Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Thursday, February 9, 2012

Bila Sekolah Tanpa Pendidik

Sejatinya kehidupan manusia sebagai hewan yang berfikir (hayawan al-natiq) adalah potensi diri yang semestinya senantiasa diupgrade selalu agar selalu berkembang, berbenah menuju perbaikan diri. Sebagai mahluk yang berfikir sebagai potensi dasar yang dimilikinya, manusia hendaknya selalu memperbaharui segala macam bentuk pendidikan yang menunjang. Tanpa pendidikan yang dibutuhkan ia akan mengalami keterbelakangan dalam menjalani kehidupan.
Aspek pendidikan banyak terkait dengan sikap, perilaku, paradigma berfikir dan bertindak. Pendidikan banyak juga berbicara tentang kebaikan dan keburukan. Pemahaman terhadap rambu-rambu kehidupan diperoleh manusia melalui pendidikan adalah kemutlakan. Tentu pendidikan tidak hanya terinstitusikan melalui lembaga sekolah, madrasah, training, seminar, lokakarya atau bentuk-bentuk pendidikan lainnya. Pendidikan bisa didapatkan dari berbagai sarana tempat, situasi, dan waktunya tidak dibatasi kapanpun.
Pendidikan pun nilai-nilai pelajarannya tidak hanya didapatkan dari setumpuk buku pelajaran, satu bendel makalah pendidikan, dari satu paket majalah maupun buku-buku babon yang banyak berbicara tentang aneka pengetahuan. Pendidikan pun bisa diperoleh dari kejadian langsung dari tanda-tanda jaman. Pendidikan pun bisa diperoleh dari alam. Seorang pendaki gunung mendapatkan nilai pendidikan saat ia mencapai titik puncak gunung. Ia merasakan akan pentingnya kesabaran dan kegigihan untuk pantang menyerah saat melakukan pendakian yang menantang. Ia merasakan tentang keagungan sang Pencipta saat melihat keindahan panorama yang bisa disaksikan dari atas puncak gunung. Hal itu semakin menambah nilai-nilai pengetahuan yang kemudian berbuah terhadap sikap dan perilaku yang dijalankan.
Hal itu adalah sekelumit kegiatan yang menghasilkan nilai-nilai pendidikan. Ternyata betapa luasnya medan pendidikan yang kapanpun dan dimanapun bisa kita petik nilai-nilai yang dikandungnya.
Maka sejatinya penanaman nilai-nilai pendidikan dimulai sejak seseorang terlahir di dunia. Bukankah nabi mengajarkan kita untuk menuntut ilmu sejak dari buaian ibu hingga ke liang lahat. Artinya tidak ada kata nanti, dan tidak ada kata pensiun dalam memperoleh pendidikan.
Maka pendidikan anak adalah tugas dari kedua orang tuanya untuk mendidiknya sejak masing di ayunan. Seorang balita diajarkan bagaimana berucap kata-perkata, “nak ini namanya tangan kanan gunanya untuk bersalaman, memegang makanan. Nak ini tangan kiri, tidak boleh memegang makanan, bersalaman dan lain sebagainya. Artinya mengajarkan kepada anak akan pengetahuan sekaligus menyisipkannya nilai-nilai pendidikan.
Seorang anak saat menginjak usia remaja, peran orang tua sangat besar dalam mempengaruhi proses kejiwaan, mentalitas anak dalam bersikap dan berperilaku. Dalam berkembanganya, anak remaja mengalami berbagai berjumpaan terhadap hal-hal baru. Karena proses kejiwaanya yang serba ingin mengenal sesuatu yang baru harus ditunjang peran orang tua untuk mendampinginya.
Orang tua mempunyai tanggung jawab besar dalam mencetak, mendesain anaknya dalam bertutur kata, bersikap dan berperilaku. Pepatah lama bila jatuhnya buah tak akan jauh dari pohonnya alias pribadi anak tak akan jauh dari pribadi kedua orang tuanya.
Kadang banyak orang tua yang tak sadar bahwa sikap dan perilakunya selalu ditiru oleh anaknya. Bila orang tuanya mempunyai kebiasaan merokok, maka anaknya kemungkinan besar akan melakukan hal yang sama. Walaupun memang banyak faktor yang bisa mempengaruhi kepribadian seorang anak misalnya lingkungan sekitar, pengaruh teman maupun lingkungan sekolah tempatnya belajar.
Sering kita mendengar dan melihat dilingkungan tempat kita, susahnya anak disuruh orang tuanya berangkat ke masjid, melaksanakan shalat karena orang tuanya tidak pernah berangkat ke masjid atau orang tuanya tidak pernah shalat. Maka jangan salahkan si anak bila tidak menuruti perintah orang tuanya. Di sinilah keteladanan orang tua menjadi faktor penting dalam mempengaruhi peribadian anak. Seorang anak diibaratkan seperti kaset kosong. Mau diisi lagu dangdut bisa, diisi lagu pop bisa, diisi lagu salawatan bisa.
Kesibukan orang tua terhadap pekerjaan terkadang sering mengorbankan pendidikan anak. Banyak waktu yang tersita buat mengais rezeki sehingga orang tua jarang sekali bisa leluasa kumpul bareng bersama-sama. Walhasil anak sering menjadi korban.
Kegagalan pendidikan yang dilakukan orang tua terhadap anaknya tentunya tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Segera distop keseharian anak yang lebih sering sama pembantunya. Segera tidak boleh berlarut-larut dibiarkanya anak yang masih usia SD mencari duit akibat terhimpit ekonomi keluarga.
Tentu kita tidak bisa langsung menghakimi orang tua yang demikian. Karena menyalahkan tidak bisa merubah apa-apa. Karena sebenarnya hal yang demikian tidak ingin mereka lakukan.
Keadaan ini membuat sekolah berperan penting dalam menyelamatkan masa depan anak. Peran-peran pendidikan yang dilakukan dalam lingkungan keluarga sedikit demi sedikit digeser peranya oleh institusi sekolah.
Tugas yang sebenarnya menjadi tanggung jawab orang tua kini diserahkan ke pihak sekolah yang dalam teknis pelaksanaannya dilakukan oleh guru. Sekolah yang pada mulanya hanya membantu pihak orang tua dalam membentuk kepribadian anak, kini telah bergeser hampir sepenuhnya. Orang tua berharap besar terhadap pihak sekolah akan pendidikan anak. Yakni demi meraih masa depannya nanti menjadi yang lebih baik.
Animo masyarakan yang begitu besar terhadap sekolah menyebabkan tugas dan tanggung jawab pihak sekolah begitu tinggi. Sehingga sekolah menjadi penentu.  Mau dibawa kemana masa depan anak bangsa sangat tergantung pada pendidikan yang diberikan sekolah.
Bila demikian adanya, sekolah bertanggung jawab besar terhadap penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh anak usia pelajar pada dekade akhir-akhir ini. Terjadinya tawuran antarpelajar, seks bebas, mengonsumsi obat-obatan terlarang, miras tentu sekolah punya peran besar akan semua ini.
Apakah peran sekolah ada yang salah dalam memberikan pesan pendidikan bagi murid-muridnya. Apakah ada yang keliru pada cara mendidik guru pada siswanya. Tentunya kita tidak bisa mendapatkan jawaban yang jelas bila tidak dilakukan dari hasil penelitian.
 Senada dengan itu, mantan Mendikbud Daoed Joesoef bahkan menilai bahwa pendidikan telah tereduksi oleh per-sekolah-an. Pendidikan yang semestinya memuat berbagai pranata nilai, pembentukan sikap dan karakter peserta didik kini tersandra oleh muatan-muatan sekolah yang lebih menekankan aspek keilmuan (knowledge) daripada pembentukan kepribadian.
Peran-peran demikian menyulap para guru yang semestinya memerankan sebagai pendidik justru hanya memposisikan sebagai pengajar yang sebatas mentransformasikan bahan ajar kepada peserta didik. Guru hanya dibekali keterampilan menguasai bahan ajar tetapi miskin mengajarkan keteladanan. Karena guru sendiri mendapatkan petunjuk sebatas itu.
Pepatah jawa apik bahwa guru, ya digugu lan ditiru (diteladani dan diikuti) kini sirna sudah. Guru pada dekade akhir ini sudah tidak bisa diteladani dan meneladani. Dan akhirnya sekolah hanya berisikan tempat atau wahana transfer knowledge.
Lalu bilamana situasi demikian berlangsung terus-menerus sekolah hanya akan menghasilkan robot-robot pengisi dan pekerja teknis perusahaan. Atau hanya menghasilkan manusia-manusia budak globalisasi. Sosok yang tercerabut dari akar budayanya sendiri.

Bila Sekolah Tanpa Pendidik Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment