Akhir-akhir ini
telah banyak kita menyaksikan kekerasan-kekerasan yang dilakukan oleh
sebagian masyarakat kita dalam menyikapi setiap persolan yang terjadi.
Aksi-aksi menuntut hak dan menyampaikan aspirasi melalui demontrasi tidak
jarang berakhir bentrokan dan aksi anarkis. Mahasiswa-mahasiswa hari ini
lebih suka anarkis dan tawuran daripada cara-cara dialogis yang damai untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi baik dilingkungan kampus maupun
persolan pemerintahan, sehingga hampir semua stasiun televisi memberitakan
berita tawuran, demontrasi yang anarkis, dan pembunuhan. Fenomena kekerasan
sudah menjadi menu sajian berita empuk yang kita tonton di pagi hari sambil
sedikit menyeruput kopi hangat, kita sudah tidak lagi alergi, phobi, dan merasa
mengerikan bila mendengar kasus kekerasan dan tawuran yang terjadi.
Dalam kasus
sengketa tanah, persidangan, penerimaan jatah makan, atau pembelian tiket tidak
jarang kita menemukan kekerasan dan tawuran antar massa, bahkan berlarut-larut
sehingga menjadi dendam yang terus membara apabila disulut oleh persolan kecil
akan meluluh lantakkan semua yang ada. Dalam pelaksanaan pilkada tidak jarang
kita melihat dan mendengar kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh sebagian
pendukung calon tertentu yang menyebabkan tawuran, merusak dan membakar
pasilitas umum, dan merugikan semua orang. Di lingkungan mahasiswa dalam setiap
aksi demontrasi kekerasan dan anarkisme sudah menjadi cara yang paling ampuh
untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada sehingga banyak sekali
kasus-kasus pembakaran mobil dinas, perusakan pagar gedung, penyanderaan, dan
berbagai kasus kekerasan lainnya. Bukan itu saja, perbedaan klasik seperti
masalah keyakinan tidak luput dari pembakaran tempat-tempat ibadah, membakar
hak milik warga dan menelantarkan anak dan keluarganya.
Ibu pertiwi
bersedih dan berlinang air mata melihat itu semua, merasa menyesal
melahirkannya menjadi generasi-generasi yang anarkis, suka tawuran dan
beringas. Apakah ini karakter kita atau kita telah berubah menjadi bangsa yang
beringas?. Dimanakah karakter keindonesiaan kita?, yan g menjunjung tinggi
toleransi, menghargai perbedaan, ramah, suka menolong sesame dan
bergotong royong, menjunjung sportivitas, apakah lenyap oleh kepentingan sesaat
kita?. Inilah yang harus kita intropeksi bersama.
Pembangunan
karakter menjadi topic hangat dalam kegiatan-kegiatan seminar baik di bidang
pendidikan, politik, maupun ekonomi. Karakter ke indonesiaan kita sebagai
bangsa yang berbudaya, telah hilang tergerus oleh zaman individualistic dan
materialisme. Bangsa ini tidak lagi menjadi bangsa pejuang, kerja keras penuh
semangat, suka damai, bergotong royong dan toleransi yang tinggi,
namun berubah menjadi bangsa pemalas, pengecut, suka kekerasan dan
tawuran, pemarah dan beringas. Karenanya pembangunan karakter keindonesiaan
sangat penting dan mendesak untuk menghadapi tantangan yang terus berubah
sehingga menjadi bangsa yang berbudaya kuat dan unggul dalam competisi global.
Karachter
building yang menjadi issu sentral dunia pendidikan kita harus didukung oleh
semua elemen bangsa, terutama keluarga yang membentuk kepribadian anak.
Mewujudkan carachter manusia pancasilais yang menjunjung sporitivitas,
menghargai perbedaan, suka menolong dan saling memaafkan adalah carakter bangsa
yang dimpikan, sehingga tidak ada lagi kasus kekerasan dan kerusuhan
terjadi. Semoga tulisan sederhana ini dapat menjadi intropeksi bersama dan
menjadi saran untuk Indonesia yang lebih baik.
0 komentar:
Post a Comment