Hingga detik
ini, yang terlintas di kepala kita tentang pahlawan, sejatinya adalah mereka
yang pantang menyerah melawan penindasan dan keterpurukan, dengan gagah berani
berada di garis depan menentang penjajahan. Pahlawan bermakna sangat dalam di
nurani kita yang masih sudi merenungkan betapa berat perjuangan para pembela
tanah air mempertahankan kemerdekaan NKRI, kemerdekaan seluruh rakyat
Indonesia.
Apa yang terjadi
pada 10 november di Surabaya 66 tahun silam yang kini kita kenal sebagai Hari
Pahlawan Nasional adalah gambaran semangat perlawanan rakyat Indonesia kala itu
dalam menentang ultimatum tentara Inggris karena tewasnya Brigadir Jenderal
Mallaby (pemimpin tentara Inggris untuk Jawa Timur) dalam bentrokan senjata
yang terjadi pada 30 Oktober 1945 dengan tentara Indonesia. Seperti yang
ditulis dalam artikel “The Battle of Surabaya”, setelah kemerdekaan Indonesia
diproklamirkan, rakyat dan pejuang tanah air berupaya melucuti senjata para
tentara Jepang. Maka pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak
daerah, berkobar. Sejak itulah, tentara Inggris mendarat di Jakarta kemudian
mendarat di Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945. Tentara Inggris datang ke
Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) atas
keputusan dan atas nama Blok Sekutu dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang,
membebaskan para tawanan perang yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara
Jepang ke negerinya. Tak kalah pentingnya bagi tentara Inggris, tujuan utama
mereka adalah mengembalikan Indonesia sebagai negeri jajahan Hindia Belanda.
Tentu saja, hal ini memicu gejolak rakyat Indonesia untuk melakukan pergerakan
perlawanan agar Indonesia tetap berdaulat.
Setelah insiden
perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato Surabaya berlangsung sengit, maka
pada tanggal 27 Oktober 1945, meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia
melawan tentara Inggris. Kemudian berlanjut saat pengganti Brigjen Mallaby,
Mayjen Robert Manserg mengultimatum bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia
yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang
ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan ke atas. Ultimatum
tersebut tentu saja mengguncang amarah rakyat karena dianggap sebagai
penghinaan terhadap Republik Indonesia yang telah merdeka sejak 17 Agustus
1945.
Tanggal 10
November pagi, tentara Inggris mulai menyerang melalui udara kemudian
membombardir kota Surabaya dari laut dan darat. Perlawanan pasukan dan milisi
Indonesia meradang di seluruh penjuru kota yang juga dikenal sebagai kota
Pahlawan itu. Awalnya, tentara Inggris menduga bahwa Surabaya dapat ditaklukkan
dalam 3 hari, ternyata tidak demikian. Bung Tomo, yang kala itu ikut memimpin
pergerakan pemuda-pemuda Surabaya tetap tak gentar dan semakin memanaskan
semangat para pejuang hingga di titik darah penghabisan. Pertempuran berdarah
di Surabaya telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh nusantara untuk
mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Terlibatnya
penduduk sipil dalam insiden tersebut mengakibatkan ratusan ribu orang harus
menjadi korban, baik yang meninggal maupun luka-luka. Sungguh, pertempuran
terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang telah
menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.
Sejarah ini,
mungkin sebagian dari kita, pemuda-pemudi Indonesia sudah tidak lagi
mengingatnya atau tidak pernah mengetahuinya sama sekali. Tahu atau tidak tahu,
paham atau tidak paham, bukan itu kawan!
Bayangkan saja
jika kita hidup di zaman itu, apakah pemuda-pemudi Indonesia akan setangguh
mereka? Apakah kita akan memasang dada, dengan ‘rewa’ menentang ketidakadilan
di depan mata? Apakah kita akan diam saja melihat bangsa lain menginjak-injak
Merah Putih kita? Kemana badik akan kita tancapkan? Apakah saat meneriakkan
‘Maju’, ‘Merdeka’, kepalan tangan kanan yang kita angkat senada dengan bara
semangat di hati kita?
Apa yang terjadi
kala itu, tentu saja tidak sedamai apa yang kita rasakan di masa kini.
Kita bahkan hampir tidak pernah mendengar gencatan senjata Indonesia dengan
negara lain, kita tidak perlu repot dengan rasa khawatir yang berlebihan atau
tidak perlu menjadi pengecut yang lari dan bersembunyi.
Rasa tentram itu
tentu saja berkat mereka, pahlawan-pahlawan kita. Tapi, apa yang telah kita
berikan untuk mereka? Hening cipta? Upacara bendera? Apa hanya itu? Kawan,
bersyukurlah atas kehidupan yang penuh damai ini. Usia muda kita, sia-sia saja
jika kita habiskan dengan hal percuma. Sudah saatnya, semangat perjuangan
mereka kita pekikkan kembali. Berbuatlah sesuatu untuk negeri ini, berkaryalah,
torehkan sejarah prestasi kita. Langkah yang paling sederhana adalah memulainya
dengan diri kita sendiri. Kesulitan apapun yang kita hadapi, anggap saja
sebagai cambuk yang semakin mendewasakan kita. Karena jika tidak, sesungguhnya
kita telah menjajah diri kita sendiri. Apa yang dikatakan oleh Winston
Churchill (perdana menteri Britania Raya pada PD II) bahwa “Orang pesimis
melihat kesulitan di setiap kesempatan. Sedangkan orang optimis melihat
kesempatan di setiap kesulitan”, sebaiknya kita renungkan.
Kita tidak harus
menjadi pahlawan seperti Bung Tomo, cukup menjadi pahlawan untuk diri kita
sendiri. Memulainya, dengan berjuang melawan kemalasan dan putus asa, menjadi
anak muda yang optimis. Dengan begitu, kesulitan tidak lagi menjadi beban,
sebaliknya menjadi tantangan. Karena, sesungguhnya bertempur dengan rasa takut
itulah yang paling berat. Bukankah sejatinya, pahlawan tidak peduli menang
atau kalah, tetapi apa yang telah dia perjuangkan untuk dirinya sendiri begitu
pula untuk bangsanya.
0 komentar:
Post a Comment