Keberhasilan
pembangunan, termasuk pencapaian tujuan kita bernegara khususnya meningkatkan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sangat ditentukan oleh
pemerintahan atau pengelolaan daerah. Soalnya, daerah merupakan lokus dan
sekaligus subyek pembangunan. Apalagi di era otonomi daerah (otoda) di mana
umumnya urusan pemerintahan yang bersentuhan dengan kebutuhan rakyat/masyarakat
dan atau kebijakan percepatan pembangunan menjadi kewenangan atau urusan daerah
otonom. Dan, di daerah-daerah jugalah tersedia potensi sumberdaya alam dan
manusia yang siap dikembangkan, atau juga permasalahan rakyat yang menjadi
kewajiban pemerintah untuk memfasilitasi dan atau mengatasinya.
Peran nyata yang
bisa secara efektif ditunjukkan dalam pembangunan dan pelayanan masyarakat pada
dasarnya berjalan bersamaan dengan level pemerintahan itu sendiri.
Artinya semakin rendah jenjang pemerintahan daerah, semakin langsung dan dekat
juga para pemangku kepentingan dengan target dan subyek potensial dan atau
masalah yang dihadapinya. Dan sebaliknya, semakin berjenjang di atas, maka kian
diperlukan fungsi koordinasi dan supervisi untuk memastikan semua agenda
pembangunan dan pelayanan bisa berjalan sesuai dengan tujuan nasional.
Kendati
demikian, untuk mencapai tujuan itu sangatlah tidak mudah. Ia memerlukan
setidaknya 6 (enam) prasyarat mutlak, yang ternyata masih jauh dari
kecenderungan fakta lapangan di Indonesia.
Pertama,
pemilukada yang bersih. Proses dan sumber kelahiran kepala daerah
sangat menentukan pengelolaan pemerintahan daerah yang baik dan bersih. Bila
kepala daerah terpilih melalui proses transaksional (money politics), maka
dipastikan berimplikasi negatif dalam mengelola daerah. Figur kepala
daerah terpilih akan selalu berpikir untuk memperoleh “ganti untung” atas
pengorbanan yang dikeluarkan selama proses pemilihannya.
Celakanya, sejak
kita berotonomi dan terlebih-lebih kita menyelenggarakan pemilihan kepala
daerah secara langsung, maka umumnya proses transaksional itulah yang
dipraktikkan. Sehingga tidak heran kalau korupsi dan permafiaan banyak terjadi
di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di dalamnya bentuk-bentuk
penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan lainnya. Parahnya lagi, kondisi seperti
itu sudah terstruktur dengan melibatkan dan pada tingkat tertentu “diamini”
oleh pengambil kebijakan di tingkat nasional.
Kedua, komitmen
pemimpin. Orientasi, sikap dan kebijakan para elite penentu kebijakan di
daerah, khususnya eksekutif dan legislatif, sangat menentukan derajat
keberpihakan pada agenda pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat. Ini juga
terkait dengan latar belakang dan atau sumber-sumber rekrutmen figur pemimpin
atau elite pengambil kebijakan. Soalnya, secara psikologis, setiap orang dewasa
sudah terbentuk pola pikir, perilaku atau tindakannya – sudah tidak mudah
berubah, karena faktor karakter, kebiasaan, dan lingkungan asal usulnya
yang memapankan.
Fakta yang
dijumpai di banyak daerah era otda ini ternyata para penentu kebijakannya
merupakan produk lingkungan dan lembaga yang lebih mengedepankan kepentingan
subyetif diri, keluarga dan kelompok, jauh dari orientasi kerakyatan, termasuk
dari kalangan preman, penjudi dan berbagai perilaku asusila. Mereka bisa terpilih
lebih karena money politics, sehingga rakyat pun selanjutnya ikut dirusak
moralitasnya. Maka tidak heran kalau hanya di segelintir daerah seperti Kota
Solo (dengan figur Jokowi, walikota) dan sejumlah daerah lainnya yang
sungguh-sungguh memiliki idealisme membangun daerah atau berpihak pada
kepentingan rakyat banyak yang lemah.
Ketiga,
birokrasi yang profesional. Bureaucracy is the engine of the government (Ben
Dupre, 2010). Untuk menjadikan pemerintahan bisa berjalan baik, maka
birokrasinya harus sehat, karena ia merupakan mesin utama untuk berjalannya
roda pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Tepatnya, birokrasi harus
profesional yang ditunjukkan dengan terimplementasikannya prinsip the right man
on the right place dan posisi netral atau bebas dari kekpentingan politik
fragmatis sementara dari para elite politik yang sedang menjabat.
Untuk
mendapatkan kondisi dan posisi birokrasi seperti itu, maka tata hubungan antara
pejabat politik dan pejabat birokrasi harus jelas dalam artian kenetralan dan profesionalisme
birokrasi harus dijamin oleh aturan perundangan. Pejabat politik tidak boleh
seenaknya mengatur dan atau mengintervensi birokrasi. Aparat birokrasi harus
bekerja dalam suasana kejiwaan yang nyaman, tentram, dan sekaligus terjamin
kesejahteraannya, sehingga bisa lebih berkonsentrasi pada tugas pokok dan
fungsinya memberikan pelayanan maksimal pada masyarakat yang menjadi targetnya.
Pejabat politik bisa datang dan pergi kapan saja, tapi mesin birokrasi harus
berjalan.
Namun fakta
lapangan menunjukkan, lagi pada umumnya daerah di Indonesia, birokrasi
dikendalikan sangat kuat atau memiliki ketergantungan mutlak pada pejabat
politik. Para kepala daerah secara sangat efektif mengeksploitrasi UU tentang
Kepegawaian (UU No. 43/1999) karena dilimpahi kewenangan sebagai pembina
kepegawaian, sehingga cenderung seenaknya mengatur atau mengintervensi
birokrasi sesuai dengan kepentingan politik dan kelompoknya.
Keempat, agenda
pembangunan yang berdasarkan kebutuhan rakyat. Ada dua syarat utama untuk dinamisnya
ekonomi di tingkat lokal yang bisa berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan
dan kualitas hidup masyarakatnya. Yakni (1) tersedianya infrastruktur yang
memadai untuk memastikan mobilitas masyarakat dalam menjalankan aktivitas
sosial, budaya dan ekonominya, termasuk terkait dengan pemasaran produk-produk
mereka; dan (2) adanya pelayanan publik yang memadai sesuai dengan potensi dan
kebutuhan rakyat lokal. Yang terpenting dalam kaitan yang kedua ini adalah
menyangkut alokasi anggaran untuk mengembangkan potensi lokal dan atau
menjawab/menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh rakyat yang lemah. Ini
berarti juga bahwa harus dihindarkan adanya alokasi anggaran untuk kepentingan
seremonial, dan sebaliknya diarahkan untuk menjamin terlayaninya kepentingan
masyarakat berdasarkan skala prioritas tertentu.
Ironisnya,
kecenderungan di lapangan menunjukkan bahwa pemerintah daerah lebih
mengedepankan program-program fragmatis berorientasi proyek , dengan
mengedepankan pada kepentingan melayani diri sendiri, bukan melayani atau
menjawab kebutuhan rakyat. Akibatnya banyak program yang tidak berkelanjutan,
bersifat temporer. Dan, parahnya lagi, para pejabat lokal sibuk mencari proyek
dengan proses-proses yang transaksional seperti yang menjadi temuan dengan kasus
yang banyak diperbincangkan akhir-akhir ini.
Kelima,
supervisi-terpandu dari pemerintah pusat. Agenda pembangunan daerah, di era
otda ini, memang dirancang oleh daerah sendiri berdasarkan kebutuhannya. Tetapi
bukan berarti pemerintah pusat lepas tangan dalam proses-proses itu. Pemerintah
pusat, dalam konteks ini, justru harus lebih proaktif membangun berkomunikasi
dan berkonsultasi dengan daerah untuk memastikan bahwa apa yang diperbuat
daerah adalah dalam rangka secara bertahap dan pasti mencapai tujuan pembangunan
nasional seperti yang disinggung di awal tulisan ini.
Hubungan
pusat-daerah di era otda ini, dengan demikian, sangatlah penting. Namun bukan
simbolistis formalistis seperti yang terjadi hingga sekarang ini, yang pada
intinya membiarkan daerah “melakukan gambar suka-suka” sesuai dengan
kepentingan para pejabat politiknya, melainkan harus terpandu secara
sistematis. Setiap instansi nasional (struktural, teknis, fungsional) harus
secara proaktif mensinerjikan agenda-agenda secara terukur. Tepatnya,
pemerintah pusat harus memandu daerah dengan instrumen-instrumen yang terukur
dan terarah. Dan ini merupakan bagian dari ciri khas substansial dari konsep
ideal kebijakan otda dan desentralisasi dalam kerangka NKRI.
Keenam,
pengawasan yang efektif. Agar daerah bisa menjalankan agenda pembangunan untuk
kesejahteraan rakyat, maka diperlukan pengawasan yang efektif dan
berkelanjutan. Pengawasan dimaksud bukan saja dilakukan oleh lembaga-lembaga
politik (seperti DPRD, DPR dan atau DPD), atau bersifat administratif seperti
dari BPK, BPKP, lembaga pengawasan internal Pemda; melainkan juga perlunya
dikembangkan pengawasan berbasis masyarakat dan pers.
Kelompok-kelompok
swadaya masyarakat, dengan demikian, sangatlah diperlukan untuk memastikan
bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan berorientasi pada
kepentingan atau kesejahteraan rakyat. Demikian juga pers, sangat diperlukan
untuk memberikan kontrol langsung dengan pemberiannya yang terbuka kepada
publik. Problem kita sekarang adalah sulitnya untuk menemukan lembaga-lembaga
berbasis masyarakat dan pers yang secara konsisten mandiri di tengah kekuatan
modal yang berjalan bersamaan dengan kepentingan pejabat politik di daerah.
0 komentar:
Post a Comment