Mencari keadilan di negeri ini serasa berjalan ditengah rimbunan belantara
yang disi oleh beragam hewan buas. Kita dipaksa untuk puas dengan regulasi
hukum yang semuanya diformat oleh kolektif penguasa. Pihak yang punya taring
kekuasaan lebih tajam tentu selalu menang dan mengabaikan rakyat mengiba kosong
akan keadilan.
Inilah Indonesia, supermasi hukum yang katanya adalah pelindung rakyat
nyatanya ibarat bola sepak yang dipermainkan kesana-kemari oleh segelintir
elit. Miris melihat negeri ini terus ditimpa oleh permasalahan hukum yang
tidak berujung. Padahal menurut konsep hukum dan pembuat konsepnya,
produk-produk hukum di negeri ini sudah sedemikian kokoh. Tapi fakta di depan
mata menimbulkan banyak pihak yang harus menanyakan kembali kekuatan hukum
Indonesia. Oleh si pengetuk palu hukum hanya memiliki satu jawaban andalan,
“hukumnya sudah baik hanya saja orang-orang yang menjalankan hukumnya yang
belum baik”. Sekali lagi kita dipaksa untuk mengangguk-anggukkan kepala, seakan
pernyataan itu wajar dan bisa menentramkan wilayah kritis kita.
Hampir semua kasus hukum yang melibatkan elit penguasa selalu berakhir pada
ranah lobi-lobi dan tawar-menawar kepentingan dan kekuasaan. Ini tidak
mengherankan karena hampir semua kasus-kasus hukum besar di negeri ini selalu
memiliki muatan keterlibatan yang sistemik di jajaran pemegang kekuasaan.
Dengan begitu akan seantiasa terbentuk formasi saling melindungi dari
masing-masing birokrat yang terlibat. Contohnya saja dalam mega skandal
Century. Sikap saling melindungi dan mengaburkan masalah dipertontonkan oleh
pejabat BI Boediono yang kini wakil presiden dan mantan menteri keuangan Sri
Mulyani. Bahkan Presiden SBY yang terendus kuat juga keterlibatannya mengambil
langkah cepat mengamankan Sri Mulyani dengan menjadi pejabat World Bank.
Begitupula kasus Gayus yang mencuatkan istilah markus. Semua bukti, aliran
dana, dan semua pihak yang terduga kuat terlibat sudah terang benderang
di persidangan. Tapi masih saja kasus Gayus ini dibuat berliku. Pangkal masalahnya
adalah keterlibat sistemik orang-orang besar. Dalam kasus Gayus terpampanglah
nama sang milyader sekaligus bos dari partai beringin Abu Rizal Bakrie. Kasus
ini pun coba dibuat kembali menguap. Tapi ledakan pemberitaan di media memaksa
Gayus harus divonis hukuman. Gayus hanya divonis ringan yang sama sekali tidak
logis untuk komulatif korupsi yang sedemikian besar.
Tidak habis ruang sadar kita disentak oleh rentetan masalah hukum yang
tidak memiliki kata tamat. Dua kasus terakhir yang menghebohkan. Pertama, kasus
korupsi yang melibatkan mantan anggota badan anggaran DPR sekaligus bendahara
umum partai Demokrat Nazaruddin. Kasus Nazar ini cukup menggoyang bangunan
citra Demokrat sebagai partai penentang nomor wahid pada korupsi. Kedua, kasus
suap di lingkungan Kemenakertrans. Tersebutlah nama Ali Murdhori dan Fauzi, dua
staf khusus Menakertrans Muhaimin Iskandar, yang menerima dana 1,5 Milyar dari
sejumlah perusahaan guna memuluskan lobi tender dalam proyek pembangunan
infrastruktur kawasan transmigrasi. Kasus ini terus coba dikecurutkan, tapi
dengan diangkatnya nama Muhaimin Iskandar yang merupakan salah satu punggawa
kabinet Indonesia bersatu jilid II akan memperkuat kehawatiran jika kasus ini
akan di peti eskan. Kembali menyadarkan kita bahwa hukum negeri ini bukan untuk
penjahat dari kasta birokrat.
Para pemegang otoritas tampaknya setengah nyawa dalam menumpas korupsi.
Retorika-retorika kampanye bahwa akan memberikan hukuman seberat-beratnya pada
pelaku koruptor, nyatanya hanya jadi kenangan usang. Lebih setengah abad negeri
ini berjalan, tidak tampak kestabilan lajunya. Rinsek dan penyok terlihat di
seluruh body negeri ini.
Induk masalah dari borok peradilan di Indonesia adalah kontruksi politiknya
yang dibangun dari pondasi sekularisme. Material-material seperti kapitalisme
dan demokrasi menjadi dinding dan tiang yang berdiri di atas sekualisme. Dimana
aspek materialistik menjadi makanan pokok bagi kapitalisme. Akhirnya asas
manfaat serta aspek untung dan rugi selalu menjadi pegangan kuat dari setiap
rumusan hukum yang dihasilkan oleh sistem kapitalisme. Tidak mengherankan jika
hukum-hukum yang diijinkan berfungsi hanyalah hukum-hukum yang bisa membuka
kran-kran pengalir pundi-pundi materi ke kantong-kantong para birokrat
kapitalis. Maka jangan pernah berharap birahi korupsi dan pelanggaran hukum
bisa berhenti jika kapitalisme masih bertahan di negeri ini.
Begitupula dengan demokrasi, jika saat pemilu rakyat menjadi bahan bakar
lokomotif politik dan saat telah berkuasa rakyat beralih menjadi sapi perah.
Semua usaha yang katanya demokratis, nyatanya hanya untuk kesejahteraan
penguasa dan pengusaha (pemodal). Maka hukum-hukum yang mendapat stempel
parlemen hanyalah hukum-hukum yang dapat mengkondusifkan niat-niat jahat para
birokrat dan korporat itu. Selamanya demokrasi hanyalah ilusi.
Sekularisme sebagai biang masalah memang memformat kehidupan sosial hanya
bertuhan pada akal dan kekuatan fisik. Agama tidak punya tempat dalam ruang
sosial. Dalam sekularisme silahkan beragama asal jangan keluar dari balik
dinding-dinding masjid. Kehidupan sosial dirasa mampu diatur dengan aturan
ciptaan manusia sendiri. Justru hal sebaliknya terjadi. Segala keterbatasan
manusia terwujud dalam kecacatan hukum yang dihasilkan. Bukannya menjadi solusi
atas probelamatika kehidupan, tp justru menjadi koleksi masalah baru.
nice posting
ReplyDeletehukum di Indonesia harus ditegakkan