Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Sunday, February 12, 2012

QUO VADIS PEMILUKADA LANGSUNG, MASIHKAH MILIK RAKYAT?

Pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) yang dilakukan secara langsung menjadi menarik untuk kita perhatikan. Sudah ratusan pemilukada yang dilangsungkan sejak aturan pemilihan langsung ini diberlakukan. Rakyat Indonesia yang tersebar di 33 propinsi dan di ratusan kabupaten/kota diajak untuk ikut berpartisipasi dalam agenda yang seringkali diberi tajuk ‘pesta demokrasi’ tingkat lokal ini. Lalu apa yang sesungguhnya terjadi dibalik proses pemilukada yang acapkali dikatakan sebagai cara-cara demokratis dalam memilih pemimpin oleh para petinggi partai politik dan para penganut demokrasi liberal di negeri ini? Banyak hal sesungguhnya layak menjadi perhatian kita bersama, dimulai dari proses awal pemilukada, peserta atau kontestan pemilukada, partisipasi pemilih hingga hasil dari proses pemilihan yang seringkali kemudian mengantri dalam daftar gugatan hasil pemilukada di Mahkamah Konstitusi (MK). Apakah demokrasi kemudian memberikan prasyarat yang amat rumit sehingga masyarakat bangsa ini seperti dipaksakan untuk menelan pertunjukkan demokrasi yang hampir sama dan seragam ditiap kabupaten/kota, di tiap propinsi. Marilah kita perhatikan satu demi satu hal-hal yang menarik untuk diamati dalam proses pemilukada ini.
Pertama, proses awal pemilukada yang kemudian diasumsikan sebagai sebagai sebuah permulaan. Padahal hal itu justru sedang meng-kadaluwarsakan jabatan yang masih berlagsung. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa setiap awal proses pemilukada seperti lazim dimulai 2-3tahun sebelum jabatan gubernur atau bupati/walikota berakhir. Ini sama saja dengan mengkadaluwarsakan posisi politik pemimpin daerah tersebut 2-3tahun lebih awal. Betapa tidak, karena dalam kurun waktu tersebut bahkan seorang gubernur atau bupati/walikota mau tidak mau terseret dalam arus putaran permainan untuk ikut serta dalam propaganda-propaganda politik pada masyarakat pemilih yang celakanya justru menggunakan fasilitas negara, sebagaimana hal tersebut senantiasa mendapatkan pembenaran dari peraturan perundang-undangan yang memungkinkan seorang gubernur atau bupati/walikota dan atau wakilnya tetap bisa ikut serta dalam kontestasi pemilihan kepala daerah berikutnya tanpa harus melepas jabatan yang masih melekat kepadanya. Bayangkan saja apabila seorang gubernur saja, dimana dalam masa jabatan 5 tahun-nya, 2-3 tahun didalamnya diisi juga dengan kepentingan politik bagi pencalonan diri berikutnya. Kinerjanya menjadi begitu amat sangat sarat ditunggangi oleh kepentingan jangka politik pendek. Yang lebih celaka lagi adalah ketika seorang gubernur atau bupati/walikota kemudian mencalonkan kembali dirinya dengan tidak berpasangan dengan wakil mereka yang masih sama-sama menjabat, karena sang wakil juga berniat mencalonkan diri. Terbayangkan bahwa proses ini kemudian secara filosofis, moral etis mendegradasi sebuah pilar kepemimpinan daerah.
Para kepala daerah dan wakilnya yang bersama-sama ingin mencalonkan diri kemudian bersafari bersosialisasi kesana sini dengan sama-sama menggunakan fasilitas negara, karena jabatan yang masih melekat pada diri mereka. Jelaslah bahwa liberalisasi pemilihan pemimpin daerah yang kebablasan tidak saja merusak mekanisme dan tata aturan main masa jabatan dan  pada akhirnya selalu saja berkasus karena akan senantiasa muncul gugatan penggunaan fasilitas negara dari lawan-lawan mereka nantinya, tetapi juga melabrak tataran moral etik sebuah bangunan kepemimpinan daerah yang masa jabatannya sudah sangat jelas, yaitu 5 tahun, dan seorang kepala daerah harus patuh berkonsentrasi secara utuh pada tugas dan tanggungjawabnya dengan tidak dikotori oleh libido politik mempertahankan kekuasaan sehingga secara tidak langsung ‘memperpendek’ masa jabatannya sendiri. Bukankah dengan bekerja maksimal bagi masyarakat pemilih sudah bisa menjadi modal awal yang cukup signifikan bagi mereka untuk terpilih lagi, tanpa perlu cemas berkampanye hilir mudik seperti disaat mereka dahulu mencalonkan diri.
Kedua, yang menarik untuk kita amati juga adalah para peserta pemilukada langsung. Harus secara jujur kita katakan bahwa peserta atau kontestan pemilukada hanya diisi oleh 4 golongan besar    yaitu : pejabat yang masih berkuasa (gubernur,bupati/walikota beserta wakil-wakilnya, pimpinan dan anggota DPRD), anak atau bahkan cucu tokoh daerah yang bersangkutan, para pengusaha atau orang-orang kaya di daerah bersangkutan dan terakhir, para orang kaya yang berada di pusat kekuasaan nasional, Jakarta, tetapi berasal dari daerah yang bersangkutan dan pulang kampung untuk ikut dalam pencalonan. Hampir dapat dipastikan dalam tiap pemiluklada keempat golongan ini kerap berjumpa untuk bertarung. Pada mereka melekat dua hal paling berbahaya dalam dinamika politik liberal, yaitu uang dan massa. Dua hal yang bisa memporakporadakan esensi demokrasi apabila dipraktikan secara brutal tanpa aturan etis yang cukup dipahami. Keempat golongan kandidat ini memiliki modus yang sama karena memiliki karakteristik yang sama pula. Mereka dapat dipastikan menggemari klaim-klaim bahwa merekalah yang paling mengerti keinginan dan kebutuhan rakyat. Selalu merasa paling tahu tentang rakyat, seakan-akan ikut tidur dan kelaparan bersama rakyat.
Menjadi mendadak dermawan, suka berbagi dalam balutan ekspose media yang hingar bingar. Memajang wajah tersenyum mereka dalam baleho atau bahkan reklame-reklame di pusat kota. Entah berapa mereka membayar para ahli advertising dan periklanan sehingga bahkan mereka bisa memberikan senyum tertulus mereka dalam media-media tersebut. Dengan kekuatan uang dan massa pendukung jugalah mereka kemudian kerap kali menciptakan teror dan intimidasi secara halus pada masyarakat pemilih. Secara tidak langsung mereka membentuk sikap pragmatisme masyarakat tetapi sekaligus juga menciptakan mentalitas ketakutan yang lambat laun akan menjadi akut bagi masyarakat pemilih. Belakangan kemudian adalah trend bahwa untuk mendongkrak popularitasnya, keempat golongan ini kemudian tanpa ragu dan malu menggandeng tokoh artis sebaga pasagan mereka. Maka lengkaplah penciptaan pemilihan kepala daerah menjadi analog dengan panggung pertunjukkan.
Walaupun demikian, diluar keempat golongan besar tersebut ada satu golongan lain yang biasanya ikut serta meramaikan pertarungan pemilukada. Walaupun kekuatannya sangat kecil, dan bahkan amat sangat jarang memenangkan pertarungan, golongan ini kerap ikut merepotkan kandidat-kandidat besar yang biasanya didukung oleh partai-partai besar, karena faktor amunisi politik maupun perhitungan politik jangka pendek yang memprediksikan sang kandidat memenangkan pertarungan. Golongan kecil ini biasanya diisi oleh para politiukus atau akltivis muda yang idealis. Yang merasa ingin melakukan perubahan bagi daerahnya. Sayangnya mereka kerap direcoki oleh perkara-perkara dasar politik pemenangan, seperti logistik yang terbatas maupun massa pendukung yang sangat minim.
Tetapi kemudian keempat golongan besar diatas dan satu golongan kecil tadi terbukti telah bertarung dimana-mana  tetapi tetap tidak menarik minat masyarakat pemilih. Banyak faktor kemudian harus dijelaskan kenapa kelimanya tak juga mampu memompa tingkat partisipasi masyarakat dalam memberikan hak pilihnya. Secara acak, angka tingkat potensi masyarakat tidak memberikan hak pilih dalam pemilukada berada di angka 37%-60%. Angka ini menjadi sangat mengkhawatirkan, mengingat putaran uang selama proses pemilukada sangatlah luar biasa, gaungnya berlangsung bahkan 1-2 tahun sebelumnya. Kelompok masyarakat yang tidak memberikan hak pilihnya dapat kita bedakan dalam beberapa kelompok, yaitu :
Kelompok masyarakat yang memang sejak awal tidak tertarik atau cenderung  a-politik (60%)
1.    Kelompok masyarakat yang tidak memberikan hak pilihnya karena ditengah perjalanan proses pemilukada merasa kecewa pada kandidat-kadidat (30%)
2.    Kelompok masyarakat yang direkayasa untuk tidak dapat memilih (10%)
3.    Harus dikatakan bahwa para kandidat, dari golongan yang manapun memang mengabaikan pemetaan ini.
Mereka cenderung tidak perduli pada tingkat partisipasi yang rendah, karena memang undang-undang tidak men-syaratkan hal tersebut. Kondisi ini kemudian menempatkan para kepala daerah terpilih sebenarnya amat kekurangan dukungan. Mereka kemudian hanya menjadi pemimpin minoritas di daerah yang dipimpinnya. Secara psikologis telah terbentuk gab yang cukup besar diantara pemimpin daerah dan masyarakat yang dipimpinnya. Sekali lagi pemilukada langsung ternyata secara substansial kehilangan pijakan etisnya.
Yang terakhir adalah maraknya gugat menggugat hasil pemilukada dalam sidang di MK. Demokrasi kemudian diasumsikan secara harfiah harus menang dan kemudian apabila kalah maka langkah logisnya adalah menggugat hasilnya ke MK. Para kandidat yang melakukan gugatan hasil pemilukada kemudian membawa serta begitu banyak rombongan saksi ke Jakarta, tempat dimana MK berada, dengan juga membawa bahkan beberapa kontainer barang bukti. Untuk hal ini para kandidat yang rentang kendalinya terbilang cukup jauh dari Jakarta bisa saja mengeluarkan biaya operasional gugatan dari ratusan juta hingga miliaran rupiah, yang celakanya asal pembiayaan tidak pernah di audit dari mana berasal. Secara paralel terkadang gugatan di MK, yang dilaksanakan dalam sidang di Jakarta, juga dibarengi dengan pergerakan massa di daerah tempat pemilihan. Terjadi gesekan antar massa pendukung para kandidat yang bukan tidak mungkin terakumulasi dengan kerusuihan dan bentrokan horisontal. Sekali lagi para kandidat memanipulasi kekisruhan politik atas nama keadilan politik.
Dari keempat hal yang secara empiris terjadi hampir ditiap proses pemilukada ini, kita dapat melihat secara utuh bagaimaa sebenarnya sekali lagi peran partai-partai politik amat sagat penting. Sebagai wadah pendidikan politik bagi rakyat yang bertugas menciptakan kepemimpinan, partai politik haruslah bisa melepaskan diri dari persoalan pragmatis jangka pendek. Secara gradual, seyogyanya mereka memiliki cetak biru kepemimpinan, baik lokal maupun nasional. Bukan menentukan pilihan pemimpin dengan argumentasi reaksional. Selain itu bagi siapapun calon kepala daerah, sudah seharusnya berhenti mengaku-aku paling mengeri tentang rakyat, karena sesungguhnya mereka amat sangat tidak tahu apapun tentang rakyatnya. Hampir dari semua kandidat kuat yang memiliki uang dan kekuasaan justru terpisahkan tembok tebal dari hiruk pikuk serba serbi tentang rakyat. Karena mereka dibatasi oleh dua situasi yang bertolak belakang, kemewahan dan kenyamanan hidup mereka sehari-hari di satu pihak dan kesengsaraan serta kesulitan hidup  rakyat di pihak yang lain. Para kandidat idealis yang biasanya muncul sebagai kandidat dari unsur independen, karena partai politik enggan mendukung mereka, juga harus lebih bisa melakukan manuver dan akselerasi politik yang lebih mengena, sehingga kelompok masyarakat yang berkecenderungan tidak mau memberikan hak pilihnya tergerak untuk ikut mendukungnya karena dianggap sebagai kandidat yang berbeda sama sekali dengan kandidat kuat lainnya. Jangan lagi mereka malah ikut asik menari dalam genderang politik barbarian para tauke yang jelas akan sangat menguras energi dan biaya, serta cenderung mengabaikan partisipasi  masyarakat secara jujur dan adil dalam kerangka pendidikan politik bagi masyarakat.
 Apabila persoalan-persoalan ini tidak segera disadari sebagai ancaman maka bukan tidak mungkin bangsa kita hanya mampu mencetak para pemimpin prosedural, tetapi tidak juga mampu menciptakan pemimpin yang sesungguhnya. Proses demokrasi yang masih sama-sama kita tapaki pasca reformasi memanglah menguras perhatian, tetapi apapun itu fokus terhadap terbentuknya sebuah kepemimpinan ideal yang sesuai dengan keinginan mayoritas rakyat adalah sebuah keharusan, lebih dari sekedar kebutuhan. Dan kita, rakyat, suatu ketika dapat melihat sosok pemimpin kita sebagai representasi dari ruh dan semangat kita. Bukan seonggok daging sombong yang berdiri angkuh di menara gading ketika telah berkuasa.

QUO VADIS PEMILUKADA LANGSUNG, MASIHKAH MILIK RAKYAT? Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment