Sejatinya kehidupan
manusia sebagai hewan yang berfikir (hayawan al-natiq) adalah potensi diri yang semestinya
senantiasa diupgrade selalu agar selalu berkembang,
berbenah menuju perbaikan diri. Sebagai mahluk yang berfikir sebagai potensi
dasar yang dimilikinya, manusia hendaknya selalu memperbaharui segala macam
bentuk pendidikan yang menunjang. Tanpa pendidikan yang dibutuhkan ia akan
mengalami keterbelakangan dalam menjalani kehidupan.
Aspek
pendidikan banyak terkait dengan sikap, perilaku, paradigma berfikir dan
bertindak. Pendidikan banyak juga berbicara tentang kebaikan dan keburukan.
Pemahaman terhadap rambu-rambu kehidupan diperoleh manusia melalui pendidikan
adalah kemutlakan. Tentu pendidikan tidak hanya terinstitusikan melalui lembaga
sekolah, madrasah, training, seminar, lokakarya atau bentuk-bentuk pendidikan
lainnya. Pendidikan bisa didapatkan dari berbagai sarana tempat, situasi, dan
waktunya tidak dibatasi kapanpun.
Pendidikan
pun nilai-nilai pelajarannya tidak hanya didapatkan dari setumpuk buku
pelajaran, satu bendel makalah pendidikan, dari satu paket majalah maupun
buku-buku babon yang banyak berbicara tentang aneka pengetahuan. Pendidikan pun
bisa diperoleh dari kejadian langsung dari tanda-tanda jaman. Pendidikan pun
bisa diperoleh dari alam. Seorang pendaki gunung mendapatkan nilai pendidikan
saat ia mencapai titik puncak gunung. Ia merasakan akan pentingnya kesabaran
dan kegigihan untuk pantang menyerah saat melakukan pendakian yang menantang.
Ia merasakan tentang keagungan sang Pencipta saat melihat keindahan panorama
yang bisa disaksikan dari atas puncak gunung. Hal itu semakin menambah
nilai-nilai pengetahuan yang kemudian berbuah terhadap sikap dan perilaku yang
dijalankan.
Hal
itu adalah sekelumit kegiatan yang menghasilkan nilai-nilai pendidikan.
Ternyata betapa luasnya medan pendidikan yang kapanpun dan dimanapun bisa kita
petik nilai-nilai yang dikandungnya.
Maka
sejatinya penanaman nilai-nilai pendidikan dimulai sejak seseorang terlahir di
dunia. Bukankah nabi mengajarkan kita untuk menuntut ilmu sejak dari buaian ibu
hingga ke liang lahat. Artinya tidak ada kata nanti, dan tidak ada kata pensiun
dalam memperoleh pendidikan.
Maka
pendidikan anak adalah tugas dari kedua orang tuanya untuk mendidiknya sejak
masing di ayunan. Seorang balita diajarkan bagaimana berucap kata-perkata, “nak
ini namanya tangan kanan gunanya untuk bersalaman, memegang makanan. Nak ini
tangan kiri, tidak boleh memegang makanan, bersalaman dan lain sebagainya.
Artinya mengajarkan kepada anak akan pengetahuan sekaligus menyisipkannya
nilai-nilai pendidikan.
Seorang
anak saat menginjak usia remaja, peran orang tua sangat besar dalam
mempengaruhi proses kejiwaan, mentalitas anak dalam bersikap dan berperilaku.
Dalam berkembanganya, anak remaja mengalami berbagai berjumpaan terhadap
hal-hal baru. Karena proses kejiwaanya yang serba ingin mengenal sesuatu yang
baru harus ditunjang peran orang tua untuk mendampinginya.
Orang
tua mempunyai tanggung jawab besar dalam mencetak, mendesain anaknya dalam
bertutur kata, bersikap dan berperilaku. Pepatah lama bila jatuhnya buah tak
akan jauh dari pohonnya alias pribadi anak tak akan jauh dari pribadi kedua
orang tuanya.
Kadang
banyak orang tua yang tak sadar bahwa sikap dan perilakunya selalu ditiru oleh
anaknya. Bila orang tuanya mempunyai kebiasaan merokok, maka anaknya
kemungkinan besar akan melakukan hal yang sama. Walaupun memang banyak faktor
yang bisa mempengaruhi kepribadian seorang anak misalnya lingkungan sekitar,
pengaruh teman maupun lingkungan sekolah tempatnya belajar.
Sering
kita mendengar dan melihat dilingkungan tempat kita, susahnya anak disuruh
orang tuanya berangkat ke masjid, melaksanakan shalat karena orang tuanya tidak
pernah berangkat ke masjid atau orang tuanya tidak pernah shalat. Maka jangan
salahkan si anak bila tidak menuruti perintah orang tuanya. Di sinilah
keteladanan orang tua menjadi faktor penting dalam mempengaruhi peribadian
anak. Seorang anak diibaratkan seperti kaset kosong. Mau diisi lagu dangdut
bisa, diisi lagu pop bisa, diisi lagu salawatan bisa.
Kesibukan
orang tua terhadap pekerjaan terkadang sering mengorbankan pendidikan anak.
Banyak waktu yang tersita buat mengais rezeki sehingga orang tua jarang sekali
bisa leluasa kumpul bareng bersama-sama. Walhasil anak sering menjadi korban.
Kegagalan
pendidikan yang dilakukan orang tua terhadap anaknya tentunya tidak bisa
dibiarkan berlarut-larut. Segera distop keseharian anak yang lebih sering sama
pembantunya. Segera tidak boleh berlarut-larut dibiarkanya anak yang masih usia
SD mencari duit akibat terhimpit ekonomi keluarga.
Tentu
kita tidak bisa langsung menghakimi orang tua yang demikian. Karena menyalahkan
tidak bisa merubah apa-apa. Karena sebenarnya hal yang demikian tidak ingin
mereka lakukan.
Keadaan
ini membuat sekolah berperan penting dalam menyelamatkan masa depan anak.
Peran-peran pendidikan yang dilakukan dalam lingkungan keluarga sedikit demi
sedikit digeser peranya oleh institusi sekolah.
Tugas
yang sebenarnya menjadi tanggung jawab orang tua kini diserahkan ke pihak
sekolah yang dalam teknis pelaksanaannya dilakukan oleh guru. Sekolah yang pada
mulanya hanya membantu pihak orang tua dalam membentuk kepribadian anak, kini
telah bergeser hampir sepenuhnya. Orang tua berharap besar terhadap pihak
sekolah akan pendidikan anak. Yakni demi meraih masa depannya nanti menjadi
yang lebih baik.
Animo
masyarakan yang begitu besar terhadap sekolah menyebabkan tugas dan tanggung
jawab pihak sekolah begitu tinggi. Sehingga sekolah menjadi penentu. Mau
dibawa kemana masa depan anak bangsa sangat tergantung pada pendidikan yang
diberikan sekolah.
Bila
demikian adanya, sekolah bertanggung jawab besar terhadap
penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh anak usia pelajar pada dekade
akhir-akhir ini. Terjadinya tawuran antarpelajar, seks bebas, mengonsumsi
obat-obatan terlarang, miras tentu sekolah punya peran besar akan semua ini.
Apakah
peran sekolah ada yang salah dalam memberikan pesan pendidikan bagi
murid-muridnya. Apakah ada yang keliru pada cara mendidik guru pada siswanya.
Tentunya kita tidak bisa mendapatkan jawaban yang jelas bila tidak dilakukan
dari hasil penelitian.
Senada
dengan itu, mantan Mendikbud Daoed Joesoef bahkan menilai bahwa pendidikan
telah tereduksi oleh per-sekolah-an. Pendidikan yang semestinya memuat berbagai
pranata nilai, pembentukan sikap dan karakter peserta didik kini tersandra oleh
muatan-muatan sekolah yang lebih menekankan aspek keilmuan (knowledge) daripada pembentukan kepribadian.
Peran-peran
demikian menyulap para guru yang semestinya memerankan sebagai pendidik justru
hanya memposisikan sebagai pengajar yang sebatas mentransformasikan bahan ajar
kepada peserta didik. Guru hanya dibekali keterampilan menguasai bahan ajar
tetapi miskin mengajarkan keteladanan. Karena guru sendiri mendapatkan petunjuk
sebatas itu.
Pepatah
jawa apik bahwa guru, ya digugu lan ditiru (diteladani dan diikuti) kini sirna
sudah. Guru pada dekade akhir ini sudah tidak bisa diteladani dan meneladani.
Dan akhirnya sekolah hanya berisikan tempat atau wahana transfer knowledge.
Lalu
bilamana situasi demikian berlangsung terus-menerus sekolah hanya akan
menghasilkan robot-robot pengisi dan pekerja teknis perusahaan. Atau hanya
menghasilkan manusia-manusia budak globalisasi. Sosok yang tercerabut dari akar
budayanya sendiri.
0 komentar:
Post a Comment