Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Thursday, February 2, 2012

KORUPSI, REFORMASI DAN KEKUASAAN POLITIK

Korupsi pada dasarnya merupakan penyakit kronis yang merusak moralitas para penyelenggara negara dan memiliki efek jitu terhadap proses pemiskinan dan atau sulitnya mengeluarkan rakyat dari belenggu kemiskinan. Betapa tidak. Para pejabat dan mitra kerjanya (pebisnis dan sindikatnya) terbiasa menyimpang dari aturan yang berlaku dan mengambil bagian dari uang negara yang seharusnya diperuntukkan bagi kepentingan kesejahteraan rakyat.
Karena itulah, maka praktik korupsi menjadi bagian dari musuh bersama (common enemy) secara universal hari-hari ini. Gerakan reformasi di Indonesia juga, antara lain, tersemangati kuat oleh kehendak publik untuk memberantas korupsi yang marak terjadi dan atau menggurita dalam jaringan elite politik, birokrasi dan pebisnis bisnis di era Orde Baru.
Ini artinya, semua pihak yang memperoleh mandat langsung maupun tak langsung dari rakyat sebagai penyelenggara negara di era reformasi ini, memiliki kewajiban dasar untuk mematikan virus penyakit kronis itu, secara langsung memberi contoh praktik pemerintahan yang bersih (clean government), dengan kebijakan yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup rakyat banyak.
Tetapi misi reformasi dan harapan publik itu masih sangat sulit diwujudkan.  Bahkan, kalau mau jujur diakui, praktik korupsi jauh lebih merajela ketimbang pada rezim pemerintahan Soeharto dulu. Era desentralisasi dan otonomi daerah, temapknya, telah menjadi bagian dari penyebab marak dan merebaknya praktik korupsi di berbagai daerah, sebagai konsekwensi logis dari adanya otoritas lokal yang demikian kuat dalam mengendalikan birokrasi dan anggaran di daerah. Maklum, para pejabat yang tampil memimpin dan menguasai daerah merupakan figur yang dipilih atas nama demokrasi saja dengan menonjolkan modal materi; mengabaikan aspek moralitas, integritas dan komitmen kerakyatan.
Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa di era reformasi ini, ternyata semakin banyak aktor yang rakus akan harta, terlibat secara langsung dalam demoralisasi massal dan pelenggengan kemiskinan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sendiri, oleh karena dalam berbagai kampanye dan pernyataan politiknya di publik, semula dikesankan dan atau diharapkan untuk tampil sebagai ‘pemimpin pemberantasan korupsi’, rupanya tidak berdaya dalam menghadapi sindikat dan mafia praktik korupsi itu. Makanya tidak heran kalau banyak pihak di bangsa ini bersifat sinistik dan skeptis terhadap gerakan pemberantasan korupsi sekarang ini, karena dianggap ‘lebih kuat upaya penciptraan melalui berbagai pidato retorika’ belaka; sementara praktik korupsi terus terbiarkan.
Kecenderungan seperti itu setidaknya terjadi karena tiga faktor kondisional. Pertama, para warga bangsa ini umumnya sudah terjebak pada nilai dan orientasi yang mengagungkan harta atau kemewahan materi. Orang-orang kaya dipuja dan disanjung, diposisikan atau memperoleh tempat terhormat dalam masyarakat. Pada tingkat tertentu, bahkan, banyak warga bangsa ini memperhamba diri terhadap, dan atau rela diperdaya oleh, orang-orang kaya. Dan, parahnya lagi, sangat langka warga bangsa ini yang bersikap kritis terhadap sumber harta yang dimiliki sehingga seseorang termasuk pejabat bisa kaya dan hidup mewah.
Bahkan, sudah menjadi tersangka atau dikenal sebagai koruptor pun masih banyak pihak yang mau mendekat dengan harapan ‘memperoleh sedikit rembesan’ dari harta yang dikorupsi. Makanya, kalau ada yang mengharapkan agar para koruptor diisolir secara sosial, tampaknya hanya akan terus jadi mimpi belaka. Soalnya, di tengah jebakan orientasi harta atau materi, masyarakat kita memiliki watak permisif terhadap pelaku kejahatan dalam penyelenggaraan negara itu. Hal terakhir ini juga semakin diperkuat oleh (1) selalu ringannya hukuman bagi para koruptor,  (2) adanya kebijakan grasi dan remisi bagi para narapidana korupsi, dan (2) kalau berada di rumah tahanan maka demikian mudahnya mereka keluar menghirup udara segar di luar (kasu Gayus dan lain-lain).
Kedua, terkait dengan yang pertama, para pejabat dan aparat birokrasi (apalagi kalangan pebisnis) semakin aman dan merasa perlu untuk mengakumulasi harta sebanyak mungkin, dengan memanfaatkan segala kewenangan dan kesempatan yang dimiliki. Semua itu dilakukan (1) untuk menunjukkan diri sebagai “pejabat yang benar”,  karena ternyata secara sosial diangap tak lazim kalau seorang pejabat hidup sederhana alias menghindari kemewahan, dan (2) menyadari bahwa kesempatan menjadi pejabat pastilah tak selamanya, terbatas oleh periode dan belum tentu bisa diemban lagi. Apalagi jaminan sosial untuk masa depan (purna tugas) mantan pejabat dan pensiunan birokrasi sangat tidak menjanjikan.
Ketiga, negara ini sudah terperangkat oleh sistem kekuasaan dan politik yang berbasis pada materi. Siapa yang mau jadi pejabat, haruslah terlebih dulu memiliki topangan materi yang memadai. Sangat jarang figur yang jadi pejabat publik tanpa dukungan materi. Rekrutmen pejabat pun, diakui atau tidak, mulai dari tingkat nasional hingga ke daerah-daerah (termasuk pengangkatan kepala dinas), sarat dengan transaksi dan dikendalikan oleh kekuatan atau kepentingan (partai) politik. Maklum suatu parpol bisa survive apabila memiliki dana yang cukup yang sebagian digunakan merusak moralitas rakyat melalui money politics.
Para pejabat yang berasal dari suatu kepentingan (partai) politik dan atau direkrut oleh kekuatan yang berbasis parpol, dengan demikian, sebenarnya memiliki tugas ganda, yakni (1) mengumpulkan materi bagi kepentingan pihak yang memberinya jabatan, (2) mengakumulasi harta untuk kekayaan pribadi, dan atau (3) juga mengumpulkan uang untuk membiayai agenda politik selanjutnya . Semua itu, sudah pasti, tak bisa dipenuhi dengan cara-cara yang normal, melainkan melalui jalan pintas dengan berbagai modus penyalahgunaan jabatan dan kewenangan: korupsi.

KORUPSI, REFORMASI DAN KEKUASAAN POLITIK Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment