Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Friday, February 10, 2012

Legenda Petrobas, bagaimana Pertamina kita?

Inilah keadaan sebuah negeri yang beruntung. Sebuah negeri yang dikenal sebagai paru-paru dunia, dengan hutan luas yang dipenuhi spesies tanaman paling beragam dan menjadi hulu berbagai sungai besar yang menyuburkan. Negeri dengan ribuan kilometer garis pantai berpasir putih, kemilau di bawah sinar keemasan mentari sepanjang tahun, yang digandrungi jutaan turis dari seluruh penjuru jagat.
Anda mungkin membayangkan surga dunia itu adalah Indonesia, untaian zamrud khatulistiwa yang dikatakan Emha Ainun Majid terbentuk karena sepotong surga jatuh ke bumi. Sayangnya, itu bukan Nusantara kita tercinta. Sebab, negeri kaya itu ”setidaknya lebih dari setengah abad yang lalu” tak punya cadangan minyak yang cukup untuk membuat rakyatnya menikmati banyak kemudahan. Bahkan ladang minyak yang dimiliki tak mengucurkan lumpur emas hitam, tetapi hanya memberikan batuan rapuh yang mengandung minyak. Oil shale ini kelewat mahal untuk diolah jadi minyak.
Kendati demikian, justru kekayaan yang boleh dibilang nirminyak itu yang membuat mereka beruntung. Selain itu (sekali lagi, sekitar enam dasawarsa lalu), negeri tersebut juga punya keberuntungan lain: seorang presiden yang tahu benar apa arti berdikari, berdiri di atas kaki sendiri.
Buat mewujudkan cita-cita tak tergantung pada (perusahaan) minyak asing, presiden itu - yang namanya tentu saja bukan Soekarno, melainkan Getalio Vargas mendirikan Petraleo Brazileiro S.A. pada 1953. Tujuan pendirian BUMN yang dikenal dunia sebagai Petrobras ini? Itu tadi : buat menjamin Brasil bisa memenuhi kebutuhan minyaknya sendiri.
Mengusung misi "Petroleum is Ours!" langkah Vargas mendapat dukungan luas masyarakat Brasil. Sebaliknya, kalangan elite yang terdiri dari para tuan tanah menentang keras. Merasa terancam, para konglomerat yang sebelumnya diuntungkan oleh sistem yang dikembangkan pemerintah kolonial itu melakukan tekanan teramat keras. Vargas mungkin saja lalu jadi frustrasi. Kita tak tahu pasti. Yang jelas, pada 1954, sang Presiden mati bunuh diri.
Ditinggal pengagasnya, berkali-kali Petrobras nyaris dicaplok melalui berbagai upaya swastanisasi. Di era pasca-Vargas ini, Petrobras yang masih bayi gonjang-ganjing dilanda ketidakpastian. Ketika pada 1961 Pemerintah Negeri Samba menerbitkan hasil eksplorasi yang menunjukkan kecil kemungkinan ditemukan minyak di wilayah Brasil, baru BUMN tersebut berhenti digoyang.
Apa manfaatnya memperebutkan pepesan kosong? Mungkin begitu pikiran para elite Brasil. Masa yang agak tenang ini dimanfaatkan para insinyur Petrobras untuk mengembangkan teknologi tepat guna buat memanfaatkan oil shale yang tak dilirik para raksasa minyak & gas (migas) dunia yang tadinya ingin menguasai BUMN itu melalui para konglomerat hitam itu.
Hasilnya: Petrosix, teknologi ekstraksi dingin minyak dari batuan rapuh, shale, yang lalu dimanfaatkan secara komersial pada 1992, setelah 10 tahun percobaan skala pilot plant. Sementara itu, tambang minyak kecil yang ada memungkinkan Petrobras membukukan pertumbuhan. Geliat bisnis ini membuat upaya swastanisasi terhadap Petrobras gencar lagi, terutama di era pemerintah diktator, 1969-74.
Di sisi ekonomi makro, pada 1973 kereta Keajaiban Brasil yang dihela industri hasil hutan dan pertambangan mandek diterpa krisis minyak pertama. Petrobras yang sempat menikmati pertumbuhan singkat nyaris bangkrut bersama terpuruknya perekonomian nasional yang kehilangan pasar produk komoditas karena industri Amerika Serikat yang mati suri akibat embargo OPEC. Nasib sial agaknya masih mengikuti BUMN yang digagas Vargas, sang Presiden yang juga bernasib sial itu.
Hebatnya, Petrobras jalan terus. Dan mereka benar; di balik kemalangan ada keberuntungan. Pada 1974, mereka menemukan ladang minyak besar di Bacia de Campos. Meningkatnya cadangan minyak ini mendongkrak keuangan Petrobras sehingga mereka mampu membangkitkan kembali bisnisnya di seluruh negeri.
Petrobras lantas tinggal landas? Tak semudah itu. Buat mengeksploitasi Bacia de Campos diperlukan biaya besar. Padahal, untuk pengembangan bisnis lebih lanjut mereka juga tak bisa berhenti pada Bacia de Campos, harus menemukan cadangan minyak lain, dan yang lebih besar pula. Maka, pada 1975 Petrobras teken kontrak berbagi risiko dengan perusahaan migas swasta untuk mengintensifkan upaya pencarian ladang-ladang minyak baru dan mengokohkan pijakan bisnisnya di seluruh negeri.
Berkat langkah berani ini, Petrobras tak kelewat goyah ketika pada 1979 dilanda krisis minyak kedua. Bahkan, pelan tapi pasti, BUMN ini mampu memenuhi visi pendirinya: memastikan Brasil memenuhi kebutuhan minyaknya sendiri.
Buat sebuah negeri dengan jumlah penduduk 190-an juta, upaya swasembada minyak bukan hal yang mudah. Untungnya, itu tadi, tak (merasa) punya cadangan minyak riil berlebih, pemerintah yang memonopoli bisnis minyak tak punya cukup alasan buat membeli loyalitas warganya melalui subsidi migas seperti yang dilakukan sementara pemimpin negara sedang berkembang lainnya. Harga minyak domestik yang tak ditekan kelewat rendah ini membuat Petrobras mampu tumbuh cepat hingga menggurita ke industri pembangkit dan tenaga listrik dan petrokimia.
Kesadaran miskin minyak juga mendorong Pemerintah Brasil mengarahkan Petrobras agar tak sekadar jadi jago kandang. Dengan demikian, sejak dini Petrobras telah aktif mengakuisisi perusahaan-perusahaan energi terpenting Amerika Selatan dan mengeksplorasi ladang-ladang minyak laut dalam di lepas pantai Afrika Barat dan Teluk Meksiko. Saat ini, belalai bisnis mereka di industri minyak dan pembangkit listrik telah menjangkau 27 negara di lima benua, termasuk Amerika Utara dan Eropa.
Kehandalan teknologi eksplorasi migas laut dalam juga kepiawaian teknologi pengolahan oil shale Petrobras merupakan hikmah dari ketidakberuntungan lainnya. Ladang minyak Petrobras yang kebanyakan di lepas pantai, dan sumber minyak awal yang berupa bebatuan, telah memaksa mereka mengembangkan teknologi eksplorasi laut dalam dan Petrosix. Ekspor teknologi semacam ini menjadi sumber pendapatan yang cukup besar bagi Petrobras. 
Bahkan, berkat teknologi Petrosix yang telah terbukti andal secara komersial selama 30 tahun, pada awal Juni lalu Petrobras (bersama Mitsui) digandeng oleh Oil Shale Exploration Company (OSEC) yang menguasai lebih dari 12 ribu hektare lahan oil shale di Green River Basin, Utah. Ladang oil shale ini diperkirakan mengandung setidaknya 3 miliar barel minyak.
Penguasaan tenologi yang hanya dimiliki segelintir raksasa industri perminyakan dunia itu pula yang memungkinkan Petrobras menemukan Ladang Tupi yang memiliki cadangan minyak 5 miliar-8 miliar barel - terakbar ke-3 di dunia dan terpendam 5.000 meter di bawah permukaan Perairan Santos, lepas pantai Rio de Janeiro. Ketika penemuan ini diumumkan pada November 2007, nilai saham Petrobras langsung melejit 19 %. Berkat kinerja saham Petrobras, indeks harga saham di Bovespa Stock Exhange, IBovespa, terus terbang tinggi walau sepanjang 2007 nilai saham di bursa-bursa efek Amerika Utara, dan dunia pada umumnya, terjun bebas.
Sebelumnya, Mei 1997 sampai Juni 2006, nilai saham Petrobras yang 55,7% (dengan vote right) dikuasai Pemerintah Brasil meroket 1.200%. Salah satu yang membuat Petrobras tancap gas adalah pembukaan pasar domestik Brasil pada 1997, ketika produksi minyak BUMN ini telah cukup jauh menembus 1 juta barel/hari dan jaringan distribusinya telah menjangkau seluruh negeri.
Alih-alih sibuk menghalau pesaing dari luar, penghapusan monopoli ini justru mendorong Petrobras lebih agresif menggarap pasar mancanegara. Pada 2003, mereka mencaplok kampiun industri migas terbesar Argentina, Perez Companc Energia S.A. dan basis operasional bisnisnya di Bolivia, Peru dan Paraguay. Akuisisi inilah yang membuka jalan bagi Petrobras untuk menguasai jaringan pipa migas di seantero Amerika Latin dan pada 2006 menempatkan Brasil sebagai satu dari sedikit negara yang mampu memenuhi sendiri kebutuhan minyaknya.
Dengan swasembada ini, Presiden Luiz Inácio Lula da Silva mengizinkan Petrobras mengekspor kelebihan produksinya. Buat menggenjot ekspor yang memberikan margin lebih gemuk karena Pemerintah Brasil mengendalikan harga bahan bakar minyak (BBM) domestik guna menjinakkan inflasi walau harga minyak dunia meroket dua kali lipat dalam setahun terakhir Petrobras berencana membangun dua kilang raksasa di negara bagian Rio Grande do Norte dan Ceara yang direncanakan akan menambah kapasitas refining minimal 1 juta barel/hari pada 2014.
"Adalah masuk akal membangun kilang tersebut di Brasil," ujar Thereza Frenando, analis industri minyak dan energi pada MB Associados di São Paulo. "Mereka toh bakal mengekspor produk. Jadi sebaiknya, ya, mengekspor BBM yang memberikan nilai tambah lebih tinggi ketimbang sekadar minyak mentah." tukasnya.
Prospek menuai laba lebih tinggi ini pada 2007 Petrobras menangguk laba bersih US$ 13 miliar lebih, membuat nilai saham mereka terus melejit. Apalagi, pada 21 Januari 2008, CEO Jose Sergio Gabrielli mengumumkan lagi telah menemukan Ladang Jupiter, cadangan minyak yang tak kalah besar di kedalaman 5.100 meter di bawah permukaan Lautan Atlantik, hanya 37 km dari Tupi. Tak mengherankan, di penghujung kuartal I/2008, dengan nilai buku US$ 295,6 miliar, BUMN Migas Brasil ini berhasil mengibarkan diri jadi perusahaan ke-3 terbesar di Benua Amerika hanya kalah dari ExxonMobil dan General Electric (GE) dan lebih besar ketimbang Microsoft dan Wal-Mart dan ke-6 terbesar di dunia, mengungguli BP dan Chevron Texaco, bahkan raksasa Industrial & Commercial Bank of China.
Pada awal kuartal II, tepatnya 14 April 2008, Petrobras kembali mengumumkan penemuan ladang minyak yang jauh lebih spektakuler. Terletak satu kawasan dengan Tupi, ladang yang diberi nama Jupiter tersebut diperkirakan memiliki cadangan minyak 33 miliar barel! Lalu, pada 21 Mei lalu, mereka juga mengumumkan ladang minyak raksasa ketiga yang berlokasi di lepas pantai Sao Paulo.
Fantastis. Namun, sekali lagi, tanpa kemalangan tak memiliki cukup banyak cadangan minyak setidaknya di daratan yang mudah dijangkau mustahil bagi Petrobras menguasai teknologi eksplorasi minyak laut dalam. Dengan kemampuan teknologi yang langka ini, walau secara finansial masih berada di peringkat ke-6 dunia, mereka mampu mempertahankan saham mayoritas di sebagian besar ladang minyaknya, terutama yang di dalam negeri. Pada ladang minyak 33 miliar barel yang memiliki bobot jenis API 25-28 itu, misalnya, Petrobras menguasai 66% saham. Sisanya dibagi antara Royal Durch/Shell (20%) dan Galp Energia (14%).
Kemalangan tak memiliki cukup banyak cadangan minyak pada awal sejarah bisnis Petrobras juga membawa keberuntungan lain yang tak kalah penting. Terpaksa mengupayakan energi alternatif, Brasil sekarang mengibarkan diri sebagai produsen (dan konsumen) biofuel ataupun biodiesel terbesar dunia. Untuk jadi konsumen terbesar, industri otomotif Brasil mengembangkan teknologi yang memungkinkan mobil yang berkeliaran di jalan mengonsumsi biofuel yang mengandung sampai 80% etanol.
Kiprah yang luar biasa di energi terbarukan ini membuat Petrobras, pada akhir 2003, pede mendaftarkan diri ke The United Nation Global Impact, perjanjian sukarela untuk menaati sejumlah prinsip terkait hak asasi manusia, kondisi kerja dan lingkungan. Sejak 2006 mereka telah masuk dalam Dow Jones Sustainability Index, acuan kalangan investor yang peduli lingkungan dan tanggung jawab sosial.
Pada akhir Februari lalu, Management and Excellence, perusahaan konsultan Spanyol, mengakui Petrobras sebagai perusahaan minyak paling sustainable sejagat. Yang teranyar, 28 April 2008, Transparency International, lembaga swadaya masyarakat yang memerangi korupsi global, memasukkan nama Petrobras sebagai satu dari hanya 42 perusahaan yang memiliki tingkat transparansi tinggi.
Masih kurang? Di tengah isu pemanasan global, penguasaan teknologi hijau lagi-lagi membuka peluang ekspor. Pada 19 Desember 2005, Petrobras digandeng Nippon Alcohol Hanbai guna mendirikan Brazil-Japan Ethanol, perusahaan patungan untuk membuka pasar etanol di Jepang.
Kisah sukses Petrobras mungkin serasa novel tempo doeloe semacam "Derita Membawa Nikmat." Namun, sejatinya, sukses itu membuktikan bahwa kalau dikelola dengan benar, BUMN dari negara Dunia Ketiga pun mampu bersaing dengan korporasi multinasional sekaliber ExxonMobil walau, memang, kelahiran yang sederhana berperan besar dalam menghindarkan Petrobras dari tangan penguasa serakah dan para cukongnya, barisan konglomerat hitam.
Bandingkan saja dengan BUMN negara Dunia Ketiga lainnya yang sejak era penjajahan telah diberkahi dengan sumber daya minyak yang kaya. Yacimientos Petrolíferos Fiscales Bolivianos (YPFB), misalnya. Didirikan oleh Presiden Gonzalo Sanchas de Lozada pada 1930-an, BUMN Bolivia ini jadi rebutan para konglomerat hitam sehingga mengalami swastanisasi.
Sumber daya migas Bolivia sendiri lalu banyak dikuasai asing, baik secara langsung maupun melalui para konglomerat hitam. Jangan heran, rakyat Bolivia tetap miskin walau Tanah Air mereka demikian kaya. Kemiskinan inilah yang melahirkan pemimpin dari kalangan jelata: Presiden Evo Morales, seorang keturunan suku Indian setempat.
Dalam upaya memenuhi janji kampanyenya menyejahterakan rakyat Bolivia, Presiden Morales yang dikatakan Barat beraliran kiri menasionalisasi YPFB. Tujuannya? Sama sekali bukan buat memperkaya diri atau golongan, laiknya para pemimpin di Dunia Ketiga yang gemar umbar janji. Dengan mem-BUMN-kan kembali YPFB, Morales bisa leluasa memanfaatkan pendapatan yang diperoleh dari kegiatan ekstraktif terhadap sumber daya migas yang memang sebetulnya milik rakyat buat membiayai program-program sosial pemerintah.
Gebrakan Morales ini segera memicu gebrakan serupa di Venezuela, penghasil minyak ke-5 terbesar dunia. Di tengah harga minyak dunia yang terus membumbung tinggi tapi, sekali lagi, tak bisa dinikmati rakyat yang merupakan pemilik sah sumber daya alam tersebut, Presiden Hugo Chavez menasionalisasi Petroleos de Venezuela S.A. (PDVSA).
Setelah itu, Presiden Chavez yang juga dicap kiri memerintahkan pengambilalihan oleh negara terhadap beberapa operasi minyak besar yang selama ini dikendalikan oleh korporasi multinasional. Total S.A. (Prancis) dan Eni Sp.A. (Italia) menolak perubahan kontrak yang diwajibkan oleh Chavez, tetapi 16 perusahaan migas lainnya termasuk Shell (Inggis-Belanda), Chevron Corp. (Amerika), Repsol YPF (Spanyol) setuju merevisi kontrak dengan Venezulea yang memberikan Pemerintah Caracas bagian yang lebih plus kendali operasional.
Di bawah kontrak baru itu, pajak terhadap windfall profit perusahaan migas dinaikkan dari 34% jadi 50%. Rafael Ramirez, Menteri Perminyakan Venezuela yang juga Presiden PDVSA berharap, pajak yang masuk ke brankas negara akan bertambah US$ 1,2 miliar.
Tuntutan Chavez lainnya adalah PDVA yang sebelumnya hanya menguasai 30%-49% kontrak kerja sama minyak akan mendapatkan “minimal 60% dari hasil operasi yang diperbarui, yang berlaku 20 tahun. Venezuela harus pegang kendali atas sumber daya alamnya, ujar Chavez lantang sebelum pembukaan Pertemuan Tingkat Tinggi Wina dengan para pemimpin Eropa, Amerika Latin dan Karibia.
Seolah-olah menggemakan tuntutan Chavez, Rodrigo Cabezas yang tak lain adalah ketua komisi di DPR yang mengurus masalah kontrak migas ini berkata tak kalah lantang, pendapatan pajak yang meningkat merupakan uang yang kami tuntut untuk seluruh rakyat Venezuela.
Ketika Venezuela membuka pintu industri minyak bagi investasi swasta pada 1990-an, terbentuk 32 perjanjian kontrak karya dengan 22 korporasi migas mancanegara. Di bawah kontrak tersebut, para korporasi asing itu mengelola ladang minyak Venezuela dan PDVSA membeli minyak yang dihasilkan dengan harga tetap terhadap tingkat harga pasar yang berlaku. PDVSA juga mendapat opsi membeli saham minoritas di proyek-proyek di bawah perjanjian risk/profit sharing, dan memiliki saham di empat strategic association yang memproduksi minyak mentah berat.
Produksi minyak Venezuela anjlok pada 2002 ketika dilakukan pemogokan nasional, dan sampai saat ini belum kembali ke tingkat produksi puncak 3,5 juta barel/hari yang dicapai pada 1997. Pada 2004, Chavez yang terpilih pada 1999 menaikkan pajak terhadap empat kerja sama minyak berat, dari 1% jadi 16%. Strategic association inilah yang jadi sasaran reformasi pajak terbaru. Maklum, pangsa kemitraan dengan Total, ExxonMobil, Chevron, ConocoPhillips (Amerika), BP (Inggris) dan Statoil (Rusia) ini mencapai sekitar 23% produksi total Venezuela.
"Kami bukannya mau menendang atau tak menyertakan para korporasi asing itu," ujar Cabezas. "Tapi, sungguh absurd bahwa Pemerintah Venezuela tak menguasai saham mayoritas."
Alasan yang nasionalistis ini sangat masuk akal. Sebab, tak ada manfaatnya punya sumber daya alam melimpah kalau yang menikmati orang asing dan rakyat sendiri justru kapiran. Akan tetapi, pemimpin negara sedang berkembang yang berani mengayun langkah semacam Morales dan Chavez dapat dihitung dengan jari tangan kiri. Apa yang membuat keduanya begitu berani melawan para raksasa kapitalis Barat?
Ambil conoh kasus Chavez yang tak sekadar meningkatkan nasionalisme negaranya, tapi juga berupaya membangkitkan semangat regional. Walau hanya memproduksi minyak 600 ribu barel/hari, negeri yang dipimpin Chavez, Venezuela, memiliki cadangan minyak berat terbesar di dunia, 235 miliar barel. Jika cadangan minyak berat yang terpendam di sepanjang Sungai Orinoco ini ikut dihitung, cadangan minyak nasional Venezuela bahkan terbesar di dunia: 300 miliar barel.
Satu hal yang mesti diperhitungkan, minyak berat itu sangat sulit ditambang dan mahal untuk disuling. Sebab itu, agar menguntungkan untuk diolah, harga minyak harus minimal US$ 40/barel. Buat memaksimalkan produksi minyak berat Orinoco, diperlukan investasi US$ 200 miliar. Di sini, Chavez menginginkan mitra junior, atau korporasi asing, untuk membenamkan US$ 70 miliar buat pengembangan fasilitas yang diperlukan.
Kongres Venezuela telah mengamanatkan agar BUMN Venezuela menguasai saham mayoritas industri minyak berat yang hendak dibangun dan menyatakan: DPR tak bisa menerima kalau (eksploitasi) minyak Orinoco tak menyertakan pemilikan saham mayoritas oleh negara. Ladang minyak berat seperti Orinoco dan beberapa lagi di kawasan Alberta, Kanada, diperkirakan memberikan sumbangan yang lebih besar di masa mendatang dengan kian sulitnya ditemukan tambang minyak light sweet yang saat ini mendominasi produksi minyak global.
Yang membuat Barat, terutama AS, lebih gerah, Chavez menggunakan minyaknya untuk membangkitkan Revolusi Bolivarian gerakan menyatukan Amerika Latin yang dulu dipelopori Simon Bolivar. Pada 2005, Presiden Venezuela ini memperantarai deal pembuatan jaringan pipa antara Kolombia dan Argentina, membentuk pakta perdagangan dengan Brasil, serta bermitra dengan Kuba di bidang kesehatan dan pendidikan.
Buat menjauhkan Amerika Latin dari cengkeraman ekonom neoliberal yang berkiblat ke Washington, Chavez bahkan tak segan merogoh kocek untuk membayar sebagian besar utang Argentina ke Dana Moneter Internasional (IMF). Guna mengintegrasikan Amerika Selatan, dia meluncurkan inisiatif pembangunan El Gran Gasoducto del Sur, jaringan pipa gas sepanjang 6.600 km. Proyek senilai US$ 23 miliar ini akan menghubungkan pasok gas alam Venezuela, total 150 triliun kaki kubik, ke Argentina dan Brasil.
Berjanji akan memasok energi ke negara tetangga Amerika Selatan-nya dengan harga diskon, Chavez menyatakan, Proyek tersebut akan bisa memenuhi kebutuhan gas sampai akhir abad ini. Direncanakan mulai beroperasi pada 2014, PDVSA menyebut jaringan pipa tersebut sebagai salah satu langkah fundamental menuju integrasi Amerika Selatan.
Namun, walau Chavez banyak melancarkan retorika anti-Washington, setidaknya sampai 2005, Venezuela masih menjual 1,5 juta barel/hari minyaknya ke pelanggan terbesarnya, AS. Buat mengurangi ketergantungan pada Washington, Caracas memperkuat aliansi Selatan-Selatan yang akan merentang dari Venezuela sampai China melalui Afrika, Timur Tengah dan India, dengan meneken berbagai perjanjian dengan Beijing di bidang energi, peralatan radar, pesawat tempur, konstruksi jalan raya dan jalan kereta, serta infrastruktur komunikasi.
Venezuela memandang perekonomian China yang booming sebagai instrumen paling efektif untuk memodernisasi infrastruktur industri migasnya, memaksimalkan produksi dan laba. Pada 2005, PDVSA teken kontrak untuk memasok China National Petroleum Corp. (CNPC) sejumlah 160 ribu barel minyak/hari. Jumlah ini ditingkatkan jadi dua kali lipat pada 2006 dan 1,6 juta barel/hari pada 2007. Sebaliknya, PDVSA membeli 28 rig pengeboran dari China Petro Technology and Development Corp., anak perusahaan CNPC dan bertekad dapat merakit rig sendiri pada 2009 guna meningkatkan produksi total menjadi 5,8 juta barel/hari pada 2012.
Pada 2005, Caracas juga memberi izin bagi CNPC untuk mengeksplorasi jalur minyak Orinoco dan mengembangkan Ladang Zumano yang terbukti memiliki cadangan 400 juta barel minyak ringan dan 4 triliun kaki kubik gas alam.
Pada 2005 itu, PDVSA juga mengumumkan rencana melipatgandakan ” bukan malah melego” armada tankernya dengan memborong 18 tanker minyak raksasa dari China senilai US$ 1,3 miliar. Peningkatan ini untuk memfasilitasi pengiriman migas melalui jalur laut 24 ribu km lebih ke Cina. Mereka juga menggodok rencana besar lainnya, termasuk membangun kemitraan untuk memasarkan, mentransportasikan, dan menjajakan produk energi ke Asia.
Beberapa bos korporasi migas dunia menghadapi pasang naik nasionalisme yang disulut Morales dan dikobarkan Chavez dengan kepala dingin. Jeroen van der Veer, misalnya, menyebut langkah yang diayun Chavez sebagai realitas baru dan menyatakan, "Semakin tinggi harga migas, makin tinggi pemikiran nasionalistis yang muncul." Dan CEO Royal Dutch/Shell ini menyimpulkan, "Pada akkhirnya, pemerintah selalu jadi bos."
CEO Total, Thierry Desmarest, menambahi konklusi koleganya itu dengan sebuah harapan. "Aturan main telah berganti beberapa kali dan dengan cara yang cukup brutal pula. Kita harap saja akal sehat yang akan menang."
Walau masuk akal, kebijakan menasionalisasi sektor energi seperti yang dilakukan Chavez dan Morales bukannya tanpa risiko. Keberanian melucuti para korporat raksasa dunia itu hanya akan menghasilkan kekuatan politik dan otonomi ekonomi kalau harga minyak dunia tetap tinggi. Ini taruhan yang cukup mudah. Realitas politik dan ekonomi abad ke-21 boleh dibilang tak akan memberikan peluang kembalinya era minyak murah.
Dengan harga minyak yang tak pernah lebih rendah dari US$ 70/barel dan konsumsi energi India dan China yang terus membengkak, negara pemilik sumber daya migas yang besar bisa dipastikan bakal memperoleh apa yang diharapkan dengan memainkan kartu migas secara agresif. Namun, untuk itu, diperlukan pemimpin yang betul-betul berani seperti Chavez dan Morales, pemimpin dari akar rumput yang tak takut kehilangan apa pun bukan pemimpin salon yang penampilannya saja yang gagah, penuh gelar dan dekorasi yang tak perlu, tapi tak bisa mengambil keputusan tegas.

Legenda Petrobas, bagaimana Pertamina kita? Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment