1 April dua tahun yang lalu sejumlah praktisi penyiaran, seniman, dan
pemerhati dunia siaran di Indonesia mendeklarasikan 1 April sebagai Hari
Penyiaran Nasional di Solo Jawa Tengah. Kenapa Tanggal ini dipilih sebagai Hari
Penyiaran Nasional (HARSIARNAS) sejarahnya adalah karena pada tanggal tersebut
78 tahun silam didirikan stasiun radio siaran pertama di Indonesia yang bernama
Solosche Radio Vereeniging (SRV). Berdirinya Radio SRV ini dipilih sebagai
momentum awal dunia kepenyiaran di Indonesia karena radio inilah yang merupakan
radio pertama yang mengudara dengan menggunakan perangkat siar dan teknologi
modern saat itu, dan yang terpenting Radio SRV ini didirikan oleh orang orang
Indonesia dan tenaga pengelolanya adalah orang orang asli pribumi.
Sejak dua tahun yang lalu gaung Harsiarnas mulai kita
rasakan di negeri ini tujuannya adalah hari Penyiaran diharapkan akan dapat
menggandeng dan menyatukan berbagai seremonial-seromonial penyiaran yang telah
lahir terlebih dahulu. Untuk itu, dukungan dan juga restu dari semua pihak yang
terkait diharapkan bisa mewujudkan momentum hari spesial buat dunia penyiaran
itu sendiri.
Di era keterbukaan saat ini, dunia penyiaran, baik lembaga
penyiaran publik, swasta, maupun komunitas, tumbuh dan berkembang pesat. namun,
diperlukan sebuah arah penyiaran yang selaras dengan keterbukaan global, yang
tetap menjaga nilai-nilai kebangsaan.
Lantas seperti apa sesungguhnya dunia penyiaran di
Indonesia, mungkin yang ada dipikiran kita secara sederhana adalah tayangan
sinetron dan infotaintment yang mengumbar urusan cinta, Perselingkuhan, mimpi,
kekerasan, kemewahan, dan lain lain ditengah kondisi riil saat ini, dimana
Indonesia masih terus berjuang untuk melawan kemiskinan, yang terjadi ini
adalah salah satu saja dari persoalan yang bersangkutan di kontent isi siaran
penyebabnya “mungkin” selama beberapa tahun ini industri Televisi tumbuh dan
berkembang tanpa disertai pedoman atau rambu-rambu yang jelas. Stasion Televisi
tumbuh berdasarkan keinginan pengelolanya. Hasilnya, televisi berkembang hampir
tak terkendali dan sulit dipertanggungjawabkan.
Padahal lebih jauh daripada itu dunia penyiaran di Indonesia
sungguh kompleks persoalan persoalan di dalamnya. Mulai dari sentralisasi
penyiaran yang masih sulit dirubah meskipun telah ada Undang Undang No 32
sebagai payung hukumnya. Kemudian belum jelasnya teknis siaran sistem
berjaringan (SSB), yang mengakibatkan TV Nasional yang “diwajibkan”
melaksanakan SSB paling lambat tanggal 28 Desember 2007 lalu, hingga kini
masih tanda Tanya besar, bukannya mereka melaksanakan SSB malah TV
Nasional ramai ramai melakukan merger kepemilikan.
Hal lainnya adalah ketidakjelasan pengaturan hak frekuensi
di daerah. Pembagian kanal frekuensi yang diatur dalam Kepmenhub (Keputusan
Menteri Perhubungan) No 76 th 2003 yang memberi kecenderungan Lembaga Penyiaran
Swasta di Jakarta untuk menguasai frekwensi dengan modal besar yang mereka
miliki, mereka dengan mudahnya menyingkirkan lembaga penyiaran di daerah dengan
berbagai macam trik misalnya dalam kepemilikan saham mayoritas, di Sulawesi
Selatan Trik ini sudah berlangsung bahkan tidak hanya itu hingga kepada crew
dan pekerja dibalik layarpun ikut dibajak dengan iming iming penghasilan yang
jauh lebih besar dari lembaga penyiaran lokal yang (kalo mau jujur) membesarkan
dan mendidik para pekerja ini dengan susah payah.
Tantangan lainnya adalah keberanian kita mengizinkan lembaga
penyiaran asing masuk ke Indonesia, karena sebagian dari masyarakat kita sudah
lama menikmati lembaga penyiaran asing seperti CNN, Al Jazeera International,
dan lain lain. Kenapa tidak diizinkan saja sekalian bukankah akan menjadikan
siaran kita lebih kompetitif dan akan meningkatkan keaneka ragam lembaga
penyiaran di Indonesia disamping itu tentunya akan membuka lowongan kerja baru.
Hal lainnya menurut saya yang menjadi tantangan tersendiri
dari dunia penyiaran bahkan media massa lainnya yaitu era internet. Dalam
sebuah seminar yang kami ikuti beberapa waktu lalu salah satu pemateri
mencontohkan dengan mengambil sampel peserta seminar yang berjumlah kurang
lebih 100 orang, pemateri menanyakan berapa orang yang sempat membaca Koran
pagi sebelum ke tempat seminar, yg mengangkat tangan ada kurang lebih 10 orang,
kemudian dia bertanya lagi ada berapa orang yang sempat menonton berita pagi di
TV, kurang lebih 6 orang yang mengangkat tangan, selanjutnya dia bertanya lagi
berapa orang yang dalam perjalanan menuju tempat seminar sempat memutar siaran
radio di kendaraannya, yang mengangkat tangan sekitar 15 orang. Pertanyaan
terakhirnya adalah berapa orang yang sempat membuka internet pagi itu, baik
facebook twitter dan lain lain dan jawabannya hampir seluruh isi ruangan
mengangkat tangan. Fakta ini menyadarkan saya bahwa bagaimanapun juga internet
sekarang adalah bagian kehidupan, dan dunia penyiaran harus mau berkolaborasi
dengan internet, bagi sebuah stasion radio mungkin dengan bersiaran melalui
radio streaming adalah salah satu bentuk kolaborasinya.
0 komentar:
Post a Comment