Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Thursday, February 2, 2012

TINDAK KEKERASAN DAN ANARKISME MAHASISWA


Sangat disayangkan jika mahasiswa kerab menjadi sorotan terutama karena akrab dengan tindak kekerasan dan anarkisme. Menjadi sorotan karena mahasiswa dalam pandangan masyarakat umum memiliki status yang diidentikkan dengan intelektualitas dan menjadi janggal bila tersanding dengan tindak kekerasan dan anarkisme. Serta merta sejumlah keprihatinan bermunculan dari berbagai pihak. Lebih dari khawatir, kecaman dan caci maki pun datang bagai peluru yang dibidikkan dari berbagai arah menuju satu sasaran; mahasiswa.
Dengan tidak ingin apriori atau mendukung tindak kekerasan dan anarkisme, masalah ini cukup menarik dan bermaksud mengajak pembaca melihat dari perpektif lain. Perspektif yang lebih holistik dari pada sekedar memandang aspek “permukaan” belaka. Sebuah cara pandang orang awam, dengan mencoba mencari dan memahami akar serta dapat memberi pemecahan masalah secara sehat dari pada sekedar meresponnya secara emosional, dengan kecaman dan cacian.
Marilah melakukan introspeksi yang oleh para sufi menyebutnya muhasabah. Jangan-jangan Lembaga Pendidikan Tinggi kita memang sedang serius mengidap masalah sosial, lantas mahasiswa mendapat akibat “busuk”nya, dan masyarakat termasuk orang tua mahasiswa menutup hidung sambil melirik sinis pada anak-anaknya sendiri. Jangan-jangan Lembaga Pendidikan Tinggi kita memang sudah kehilangan spiritualitas sehingga lebih mekanistik dari sebuah mesin digital. Jangan-jangan Lembaga Pendidikan Tinggi kita telah menjadi arena pemaksaan cara berpikir para pimpinan atau dosennya dengan modal otorita yang dimilikinya, dan sebaliknya tidak lagi menjadi arena pengembangan pemikiran mahasiswa.
Pertama; coba dilihat dari cara pandang kausalitas dan dialektika. Secara sederhana segala yang terjadi pasti ada penyebabnya, ada reaksi karena ada aksi mendahuluinya, ada anarkisme karena ada tekanan narsisme, ada perlawanan karena ada pemaksaan atau penindasan, begitulah dialektika sosial itu seterusnya terjadi sebagai bagian dari hukum alam. Lalu benarkah kekerasan atau anarkisme mahasiswa itu terjadi tanpa sebab? Benarkah ia sebagai aksi? Atau justru reaksi dari sesuatu?
Perguruan Tinggi selain sebuah lembaga pendidikan juga harus dilihat sebagai lingkungan sosial. Di dalamnya terdapat sejumlah unsur sosial, relasi, system dan struktur termasuk kepemimpinan. Bila relasi antar stake terjalin baik, maka bangunan sosialnya akan stabil bahkan semakin kokoh. Sebaliknya jika terjadi instabilitas, bisa jadi disebabkan ada relasi yang tidak sehat, atau system yang tidak mampu menjangkau relasi, tidak mampu melihat dan menjawab konteks, atau kepemimpinan dan pemimpin buruk. Lalu dengan instabilitas itu, tindak anarkisme dan kekerasan sebagai reaksi muncul kepermukaan menjadi sebuah fenomena topeng bagi system, lembaga pendidikan, tenaga pengajar, atau siapa saja yang bertanggung jawab dalam sebuah perguruan tinggi.
Karena itu dalam konteks dunia pendidikan apalagi Perguruan Tinggi, setiap masalah termasuk anarkisme dan kekerasan mahasiswa, seluruh pihak seharusnya meresponi secara bijak, memberi informasi secara intelek, tidak dikuasai oleh emosional, mencaci, membentuk opini semakin negative alias ingin benar sendiri, mengambil keputusan terburu-buru dan sepihak, apalagi mengatasinya juga dengan tindak kekerasan. Sikap-sikap seperti itu merupakan contoh pendidikan dan kepemimpinan organisasi pendidikan yang buruk.
Kedua; proses pendidikan yang berlangsung di Perguruan Tinggi sebaiknya lebih melihat mahasiswa sebagai individu manusia yang masuk ke lingkungan sosial kampus dengan berbagai karakter dan kebudayaan, lalu berkumpul menjadi warga kampus. Tidak lagi sebaliknya mengekspresikan mahasiswa sebagai mesin-mesin yang mesti diinstal seragam oleh software kurikulum; kecerdasan kurikulum, IPK kurikulum, otak kurikulum, dan moral kurikulum. “Kita ini dididik untuk memihak yang mana? Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini akan menjadi alat pembebasan ataukah akan menjadi alat penindasan? Apalah artinya berfikir bila terpisah dari masalah kehidupan?” Demikian WS Rendra bertanya dalam sajak-sajaknya sejak tahun 1977. Pendidikan yang secara terjadwal menghujamkan jarum-jarum teori belaka ke dalam otak, lebih sering gagal menghantarkan (bridging) mahasiswa ke ruang pengalamannya (experiences), dan bahkan lebih dekat pada hegemoni pemikiran. Pada gilirannya mahasiswa akan kehilangan pengalaman kemanusiaannya sendiri, kehilangan “ceritanya” sendiri yang hapus oleh “cerita” pemimpin kampus atau dosen, dan selanjutnya kekerasan serta anarkisme menjadi sebuah jalan pencarian “cerita” yang hilang.
Ketiga; karenanya dalam konteks itu, mahasiswa harus dipandang sebagai proses, bukan benda-benda hasil pabrikan pendidikan. Predikat akademik intelektual tidak bisa diidentikkan begitu saja untuk menuntut mereka sebagai manusia yang suci dari anarkisme, sebab setiap hari ada banyak hal yang berlangsung dalam sebuah proses pendidikan sebagai lingkungan sosial kampus. Selain itu intelektualisme —apalagi intelektualitas mahasiswa yang sedang berproses itu— tidak berkorelasi langsung dengan moral (kekerasan dan anarkisme). bahkan pada saatnya intelektualisme hanya menciptakan moral-moral palsu, moral yang dilahirkan oleh hasrat pencitraan. Misalnya tidak atau malu melakukan kezaliman, atau giat melakukan kebaikan, karena predikat dan prestise hebat yang sedang disandang. Kebaikan-kebaikan yang dilakukan sekecil apa pun dicerita kemana-mana untuk pencitraan, beriringan dengan menceriterakan kemana-kemana kejelekan orang lain.

TINDAK KEKERASAN DAN ANARKISME MAHASISWA Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment