Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Friday, January 27, 2012

Rapuhnya Pondasi Hukum di Indonesia

Mencari keadilan di negeri ini serasa berjalan ditengah rimbunan belantara yang disi oleh beragam hewan buas. Kita dipaksa untuk puas dengan regulasi hukum yang semuanya diformat oleh kolektif penguasa. Pihak yang punya taring kekuasaan lebih tajam tentu selalu menang dan mengabaikan rakyat mengiba kosong akan keadilan.
Inilah Indonesia, supermasi hukum yang katanya adalah pelindung rakyat nyatanya ibarat bola sepak yang dipermainkan kesana-kemari oleh segelintir elit. Miris melihat negeri ini terus ditimpa oleh permasalahan hukum  yang tidak berujung. Padahal menurut konsep hukum dan pembuat konsepnya, produk-produk hukum di negeri ini sudah sedemikian kokoh. Tapi fakta di depan mata menimbulkan banyak pihak yang harus menanyakan kembali kekuatan hukum Indonesia. Oleh si pengetuk palu hukum hanya memiliki satu jawaban andalan, “hukumnya sudah baik hanya saja orang-orang yang menjalankan hukumnya yang belum baik”. Sekali lagi kita dipaksa untuk mengangguk-anggukkan kepala, seakan pernyataan itu wajar dan bisa menentramkan wilayah kritis kita.
Hampir semua kasus hukum yang melibatkan elit penguasa selalu berakhir pada ranah lobi-lobi dan tawar-menawar kepentingan dan kekuasaan. Ini tidak mengherankan karena hampir semua kasus-kasus hukum besar di negeri ini selalu memiliki muatan keterlibatan yang sistemik di jajaran pemegang kekuasaan. Dengan begitu akan seantiasa terbentuk formasi saling melindungi dari masing-masing birokrat yang terlibat. Contohnya saja dalam mega skandal Century. Sikap saling melindungi dan mengaburkan masalah dipertontonkan oleh pejabat BI Boediono yang kini wakil presiden dan mantan menteri keuangan Sri Mulyani. Bahkan Presiden SBY yang terendus kuat juga keterlibatannya mengambil langkah cepat mengamankan Sri Mulyani dengan menjadi pejabat World Bank.
Begitupula kasus Gayus yang mencuatkan istilah markus. Semua bukti, aliran dana, dan semua pihak yang terduga kuat  terlibat sudah terang benderang di persidangan. Tapi masih saja kasus Gayus ini dibuat berliku. Pangkal masalahnya adalah keterlibat sistemik orang-orang besar. Dalam kasus Gayus terpampanglah nama sang milyader sekaligus bos dari partai beringin Abu Rizal Bakrie. Kasus ini pun coba dibuat kembali menguap. Tapi ledakan pemberitaan di media memaksa Gayus harus divonis hukuman. Gayus hanya divonis ringan yang sama sekali tidak logis untuk komulatif korupsi yang sedemikian besar.
Tidak habis ruang sadar kita disentak oleh rentetan masalah hukum yang tidak memiliki kata tamat. Dua kasus terakhir yang menghebohkan. Pertama, kasus korupsi yang melibatkan mantan anggota badan anggaran DPR sekaligus bendahara umum partai Demokrat Nazaruddin. Kasus Nazar ini cukup menggoyang bangunan citra Demokrat sebagai partai penentang nomor wahid pada korupsi. Kedua, kasus suap di lingkungan Kemenakertrans. Tersebutlah nama Ali Murdhori dan Fauzi, dua staf khusus Menakertrans Muhaimin Iskandar, yang menerima dana 1,5 Milyar dari sejumlah perusahaan guna memuluskan lobi tender dalam proyek pembangunan infrastruktur kawasan transmigrasi. Kasus ini terus coba dikecurutkan, tapi dengan diangkatnya nama Muhaimin Iskandar yang merupakan salah satu punggawa kabinet Indonesia bersatu jilid II akan memperkuat kehawatiran jika kasus ini akan di peti eskan. Kembali menyadarkan kita bahwa hukum negeri ini bukan untuk penjahat dari kasta birokrat.
Para pemegang otoritas tampaknya setengah nyawa dalam menumpas korupsi. Retorika-retorika kampanye bahwa akan memberikan hukuman seberat-beratnya pada pelaku koruptor, nyatanya hanya jadi kenangan usang. Lebih setengah abad negeri ini berjalan, tidak tampak kestabilan lajunya. Rinsek dan penyok terlihat di seluruh body negeri ini.
Induk masalah dari borok peradilan di Indonesia adalah kontruksi politiknya yang dibangun dari pondasi sekularisme. Material-material seperti kapitalisme dan demokrasi menjadi dinding dan tiang yang berdiri di atas sekualisme. Dimana aspek materialistik menjadi makanan pokok bagi kapitalisme. Akhirnya asas manfaat serta aspek untung dan rugi selalu menjadi pegangan kuat dari setiap rumusan hukum yang dihasilkan oleh sistem kapitalisme. Tidak mengherankan jika hukum-hukum yang diijinkan berfungsi hanyalah hukum-hukum yang bisa membuka kran-kran pengalir pundi-pundi materi ke kantong-kantong para birokrat kapitalis. Maka jangan pernah berharap birahi korupsi dan pelanggaran hukum bisa berhenti jika kapitalisme masih bertahan di negeri ini.
Begitupula dengan demokrasi, jika saat pemilu rakyat menjadi bahan bakar lokomotif politik dan saat telah berkuasa rakyat beralih menjadi sapi perah. Semua usaha yang katanya demokratis, nyatanya hanya untuk kesejahteraan penguasa dan pengusaha (pemodal). Maka hukum-hukum yang mendapat stempel parlemen hanyalah hukum-hukum yang dapat mengkondusifkan niat-niat jahat para birokrat dan korporat itu. Selamanya demokrasi hanyalah ilusi.
Sekularisme sebagai biang masalah memang memformat kehidupan sosial hanya bertuhan pada akal dan kekuatan fisik. Agama tidak punya tempat dalam ruang sosial. Dalam sekularisme silahkan beragama asal jangan keluar dari balik dinding-dinding masjid. Kehidupan sosial dirasa mampu diatur dengan aturan ciptaan manusia sendiri. Justru hal sebaliknya terjadi. Segala keterbatasan manusia terwujud dalam kecacatan hukum yang dihasilkan. Bukannya menjadi solusi atas probelamatika kehidupan, tp justru menjadi koleksi masalah baru.

Rapuhnya Pondasi Hukum di Indonesia Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

1 komentar: