Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Thursday, February 23, 2012

PAHLAWAN (sejarah yang hampir terlupakan)

Hingga detik ini, yang terlintas di kepala kita tentang pahlawan, sejatinya adalah mereka yang pantang menyerah melawan penindasan dan keterpurukan, dengan gagah berani berada di garis depan menentang penjajahan. Pahlawan bermakna sangat dalam di nurani kita yang masih sudi merenungkan betapa berat perjuangan para pembela tanah air mempertahankan kemerdekaan NKRI, kemerdekaan seluruh rakyat Indonesia.
Apa yang terjadi pada 10 november di Surabaya 66 tahun silam yang kini kita kenal sebagai Hari Pahlawan Nasional adalah gambaran semangat perlawanan rakyat Indonesia kala itu dalam menentang ultimatum tentara Inggris karena tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby (pemimpin tentara Inggris untuk Jawa Timur) dalam bentrokan senjata yang terjadi pada 30 Oktober 1945 dengan tentara Indonesia. Seperti yang ditulis dalam artikel “The Battle of Surabaya”, setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, rakyat dan pejuang tanah air berupaya melucuti senjata para tentara Jepang. Maka pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak daerah, berkobar. Sejak itulah, tentara Inggris mendarat di Jakarta kemudian mendarat di Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945. Tentara Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) atas keputusan dan atas nama Blok Sekutu dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan perang yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Tak kalah pentingnya bagi tentara Inggris, tujuan utama mereka adalah mengembalikan Indonesia sebagai negeri jajahan Hindia Belanda. Tentu saja, hal ini memicu gejolak rakyat Indonesia untuk melakukan pergerakan perlawanan agar Indonesia tetap berdaulat.
Setelah insiden perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato Surabaya berlangsung sengit, maka pada tanggal 27 Oktober 1945, meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris. Kemudian berlanjut saat pengganti Brigjen Mallaby, Mayjen Robert Manserg mengultimatum bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan ke atas. Ultimatum tersebut  tentu saja mengguncang amarah rakyat karena dianggap sebagai penghinaan terhadap Republik Indonesia yang telah merdeka sejak 17 Agustus 1945.
Tanggal 10 November pagi, tentara Inggris mulai menyerang melalui udara kemudian membombardir kota Surabaya dari laut dan darat. Perlawanan pasukan dan milisi Indonesia meradang di seluruh penjuru kota yang juga dikenal sebagai kota Pahlawan itu. Awalnya, tentara Inggris menduga bahwa Surabaya dapat ditaklukkan dalam 3 hari, ternyata tidak demikian. Bung Tomo, yang kala itu ikut memimpin pergerakan pemuda-pemuda Surabaya tetap tak gentar dan semakin memanaskan semangat para pejuang hingga di titik darah penghabisan. Pertempuran berdarah di Surabaya telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh nusantara untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Terlibatnya penduduk sipil dalam insiden tersebut mengakibatkan ratusan ribu orang harus menjadi korban, baik yang meninggal maupun luka-luka. Sungguh, pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang telah menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.
Sejarah ini, mungkin sebagian dari kita, pemuda-pemudi Indonesia sudah tidak lagi mengingatnya atau tidak pernah mengetahuinya sama sekali. Tahu atau tidak tahu, paham atau tidak paham, bukan itu kawan!
Bayangkan saja jika kita hidup di zaman itu, apakah pemuda-pemudi Indonesia akan setangguh mereka? Apakah kita akan memasang dada, dengan ‘rewa’ menentang ketidakadilan di depan mata? Apakah kita akan diam saja melihat bangsa lain menginjak-injak Merah Putih kita? Kemana badik akan kita tancapkan? Apakah saat meneriakkan ‘Maju’, ‘Merdeka’, kepalan tangan kanan yang kita angkat senada dengan bara semangat di  hati kita?
Apa yang terjadi kala itu, tentu saja tidak sedamai apa yang kita rasakan di masa  kini. Kita bahkan hampir tidak pernah mendengar gencatan senjata Indonesia dengan negara lain, kita tidak perlu repot dengan rasa khawatir yang berlebihan atau tidak perlu menjadi pengecut yang lari dan bersembunyi.
Rasa tentram itu tentu saja berkat mereka, pahlawan-pahlawan kita. Tapi, apa yang telah kita berikan untuk mereka? Hening cipta? Upacara bendera? Apa hanya itu? Kawan, bersyukurlah atas kehidupan yang penuh damai ini. Usia muda kita, sia-sia saja jika kita habiskan dengan hal percuma. Sudah saatnya, semangat perjuangan mereka kita pekikkan kembali. Berbuatlah sesuatu untuk negeri ini, berkaryalah, torehkan sejarah prestasi kita. Langkah yang paling sederhana adalah memulainya dengan diri kita sendiri. Kesulitan apapun yang kita hadapi, anggap saja sebagai cambuk yang semakin mendewasakan kita. Karena jika tidak, sesungguhnya kita telah menjajah diri kita sendiri. Apa yang dikatakan oleh Winston Churchill (perdana menteri Britania Raya pada PD II)  bahwa “Orang pesimis melihat kesulitan di setiap kesempatan. Sedangkan orang optimis melihat kesempatan di setiap kesulitan”, sebaiknya kita renungkan.
Kita tidak harus menjadi pahlawan seperti Bung Tomo, cukup menjadi pahlawan untuk diri kita sendiri. Memulainya, dengan berjuang melawan kemalasan dan putus asa, menjadi anak muda yang optimis. Dengan begitu, kesulitan tidak lagi menjadi beban, sebaliknya menjadi tantangan. Karena, sesungguhnya bertempur dengan rasa takut itulah yang paling berat. Bukankah sejatinya, pahlawan tidak peduli menang atau kalah, tetapi apa yang telah dia perjuangkan untuk dirinya sendiri begitu pula untuk bangsanya.

PAHLAWAN (sejarah yang hampir terlupakan) Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment