Pembahasan ini dibatasi pada analisis terhadap dua jenis
kebebasan: sosial dan rohani. Alasan Pembahasan ini terutama karena akar dari
banyak masalah yang dihadapi manusia modern, antara lain, disebabkan oleh
penekanan yang berlebih-lebihan pada kebebasan sosial dengan mengabaikan
kebebasan rohani.
Kebebasan, dalam konteks ini, terutama dalam pengertian
tiadanya rintangan dalam perjalanan manusia menuju kesempurnaan. Manusia adalah
makhluk yang khusus dan kompleks yang selain memiliki kehidupan pribadi, juga
mempunyai apa yang disebut kehidupan sosial. Oleh karena itu, pembicaraan
mengenai kebebasan dapat ditinjau dari aspek sosial maupun aspek individu.
Kebebasan sosial, dalam hal ini, terutama dimaksudkan sebagai kebebasan yang
dimiliki manusia dalam hubungannya dengan individu-individu lain dalam masyarakat,
atau dengan perkataan lain, kebebasan dari segala bentuk keterikatan,
penghambaan, perbudakan dan eksploitasi dari sesama manusia.
Kebebasan rohani adalah kebebasan seseorang dari dirinya
sendiri, diri yang dimaksud di sini adalah diri hewaniyah seseorang. Manusia
memiliki dua diri atau ego: diri manusiawi dan diri hewani. Diri hewani manusia
antara lain meliputi kecenderungan hawa nafsu manusia seperti keserakahan,
kecintaan kepada harta benda dan egoisme. Kebebasan rohani dapat juga diartikan
sebagai kebebasan diri manusiawi seseorang dari diri hewaninya (an nafs al
ammara bis-su’i: diri yg menyeru kpd keburukan).
Penindasan dan eksploitasi terhadap sesama manusia, yang
terjadi sepanjang sejarah, bukanlah disebabkan oleh kebodohan atau masih terbelakangnya
institusi sosial di masa lalu. Dewasa ini, dengan pengetahuan dan
institusi-institusi hukum yang semakin maju, sikap dan respek manusia terhadap
hak-hak dan kebebasan sesama tidaklah serta merta berubah. Contoh yang paling
gamblang adalah kasus Afrika Selatan, Bosnia (bbrp wkt yg lalu) dan Palestina
di mana piagam deklarasi hak-hak manusia sedunia tidak digubris sama sekali.
Praktek-praktek seperti ini juga terjadi di belahan dunia lainnya dalam
bentuk-bentuk terselubung. Bahkan tidak kurang kita temui bentuk-bentuk
penindasan atas nama kemanusiaan.
Kenyataan tersebut di atas, terutama disebabkan oleh sikap
mementingkan diri dan ketamakan. Sebagai individu manusia berusaha hanya untuk
memperoleh keuntungan maksimun bagi dirinya dengan berbagai cara.
Manusia-¬manusia lain diperlakukan sebagai sarana dan memanfaatkan mereka
sebagaimana memanfaatkan kayu, batu, besi dan binatang (I - It relationship not
I - Thou relationship).
Bahkan kemajuan Iptek dan kecanggihan institusi sosial
dewasa ini dalam kenyataannya bukannya membawa umat manusia mencapai
impian-impiannya: kesejahteraan, tuan yang mandiri dari kehidupannya dan
pemerataan. Sebaliknya yang kita dapati adalah manusia-manusia yang mengalami
dehumanisasi dan menjadi sekedar sekerup-sekerup dalam mesin birokrasi serta
menjadi tawanan dari teknologi yang diciptakannya.
Kegagalan manusia modern ini terutama karena mereka telah
menjadi tawanan egonya sendiri. Keserakahan dan egoisme telah menjadi batu
sendi peradaban industri, bersama sikap hedonisme telah menjadi premis
psikologis utamanya. Hal ini, tidak lain dari menjadikan diri hewani manusia
mengatasi diri manusiawinya. Mungkinkah seseorang yang telah diperbudak oleh
dirinya dapat memberi kebebasan kepada yang lain. Mustahil! Kebebasan sosial
akan kehilangan maknanya apabila tidak disertai kebebasan rohani. Hanya
kebebasan rohanilah yang mampu, secara hakiki, mencegah seseorang yang berkuasa
memanfaatkan kekuasaannya untuk menguasai dan memperbudak sesama manusia.
0 komentar:
Post a Comment