Inilah keadaan sebuah negeri yang beruntung. Sebuah negeri
yang dikenal sebagai paru-paru dunia, dengan hutan luas yang dipenuhi spesies tanaman
paling beragam dan menjadi hulu berbagai sungai besar yang menyuburkan. Negeri
dengan ribuan kilometer garis pantai berpasir putih, kemilau di bawah sinar
keemasan mentari sepanjang tahun, yang digandrungi jutaan turis dari seluruh
penjuru jagat.
Anda mungkin membayangkan surga dunia itu adalah Indonesia,
untaian zamrud khatulistiwa yang dikatakan Emha Ainun Majid terbentuk karena
sepotong surga jatuh ke bumi. Sayangnya, itu bukan Nusantara kita tercinta.
Sebab, negeri kaya itu ”setidaknya lebih dari setengah abad yang lalu” tak
punya cadangan minyak yang cukup untuk membuat rakyatnya menikmati banyak
kemudahan. Bahkan ladang minyak yang dimiliki tak mengucurkan lumpur emas
hitam, tetapi hanya memberikan batuan rapuh yang mengandung minyak. Oil shale
ini kelewat mahal untuk diolah jadi minyak.
Kendati demikian, justru kekayaan yang boleh dibilang
nirminyak itu yang membuat mereka beruntung. Selain itu (sekali lagi, sekitar
enam dasawarsa lalu), negeri tersebut juga punya keberuntungan lain: seorang presiden
yang tahu benar apa arti berdikari, berdiri di atas kaki sendiri.
Buat mewujudkan cita-cita tak tergantung pada (perusahaan)
minyak asing, presiden itu - yang namanya tentu saja bukan Soekarno, melainkan
Getalio Vargas mendirikan Petraleo Brazileiro S.A. pada 1953. Tujuan pendirian
BUMN yang dikenal dunia sebagai Petrobras ini? Itu tadi : buat menjamin Brasil
bisa memenuhi kebutuhan minyaknya sendiri.
Mengusung misi "Petroleum is Ours!" langkah Vargas
mendapat dukungan luas masyarakat Brasil. Sebaliknya, kalangan elite yang
terdiri dari para tuan tanah menentang keras. Merasa terancam, para konglomerat
yang sebelumnya diuntungkan oleh sistem yang dikembangkan pemerintah kolonial
itu melakukan tekanan teramat keras. Vargas mungkin saja lalu jadi frustrasi.
Kita tak tahu pasti. Yang jelas, pada 1954, sang Presiden mati bunuh diri.
Ditinggal pengagasnya, berkali-kali Petrobras nyaris
dicaplok melalui berbagai upaya swastanisasi. Di era pasca-Vargas ini,
Petrobras yang masih bayi gonjang-ganjing dilanda ketidakpastian. Ketika pada
1961 Pemerintah Negeri Samba menerbitkan hasil eksplorasi yang menunjukkan
kecil kemungkinan ditemukan minyak di wilayah Brasil, baru BUMN tersebut
berhenti digoyang.
Apa manfaatnya memperebutkan pepesan kosong? Mungkin begitu
pikiran para elite Brasil. Masa yang agak tenang ini dimanfaatkan para insinyur
Petrobras untuk mengembangkan teknologi tepat guna buat memanfaatkan oil shale
yang tak dilirik para raksasa minyak & gas (migas) dunia yang tadinya ingin
menguasai BUMN itu melalui para konglomerat hitam itu.
Hasilnya: Petrosix, teknologi ekstraksi dingin minyak dari
batuan rapuh, shale, yang lalu dimanfaatkan secara komersial pada 1992, setelah
10 tahun percobaan skala pilot plant. Sementara itu, tambang minyak kecil yang
ada memungkinkan Petrobras membukukan pertumbuhan. Geliat bisnis ini membuat
upaya swastanisasi terhadap Petrobras gencar lagi, terutama di era pemerintah
diktator, 1969-74.
Di sisi ekonomi makro, pada 1973 kereta Keajaiban Brasil
yang dihela industri hasil hutan dan pertambangan mandek diterpa krisis minyak
pertama. Petrobras yang sempat menikmati pertumbuhan singkat nyaris bangkrut
bersama terpuruknya perekonomian nasional yang kehilangan pasar produk
komoditas karena industri Amerika Serikat yang mati suri akibat embargo OPEC.
Nasib sial agaknya masih mengikuti BUMN yang digagas Vargas, sang Presiden yang
juga bernasib sial itu.
Hebatnya, Petrobras jalan terus. Dan mereka benar; di balik
kemalangan ada keberuntungan. Pada 1974, mereka menemukan ladang minyak besar
di Bacia de Campos. Meningkatnya cadangan minyak ini mendongkrak keuangan
Petrobras sehingga mereka mampu membangkitkan kembali bisnisnya di seluruh
negeri.
Petrobras lantas tinggal landas? Tak semudah itu. Buat
mengeksploitasi Bacia de Campos diperlukan biaya besar. Padahal, untuk
pengembangan bisnis lebih lanjut mereka juga tak bisa berhenti pada Bacia de
Campos, harus menemukan cadangan minyak lain, dan yang lebih besar pula. Maka,
pada 1975 Petrobras teken kontrak berbagi risiko dengan perusahaan migas swasta
untuk mengintensifkan upaya pencarian ladang-ladang minyak baru dan mengokohkan
pijakan bisnisnya di seluruh negeri.
Berkat langkah berani ini, Petrobras tak kelewat goyah
ketika pada 1979 dilanda krisis minyak kedua. Bahkan, pelan tapi pasti, BUMN
ini mampu memenuhi visi pendirinya: memastikan Brasil memenuhi kebutuhan
minyaknya sendiri.
Buat sebuah negeri dengan jumlah penduduk 190-an juta, upaya
swasembada minyak bukan hal yang mudah. Untungnya, itu tadi, tak (merasa) punya
cadangan minyak riil berlebih, pemerintah yang memonopoli bisnis minyak tak
punya cukup alasan buat membeli loyalitas warganya melalui subsidi migas
seperti yang dilakukan sementara pemimpin negara sedang berkembang lainnya.
Harga minyak domestik yang tak ditekan kelewat rendah ini membuat Petrobras
mampu tumbuh cepat hingga menggurita ke industri pembangkit dan tenaga listrik
dan petrokimia.
Kesadaran miskin minyak juga mendorong Pemerintah Brasil
mengarahkan Petrobras agar tak sekadar jadi jago kandang. Dengan demikian,
sejak dini Petrobras telah aktif mengakuisisi perusahaan-perusahaan energi
terpenting Amerika Selatan dan mengeksplorasi ladang-ladang minyak laut dalam
di lepas pantai Afrika Barat dan Teluk Meksiko. Saat ini, belalai bisnis mereka
di industri minyak dan pembangkit listrik telah menjangkau 27 negara di lima
benua, termasuk Amerika Utara dan Eropa.
Kehandalan teknologi eksplorasi migas laut dalam juga
kepiawaian teknologi pengolahan oil shale Petrobras merupakan hikmah dari
ketidakberuntungan lainnya. Ladang minyak Petrobras yang kebanyakan di lepas
pantai, dan sumber minyak awal yang berupa bebatuan, telah memaksa mereka
mengembangkan teknologi eksplorasi laut dalam dan Petrosix. Ekspor teknologi
semacam ini menjadi sumber pendapatan yang cukup besar bagi Petrobras.
Bahkan, berkat teknologi Petrosix yang telah terbukti andal
secara komersial selama 30 tahun, pada awal Juni lalu Petrobras (bersama
Mitsui) digandeng oleh Oil Shale Exploration Company (OSEC) yang menguasai
lebih dari 12 ribu hektare lahan oil shale di Green River Basin, Utah. Ladang
oil shale ini diperkirakan mengandung setidaknya 3 miliar barel minyak.
Penguasaan tenologi yang hanya dimiliki segelintir raksasa
industri perminyakan dunia itu pula yang memungkinkan Petrobras menemukan
Ladang Tupi yang memiliki cadangan minyak 5 miliar-8 miliar barel - terakbar
ke-3 di dunia dan terpendam 5.000 meter di bawah permukaan Perairan Santos,
lepas pantai Rio de Janeiro. Ketika penemuan ini diumumkan pada November 2007,
nilai saham Petrobras langsung melejit 19 %. Berkat kinerja saham Petrobras,
indeks harga saham di Bovespa Stock Exhange, IBovespa, terus terbang tinggi
walau sepanjang 2007 nilai saham di bursa-bursa efek Amerika Utara, dan dunia
pada umumnya, terjun bebas.
Sebelumnya, Mei 1997 sampai Juni 2006, nilai saham Petrobras
yang 55,7% (dengan vote right) dikuasai Pemerintah Brasil meroket 1.200%. Salah
satu yang membuat Petrobras tancap gas adalah pembukaan pasar domestik Brasil
pada 1997, ketika produksi minyak BUMN ini telah cukup jauh menembus 1 juta
barel/hari dan jaringan distribusinya telah menjangkau seluruh negeri.
Alih-alih sibuk menghalau pesaing dari luar, penghapusan
monopoli ini justru mendorong Petrobras lebih agresif menggarap pasar
mancanegara. Pada 2003, mereka mencaplok kampiun industri migas terbesar
Argentina, Perez Companc Energia S.A. dan basis operasional bisnisnya di
Bolivia, Peru dan Paraguay. Akuisisi inilah yang membuka jalan bagi Petrobras
untuk menguasai jaringan pipa migas di seantero Amerika Latin dan pada 2006
menempatkan Brasil sebagai satu dari sedikit negara yang mampu memenuhi sendiri
kebutuhan minyaknya.
Dengan swasembada ini, Presiden Luiz Inácio Lula da Silva
mengizinkan Petrobras mengekspor kelebihan produksinya. Buat menggenjot ekspor
yang memberikan margin lebih gemuk karena Pemerintah Brasil mengendalikan harga
bahan bakar minyak (BBM) domestik guna menjinakkan inflasi walau harga minyak
dunia meroket dua kali lipat dalam setahun terakhir Petrobras berencana
membangun dua kilang raksasa di negara bagian Rio Grande do Norte dan Ceara
yang direncanakan akan menambah kapasitas refining minimal 1 juta barel/hari
pada 2014.
"Adalah masuk akal membangun kilang tersebut di
Brasil," ujar Thereza Frenando, analis industri minyak dan energi pada MB
Associados di São Paulo. "Mereka toh bakal mengekspor produk. Jadi
sebaiknya, ya, mengekspor BBM yang memberikan nilai tambah lebih tinggi
ketimbang sekadar minyak mentah." tukasnya.
Prospek menuai laba lebih tinggi ini pada 2007 Petrobras
menangguk laba bersih US$ 13 miliar lebih, membuat nilai saham mereka terus
melejit. Apalagi, pada 21 Januari 2008, CEO Jose Sergio Gabrielli mengumumkan
lagi telah menemukan Ladang Jupiter, cadangan minyak yang tak kalah besar di
kedalaman 5.100 meter di bawah permukaan Lautan Atlantik, hanya 37 km dari
Tupi. Tak mengherankan, di penghujung kuartal I/2008, dengan nilai buku US$
295,6 miliar, BUMN Migas Brasil ini berhasil mengibarkan diri jadi perusahaan
ke-3 terbesar di Benua Amerika hanya kalah dari ExxonMobil dan General Electric
(GE) dan lebih besar ketimbang Microsoft dan Wal-Mart dan ke-6 terbesar di
dunia, mengungguli BP dan Chevron Texaco, bahkan raksasa Industrial &
Commercial Bank of China.
Pada awal kuartal II, tepatnya 14 April 2008, Petrobras
kembali mengumumkan penemuan ladang minyak yang jauh lebih spektakuler.
Terletak satu kawasan dengan Tupi, ladang yang diberi nama Jupiter tersebut
diperkirakan memiliki cadangan minyak 33 miliar barel! Lalu, pada 21 Mei lalu,
mereka juga mengumumkan ladang minyak raksasa ketiga yang berlokasi di lepas
pantai Sao Paulo.
Fantastis. Namun, sekali lagi, tanpa kemalangan tak memiliki
cukup banyak cadangan minyak setidaknya di daratan yang mudah dijangkau
mustahil bagi Petrobras menguasai teknologi eksplorasi minyak laut dalam.
Dengan kemampuan teknologi yang langka ini, walau secara finansial masih berada
di peringkat ke-6 dunia, mereka mampu mempertahankan saham mayoritas di
sebagian besar ladang minyaknya, terutama yang di dalam negeri. Pada ladang
minyak 33 miliar barel yang memiliki bobot jenis API 25-28 itu, misalnya,
Petrobras menguasai 66% saham. Sisanya dibagi antara Royal Durch/Shell (20%)
dan Galp Energia (14%).
Kemalangan tak memiliki cukup banyak cadangan minyak pada
awal sejarah bisnis Petrobras juga membawa keberuntungan lain yang tak kalah
penting. Terpaksa mengupayakan energi alternatif, Brasil sekarang mengibarkan
diri sebagai produsen (dan konsumen) biofuel ataupun biodiesel terbesar dunia.
Untuk jadi konsumen terbesar, industri otomotif Brasil mengembangkan teknologi
yang memungkinkan mobil yang berkeliaran di jalan mengonsumsi biofuel yang
mengandung sampai 80% etanol.
Kiprah yang luar biasa di energi terbarukan ini membuat
Petrobras, pada akhir 2003, pede mendaftarkan diri ke The United Nation Global
Impact, perjanjian sukarela untuk menaati sejumlah prinsip terkait hak asasi
manusia, kondisi kerja dan lingkungan. Sejak 2006 mereka telah masuk dalam Dow
Jones Sustainability Index, acuan kalangan investor yang peduli lingkungan dan
tanggung jawab sosial.
Pada akhir Februari lalu, Management and Excellence,
perusahaan konsultan Spanyol, mengakui Petrobras sebagai perusahaan minyak
paling sustainable sejagat. Yang teranyar, 28 April 2008, Transparency
International, lembaga swadaya masyarakat yang memerangi korupsi global,
memasukkan nama Petrobras sebagai satu dari hanya 42 perusahaan yang memiliki
tingkat transparansi tinggi.
Masih kurang? Di tengah isu pemanasan global, penguasaan
teknologi hijau lagi-lagi membuka peluang ekspor. Pada 19 Desember 2005,
Petrobras digandeng Nippon Alcohol Hanbai guna mendirikan Brazil-Japan Ethanol,
perusahaan patungan untuk membuka pasar etanol di Jepang.
Kisah sukses Petrobras mungkin serasa novel tempo doeloe
semacam "Derita Membawa Nikmat." Namun, sejatinya, sukses itu
membuktikan bahwa kalau dikelola dengan benar, BUMN dari negara Dunia Ketiga
pun mampu bersaing dengan korporasi multinasional sekaliber ExxonMobil walau,
memang, kelahiran yang sederhana berperan besar dalam menghindarkan Petrobras
dari tangan penguasa serakah dan para cukongnya, barisan konglomerat hitam.
Bandingkan saja dengan BUMN negara Dunia Ketiga lainnya yang
sejak era penjajahan telah diberkahi dengan sumber daya minyak yang kaya.
Yacimientos PetrolÃferos Fiscales Bolivianos (YPFB), misalnya. Didirikan oleh
Presiden Gonzalo Sanchas de Lozada pada 1930-an, BUMN Bolivia ini jadi rebutan
para konglomerat hitam sehingga mengalami swastanisasi.
Sumber daya migas Bolivia sendiri lalu banyak dikuasai
asing, baik secara langsung maupun melalui para konglomerat hitam. Jangan
heran, rakyat Bolivia tetap miskin walau Tanah Air mereka demikian kaya.
Kemiskinan inilah yang melahirkan pemimpin dari kalangan jelata: Presiden Evo
Morales, seorang keturunan suku Indian setempat.
Dalam upaya memenuhi janji kampanyenya menyejahterakan
rakyat Bolivia, Presiden Morales yang dikatakan Barat beraliran kiri
menasionalisasi YPFB. Tujuannya? Sama sekali bukan buat memperkaya diri atau
golongan, laiknya para pemimpin di Dunia Ketiga yang gemar umbar janji. Dengan
mem-BUMN-kan kembali YPFB, Morales bisa leluasa memanfaatkan pendapatan yang
diperoleh dari kegiatan ekstraktif terhadap sumber daya migas yang memang
sebetulnya milik rakyat buat membiayai program-program sosial pemerintah.
Gebrakan Morales ini segera memicu gebrakan serupa di
Venezuela, penghasil minyak ke-5 terbesar dunia. Di tengah harga minyak dunia
yang terus membumbung tinggi tapi, sekali lagi, tak bisa dinikmati rakyat yang
merupakan pemilik sah sumber daya alam tersebut, Presiden Hugo Chavez
menasionalisasi Petroleos de Venezuela S.A. (PDVSA).
Setelah itu, Presiden Chavez yang juga dicap kiri
memerintahkan pengambilalihan oleh negara terhadap beberapa operasi minyak
besar yang selama ini dikendalikan oleh korporasi multinasional. Total S.A.
(Prancis) dan Eni Sp.A. (Italia) menolak perubahan kontrak yang diwajibkan oleh
Chavez, tetapi 16 perusahaan migas lainnya termasuk Shell (Inggis-Belanda),
Chevron Corp. (Amerika), Repsol YPF (Spanyol) setuju merevisi kontrak dengan
Venezulea yang memberikan Pemerintah Caracas bagian yang lebih plus kendali
operasional.
Di bawah kontrak baru itu, pajak terhadap windfall profit
perusahaan migas dinaikkan dari 34% jadi 50%. Rafael Ramirez, Menteri Perminyakan
Venezuela yang juga Presiden PDVSA berharap, pajak yang masuk ke brankas negara
akan bertambah US$ 1,2 miliar.
Tuntutan Chavez lainnya adalah PDVA yang sebelumnya hanya
menguasai 30%-49% kontrak kerja sama minyak akan mendapatkan “minimal 60%
dari hasil operasi yang diperbarui, yang berlaku 20 tahun. Venezuela harus
pegang kendali atas sumber daya alamnya, ujar Chavez lantang sebelum pembukaan
Pertemuan Tingkat Tinggi Wina dengan para pemimpin Eropa, Amerika Latin dan
Karibia.
Seolah-olah menggemakan tuntutan Chavez, Rodrigo Cabezas
yang tak lain adalah ketua komisi di DPR yang mengurus masalah kontrak migas
ini berkata tak kalah lantang, pendapatan pajak yang meningkat merupakan uang
yang kami tuntut untuk seluruh rakyat Venezuela.
Ketika Venezuela membuka pintu industri minyak bagi
investasi swasta pada 1990-an, terbentuk 32 perjanjian kontrak karya dengan 22
korporasi migas mancanegara. Di bawah kontrak tersebut, para korporasi asing
itu mengelola ladang minyak Venezuela dan PDVSA membeli minyak yang dihasilkan
dengan harga tetap terhadap tingkat harga pasar yang berlaku. PDVSA juga
mendapat opsi membeli saham minoritas di proyek-proyek di bawah perjanjian
risk/profit sharing, dan memiliki saham di empat strategic association yang
memproduksi minyak mentah berat.
Produksi minyak Venezuela anjlok pada 2002 ketika dilakukan
pemogokan nasional, dan sampai saat ini belum kembali ke tingkat produksi
puncak 3,5 juta barel/hari yang dicapai pada 1997. Pada 2004, Chavez yang
terpilih pada 1999 menaikkan pajak terhadap empat kerja sama minyak berat, dari
1% jadi 16%. Strategic association inilah yang jadi sasaran reformasi pajak
terbaru. Maklum, pangsa kemitraan dengan Total, ExxonMobil, Chevron,
ConocoPhillips (Amerika), BP (Inggris) dan Statoil (Rusia) ini mencapai sekitar
23% produksi total Venezuela.
"Kami bukannya mau menendang atau tak menyertakan para
korporasi asing itu," ujar Cabezas. "Tapi, sungguh absurd bahwa
Pemerintah Venezuela tak menguasai saham mayoritas."
Alasan yang nasionalistis ini sangat masuk akal. Sebab, tak
ada manfaatnya punya sumber daya alam melimpah kalau yang menikmati orang asing
dan rakyat sendiri justru kapiran. Akan tetapi, pemimpin negara sedang
berkembang yang berani mengayun langkah semacam Morales dan Chavez dapat
dihitung dengan jari tangan kiri. Apa yang membuat keduanya begitu berani
melawan para raksasa kapitalis Barat?
Ambil conoh kasus Chavez yang tak sekadar meningkatkan
nasionalisme negaranya, tapi juga berupaya membangkitkan semangat regional.
Walau hanya memproduksi minyak 600 ribu barel/hari, negeri yang dipimpin
Chavez, Venezuela, memiliki cadangan minyak berat terbesar di dunia, 235 miliar
barel. Jika cadangan minyak berat yang terpendam di sepanjang Sungai Orinoco
ini ikut dihitung, cadangan minyak nasional Venezuela bahkan terbesar di dunia:
300 miliar barel.
Satu hal yang mesti diperhitungkan, minyak berat itu sangat
sulit ditambang dan mahal untuk disuling. Sebab itu, agar menguntungkan untuk
diolah, harga minyak harus minimal US$ 40/barel. Buat memaksimalkan produksi
minyak berat Orinoco, diperlukan investasi US$ 200 miliar. Di sini, Chavez
menginginkan mitra junior, atau korporasi asing, untuk membenamkan US$ 70
miliar buat pengembangan fasilitas yang diperlukan.
Kongres Venezuela telah mengamanatkan agar BUMN Venezuela
menguasai saham mayoritas industri minyak berat yang hendak dibangun dan
menyatakan: DPR tak bisa menerima kalau (eksploitasi) minyak Orinoco tak
menyertakan pemilikan saham mayoritas oleh negara. Ladang minyak berat seperti
Orinoco dan beberapa lagi di kawasan Alberta, Kanada, diperkirakan memberikan
sumbangan yang lebih besar di masa mendatang dengan kian sulitnya ditemukan
tambang minyak light sweet yang saat ini mendominasi produksi minyak global.
Yang membuat Barat, terutama AS, lebih gerah, Chavez
menggunakan minyaknya untuk membangkitkan Revolusi Bolivarian gerakan
menyatukan Amerika Latin yang dulu dipelopori Simon Bolivar. Pada 2005,
Presiden Venezuela ini memperantarai deal pembuatan jaringan pipa antara
Kolombia dan Argentina, membentuk pakta perdagangan dengan Brasil, serta
bermitra dengan Kuba di bidang kesehatan dan pendidikan.
Buat menjauhkan Amerika Latin dari cengkeraman ekonom
neoliberal yang berkiblat ke Washington, Chavez bahkan tak segan merogoh kocek
untuk membayar sebagian besar utang Argentina ke Dana Moneter Internasional
(IMF). Guna mengintegrasikan Amerika Selatan, dia meluncurkan inisiatif
pembangunan El Gran Gasoducto del Sur, jaringan pipa gas sepanjang 6.600 km.
Proyek senilai US$ 23 miliar ini akan menghubungkan pasok gas alam Venezuela,
total 150 triliun kaki kubik, ke Argentina dan Brasil.
Berjanji akan memasok energi ke negara tetangga Amerika
Selatan-nya dengan harga diskon, Chavez menyatakan, Proyek tersebut akan bisa
memenuhi kebutuhan gas sampai akhir abad ini. Direncanakan mulai beroperasi
pada 2014, PDVSA menyebut jaringan pipa tersebut sebagai salah satu langkah
fundamental menuju integrasi Amerika Selatan.
Namun, walau Chavez banyak melancarkan retorika anti-Washington,
setidaknya sampai 2005, Venezuela masih menjual 1,5 juta barel/hari minyaknya
ke pelanggan terbesarnya, AS. Buat mengurangi ketergantungan pada Washington,
Caracas memperkuat aliansi Selatan-Selatan yang akan merentang dari Venezuela
sampai China melalui Afrika, Timur Tengah dan India, dengan meneken berbagai
perjanjian dengan Beijing di bidang energi, peralatan radar, pesawat tempur,
konstruksi jalan raya dan jalan kereta, serta infrastruktur komunikasi.
Venezuela memandang perekonomian China yang booming sebagai
instrumen paling efektif untuk memodernisasi infrastruktur industri migasnya,
memaksimalkan produksi dan laba. Pada 2005, PDVSA teken kontrak untuk memasok
China National Petroleum Corp. (CNPC) sejumlah 160 ribu barel minyak/hari.
Jumlah ini ditingkatkan jadi dua kali lipat pada 2006 dan 1,6 juta barel/hari
pada 2007. Sebaliknya, PDVSA membeli 28 rig pengeboran dari China Petro
Technology and Development Corp., anak perusahaan CNPC dan bertekad dapat
merakit rig sendiri pada 2009 guna meningkatkan produksi total menjadi 5,8 juta
barel/hari pada 2012.
Pada 2005, Caracas juga memberi izin bagi CNPC untuk
mengeksplorasi jalur minyak Orinoco dan mengembangkan Ladang Zumano yang
terbukti memiliki cadangan 400 juta barel minyak ringan dan 4 triliun kaki
kubik gas alam.
Pada 2005 itu, PDVSA juga mengumumkan rencana
melipatgandakan ” bukan malah melego” armada tankernya dengan memborong 18
tanker minyak raksasa dari China senilai US$ 1,3 miliar. Peningkatan ini untuk
memfasilitasi pengiriman migas melalui jalur laut 24 ribu km lebih ke Cina.
Mereka juga menggodok rencana besar lainnya, termasuk membangun kemitraan untuk
memasarkan, mentransportasikan, dan menjajakan produk energi ke Asia.
Beberapa bos korporasi migas dunia menghadapi pasang naik nasionalisme
yang disulut Morales dan dikobarkan Chavez dengan kepala dingin. Jeroen van der
Veer, misalnya, menyebut langkah yang diayun Chavez sebagai realitas baru dan
menyatakan, "Semakin tinggi harga migas, makin tinggi pemikiran
nasionalistis yang muncul." Dan CEO Royal Dutch/Shell ini menyimpulkan,
"Pada akkhirnya, pemerintah selalu jadi bos."
CEO Total, Thierry Desmarest, menambahi konklusi koleganya
itu dengan sebuah harapan. "Aturan main telah berganti beberapa kali dan
dengan cara yang cukup brutal pula. Kita harap saja akal sehat yang akan
menang."
Walau masuk akal, kebijakan menasionalisasi sektor energi
seperti yang dilakukan Chavez dan Morales bukannya tanpa risiko. Keberanian
melucuti para korporat raksasa dunia itu hanya akan menghasilkan kekuatan
politik dan otonomi ekonomi kalau harga minyak dunia tetap tinggi. Ini taruhan
yang cukup mudah. Realitas politik dan ekonomi abad ke-21 boleh dibilang tak
akan memberikan peluang kembalinya era minyak murah.
Dengan harga minyak yang tak pernah lebih rendah dari US$
70/barel dan konsumsi energi India dan China yang terus membengkak, negara
pemilik sumber daya migas yang besar bisa dipastikan bakal memperoleh apa yang
diharapkan dengan memainkan kartu migas secara agresif. Namun, untuk itu,
diperlukan pemimpin yang betul-betul berani seperti Chavez dan Morales,
pemimpin dari akar rumput yang tak takut kehilangan apa pun bukan pemimpin
salon yang penampilannya saja yang gagah, penuh gelar dan dekorasi yang tak
perlu, tapi tak bisa mengambil keputusan tegas.
0 komentar:
Post a Comment