Wacana
agar gubernur dipilih kembali oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Provinsi tampaknya bukan isu belaka. Pemerintah melalui draft RUU revisi UU No.
32/2004, khususnya terkait dengan pemilihan kepala daerah, sudah sangat nyata
mencantumkan usulan itu. Alasannya: untuk mengefisienkan proses dan biaya
pemilihannya lantaran pilgub/wagub dianggap terlalu mahal, provinsi dianggap
tidak memiliki wilayah otonom, mengurangi potensi konflik politik, menciptakan
pola relasi harmonis antara gubernur dengan DPRD, membuat nilai transaksi
politik jadi lebih rendah, dan menjamin terpilihnya pemimpin yang kapabel.
Alasan
pemerintah yang dijadikan dasar untuk merubah sistem pemilihan gubernur itu,
bagi saya, terasakan seperti mengada-ada, tidak mendasar, dan bahkan sebaliknya
menunjukkan ketidak cerdasan, ketiadaan kreativitas, atau mungkin juga
kemalasan dalam mencari dalam mengupayakjan alternatif sebagai jalan keluar
dari penyelenggaraan pemilihan kepala dsaerah secara langsung (pilkadasung)
sebagai bagian dari kemajuan praktik demokrasi yang substansial. Mengapa?
Terkait
dengan soal efisiensi anggaran, misalnya, bukankah anggaran yang tersedot untuk
pilkadasung bupati dan walikota seluruh Indonesia (di 491 kabupaten/kota)
justru jauh lebih banyak ketimbang pemilihan gubernur/wagub secara langsung
yang hanya 33 provinsi? Juga, dalam kaitan dengan konflik dan keretakan modal
sosial (social capital) yang paling serius justru terjadi pada pilkadasung
bupati dan walikota? Sehingga mengapa hanya gubernur yang diusulkan untuk
dipilih oleh DPRD, bukan sekalian juga untuk posisi bupati dan walikota?
Demikian
juga terkait dengan transaksi atau politik uang. Malahan sangat terkesan kalau
pemerintah berupaya kembali (akan) memberi ruang besar lagi kepada para
politisi di DPRD untuk tetap rusak moralitasnya. Bukankah kompromi atau suasana
harmonis antara DPRD dengan kepala darerah justru akan kian buruk akibatnya.
Karena suasana hubungan kompromistik akan menjadi momentum yang akan terus
dirawat untuk ‘saling memuaskan kepentingan’, dan pada saat yang sama akan
mengabaikan kepentingan rakyat yang sesungguhnya.
Semua
pihak bisa memahami, memang, bahwa gagasan itu juga dikaitkan pula dengan
posisi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, di mana diharapkan
terdapat kesamaan garis politik antara pimpinan eksekutif nasional dengan
eksekutif di wilayah provinsi. Sebab, pemilihan kepala daerah secara langsung
(pilkadasung) sekarang ini menghasilkan figur-fugur pimpinan daerah dari ragam
politik yang berbeda dengan presiden, sehingga dianggap sedikit bermasalah
dalam menjalankan koordinasi dengan sistem komando dalam satu garis ideologi
partai. Dan, kalau itu terus terjadi dengan posisi parpol yang kian kuat, maka
kebijakan politik dan agenda terselubung pimpinan eksekutif nasional akan sulit
ditransfer langsung dan terbuka ke daerah melalui gubernur sebagai perpanjangan
tangannya.
Tepatnya,
sepertinya gubernur dikhawatirkan akan sedikit membangkang terhadap pimpinan
nasional lantaran memiliki tiga alasan yang saling terkait: (1) memiliki
legitimasi sosial dari bawah yang kuat lantaran dipilih secara langsung oleh
rakyat, (2) memiliki garis komando politik yang berbeda dengan presiden dengan
posisi mandiri atau otonom secara nasional, dan ditambah lagi dengan (3)
kewenangan gubernur (sebagai kepala daerah) yang demikian dijamin UU No. 32
tahun 2004. Makanya tidak heran, kalau sebelumnya juga pihak eksekutif nasional
sempat melontarkan gagasan agar gubernur ditunjuk langsung oleh presiden –
sebuah siasat yang dimulai dengan tawaran ekstrim (dibanding dengan
pilkadasung) sementara yang diharapkan sebenarnya adalah jalan tengah, yakni
dipilih oleh DPRD.
Bila
ditafsirkan lebih jauh, maka upaya pemerintah untuk memilih gubernur melalui
DPRD sebenarnya terkait dengan agenda politik untuk memastikan agar figur yang
terpilih bisa benar-benar dikendalikan oleh (atau demi kepentingan) politik
penguasa. Pihak Jakarta akan dengan mudah mengkoordinasikan segelintir politisi
di DPRD (apalagi sebagaian besar di antara mereka sangat rentan dengan godaan
materi), dan sebaliknya akan selalu kesulitan untuk mengendalikan pilihan rakyat
banyak di daerah. Dengan mengkooptasi gubernur, maka selanjutnya terbuka
peluang untuk secara bertahap mengendalikan para bupati dan walikota. Sehingga,
ujung-ujungnya, terjadi penyeragaman barisan eksekutif untuk kepentingan
politik tertentu, di mana itu semua juga tak bisa dilepaskan dengan agenda
tahun 2014 nanti (pemilu legislatif dan presiden/wapres).
Siasat
seperti itu tentu sah-sah saja secara politik. Tetapi dari segi nilai dan
perkembangan demokrasi di bangsa ini sungguh-sungguh sangat ironis . Mengapa? Pertama,
hanya untuk menyahuti kepentingan subyektif, maka pemerintah berupaya
memundurkan demokrasi yang sudah berjalan maju dengan gairah atau antusiasme
masyarakat yang demikian tinggi. Sepertinya letih dalam mengarungi gelombang
dan dinamika demokrasi, sehingga dianggap “kita harus berhenti dan mundur ke
belakang”. Sikap seperti ini, merupakan ekspresi dari ketidak mampuan
elite penguasa dalam mengelola dan mencari jalan keluar di saat menghadapi
permasalahan di masyarakat dan negara; keinginan untuk menghindar dari realita
dan mencari jalan pintas untuk mengamankan kepentingan politik fragmatis.
Kedua,
di satu pihak kita semua menginginkan agar posisi gubernbur kuat sehingga bisa
melakukan koordinasi efektif antar kabupaten/kota untuk menjalankan agenda
pembangunan daerah, namun justru pada saat yang sama pemerintah berupaya
melepaskan akar legitimasi sosial di daerah. Maka konsekwensinya nanti adalah
akan kembali munculnya kebijakan dan sikap otoriter sang penguasa Jakarta
melalui berbagai rekayasanya dengan memanfaatkan posisi gubernur sebagai
perpanjangan tangannya di daerah. Ini artinya, kita akan masuk pada fase baru
otoritarisme kekuasaan seperti halnya pada era Orde Baru.
0 komentar:
Post a Comment