Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
pernah mendapat medali emas demokrasi dari asosiasi Asosiasi Internasional
Konsultasi Politik. Indonesia dianggap berhasil menerapkan proses demokratisasi
dengan sempurna di kawasan asia tenggara. Indonesia adalah negara Islam
terbesar ke 4 yang berhasil menerapkan demokrasi. Selain itu juga Indonesia
dianggap mampu mensandingkan proses demokratisasi dengan dunia Islam yang
beberapa dekade terakhir menjadi sebuah konsep yang sangat sulit didamaikan.
Keberhasilan-keberhasilan ini membuat para pengamat politik Internasional
menganggap Indonesia bisa menjadi kiblat demokrasi di asia tenggara. Padahal
dari segi populasi Indonesia adalah negara yang memiliki populasi yang sangat
besar. Sebagai negara kesatuan, Indonesia juga memiliki sebaran daerah
administrasi yang sangat luas.
Standar keberhasilan yang diraih di
Indonesia terkait dengan proses demokratisasi hanya berangkat dari
hitung-hitungan keberhasilan penerapan sistem politik yang terbuka dan memberi
peluang yang besar kepada rakyat secara politik. Selain itu juga keberhasilan
demokrasi Indonesia sampai sejauh ini hanya dalam hitungan prosedural-teknis
pemilu. Namun keberhasilan penerapan sistem politik tersebut tidak dibarengi
dengan keberhasilan pengembangan sistem ekonomi dan distribusi kesejahteraan
masyarakat secara maksimal.
Kejatuhan Soeharto sebagai standar tapakan
baru perubahan, akhirnya meratapi nasibnya yang mati suri. Reformasi telah
selesai. Dan saat ini ada sebuah kondisi yang dianggap tak bertuan. Yaitu
proses pelambatan transisi demokrasi yang tersistematik. Secara harfiah
transisi mengarah pada dua kekuatan besar. Kekuatan politik lama (status quo)
dan konsolidasi kekuatan politik baru. Demokrasi kita disandera oleh elit kedua
kekuatan politik ini, hanya pada prosedural demokrasi. Sehingga sistem politik yang
dilahirkan secara aktual, mengalami kerancuan yang cukup signifikan.
Hal ini terjadi karena tidak ada garis
demarkasi yang jelas antara dua kekuatan politik ini. Kekuatan lama dan
kekuatan baru. Bangunan perubahan yang dilakukan oleh elit juga bersifat
opurtunis dan kompromistik. Kehadiran kekuatan baru, tidak secara signifikan
menjadi kekuatan penyeimbang status quo yang sudah ditumbangkan secara
simbolik. . Kekuatan lama cendrung masih dominatif dan terkonsolidasi
mempertahankan atau bahkan memperlambat proses perubahan yang terjadi. Kekuatan
baru hanya bisa menjadi pemain pelengkap dalam kancah perpolitik Indonesia
sampai saat ini.
Akhirnya perubahan sistem yang terjadi,
sebenarnya memfasilitasi kepentingan kelompok kekuatan lama. Kekuatan politik lama
ini, tidak berhenti di tataran simbol politik, tapi juga karakteristik politik.
Ada pun kecendrungan baru yang dilahirkan oleh perubahan sistem politik, itu
hanya membuka peluang kekuatan baru untuk bermain didalam kancah politik, namun
dengan mentalitas yang telah terkonstruk oleh sistem yang melambatkan proses
perubahan.
Proses demokratisasi kita akhirnya
mengalami kegamangan konsep ke arah perubahan yang signifikan. Pada pemilu di
tahun 2004 kita mengalami politisasi demokrasi. Para elit tampil dengan
mentalitas seolah-olah merepresentasi kepentingan rakyat. Elit melihat rakyat
sebagai objek jualan politik yang cukup empuk untuk melangengkan kepentingan
kelompok dan individu. Partai politik sebagai alat utama proses penyerapan
aspirasi masyarakat, tidak bisa memaksimalkan posisinya diera transisi ini.
Dorongan perubahan akhirnya berkutat pada simbol-simbol politik yang itu malah
membuat perubahan sebagai sebuah kamuflase semata.
Maka problem yang harus segera kita
tuntaskan adalah, mendorong perubahan sistem kearah yang memiliki standar dan
ukuran yang jelas untuk proses percepatan perubahan.
Misalnya, harus ada pola dan batasan yang jelas antara kekuatan politik lama dan kekuatan politik baru yang memiliki visi dan missi yang jelas. Sehingga proses seleksi menuju pada perubahan yang signifikan itu terjadi. Kita harus menghentikan karakteristik kekuatan politik lama untuk masuk dan membongkar tatanan kekinian yang diarahkan dengan susah payah oleh gerakan pro-demokrasi.
Misalnya, harus ada pola dan batasan yang jelas antara kekuatan politik lama dan kekuatan politik baru yang memiliki visi dan missi yang jelas. Sehingga proses seleksi menuju pada perubahan yang signifikan itu terjadi. Kita harus menghentikan karakteristik kekuatan politik lama untuk masuk dan membongkar tatanan kekinian yang diarahkan dengan susah payah oleh gerakan pro-demokrasi.
Pertanyaan mendasar dalam proses perjalan
transisi demokrasi kita ini hanya dua ranah, apa kita akan memodifikasi sistem,
mengarah pada perubahan yang substansial, atau kita menikmati perubahan
prosedural dan menunggu datangnya rezim otoriterian yang baru ? tanpa kita
sadari kita telah membunuh semangat reformasi dalam jangka waktu yang sangat
cepat. Dan memberi peluang yang cukup besar kepada kembalinya kekuatan lama.
Hal ini terlihat dari perkembangan perubahan sistem. Tanpa kita sadari
perubahan sistem yang kita banggakan ini, malah memperlambat proses
demokratisasi secara signifikan. Sehingga yang salah bukan konsep demokrasi ala
barat, atau sistem demokrasi ala arab, tapi kita belum mempu mengarahkan karakteristik
atau kecendrungan transisi kita pada koridor yang tepat dan bisa mendorong
perubahan pada ranah yang lebih cepat.
0 komentar:
Post a Comment