Korupsi pada
dasarnya merupakan penyakit kronis yang merusak moralitas para penyelenggara
negara dan memiliki efek jitu terhadap proses pemiskinan dan atau sulitnya
mengeluarkan rakyat dari belenggu kemiskinan. Betapa tidak. Para pejabat dan
mitra kerjanya (pebisnis dan sindikatnya) terbiasa menyimpang dari aturan yang
berlaku dan mengambil bagian dari uang negara yang seharusnya diperuntukkan
bagi kepentingan kesejahteraan rakyat.
Karena
itulah, maka praktik korupsi menjadi bagian dari musuh bersama (common enemy) secara
universal hari-hari ini. Gerakan reformasi di Indonesia juga, antara lain,
tersemangati kuat oleh kehendak publik untuk memberantas korupsi yang marak
terjadi dan atau menggurita dalam jaringan elite politik, birokrasi dan
pebisnis bisnis di era Orde Baru.
Ini
artinya, semua pihak yang memperoleh mandat langsung maupun tak langsung dari
rakyat sebagai penyelenggara negara di era reformasi ini, memiliki kewajiban
dasar untuk mematikan virus penyakit kronis itu, secara langsung memberi contoh
praktik pemerintahan yang bersih (clean
government), dengan kebijakan yang berorientasi pada peningkatan
kesejahteraan dan kualitas hidup rakyat banyak.
Tetapi
misi reformasi dan harapan publik itu masih sangat sulit diwujudkan.
Bahkan, kalau mau jujur diakui, praktik korupsi jauh lebih merajela ketimbang
pada rezim pemerintahan Soeharto dulu. Era desentralisasi dan otonomi daerah,
temapknya, telah menjadi bagian dari penyebab marak dan merebaknya praktik
korupsi di berbagai daerah, sebagai konsekwensi logis dari adanya otoritas
lokal yang demikian kuat dalam mengendalikan birokrasi dan anggaran di daerah.
Maklum, para pejabat yang tampil memimpin dan menguasai daerah merupakan figur
yang dipilih atas nama demokrasi saja dengan menonjolkan modal materi;
mengabaikan aspek moralitas, integritas dan komitmen kerakyatan.
Kondisi
seperti ini menunjukkan bahwa di era reformasi ini, ternyata semakin banyak
aktor yang rakus akan harta, terlibat secara langsung dalam demoralisasi massal
dan pelenggengan kemiskinan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sendiri,
oleh karena dalam berbagai kampanye dan pernyataan politiknya di publik, semula
dikesankan dan atau diharapkan untuk tampil sebagai ‘pemimpin pemberantasan
korupsi’, rupanya tidak berdaya dalam menghadapi sindikat dan mafia praktik
korupsi itu. Makanya tidak heran kalau banyak pihak di bangsa ini bersifat
sinistik dan skeptis terhadap gerakan pemberantasan korupsi sekarang ini,
karena dianggap ‘lebih kuat upaya penciptraan melalui berbagai pidato retorika’
belaka; sementara praktik korupsi terus terbiarkan.
Kecenderungan
seperti itu setidaknya terjadi karena tiga faktor kondisional. Pertama, para warga bangsa ini umumnya
sudah terjebak pada nilai dan orientasi yang mengagungkan harta atau kemewahan
materi. Orang-orang kaya dipuja dan disanjung, diposisikan atau memperoleh
tempat terhormat dalam masyarakat. Pada tingkat tertentu, bahkan, banyak warga
bangsa ini memperhamba diri terhadap, dan atau rela diperdaya oleh, orang-orang
kaya. Dan, parahnya lagi, sangat langka warga bangsa ini yang bersikap kritis
terhadap sumber harta yang dimiliki sehingga seseorang termasuk pejabat bisa
kaya dan hidup mewah.
Bahkan,
sudah menjadi tersangka atau dikenal sebagai koruptor pun masih banyak pihak
yang mau mendekat dengan harapan ‘memperoleh sedikit rembesan’ dari harta yang
dikorupsi. Makanya, kalau ada yang mengharapkan agar para koruptor diisolir
secara sosial, tampaknya hanya akan terus jadi mimpi belaka. Soalnya, di tengah
jebakan orientasi harta atau materi, masyarakat kita memiliki watak permisif
terhadap pelaku kejahatan dalam penyelenggaraan negara itu. Hal terakhir ini
juga semakin diperkuat oleh (1) selalu ringannya hukuman bagi para
koruptor, (2) adanya kebijakan grasi dan remisi bagi para narapidana
korupsi, dan (2) kalau berada di rumah tahanan maka demikian mudahnya mereka
keluar menghirup udara segar di luar (kasu Gayus dan lain-lain).
Kedua, terkait dengan
yang pertama, para pejabat dan aparat birokrasi (apalagi kalangan pebisnis)
semakin aman dan merasa perlu untuk mengakumulasi harta sebanyak mungkin,
dengan memanfaatkan segala kewenangan dan kesempatan yang dimiliki. Semua itu
dilakukan (1) untuk menunjukkan diri sebagai “pejabat yang benar”, karena
ternyata secara sosial diangap tak lazim kalau seorang pejabat hidup sederhana
alias menghindari kemewahan, dan (2) menyadari bahwa kesempatan menjadi pejabat
pastilah tak selamanya, terbatas oleh periode dan belum tentu bisa diemban
lagi. Apalagi jaminan sosial untuk masa depan (purna tugas) mantan pejabat dan
pensiunan birokrasi sangat tidak menjanjikan.
Ketiga, negara ini sudah
terperangkat oleh sistem kekuasaan dan politik yang berbasis pada materi. Siapa
yang mau jadi pejabat, haruslah terlebih dulu memiliki topangan materi yang
memadai. Sangat jarang figur yang jadi pejabat publik tanpa dukungan materi.
Rekrutmen pejabat pun, diakui atau tidak, mulai dari tingkat nasional hingga ke
daerah-daerah (termasuk pengangkatan kepala dinas), sarat dengan transaksi dan
dikendalikan oleh kekuatan atau kepentingan (partai) politik. Maklum suatu
parpol bisa survive apabila memiliki dana yang
cukup yang sebagian digunakan merusak moralitas rakyat melalui money politics.
Para
pejabat yang berasal dari suatu kepentingan (partai) politik dan atau direkrut
oleh kekuatan yang berbasis parpol, dengan demikian, sebenarnya memiliki tugas
ganda, yakni (1) mengumpulkan materi bagi kepentingan pihak yang memberinya
jabatan, (2) mengakumulasi harta untuk kekayaan pribadi, dan atau (3) juga
mengumpulkan uang untuk membiayai agenda politik selanjutnya . Semua itu, sudah
pasti, tak bisa dipenuhi dengan cara-cara yang normal, melainkan melalui jalan
pintas dengan berbagai modus penyalahgunaan jabatan dan kewenangan: korupsi.
0 komentar:
Post a Comment