dalam konteks postmodern, logosentrisme ditolak, sehingga metascience dalam makna postmodern bersifat dekonstruksi. Pemaknaan di balik yang empirik sensual pada poststrukturalis membuka peluang Pemaknaan beragam. Postmodern tidak mau pcrcaya terhadap pemaknaan etas otoritas tunggal. Berfikir jama' takdim atau juma' takkhir antara ihuhur dan `asar pada waktu keduanya, dan antara maghrib dan `isya' tntara waktu keduanya adalah berfikir tinier. Rasulullah mengutus sebuah cafilah ke tujuan tertentu.

MENGEMBANGKAN ILMU DARI GRASS ROOT Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment