Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Thursday, February 23, 2012

Melambatnya Demokratisasi Secara Sistemik

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah mendapat medali emas demokrasi dari asosiasi Asosiasi Internasional Konsultasi Politik. Indonesia dianggap berhasil menerapkan proses demokratisasi dengan sempurna di kawasan asia tenggara. Indonesia adalah negara Islam terbesar ke 4 yang berhasil menerapkan demokrasi. Selain itu juga Indonesia dianggap mampu mensandingkan proses demokratisasi dengan dunia Islam yang beberapa dekade terakhir menjadi sebuah konsep yang sangat sulit didamaikan. Keberhasilan-keberhasilan ini membuat para pengamat politik Internasional menganggap Indonesia bisa menjadi kiblat demokrasi di asia tenggara. Padahal dari segi populasi Indonesia adalah negara yang memiliki populasi yang sangat besar. Sebagai negara kesatuan, Indonesia juga memiliki sebaran daerah administrasi yang sangat luas. 
Standar keberhasilan yang diraih di Indonesia terkait dengan proses demokratisasi hanya berangkat dari hitung-hitungan keberhasilan penerapan sistem politik yang terbuka dan memberi peluang yang besar kepada rakyat secara politik. Selain itu juga keberhasilan demokrasi Indonesia sampai sejauh ini hanya dalam hitungan prosedural-teknis pemilu. Namun keberhasilan penerapan sistem politik tersebut tidak dibarengi dengan keberhasilan pengembangan sistem ekonomi dan distribusi kesejahteraan masyarakat secara maksimal. 
Kejatuhan Soeharto sebagai standar tapakan baru perubahan, akhirnya meratapi nasibnya yang mati suri. Reformasi telah selesai. Dan saat ini ada sebuah kondisi yang dianggap tak bertuan. Yaitu proses pelambatan transisi demokrasi yang tersistematik. Secara harfiah transisi mengarah pada dua kekuatan besar. Kekuatan politik lama (status quo) dan konsolidasi kekuatan politik baru. Demokrasi kita disandera oleh elit kedua kekuatan politik ini, hanya pada prosedural demokrasi. Sehingga sistem politik yang dilahirkan secara aktual, mengalami kerancuan yang cukup signifikan. 
Hal ini terjadi karena tidak ada garis demarkasi yang jelas antara dua kekuatan politik ini. Kekuatan lama dan kekuatan baru. Bangunan perubahan yang dilakukan oleh elit juga bersifat opurtunis dan kompromistik. Kehadiran kekuatan baru, tidak secara signifikan menjadi kekuatan penyeimbang status quo yang sudah ditumbangkan secara simbolik. . Kekuatan lama cendrung masih dominatif dan terkonsolidasi mempertahankan atau bahkan memperlambat proses perubahan yang terjadi. Kekuatan baru hanya bisa menjadi pemain pelengkap dalam kancah perpolitik Indonesia sampai saat ini. 
Akhirnya perubahan sistem yang terjadi, sebenarnya memfasilitasi kepentingan kelompok kekuatan lama. Kekuatan politik lama ini, tidak berhenti di tataran simbol politik, tapi juga karakteristik politik. Ada pun kecendrungan baru yang dilahirkan oleh perubahan sistem politik, itu hanya membuka peluang kekuatan baru untuk bermain didalam kancah politik, namun dengan mentalitas yang telah terkonstruk oleh sistem yang melambatkan proses perubahan. 
Proses demokratisasi kita akhirnya mengalami kegamangan konsep ke arah perubahan yang signifikan. Pada pemilu di tahun 2004 kita mengalami politisasi demokrasi. Para elit tampil dengan mentalitas seolah-olah merepresentasi kepentingan rakyat. Elit melihat rakyat sebagai objek jualan politik yang cukup empuk untuk melangengkan kepentingan kelompok dan individu. Partai politik sebagai alat utama proses penyerapan aspirasi masyarakat, tidak bisa memaksimalkan posisinya diera transisi ini. Dorongan perubahan akhirnya berkutat pada simbol-simbol politik yang itu malah membuat perubahan sebagai sebuah kamuflase semata. 
Maka problem yang harus segera kita tuntaskan adalah, mendorong perubahan sistem kearah yang memiliki standar dan ukuran yang jelas untuk proses percepatan perubahan.
Misalnya, harus ada pola dan batasan yang jelas antara kekuatan politik lama dan kekuatan politik baru yang memiliki visi dan missi yang jelas. Sehingga proses seleksi menuju pada perubahan yang signifikan itu terjadi. Kita harus menghentikan karakteristik kekuatan politik lama untuk masuk dan membongkar tatanan kekinian yang diarahkan dengan susah payah oleh gerakan pro-demokrasi. 
Pertanyaan mendasar dalam proses perjalan transisi demokrasi kita ini hanya dua ranah, apa kita akan memodifikasi sistem, mengarah pada perubahan yang substansial, atau kita menikmati perubahan prosedural dan menunggu datangnya rezim otoriterian yang baru ? tanpa kita sadari kita telah membunuh semangat reformasi dalam jangka waktu yang sangat cepat. Dan memberi peluang yang cukup besar kepada kembalinya kekuatan lama. Hal ini terlihat dari perkembangan perubahan sistem. Tanpa kita sadari perubahan sistem yang kita banggakan ini, malah memperlambat proses demokratisasi secara signifikan. Sehingga yang salah bukan konsep demokrasi ala barat, atau sistem demokrasi ala arab, tapi kita belum mempu mengarahkan karakteristik atau kecendrungan transisi kita pada koridor yang tepat dan bisa mendorong perubahan pada ranah yang lebih cepat.

Melambatnya Demokratisasi Secara Sistemik Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment