Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Saturday, February 11, 2012

PRASYARAT OTONOMI DAERAH MERAIH SEJAHTERA

Keberhasilan pembangunan, termasuk pencapaian tujuan kita bernegara khususnya meningkatkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sangat ditentukan oleh pemerintahan atau pengelolaan daerah. Soalnya, daerah merupakan  lokus dan sekaligus subyek pembangunan. Apalagi di era otonomi daerah (otoda) di mana umumnya urusan pemerintahan yang bersentuhan dengan kebutuhan rakyat/masyarakat dan atau kebijakan percepatan pembangunan menjadi kewenangan atau urusan daerah otonom. Dan, di daerah-daerah jugalah tersedia potensi sumberdaya alam dan manusia yang siap dikembangkan, atau juga permasalahan rakyat yang menjadi kewajiban pemerintah untuk memfasilitasi dan atau mengatasinya.
Peran nyata yang bisa secara efektif ditunjukkan dalam pembangunan dan pelayanan masyarakat pada dasarnya berjalan bersamaan dengan  level pemerintahan itu sendiri. Artinya semakin rendah jenjang pemerintahan daerah, semakin langsung dan dekat juga para pemangku kepentingan dengan target dan subyek potensial dan atau masalah yang dihadapinya. Dan sebaliknya, semakin berjenjang di atas, maka kian diperlukan fungsi koordinasi dan supervisi  untuk memastikan semua agenda pembangunan dan pelayanan bisa berjalan sesuai dengan tujuan nasional.
Kendati demikian, untuk mencapai tujuan itu sangatlah tidak mudah. Ia memerlukan setidaknya 6 (enam) prasyarat mutlak, yang ternyata masih jauh dari kecenderungan fakta lapangan di Indonesia.
Pertama,  pemilukada yang bersih.  Proses dan sumber kelahiran kepala daerah sangat menentukan pengelolaan pemerintahan daerah yang baik dan bersih. Bila kepala daerah terpilih melalui proses transaksional (money politics), maka dipastikan berimplikasi negatif  dalam mengelola daerah. Figur kepala daerah terpilih akan selalu berpikir untuk memperoleh “ganti untung” atas pengorbanan yang dikeluarkan selama proses pemilihannya.
Celakanya, sejak kita berotonomi dan terlebih-lebih kita menyelenggarakan pemilihan kepala daerah secara langsung, maka umumnya proses transaksional itulah yang dipraktikkan. Sehingga tidak heran kalau korupsi dan permafiaan banyak terjadi di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di dalamnya bentuk-bentuk penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan lainnya. Parahnya lagi, kondisi seperti itu sudah terstruktur dengan melibatkan dan pada tingkat tertentu “diamini” oleh pengambil kebijakan di tingkat nasional.
Kedua, komitmen pemimpin. Orientasi, sikap dan kebijakan para elite penentu kebijakan di daerah, khususnya eksekutif dan legislatif, sangat menentukan derajat keberpihakan pada agenda pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat. Ini juga terkait dengan latar belakang dan atau sumber-sumber rekrutmen figur pemimpin atau elite pengambil kebijakan. Soalnya, secara psikologis, setiap orang dewasa sudah terbentuk pola pikir, perilaku atau tindakannya – sudah tidak mudah berubah, karena faktor karakter, kebiasaan, dan  lingkungan asal usulnya yang memapankan.
Fakta yang dijumpai di banyak daerah era otda ini ternyata para penentu kebijakannya merupakan produk lingkungan dan lembaga yang lebih mengedepankan kepentingan subyetif diri, keluarga dan kelompok, jauh dari orientasi kerakyatan, termasuk dari kalangan preman, penjudi dan berbagai perilaku asusila. Mereka bisa terpilih lebih karena money politics, sehingga rakyat pun selanjutnya ikut dirusak moralitasnya. Maka tidak heran kalau hanya di segelintir daerah seperti Kota Solo (dengan figur Jokowi, walikota) dan sejumlah daerah lainnya yang sungguh-sungguh memiliki idealisme membangun daerah atau berpihak pada kepentingan rakyat banyak yang lemah.
Ketiga, birokrasi yang profesional. Bureaucracy is the engine of the government (Ben Dupre, 2010). Untuk menjadikan pemerintahan bisa berjalan baik, maka birokrasinya harus sehat, karena ia merupakan mesin utama untuk berjalannya roda pemerintahan dan  pelayanan masyarakat. Tepatnya, birokrasi harus profesional yang ditunjukkan dengan terimplementasikannya prinsip the right man on the right place dan posisi netral atau bebas dari kekpentingan politik fragmatis sementara dari para elite politik yang sedang menjabat.
Untuk mendapatkan kondisi dan posisi birokrasi seperti itu, maka tata hubungan antara pejabat politik dan pejabat birokrasi harus jelas dalam artian kenetralan dan profesionalisme birokrasi harus dijamin oleh aturan perundangan. Pejabat politik tidak boleh seenaknya mengatur dan atau mengintervensi birokrasi. Aparat birokrasi harus bekerja dalam suasana kejiwaan yang nyaman, tentram, dan sekaligus terjamin kesejahteraannya, sehingga bisa lebih berkonsentrasi pada tugas pokok dan fungsinya memberikan pelayanan maksimal pada masyarakat yang menjadi targetnya. Pejabat politik bisa datang dan pergi kapan saja, tapi mesin birokrasi harus berjalan.
Namun fakta lapangan menunjukkan, lagi pada umumnya daerah di Indonesia, birokrasi dikendalikan sangat kuat atau memiliki ketergantungan mutlak pada pejabat politik. Para kepala daerah secara sangat efektif mengeksploitrasi UU tentang Kepegawaian (UU No. 43/1999) karena dilimpahi kewenangan sebagai pembina kepegawaian, sehingga cenderung seenaknya mengatur atau mengintervensi birokrasi sesuai dengan kepentingan politik dan kelompoknya.
Keempat, agenda pembangunan yang berdasarkan kebutuhan rakyat. Ada dua syarat utama untuk dinamisnya ekonomi di tingkat lokal yang bisa berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakatnya. Yakni (1) tersedianya infrastruktur yang memadai untuk memastikan mobilitas masyarakat dalam menjalankan aktivitas sosial, budaya dan ekonominya, termasuk terkait dengan pemasaran produk-produk mereka; dan (2) adanya pelayanan publik yang memadai sesuai dengan potensi dan kebutuhan rakyat lokal. Yang terpenting dalam kaitan yang kedua ini adalah menyangkut alokasi anggaran untuk mengembangkan potensi lokal dan atau menjawab/menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh rakyat yang lemah. Ini berarti juga bahwa harus dihindarkan adanya alokasi anggaran untuk kepentingan seremonial, dan sebaliknya diarahkan untuk menjamin terlayaninya kepentingan masyarakat berdasarkan skala prioritas tertentu.
Ironisnya, kecenderungan di lapangan menunjukkan bahwa pemerintah daerah lebih mengedepankan program-program fragmatis berorientasi proyek , dengan mengedepankan pada kepentingan melayani diri sendiri, bukan melayani atau menjawab kebutuhan rakyat. Akibatnya banyak program yang tidak berkelanjutan, bersifat temporer. Dan, parahnya lagi, para pejabat lokal sibuk mencari proyek dengan proses-proses yang transaksional seperti yang menjadi temuan dengan kasus yang banyak diperbincangkan akhir-akhir ini.
Kelima, supervisi-terpandu dari pemerintah pusat. Agenda pembangunan daerah, di era otda ini, memang dirancang oleh daerah sendiri berdasarkan kebutuhannya. Tetapi bukan berarti pemerintah pusat lepas tangan dalam proses-proses itu. Pemerintah pusat, dalam konteks ini, justru harus lebih proaktif membangun berkomunikasi dan berkonsultasi dengan daerah untuk memastikan bahwa apa yang diperbuat daerah adalah dalam rangka secara bertahap dan pasti mencapai tujuan pembangunan nasional seperti yang disinggung di awal tulisan ini.
Hubungan pusat-daerah di era otda ini, dengan demikian, sangatlah penting. Namun bukan simbolistis formalistis seperti yang terjadi hingga sekarang ini, yang pada intinya membiarkan daerah “melakukan gambar suka-suka” sesuai dengan kepentingan para pejabat politiknya, melainkan harus terpandu secara sistematis. Setiap instansi nasional (struktural, teknis, fungsional) harus secara proaktif mensinerjikan agenda-agenda secara terukur. Tepatnya, pemerintah pusat harus memandu daerah dengan instrumen-instrumen yang terukur dan terarah. Dan ini merupakan bagian dari ciri khas substansial dari konsep ideal kebijakan otda dan desentralisasi dalam kerangka NKRI.
Keenam, pengawasan yang efektif. Agar daerah bisa menjalankan agenda pembangunan untuk kesejahteraan rakyat, maka diperlukan pengawasan yang efektif dan berkelanjutan. Pengawasan dimaksud bukan saja dilakukan oleh lembaga-lembaga politik (seperti DPRD, DPR dan atau DPD), atau bersifat administratif seperti dari BPK, BPKP, lembaga pengawasan internal Pemda; melainkan juga perlunya dikembangkan pengawasan berbasis masyarakat dan pers.
Kelompok-kelompok swadaya masyarakat, dengan demikian, sangatlah diperlukan untuk memastikan bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan berorientasi pada kepentingan atau kesejahteraan rakyat. Demikian juga pers, sangat diperlukan untuk memberikan kontrol langsung dengan pemberiannya yang terbuka kepada publik. Problem kita sekarang adalah sulitnya untuk menemukan lembaga-lembaga berbasis masyarakat dan pers yang secara konsisten mandiri di tengah kekuatan modal yang berjalan bersamaan dengan kepentingan pejabat politik di daerah.

PRASYARAT OTONOMI DAERAH MERAIH SEJAHTERA Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment