Nun jauh disebuah
negara, sebutlah negara ANU, lantang diteriakkan kata REVOLUSI. Dimana-mana,
diruang diskusi, dalam demonstrasi-demonstrasi, dalam perdebatan warung kopi,
status-status di situs jaringan sosial, di tulisan-tulisan pendek para agitator
pesanan politikus busuk, aktivis politik,mahasiswa, altivis pekerja dan buruh,
sampai yang teraneh adalah ketika para orang kaya yang hidup bermewah-mewah
tiba-tiba tertarik pada kata revolusi. Ada apa dengan revolusi? Kenapa harus
revolusi? Apakah karena sebaris kata yang bernama revolusi itu punya magnet
membuat orang berkobar-kobar, ataukah hanya merasa sedang melakukan revolusi,
sehingga orang gandrung kata revolusi itu.
Bung
Karno mengatakan, REVOLUTION IS NOT END YET…Revolusi Belum Selesai. Buat siapa?
Buat bangsa ini? Buat orang-orang miskin yang kala itu rela makan batu untuk
Bung Karno? Apakah revolusi yang belum selesai itu berguna buat partai-partai
politik yang memuja-muja Soekarno hingga memberinya lebel “Presiden seumur
hidup”? Revolusi selalu tidak bisa dijelaskan secara generate untuk kepentingan
siapa, bagi keuntungan yang mana.
Maka,
meneriakkan revolusi penuh dengan tuntutan agar si pulan yang teriak itu harus
dan wajib mengerti arti kata yang diteriakkan. Revolusi tidak bisa dipimpin
oleh orang yang hanya tau kata revolusi, tapi tak mengerti sejarah revolusi,
merasa tak pernah ada revolusi dalam hidupnya. Revolusi tidak akan memunculkan
pemimpin palsu.
Kenapa?
Karena revolusi selalu butuh kejujuran. Butuh pengetahuan, butuh integritas,
dan yang maha penting revolusi butuh rasa yang sama. Rasa yang bagaimana? Rasa
yang jujur tentang kondisi dimana penindasan, tekanan, kemiskinan, ketidak
berdayaan dan kesemrawutan bisa dijadikan perasaan kolektif. Tanpa itu revolusi
hanyalah jargon. Hanya retorika belaka. Revolusi tidak akan lahir di
rumah-rumah mewah, di restoran-restoran dan hotel kelas atas, tidak akan bisa
dibawa anak-anak kaum borjuis yang hidupnya senantiasa berkecukupan sejak
belia. Dengan kata lain revolusi tidak akan memberi ruang bagi borjuisme,
karena borjuisme jelas membenci revolusi. Revolusi bisa menghancurkan tahtanya,
menghabisi hartanya dan memenjarakan pola hidupnya. Revolusi juga tidak akan
muncul dari para aktivis yang masuk kedalam jurang pragmatisme dan hedonisme.
Mereka tidak lagi layak teriak revolusi disaat demi kepentingan politiknya
mereka menginjak kaki kawan sejalan, untuk kemudian hidup bermewahan. Ruh
revolusi sudah tercabut dari hatinya. Tapi seringkali mereka menginfeksi
kawan-kawan aktivisnya yang masih miskin papa untuk tetap teriak revolusi.
Revolusi yang mana lagi?
Para
kawan aktivis yang makan saja masih pontang panting, rapat dari satu rumah
kerumah yang lain, bicara revolusi dimana-mana, bahkan menjadikan revolusi
sebagai kawan merenung diatas kloset tiap pagi. Diatas mereka, revolusi yang
mereka idamkan, dibiayai oleh para hartawan pemuja stabilitas dan kemapanan.
Bagaimana bisa revolusi ada dalam kepalsuan dan kebodohan luar biasa?
Lihatlah,
bagaimana kaum Bolsevik merebut kekuasaan dari Tsar Nicholas II, para
republiken merebut kekuasaan dari Louis XVI di Perancis, bagaimana Saddam
Hussein merebut tahta, Khomeini melengserkan Shah Iran dan lainnya. Revolusi
tidak boleh dipelintir seenak perutnya. Kata ini magnet bagi kemarahan, simbol
sebuah perlawanan. Dia butuh kejujuran dan perasaan. Hanya dengan kemarahan,
perlawanan, kejujuran dan perasaan yang sama lah revolusi bisa muncul. Karena
revolusi bukanlah sunattullah, seperti matahari terbit di timur terbenam
dibarat, dia tak analog dengan bumi yang berputar hingga ada pagi, siang dan malam.
Revolusi selalu tak pasti. Dan untuk sampai kepadanya perlu perjuangan dan
ketulusan hati. Maka, berhentilah bermimpi revolusi, kalau kita masih ada dalam
kelompok-kelompok tadi. Karena semuanya hanya akan jadi revolusi para pemimpi.
0 komentar:
Post a Comment