Sangat disayangkan jika mahasiswa
kerab menjadi sorotan terutama karena akrab dengan tindak kekerasan dan
anarkisme. Menjadi sorotan karena mahasiswa dalam pandangan masyarakat umum
memiliki status yang diidentikkan dengan intelektualitas dan menjadi janggal
bila tersanding dengan tindak kekerasan dan anarkisme. Serta merta sejumlah
keprihatinan bermunculan dari berbagai pihak. Lebih dari khawatir, kecaman dan
caci maki pun datang bagai peluru yang dibidikkan dari berbagai arah menuju
satu sasaran; mahasiswa.
Dengan
tidak ingin apriori atau mendukung tindak kekerasan dan anarkisme, masalah ini
cukup menarik dan bermaksud mengajak pembaca melihat dari perpektif lain.
Perspektif yang lebih holistik dari pada sekedar memandang aspek “permukaan”
belaka. Sebuah cara pandang orang awam, dengan mencoba mencari dan memahami
akar serta dapat memberi pemecahan masalah secara sehat dari pada sekedar
meresponnya secara emosional, dengan kecaman dan cacian.
Marilah
melakukan introspeksi yang oleh para sufi menyebutnya muhasabah.
Jangan-jangan Lembaga Pendidikan Tinggi kita memang sedang serius mengidap
masalah sosial, lantas mahasiswa mendapat akibat “busuk”nya, dan masyarakat
termasuk orang tua mahasiswa menutup hidung sambil melirik sinis pada
anak-anaknya sendiri. Jangan-jangan Lembaga Pendidikan Tinggi kita memang sudah
kehilangan spiritualitas sehingga lebih mekanistik dari sebuah mesin digital.
Jangan-jangan Lembaga Pendidikan Tinggi kita telah menjadi arena pemaksaan cara
berpikir para pimpinan atau dosennya dengan modal otorita yang dimilikinya, dan
sebaliknya tidak lagi menjadi arena pengembangan pemikiran mahasiswa.
Pertama; coba
dilihat dari cara pandang kausalitas dan dialektika. Secara sederhana segala
yang terjadi pasti ada penyebabnya, ada reaksi karena ada aksi mendahuluinya,
ada anarkisme karena ada tekanan narsisme, ada perlawanan karena ada pemaksaan
atau penindasan, begitulah dialektika sosial itu seterusnya terjadi sebagai
bagian dari hukum alam. Lalu benarkah kekerasan atau anarkisme mahasiswa itu
terjadi tanpa sebab? Benarkah ia sebagai aksi? Atau justru reaksi dari sesuatu?
Perguruan
Tinggi selain sebuah lembaga pendidikan juga harus dilihat sebagai lingkungan
sosial. Di dalamnya terdapat sejumlah unsur sosial, relasi, system dan struktur
termasuk kepemimpinan. Bila relasi antar stake terjalin baik, maka
bangunan sosialnya akan stabil bahkan semakin kokoh. Sebaliknya jika terjadi
instabilitas, bisa jadi disebabkan ada relasi yang tidak sehat, atau system
yang tidak mampu menjangkau relasi, tidak mampu melihat dan menjawab konteks,
atau kepemimpinan dan pemimpin buruk. Lalu dengan instabilitas itu, tindak
anarkisme dan kekerasan sebagai reaksi muncul kepermukaan menjadi sebuah
fenomena topeng bagi system, lembaga pendidikan, tenaga pengajar, atau siapa saja
yang bertanggung jawab dalam sebuah perguruan tinggi.
Karena
itu dalam konteks dunia pendidikan apalagi Perguruan Tinggi, setiap masalah
termasuk anarkisme dan kekerasan mahasiswa, seluruh pihak seharusnya meresponi
secara bijak, memberi informasi secara intelek, tidak dikuasai oleh emosional,
mencaci, membentuk opini semakin negative alias ingin benar sendiri, mengambil
keputusan terburu-buru dan sepihak, apalagi mengatasinya juga dengan tindak
kekerasan. Sikap-sikap seperti itu merupakan contoh pendidikan dan kepemimpinan
organisasi pendidikan yang buruk.
Kedua;
proses pendidikan yang berlangsung di Perguruan Tinggi sebaiknya lebih melihat
mahasiswa sebagai individu manusia yang masuk ke lingkungan sosial kampus
dengan berbagai karakter dan kebudayaan, lalu berkumpul menjadi warga kampus.
Tidak lagi sebaliknya mengekspresikan mahasiswa sebagai mesin-mesin yang mesti
diinstal seragam oleh software kurikulum; kecerdasan kurikulum, IPK kurikulum,
otak kurikulum, dan moral kurikulum. “Kita ini dididik untuk memihak yang
mana? Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini akan menjadi alat pembebasan ataukah
akan menjadi alat penindasan? Apalah artinya berfikir bila terpisah dari
masalah kehidupan?” Demikian WS Rendra bertanya dalam sajak-sajaknya sejak
tahun 1977. Pendidikan yang secara terjadwal menghujamkan jarum-jarum teori
belaka ke dalam otak, lebih sering gagal menghantarkan (bridging) mahasiswa ke
ruang pengalamannya (experiences), dan bahkan lebih dekat pada hegemoni
pemikiran. Pada gilirannya mahasiswa akan kehilangan pengalaman kemanusiaannya
sendiri, kehilangan “ceritanya” sendiri yang hapus oleh “cerita” pemimpin
kampus atau dosen, dan selanjutnya kekerasan serta anarkisme menjadi sebuah
jalan pencarian “cerita” yang hilang.
Ketiga;
karenanya dalam konteks itu, mahasiswa harus dipandang sebagai proses, bukan
benda-benda hasil pabrikan pendidikan. Predikat akademik intelektual tidak
bisa diidentikkan begitu saja untuk menuntut mereka sebagai manusia yang suci
dari anarkisme, sebab setiap hari ada banyak hal yang berlangsung dalam sebuah
proses pendidikan sebagai lingkungan sosial kampus. Selain itu intelektualisme
—apalagi intelektualitas mahasiswa yang sedang berproses itu— tidak berkorelasi
langsung dengan moral (kekerasan dan anarkisme). bahkan pada saatnya
intelektualisme hanya menciptakan moral-moral palsu, moral yang dilahirkan oleh hasrat
pencitraan. Misalnya tidak atau malu melakukan kezaliman, atau giat melakukan
kebaikan, karena predikat dan prestise hebat yang sedang disandang.
Kebaikan-kebaikan yang dilakukan sekecil apa pun dicerita kemana-mana untuk
pencitraan, beriringan dengan menceriterakan kemana-kemana kejelekan orang
lain.
0 komentar:
Post a Comment