Seperti k;ta ketahui pendekatan phenomenologik
king berperan dominan dalarn studi antropologi. Dari
pengalaman penulis, referensi buku-buku
antropologi ketika masih rnahasiswa tingkat Propeudeuse dan Kandidat disodorkan buku-buku bahasa Belanda berkerangka
fikir orientalis, yang melihat budaya negara
berkembang sebagai budaya primitif, ketika
menyiapkan doktoral lengkapnya disodorkan buku-buku lain lagi, sepert i Pattern of Culture-nya Margareth Mead
yang telaahnya termasuk Freudian; dan ketika menyusun
disertasi telah dihadapkan pada maraknya
banyak aliran antropologi.
1.
Pola Kasus Laporan
dan Dilemma
Pola kasus pertama: Kita cari grass root-nya
perilaku social, ml-alnya. Yang paling dasar
dari perilaku orang `kan dapat dicari pada domein kognitif, afektif, atau psikomotorik. Sesuai desain
pendekatan phenomenologik, maka teori perilaku sosial
secara tentatif dapat diberangkatkan dart salah satu atau dart
ketiganya. Ribot secara phenomenologik mempertanyakan apakah ragam
bentuk pengalaman manusia'
Simpasi menurut Ribot adalah "the foundation of all social existence." Ribot mengetengahkan tiga bentuk simpasi,
yaitu: otomatik, reflektif, dan intellectualized symphaty. Max Scheler
juga dengar. pendekatan phenomenologik membedakan 8 bentuk
sinlpasi, yaiiu: Linfuehlung, Mitcinanderfuehlung, Gefuehl ansteckung,
Einsfueirlang, Nachfuehlung, Mitgefiiehl. Menschenliebe, dan
Akos;nistische Person and Gottesliebe. Teori
birokrasi dari Max Weber dinyatakan oleh Strauss & Glasser sebagai teon yang diberangkatkan dari empiri.
Produk berupa teori birokrasi dart Max Weber dapat dibaca dalam
bukunya The Theory of Social and Economic Organization (1947),
terjeniahan Henderson dan Parsons. Metodologi
ilmu-ilmu sosial menurut Weber tidak dapat disikapi secara positivistik seperti ilmu pengetahuan alam,
melainkan perlu verstehen. Di samping itu perlu pula phenomena
ditampilkan dalam skema konseptual. Dalam teori Weber, skema
konseptualnya nampak sekali dominasinya. Der1gan
demikian produk penelitian yang menghasilkan produk
seperti Ribot, Scheler, dan Weber perlu difahami untuk dapat diklasifikasikan sebagai produk penelitian phenomenologik.
Dilihat dari sisi metodologik, Phenomenologi pola pertama
ini menurut evaluasi penuiis baru sampai ke dataran
mengganakan metoda verstehen dan membuat meta-analisis, prinsip-prinsip lain
belum tampil. Salah satu yang esensial dalam pendekatan phenornenologi.k
adalah membahasakan kerangka fikir subyek teliti, bukan
menampilkan kerangka fikir peneliti. Teori-teori dari Ribot, Scheler, dan Weber
membuat interpretasi phenomena dengan kecerdasan konseptualisasinya.
Teori Weber memarig masih diakui valid sampai sekarang.
Dari penelitian Imam Bawani dihasilkan temuan
sistem pendidikan
pesantren anak halita, yang juga diikuti oleh pengembangan di pondok pesantren lain. Dalam konteks lebih luas sistem pendidikan pondok pesantren balita dapat menjadi tawaran alternatif atas model lain, yaitu Taman Pendidikan Al Qur'an (TPA). Keduanya memberikan pendidikan agama kepada anak usia balita secara intensif, yang pertama anak balita masuk pondok, berpisah dari keluarga, yang kedua anak balita hadir di Taman Kanak-Kanak pada pagi hari, dan kesehariannya tetap bersama orang tuanya. Ditata logik-integratif, model pesantren balita dan TPA dapat inenjadi teori pendidikan agama pada usia dini.
pesantren anak halita, yang juga diikuti oleh pengembangan di pondok pesantren lain. Dalam konteks lebih luas sistem pendidikan pondok pesantren balita dapat menjadi tawaran alternatif atas model lain, yaitu Taman Pendidikan Al Qur'an (TPA). Keduanya memberikan pendidikan agama kepada anak usia balita secara intensif, yang pertama anak balita masuk pondok, berpisah dari keluarga, yang kedua anak balita hadir di Taman Kanak-Kanak pada pagi hari, dan kesehariannya tetap bersama orang tuanya. Ditata logik-integratif, model pesantren balita dan TPA dapat inenjadi teori pendidikan agama pada usia dini.
Dari penelitian John Fiske, 1996, Audiencing.
Cultural Practice and Cultural Str;dies, penulis menangkap dilemma
validitas penelitian phenomenologik. Apa dilemmanya? Pada
penelitian positivistik kita dibawa mengikuti
kerangka fikir peneliti, termasuk juga penelitian phenomenologik pola kasus pertama. Sedangkan pada phenomenologi
pola kasus kedua kita dibawa mengikuti
kerangka berfikir subyek yang diteliti. Memang menurut evaluasi penulis, bagi yang akan
menggunakan pendekatan phenomenologik, sifat grounded dan
sifat membahasakan kerangka. fikir subyek teliti itu esensial
bagi karakteristik penelitian phenomenologik.
2.
Kesimpulan
Generative
Dari sisi epistemoloei, kebenaran
phenomeno!oemk diperoleh secara generative.
Sangat berbeda dengan penelitian pada umumnya, yang membuktikan kebenaran pernyataan hipotetiknya lewat
mengakuirnu Iasi data empirik dibuat kesimpulan generalisasi.
Ketika draf karya Sdr. M. Ridwan Nasir
disodorkan kepada penulis sebagai promotor,
penulis berkomentar. penelitian anda
pada empat pondok pesantren di Jombang, oke untuk tesis, malahan 2
tesis. Tetapi untuk disertasi tidak cukup. Empat pondok pesantren besar
di Jombang diperbandingkan, hasilnya hanyalah kesimpulan
komparatif.
Dalam buku Metodologi Penelitian Kualitatif,
model analisis dari Ridwan Nasir penulis sebut sebagai analisis
model multi-case, atau dalam konteks telaah ini
penulis sebut sebagai analisis generative multi-case. Kasus sebagai satuan, dianalisis, dilanjutkan disatukan
dengan kasus lain berikutnya. Berfikir generative tersebut di
Barat yang mengenal banyak salju: menyebut
membuat kesimpulan model snowball, karena bila kita membuat bola salju kecil, dan kita gelundungkan di musim
salju, dari atas bukit ke bawah, bola salju akan menjadi
semakin besar.
Model penyimpulan generative yang kedua dapat
penulis sebutkan disertasi Mastuhu, yang berjudul Dinamika
Sistem Pendidikan Pesantren. Mastuhu secara
grounded mencari esensi-esensi yang dapat dijumpai pada enam nondok pesantren. Cara analisisnya berbeda dengan
Ridwan Nasir, Mastuhu dalam terminologi penulis menggunakan
analisis multisite. Masing-masing pondok tidak didudukkan sebagai
satuan kasus, melainkan sekedar site saja. Analisisnya dikerjakan pada
setiap esensi yang dijumpai dan tidak dijumpai
pada keenam pondok.
3.
Pengembangan Teori
Di lihat dari sisi lain Merton membedakan dua
teori, yaitu middle range theories, dan grand theories. Penulis
membedakan tiga jenjang atau tahapan pengembangan
teori, yaitu_ teori substantif atau teori jenjang pertama, teori formal atau teori jenjang kedua, dan grand
teori atau teori jenjang ketiga. Teori jenjang pertama adalah teori yang dibangun
atas hasil uji empirik tentang obyek
penelitiannya pada kasus atau pada populasi loka!. Sedangkan teori
jenjang kedua pada dasariya dibangun dengan cara mengadakan analisis reflektif cerdas mengekstensi arti obyek penelitian tahap
pertama, pada populasi yang lebih luas atau pada banyak kasus yang memiliki karakteristik yang sama dengan populasi
atau kasus tahap pertama, dan diadakan
uji validitasnya' Dengan cara tersebut dapat kita sajikan teori formal.
Rumusan teori formal tersebut dapat kita uji
lagi validitasnya lewat teori substantif lain. Dari data World Bank
tahun 1966 diperoleh arngka-angka bahwa pekerja di Hongkong yang berpendidikan diploma
memperoleh gaji lebih balk dari yang
berpendidikan sarjana. Pada tahun 1960-an
tingkat industri Hongkong mungkin baru pada tingkat industrial arts sehingga mereka menggaji lebih tinggi lulusan
diploma. Interpretasi tersebut sejalan dengan interpretasi pabrik
accu di Surabaya tersebut, sehingga teori
formal urunan produktivitas terkait pada tingkat pendidikan serta tingkat
perkembangan industri, valid.
Bila hasil penelitian dan refleksi cerdas di
atas dikaitkan pula dengan data OECD tentang urunan produktivitas
berbagaijenjang pendidikan di 23 negara industri,
kita dapat membangun konseptualisasi lebih jauh lagi. Dan data tersebut ternyata untuk sektor pertanian dan
industri peran dominan produktivitas berada pada para teknisi
profesional, sedangkan untuk industri jasa peran dominan produktivitas ada pada para
manajerial, maka dapat disusun grand-theory
terkonstruk dengan rumusan sebagai berikut:
peningkatan produktivitas sumber daya manusia dipengaruhi faktor-faktor: pendidikan yang relevan, tekhr.ologi
kerja yang sesuai, dan tingkat serta jenis dunia kerjanya.
4.
Meta Science dan
Moralitas
Pada tingkat perkembangan modernis, makna di
balik yang sensual adaiah logosentris, linier, dan konvergen.
Tunduk kepada otoritas central. Pemaknaan berupaya mengikuti tata logik bahasa,
misalnya. Pemaknaan berupaya mengikuti pernaknaan hirarkhik yang
berlaku. Ada satu standar yang digunakan.
Dilihat dari subyektivitas individual, kesemuanya itu sudah maju satu langkah.
Pemaknaan metascience sebatas yang iasional,
dan hanya mengakui yang rasional, dan yang mengakui kebenaran
dataran ini adalah rasionalitas positivistic
atau postpositivisme Habermas. Pemaknaan metascience yang menjangkau moralitas intransenden, artinya mengakui
etik intransenden atau etik sebagai acuan moral
obyektif universal, pendekatan yang menjangkau itu
adalah etik yang dianut para phenomenolog.
Dalam konteks postmodern, logosentrisme
ditolak, sehingga metascience dalam makna postmodern bersifat
dekonstruksi. Pemaknaan di balik yang empirik sensual pada
poststrukturalis membuka peluang Pemaknaan
beragam. Postmodern tidak mau pcrcaya terhadap pemaknaan etas otoritas tunggal. Berfikir jama' takdim atau juma'
takkhir antara ihuhur dan `asar pada waktu keduanya, dan
antara maghrib dan `isya' tntara waktu
keduanya adalah berfikir tinier. Rasulullah mengutus sebuah cafilah
ke tujuan tertentu.
0 komentar:
Post a Comment