Walaupun banyak
yang sudah tahu, bahwasanya ada tiga orang datuk yang berasal dari tanah
Sumatera, yang mengislamkan wilayah-wilayah kerajaan di Sulawesi Selatan pada
abad ke 16, yaitu
- Khatib Tunggal Datuk Makmur, atau populer di kalangan masyarakat Sulsel dengan nama Datuk Ribandang.
- Khatib Sulung Datuk Sulaiman dikenal Datuk Patimang.
- Syekh Nurdin Ariyani dikenal dengan nama Datuk DiTiro.
Apa dan
bagaimana perjuangan dan kiprah mereka dalam penyebaran agama islam di Sulawesi
Selatan ini ? Berikut ini ulasannya :
·
Wilayah
Tallo dan Goa :
Sekitar
awal abad ka 17, ketiga orang datuk ini mengislamkan Raja Tallo, pada hari
Jumat 14 Jumadil Awal atau 22 September 1605, kemudian menyusul Raja Gowa XIV,
yang akhirnya bernama Sultan Alauddin.” Kerajaan Tallo dan kerajaan Gowa
merupakan kerajaan kembar yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya.
Bahkan Mangkubumi (Perdana Menteri) kerajaan Gowa adalah juga Raja Tallo. Raja
Tallo XV, Malingkaan Daeng Manynyonri merupakan orang pertama di Sulsel yang
memeluk agama Islam melalui seorang ulama dari pantai Barat Sumatera, Khatib
Tunggal Datuk Makmur, atau populer di kalangan masyarakat Sulsel dengan nama
Datuk Ribandang. Oleh karena itu pulalah kerajaan Tallo sering disebut-sebut
atau diistilahkan sebagai pintu pertama Islam di daerah ini atau dalam bahasa
Makassar ” Timunganga Ri Tallo”.
Kemudian
Raja Gowa secara resmi mengumumkan bahwa agama resmi kerajaan Gowa dan seluruh
daerah bawahannya adalah agama Islam. Sebelum masuknya agama Islam di Sulsel,
masyarakat masih menganut kepercayaan animisme. Dalam riwayat dikisahkan bahwa
awalnya Datuk Ribandang sendiri bersama kawannya dilihat oleh rakyat kerajaan
Tallo sedang melakukan shalat Asyar di tepi pantai Tallo. Karena baru pertama
kalinya itu rakyat melihat orang shalat, mereka spontan beramai-ramai menuju
istana kerajaan Tallo untuk menyampaikan kepada Raja tentang apa yang mereka
saksikan. Raja Tallo kemudian diiringi rakyat dan pengawal kerajaan menuju
tempat Datuk Ribandang dan kawan-kawannya melakukan shalat itu.
Begitu
melihat Datuk Ribandang sedang shalat, Raja Tallo dan rakyatnya secara serempak
berteriak-teriak menyebutkan ”Makkasaraki nabi sallalahu” artinya berwujud
nyata nabi sallallahu. Inilah salah satu versi tentang penamaan Makassar, itu
berasal dari ucapan ‘Makkasaraki’ tersebut yang berarti kasar/nyata.
Ada
beberapa versi tentang asal mula dinamakannya Makassar selain versi tersebut.
Datuk Ribandang sendiri menetap di Makassar dan menyebarkan agama Islam di
Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, dan wafat di Tallo. Sementara itu dua
temannya, masing-masing Datuk Patimang yang nama aslinya Khatib Sulung Datuk
Sulaiman, menyebarkan agama Islam di daerah Suppa, Soppeng, Wajo dan Luwu, dan
wafat dan dikebumikan di Luwu. Sedang Datuk RiTiro atau nama aslinya Syekh
Nurdin Ariyani berkarya di sejumlah tempat meliputi Bantaeng, Tanete,
Bulukumba. Dia wafat dan di makamkan di Tiro atau Bontotiro sekarang.
Dengan
kedatangan kolonial Belanda , seluruh benteng-benteng pertahanan kerajaan Gowa
di hancurkan kecuali benteng Somba Opu yang diperuntukkan bagi kerajaan Gowa
dan benteng Ujungpandang (Fort Rotterdam) untuk pemerintahan kolonial Belanda,
benteng pertahanan kerajaan Tallo juga dihancurkan. Penghancuran
benteng-benteng pertahanan kerajaan Gowa-Tallo itu sesuai perjanjian Bungaya,
18 Nopember 1667, yang merupakan pula tahun kemunduran kejayaan kerajaan
Gowa-Tallo waktu itu.
·
Makassar
– Bulukumba – Luwu ;
Sentuhan
ajaran agama islam yang dibawa oleh ulama besar dari Sumatera itu, juga
terdapat di Bagian selatan Sulawesi Selatan yang lain, yaitu Kabupaten
Bulukumba, yang bertumpu pada kekuatan lokal dan bernafaskan keagamaan”.
masing-masing dibawa oleh 3 orang Datuk ; bergelar Dato’ Tiro (Bulukumba), Dato
Ribandang (Makassar), dan Dato Patimang (Luwu),
Sementara
dalam itu sejarah Islam Kabupaten Luwu dan Palopo, menerangkan bahwa kira-kira
pada akhir abad XV M dan kira-kira pada tahun 1013 H, Agama Islam masuk
didaerah Luwu yang dibawah oleh seorang alim Ulama yang arief ketatanegaraannya
yaitu Datuk Sulaeman asal Minangkabau.
Pada
waktu itu Luwu diperintah oleh seorang Raja yang bernama Etenrieawe. Ketika
Datuk Sulaeman mengembangkan ajaran agama Islam di wilayah ini, hampir seluruh
masyarakat Luwu menerima agama itu. Ketika itu kerajaan dibawah naungan
Pemerintahan Raja Patiarase yang diberi gelar dengan Sultan Abdullah ( saudara
kandungnya bernama Patiaraja dengan gelar Somba Opu) sebagai pengganti dari
Raja Etenriawe, kemudian Datuk tersebut dalam mengembangkan Misi Islam, dibantu
oleh dua ulama ahli fiqih yaitu Datuk Ribandang yang wafat di Gowa, dan Datuk
Tiro yang wafat di Kajang Bulukumba .dan Datuk Sulaeman wafat di Pattimang
Kecamatan Malangke, _+ 60 Km jurusan utara Kota Palopo melalui laut .
Datuk
Sulaeman yang berasal dari Minangkabau ini kemudian dikenal dengan nama Datuk
Patimang, karena beliau wafat dan dimakamkan di Pattiman.
Tak kurang ada
sebuah hikayat yang mengkisahkan bahwa Al Maulana Khatib Bungsu (Dato Tiro)
beserta kedua sahabatnya (Datuk Patimang dan Datuk Ribandang) mendarat di
pelabuhan Para-para. Setibanya di darat, ia langsung menuju perkampungan
terdekat untuk memberitahukan kedatangannya kepada kepala negeri. Namun dalam
perjalanan menuju rumah kepala negeri, Dato Tiro merasa haus, dan beliau pun
bermaksud untuk mencari air minum namun disepanjang pantai tersebut tidak
terdapat sumur yang berair tawar. Dato Tiro menghujamkan tongkatnya di salah
satu batu di tepi pantai Limbua sambil mengucap kalimat syahadat “Asyhadu Ala
Ilahaillallah wa Ashadu Anna Muhammadarrasulullah”, anehnya setelah tongkatnya
dicabut, keluarlah air yang memancar dari lubang di bibir batu tersebut.
Pancaran air sangat besar dan tidak henti-hentinya mengalir sehingga akhirnya membentuk
sebuah genangan air.Penduduk dan para pelaut kemudian memanfaatkan mata air ini
untuk keperluan hidup sehari-hari. Hingga saat ini mata air tersebut tidak
pernah kering dan ramai dikunjungi masyarakat.
Sesungguhnya
sebelum kedatangan tiga orang datuk ke tanah Bugis ini, telah ada beberapa
penganjur Islam selain tiga orang datuk dari minangkabau, yaitu Sayyid
Jamaluddin al-husayni al akbari yang merupakan kakek dari Walisongo. Ini
berarti Islam sudah datang ke tanah Bugis, pada saat kedatangan para datuk’
(Datuk riBandang, Datuk riTiro dan Datuk riPatimang). Namun diterimanya agama
Islam di kerajaan-kerajaan Bugis Makassar pada tahun 1598 (Gowa dan Luwu),
menyusul Ajatappareng (Sidenreng, Rappang, Sawitto) pada tahun 1605, Soppeng
(1607), Wajo (1609), dan Bone (1611) adalah berkat usaha ketiga para Datuk
riBandang ini. Ia mengislamkan Karaeng Matoaya yang merupakan Mangkubumi
kerajaan Makassar. Datuk Patimang (Datuk Sulaiman) mengislamkan Daeng Parabbung
Datu Luwu dan Datuk riTiro memilih berdomisili di Bulukumba yang merupakan
daerah perbatasan Bone dan Gowa untuk syiar Islam.
Islamnya
Gowa adalah simbolitas kekuatan militer dan Luwu adalah pusat mitos Bugis
Makassar. Dengan pengislaman dua kerajaan besar ini maka tidak ada alasan untuk
menolak Islam bagi rakyatnya
0 komentar:
Post a Comment