Berdasarkan
Surat Menteri Dalam Negeri Nomor Pemda 18/2/6 tanggal 15 Mei 1973, tentang
penyusunan Rencana Pembangunan bagi Ibukota Kabupaten, mengandung pengertian
bahwa semua kabupaten kabupaten Daerah Tingkat II dapat mengatur dan mengelola
ibukotanya. Beberapa aspek yang dipertimbangkan dalam pemilihan lokasi ibukota
kabupaten adalah aspek teknis, aspek strategis dan aspek administratif (Ilhami,
1990:36-38)
Penjabaran
dari ketiga aspek tersebut menghasilkan kriteria-kriteria penentuan lokasi
ibukota kabupaten, yaitu:
a. Aspek
Strategis
Bahwa
pemilihan lokasi ibukota kabupaten harus dipertimbangkan efisiensi di dalam spend of control pemerintahan, dan harus
dikaitkan dengan kebijaksanaan pembangunan regional, aspek kendali pemerintahan
ini menyangkut kemudahan hubungan dari lokasi menuju pusat-pusat kecamatan atau
pusat kegiatan, sedangkan kaitannya dengan kebijaksanaan pembangunan regional
adalah menyangkut pola atau strategi pengembangan kota-kota dan wilayah di
kabupaten yang bersangkutan dalam jangka waktu yang panjang. Adapun yang
termasuk aspek strategis ini adalah sebagai berikut:
- Kota atau lokasi yang dipilih
sebaiknya mempunyai kemampuan tumbuh dan berkembang, baik dalam pengertian
sekarang maupun yang akan datang. Faktor yang diperhitungkan dalam hal ini
terdiri dari faktor yang menunjang pertumbuhan ekonomu potensial yang
dimiliki baik potensi sumberdaya maupun sumberdaya alam yang dimiliki oleh
calon lokasi.
- Kota dan lokasi yang dipilih harus
dapat berperan sebagai pusat pengembangan wilayah, baik untuk menciptakan
pengembangan bagi wilayah Kabupaten Banyuasin maupun pengertian untuk
menciptakan pemerataan perkembangan yaitu sebagai pusat pengembangan
wilayah yang relatif kurang berkembang. Faktor yang dapat dilihat dalam
hal ini adalah hirarki kota-kota yang ada dengan melihat kepadatan
penduduk, pertumbuhan penduduk, jumlah fasilitas serta tingkat daya
hubungnya.
- Kota atau lokasi yang dipilih diharapkan tidak bertentangan dengan strategi pengembangan kota-kota dalam lingkup yang lebih luas (RSTRP), tapi harus merupakan pengisian dari konsep tersebut.
b. Aspek
teknis
Aspek
teknis dalam penentuan lokasi merupakan salah satu faktor yang cukup penting
mengingat lokasi ibukota kabupetan harus mempunyai kemudahan teknis seperti
persediaan air, keadaan daya dukung tanah, persediaan tanah kosong dan
lain-lain bagi terselenggaranya pembangunan dan pengembangan ibukota kabupaten.
Adapun yang dimaksud dengan aspek teknis ini adalah:
a. Kota atau lokasi
yang dipilih adalah kota yang mudah menerima pembangunan sebagai ibukota
kabupaten seperti halnya ketersediaan lahan, keadaan topografi, dan kemampuan
tanah yang dapat mendukung pembangunan kota.
b. Kota atau lokasi
yang dipilih sebagiknya yang memiliki persoalan terkecil seperti banjir, erosi,
dan bencana alam lainnya.
c. Kota atau lokasi
yang dipilih harus lebih baik dalam penyediaan fasilitas dan utilitas kota.
c. Aspek
Administratif
Bahwa
pemilihan lokasi ibukota, harus mempertimbangkan kemudahan pengelolaannya,
kemampuan pembiayaan, aspek hukum, hankamnas dan lain-lainnya. Aspek
administratif berkaitan dengan aspek hukum, penyelenggaraan pemerintahan,
pengelolaan pembangunan. Aspek ini terdiri dari:
a). Kota atau lokasi
yang dipilih memiliki total jarak fisik yang terkecil agar mudah terjangkau
dari seluruh wilayah untuk kelancaran dalam pelayanan pemerintahan.
b). Kota atau lokasi
yang dipilih tidak terlalu dekat dengan Ibukota Musi Ilir agar lokasi tersebut
dapat menjalankan fungsinya. Jadinya sebaiknya kota atau dilokasi yang dipilih
mudah dijangkau sari seluruh wilayah kabupaten untuk pelayanan kepada
masyarakat.
Pada dasarnya ibukota kabupaten
berfungsi kompleks, artinya ibukota dapat merupakan pusat administrasi pemerintahan,
pusat kegiatan perdagangan, pusat jasa serta pusat kebudayaan. Penentuan suatu
kota kecamatan sebagai ibukota kabupaten bermula karena adanya
kegiatan-kegiatan ekonomi atau kebudayaan, baru kemudian fungsinya ditambahkan
sebagai pusat administratif kepemerintahan bagi daerah sekitarnya, dan hal ini
merupakan karakteristik umum dari pertumbuhan ibukota suatu wilayah (Mc. Gee,
1976:29-30).
Ibukota
kabupaten dengan fungsinya sebagai pusat administrasi pemerintahan terkait erat
juga sebagai pusat pelayanan bagi masyarakat. Sektor pemerintahan disini harus
dapat secara dominan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pelayanan yang
diberikan kepada masyarakat tersebut mengikuti hirarki administrasi
pemerintahan sehingga antara pusat pemerintahan dengan pusat pelayanan
masyarakat terkait erat. Lokasi antara keduanya sangat mempengaruhi hubungan
keduanya, semakin dekat jarak kedua lokasi tersebut maka semakin mudah pula
bagi masyarakat untuk dapat memperoleh apa yang diinginkan terhadap lokasi
tersebut. Pusat pemerintahan tersebut terjadi karena permintaan masyarakat akan
pelayanan-pelayanan pemerintahan yang tidak dapat mereka hasilkan sendiri; oleh
semua golongan masyarakat yang berharap banyak untuk dapat memperoleh pelayanan
pemerintahan tersebut (Mc.Lean,Mary; 1959:61)
Dengan
ditetapkannya Kota Pangkalan Balai sebagai ibukota Pemerintahan Kabupaten
Banyuasin sebagai kabupaten baru maka diharapkan dapat memberikan pelayanan
kepada masyarakat secara efektif dan efisien sehingga hasilnya dapat dirasakan
secara nyata oleh masyarakat. Oleh karena itulah dibutuhkan suatu lokasi yang
diharapkan dapat menjadi pusat pemerintahan di kota Pangkalan Balai sehingga
dapat memberikan fungsi sebagai ‘public service’.
Dalam menentukan lokasi kota
pusat pemerintahan kabupaten, persyaratan utama yang harus dipenuhi adalah
persyaratan fisik. 2 (dua) persyaratan yang dianggap paling penting dalam
penentuan lokasi ibukota kabupaten (Vera Sari, 1997 : 8) antara lain :
1. Calon lokasi daerah ibukota sebaiknya relatif datar dan bebas banjir
2. Dengan fungsi utama sebagai pusat pemerintahan, maka daerah yang akan
dipilih sebagai calon ibukota harus strategis dan aksesible bagi kepentingan
pergerakan kegiatan-kegiatan administratif kota-kota kecamatan terhadap
ibukotanya.
2.1.1 Pembentukan Otonomi
Daerah
Berdasarkan Undang-Undang No.22
Tahun 1999 bahwa Otonomi Daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan pengertian daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Otonomi
daerah dilaksanakan sesuai dengan kemampuan suatu daerah dilihat berdasarkan
potensi daerah yang dimilikinya baik dari sumberdaya alam maupun sumberdaya
manusia. Selain itu pula daerah dibentuk berdasarkan kemampuan ekonomi, sosial
budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah dan pertimbangan lainnya
(UU No 22/1999). Untuk melaksanakan otonomi daerah secara berhasil guna dan
berdayaguna dalam upaya meningkatkan penyelenggaraan pemerintah, pelaksanaan pembangunan
dan pelayanan kepada masyarakat, maka titik berat otonomi daerah perlu
diletakkan di daerah kabupaten yang berkedudukan langsung kepada masyarakat
(Didi Permadi : 18).
Tujuan
pembentukan otonomi daerah adalah pemberian kewenangan kepada daerah untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sehingga secara optimal dapat
memberikan pelayanan kepada masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai
dengan aspirasi masyarakat daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Untuk
mendukung pelaksanaan tujuan tersebut maka penyelenggaraan pemerintahan daerah
harus benar-benar diterapkan sehingga dapat diperoleh hasil yang berdayaguna
dan berhasilguna bagi masyarakat sehingga kewenangan yang diberikan kepada
daerah tersebut dapat dipertanggung jawabkan oleh pemerintahan daerah itu
sendiri.
Mengenai perlunya titik berat otonomi pada
daerah tingkat II sseperti pada pasal UU no.5/1974 ditegaskan kembali dalam
konsideran PP 45/1992, butir a dan b:
“...untuk melaksanakan otonomi secara
berdayaguna dan berhasilguna dalam upaya meningkatkan pemyelenggaraan
pemerintahan, pelaksanaan dan pelayanan kepada masyarakat, maka titik berat
otonomi daerah perlu diletakkan di Daerah Tingkat I yang berkedudukan lebih
langsung berhubungan dengan masyarakat.”
“....asas desentralisasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan di saerah dilaksanakan dengan penyerahan urusan
pemerintahan kepada daerah dengan memperhatikan kemampuan, keadaan dan
kebutuhan masing-masing daerah untuk mewujudkan Otonomi Daerah yang nyata,
dinamis dan bertanggung jawab.”
2.1.2 Asas-asas Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah
Berdasarkan Undang-Undang No.22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, terdapat prinsip penyelenggaraan
pemerintahan di daerah antara lain adalah:
a. Digunakannya asas
desentralisasi; dekonsentrasi dan tugas pembantuan;
Desentralisasi adalah
penyerahan wewenang pemerintah oleh Pemerintah kepada Daerah tonom dalam
kerangka Negara kesatuan Republik Indonesia
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang
dari pemerintah kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah dan/atau perangkat
pusat di daerah
Tugas
Pembantuan adalah penugasan
dari Pemerintah kepada daerah dan dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas
tertentu yang disertai pembiayaan,sarana dan prasarana serta sumber daya
manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan
mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskan.
b. Penyelenggaraan asas
desentralisasi secara utuh dan bulat yang dilaksanakan di Daerah Kabupaten dan
Daerah Kota; dan
c. Asas tugas
pembantuan yang dapat dilaksanakan di Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten, Daerah
Kota dan Desa.
Untuk lebih jelasnya
asas-asas prnyelenggaraan pemerintahan diatas akan diuraikan sebagai berikut
(Tjokroanidjojo, 1974:39-54) :
1. Desentralisasi
Urusan-urusan pemerintah yang
telah diserahkan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi
pada dasarnya menjadi wewenang dan tanggung jawab daerah sepenuhnya. Dalam hal
ini prakarsa sepenuhnya diserahkan kepada daerah baik yang menyangkut segi-segi
pembiayaannya. Demikian pula perangkat pelaksanaannya asalah perangkat daerah
itu sendiri, terutama dinas-dinas daerah.
2. Dekonsentrasi
Penyelenggaraan berbagai
urusan pemerintahan di daerah dilaksanakan oleh perangkat pemerintahan di
daerah berdasarkan asas dekonsentrasi. Urusan-urusan yang dilimpahkan oleh
pemerintah kepada pejabat-pejabatnya di daerah menurut asas dekonsentrasi ini
tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat baik mengenai perencanaan,
pelaksanaan maupun pembiayaannya. Unsur pelaksanaan terutama instansi-instansi
vertical, dikoordinasikan oleh kepala daerah dalam kedudukan selaku perangkat
pemerintah, akan tetapi kebijaksanaan terhadap pelaksanaan urusan dekonsentrasi
tersebut, sepenuhnya ditentukan oleh pemerintah pusat.
3. Tugas
Pembantuan
Seperti yang telah disebutkan
diatas, bahwa tidak semua urusan pemerintahan dapat diserahkan kepada daerah
untuk menjadi urusan rumah tangganya, maka beberapa urusan masih tetap
merupakan urusan pemerintah pusat. Akan tetapi berat sekali bagi pemerintah
pusat untuk menyelenggarakan seluruh urusan pemerintah di daerah yang masih
mempunyai wewenang dan tanggung jawabnya atas dasar dekonsentrasi, mengingat
terbatasnya kemampuan perangkat pemerintah pusat di daerah, dan juga ditinjau
dari segi dayaguna dan hasilguna yang kurang dapat dipertanggung jawabkan
apabila semua urusan pemerintah pusat di daerah dilaksanakan sendiri oleh
perangkatnya, karena hal itu akan memerlukan tenaga dan biaya yang sangat besar
jumlahnya. Mengingat sifatnya, berbagai urusan sulit untuk dapat dilaksanakan
dengan baik tanpa ikut sertanya pemerintah daerah yang bersangkutan. Atas dasar
petimbangan-pertimbangan tersebut, maka Undang-Undang No.22 Tahun 1999
memberikan kemungkinan untuk dilaksanakannya berbagai urusan pemerintahan di
daerah menurut asas tugas pembantuan.
2.1.3 Kondisi dan Potensi Kabupaten Musi Banyuasin
Dalam Rangka Pemekaran Wilayah Kabupaten Banyuasin dan Kabupaten Musi Ilir
Berdasarkan Undang-undang No.22
Tahun 1999 itulah kemudian yang menjadi dasar pemekaran Kabupaten Musi
Banyuasin menjadi Kabupaten Musi Ilir dengan ibukota Sekayu dan Kabupaten
Banyuasin dengan ibukota Pangkalan Balai yang mengacu pada pasal 6 ayat 2,
berbunyi:
“....Daerah dapat
dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah...”
Pemekaran daerah untuk membentuk suatu
kabupaten baru di Kabupaten Musi Banyuasin merupakan kebutuhan yang mendesak
hal ini dikarenakan saat ini memiliki wilayah yang sangat luas. Berdasarkan
kondisi faktual yang ada di Kabupaten Musi Banyuasin, digagaskan rencana untuk
memekarkan Kabupaten Musi Banyuasin menjadi 2 kabupaten sehingga dengan pemekaran
ini di harapkan dapat diciptakan fungsi pemerintahan yang lebih efektif dan
efesien dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan pembangunan dapat
semakin dirasakan oleh masyarakat. Dari realisasi kebutuhan tersebut pada tahun
2000 telah ditetapkan dasar hukum pembentukan Ibukota Kabupaten Banyusin (calon
kabupaten baru) dengan terbitnya Surat Keputusan Bupati Musi Banyuasin Nomor
564.SK/I1999 yang menetapkan Kota Pangkalan Balai sebagai Pusat Pemerintahan
Kabupaten Banyuasin. Selain itu pula pembentukan pusat pemerintahan tersebut
mengacu pada Keputusan DPRD Propinsi Sumatera Selatan No.05 Tahun 2000 Tentang
Persetujuan Atas Pembentukan Kabupaten Banyuasin dan Keputusan DPRD Propinsi
Sumatera Selatan No.04 Tahun 2000 Tentang Dukungan dan Persetujuan Atas
Pemekaran Kabupaten Musi Banyuasin.
A. Pembagian Wilayah
Kabupaten
Musi Banyuasin yang memiliki luas 26.099,55 Km2 akan dimekarkan
menjadi 2 Kabupaten yang terpisah yaitu Kabupaten Musi Ilir dengan ibukota
Sekayu dan Kabupaten Banyuasin dengan ibukota Pangkalan Balai.
B. Profil Wilayah
Kabupaten
Ø
Luas Wilayah
Administrasi
Luas
wilayah yang diusulkan untuk calon Kabupaten Banyuasin seluas 11.832,99 Km2
atau 43,34 % dari luas wilayah Kabupaten Musi Banyuasin. Sementara luas wilayah
yang diusulkan untuk Kabupaten Musi Ilir
seluas 14.263,40 Km2 atau 54,66 % dari luas wilayah Kabupaten
Musi Banyuasin.
Ø
Kondisi
Kependudukan
Jumlah Penduduk Kabupaten
Banyuasin pada tahun 2000 berjumlah 654.286 jiwa atau 60,50 % dan jumlah
penduduk Kabupaten Musi Banyuasin, sementara Kabupaten Musi Ilir berjumlah
426.436 jiwa atu 39,50 % dari jumlah penduduk Kabupaten Musi Banyuasin.
Ø
Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan di Kabupaten
Banyuasin maupun Kabupaten Musi Ilir dibedakan antara lahan basah, lahan
kering, dan penggunaan lain. Pada Kabupaten Banyuasin area pertanian seluas
188.859,47 ha atau 15.,96 % dari luas wilayah, sedangkan Kabupaten Musi Ilir
mempunyai luas area pertanian 208.112 ha atau 14,59 % dari luas wilayah.
2.2 Tinjauan Penentuan Lokasi Kawasan Pusat Pemerintahan
Dalam suatu penentuan lokasi
kawasan pusat pemerintahan suatu ibukota akan berpengaruh terhadap beberapa
kondisi. Kondisi yang akan terjadi antara lain adalah terhadap limitasi atau
batasan terhadap kondisi fisik alamiah seperti kelayakan suatu lokasi untuk
dijadikan lokasi kawasan pusat pemerintahan. Beberapa prinsip yaang harus
diperhatikan dalam penentuan lokasi kawasan pusat pemerintahan antara lain
adalah (Joseph De Chiara dan John Hancock,1989):
1. Pemerintahan harus dapat menyediakan tempat dan memudahkan masyarakat
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pelayanan yang efisien kepada
masyarakat dalam hal ini adalah berhubungan dengan bagaimana menyediakan
fasilitas pemerintahan yang tepat yang diperuntukkan bagi sebagian besar masyarakat
yang dilayaninya untuk memanfaatkan fasilitas pemerintahan tersebut.
2. Dengan fungsinya sebagai ‘public servise’ sudah seharusnya pemerintahn
dapat memberikan pelayanan kepada semua masyarakat di kabupaten tersebut
sebaik-baiknya dan secara tepat, sehingga aktivitas tersebut harus berada tidak
jauh dengan jaringan jalan dan pusat pelayanan lainnya.
3. Bangunan pemerintahan harus berhubungan dan tidak terpisah sehingga dapat
memberikan pelayanan kepada masyarakat secara efektif dan efisien.
4. Lokasi pusat pemerintahan harus murah secara ekonomis dengan harga
minimal (kepemilikan lahan harus diperhatikan).
Perencanaan Fisik pada hakekatnya
merupakan usaha untuk menjawab perkembangan masyarakat yang menyangkut segi
sosial, budaya, ekonomi dan politik. Dalam suatu proses penetuan lokasi suatu
kawasan dibutuhkan suatu perencanaan fisik yang terinci yang dikaji baik itu
dari berbagai aspek yang terkait baik itu pada aspek kependudukan, pola tata
guna lahan, aktivitas,dan lain sebagainya.
Dalam
pengertian secara harfiah lokasi adalah suatu area yang secara umum dapat
dikenali atau dibatasi dimana terjadi suatu kegiatan tertentu (Myra P Gunawan,
1977:151-167). Pada hakekatnya dapat dikatakan bahwa teori lokasi merupakan
usaha-usaha untuk memperoleh pedoman dalam penentuan lokasi kegiatan atau dalam
usaha untuk dapat mengisi ruang dengan efisien.
Dalam
menentukan lokasi suatu kegiatan yang perlu dipertimbangkan adalah ciri-ciri
kegiatan dalam arti bagaimana ‘kehidupan’ kegiatan tersebut; bagaimana
kaitannya dengan kegiatan lain, apa yang diperlukan bagi kelangsungan kegiatan
tersebut, siapa yang dilayani dan seterusnya. Dengan mempertimbangkan hal-hal
diatas maka dalam penentuan lokasi akan didapat suatu lokasi yang diharapkan
dapat menunjang kebutuhan terhadap kegiatan tersebut. Akan tetapi ciri-ciri
kegiatan juga akan menunjukkan faktor-faktor mana yang dominan atau menentukan
peletakan lokasinya. Selain itu juga karakteristik dari suatu daerah juga
merupakan hal-hal dasar dimana kegiatan itu akan berlangsung. Karakteristik
daerah tersebut antara lain adalah :
-
keadaan topografis-geografis
-
jaringan jalan yang ada, dll.
Keluaran dari suatu perencanaan
fisik adalah suatu distribusi tata ruang yang akan memberikan pengaturan dan
pengarahan penataan ruang dan penyediaan jaringan sarana fisik. Di dalam
perencanaan fisik ini akan tercakup lima segi pokok yang berkaitan dengan hal
penataan ruang dalam proses penentuan lokasi suatu kawasan antara lain (Djoko
Sujarto, 1999: 23-37) :
1. Distribusi Tata
Ruang Penduduk
Suatu perwujudan tata ruang dari
aspek kependudukan di dalam perencanaan
fisik adalah pola kepadatan penduduk. Untuk mencapai efisiensi dan efektifitas
penggunaan lahan maka pola pendistribusian (penyebaran) penduduk perlu direncanakan.
Di
dalam perencanaan fisik gambaran tentang pendistribusian penduduk ini dapat
dikemukakan dalam bentuk peta kepadatan penduduk baik keadaan saat ini maupun
yang direncanakan di masa datang sesuai dengan kemampuan dan ketersediaan
lahan.
2. Distribusi Tata Ruang Objek
Dalam hubungannya dengan
perencanaan fisik, distribusi tata ruang akan menyangkut penyebaran obyek
seperti: bangunan, taman,pohon, jalur jalan, saluran pembuangan dan drainase,
jaringan air minum, dan listrik. Obyek-obyek itu tentu ada yang kecil seperti:
bangunan pabrik, kawasan industri atau pelabuhan samudra.
Pendistribusian
tata ruang obyek-obyek perkotaan itu akan merupakan permasalahan yang sangat
kompleks yang ,menyangkut bukan hanya peletakannya yang memerlukan kesesuaian
dengan fungsi dan kepentingannya saja, tetapi juga pada bentuk dan kualitas
fisik visual, peranan simbolik suatu lingkungan serta interaksinya dengan
obyek-obyek lain dan kegiatan masyarakatnya.
3. Distribusi Tata Ruang Fungsi Kegiatan
Pendistribusian fungsi-fungsi pelayanan yang sesuai merupakan sesuatu
yang sangat dasar di dalam kesejahteraan suatu kota. Pengalaman di beberapa
kota di manapun menunjukkan bahwa pendistribusian fungsi-fungsi pelayanan dapat
mempengaruhi pertumbuhan kota fungsi pelayanan dapat membentuk suatu
perkembangan linear atau suatu kawasan yang mengelompok. Di beberapa kota yang
telah maju keteraturannya seperti Jakarta misalnya penentuan pos polisi,
pemadam kebakaran, dan sistem didistribusikan berdasarkan kepada fungsi kawasan
yang akan dilayaninya.
Selanjutnya ada juga jenis fungsi
pelayanan umum yang penyebarannya tidak didasarkan kepada kawasan spesifik
maupun wilayah pelayanan, melainkan didasarkan kepada kepentingan seluruh kota.
Sekalipun distribusi tata ruang fungsi pelayanan mempunyai kaitan langsung
dengan distribusi obyek atau komponen fisik, masih ada masalah khusus yang
menyangkut perencanaan fisik ini. Perencanaan fisik fungsi-fungsi itu biasanya
sangat kompleks dan sering memerlukan suatu tinjauan ke depan mengenai
fungsi-fungsi pelayanan umum secara menyeluruh, sehingga pendistribusian setiap
fungsi kegiatan harus dipertimbangkan.
4. Distribusi Tata Ruang Aktivitas
Distribusi tata ruang aktivitas
mempunyai kaitan dengan peraturan peruntukan dan pemrograman pembangunan
pemerintahan kota seperti Kotamadya, Kota Kabupaten atau Kota Administratif.
Dalam hal ini peraturan peruntukan yang didasarkan kepada kegiatan pemerintah
dalam hal peruntukan tanah, akan memerlukan peraturan dan tindakan khusus.
Sedangkan pemrograman adalah berdasarkan kegiatan yang mendorong tindakan-tindakan
pembangunan secara spesifik.
Pendistribusian tata ruang
berbagai kegiatan secara umum tidak terlepas dari pendistribusian secara tata
ruang dari obyek-obyek dan kegiatan fungsional tertentu. Gambaran yang
memisahkan antara distribusi tata ruang dari berbagai kegiatan kota,
obyek-obyek perkotaan serta kegiatan fungsional khusus hanyalah karena adanya
permasalahan-permasalahan khusus yang menyangkut lingkup masing-masing.
Distribusi kegiatan perkotaan secara keseluruhan di dalam perencanaan fisik
kota diwujudkan dalam bentuk pola tata guna tanah.
5. Distribusi tata Ruang Sasaran dan Tujuan Pembangunan
Adakalanya di dalam suatu proses
perencanaan distribusi tata ruang sasaran dan tujuan pembangunan ini dikatakan
sebagai rencana strategi. Distribusi tata ruang sasaran dan tujuan pembangunan
kota ini akan merupakan suatu pola kebijaksanan pokok dari suatu perencanaan
fisik. Pendistribusian sasaran dan tujuan serta cara pencapainanya dapat
dilakukan dari berbagai aspek kegiatan kota secara terpadu, misalnya kawasan
perumahan atau kawasan pusat kota dengan kawasan kegiatan perdagangan, dengan
sistem jaringan jalan, atau dengan kegiatan-kegiatan khusus seperti pusat
rekreasi, taman atau pusat pemerintahan.
Dengan
terpolanya distribusi aspek-aspek tersebut maka dalam penentuan lokasi suatu
kawasan maka baik proses maupun hasilnya akan memudahkan dalam menetukan
kegaitan apa yang sesuai dengan karakteristik daerah yang ada. Penentuan lokasi
merupakan suatu bagian dalam perencanaan fisik sehingga segala aspek yang terkait
dalam perencanaan fisik itu harus dijadikan bahan pertimbangan.
Kota
Pangkalan Balai sebagai ibukota
kabupaten adalah pusat kegiatan pemerintahan kabupaten harus mempunyai fungsi
pemerintahan antara lain mencakup:
· Fungsi pelayanan masyarakat
· Fungsi pembinaan pembinaan kehidupan masyarakat
· Fungsi pembinaan
Pemilihan
kota Pangkalan Balai sebagai ibukota pemerintahan dari Kabupaten Banyuasin
tersebut sudah memenuhi persyaratan tersebut. Kota Pangkalan Balai secara
keseluruhan membentuk pola tata ruang yang linier
dengan rektanguler pada pusat kota, dimana pusat kota terletak agak menepi
ke bagian timur Kota Pangkalan Balai, yang berupa pusat kegiatan utama
pemerintahan. Sedangkan sub pusat kegiatan kota berbentuk kegiatan perdagangan.
Disekitar pusat kota ditempati oleh masyarakat dengan pola penyebaran
permukiman mengikuti pola jaringan jalan.
Fungsi
pelayanan terhadap wilayah yang ada saat ini di Pangkalan Balai cenderung
merupakan pelayanan lokal untuk tingkat kecamatan. Pelayanan tersebut dicirikan
oleh kegiatan atau fasilitas-fasilitas pasar, pendidikan, dan kesehatan, yang
skala pelayanannya relatif untuk lingkup kecamatan. Penetapan Kota Pangkalan
Balai sebagai ibukota atau pusat pemerintahan kabupaten, dengan skala pelayanan
wilayah kabupaten akan merupakan pengembangan yang baru sama sekali (BAPPEDA
Kabupaten Musi Banyuasin : 2001).
Pengembangan
fungsi utama sebagai pusat pemerintahan akan diikuti oleh perkembangan fungsi
kegiatan yang meliputi:
· Kegiatan semi pemerintahan
· Kegiatan jasa, komersial, dan sosial
· Permukiman perkotaan
Akan tetapi semua kegiatan
tersebut harus ditunjang pula dengan penyediaan prasarana dan sarana yang
menunjang kegiatan tersebut. Sedangkan bentuk kegiatan yang mencirikan fungsi
utama pemerintahan adalah:
· Kantor Bupati dan aparat pemerintahan daerah
· Kantor-kantor dinas/Instansi Otonomi Kabupaten, seperti Dinas Pekerjaan
Umum (Bina Marga, Cipta Karya dan pengairan), Dinas Kesehatan, Organisasi
Puskesmas, Dinas Pendidikan Nasional, dst
· Kantor-kantor Instansi Vertikal Tingkat Kabupaten, seperti Badan Pengawas
Daerah, Bappeda, Badan Pengelola Keungan Daerah, dll
Bentuk-bentuk kegiatan
semi-pemerintahan adalah badan-badan atau organisasi-organisasi yang
keberadaannya pararel dengan pemerintahan kabupaten artau wilayah tingkat kabupaten,
seperti:
· Organisasi politik, organisasi masyarakat
· Pramuka
· Organisasi profesi
· Lembaga keagamaan, adat/budaya dan sebagainya
Bentuk-bentuk kegiatan komersial
dan jasa yang sifat utamanya, baik yang dikelola oleh swasta/masyarakat maupun
pemerintah, yang meliputi:
· Jasa Komersial : Kegiatan jasa
yang sifat utamanya komersial seperti perdagangan, pengangkutan, komunikasi,
hotel dan restoran, dan sebagainya, yang umumnya dikelola oleh
swasta/masyarakat atau pemerintah melalui badan usaha.
· Jasa Sosial : Kegiatan-kegitan jasa yang sifat pelayanan utamanya adalah
sosial atau non-komersial seperti pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial
lainnya yang umum dikelola oleh pemerintah (sebagai sektor publik) dan juga
oleh masyarakat melalui organisasi sosial, yayasan dan lain-lain.
Permukiman perkotaan terutama dicirikan oleh
keberadaan atau perkembangan bangunan/kawasan perumahan untuk penduduk kota
(pemukiman). Pembangunan perumahan tersebut dapat berupa pembangunan rumah
secara individual atau pembangunan oleh pengembangan (developer).
Fungsi besaran/ukuran dan bentuk kota yang
dikembangkan membutuhkan sarana dan prasarana pendukung yang memadai, dimulai
dari sarana dan prasarana dasar (PSD) kota, yaitu :
§
Air bersih
§
Drainase
§
Pengelolaan limbah
§
Pengelolaan sampah
§
Listrik
§
Telekomunikasi
§
Jaringan jalan
2.3 Faktor-Faktor Penentuan
Lokasi Kawasan Pusat Pemerintahan Kabupaten
Secara
umum telah dijelaskan bahwa fungsi yang akan ditentukan adalah sebagai pusat
kegiatan administrasi dan pemerintahan yang ditunjang oleh fungsi yang tidak
jauh beda dengan fungsi kota pada umumnya (TG.Mc.Gee, 1976:29-30). Dalam
penentuan lokasi kawasan pusat pemerintahan ini sebenarnya banyak faktor yang
dapat dipertimbangkan, namun untuk studi ini pemilihan faktor akan dibatasi
sehubungan dengan kemungkinan pelaksanaan fungsi dan pembangunan ibukota
berdasarkan keadaan daerah di Kota Pangkalan Balai.
Dalam penentuan lokasi kawasan
pusat pemerintahan ini dilihat berdasarkan karakteristik fisik dan sosial yang
terdapat di Kota Pangkalan Balai.Oleh karena itu diperlukan suatu analisis pola
fisik kawasan. Data yang diperlukan itu meliputi antara lain sebagai berikut
(Djoko Sujarto 1999, 47-48):
a. Pola penggunaan Tanah
Pertama yang sangat penting adalah peta penggunaan tanah (land use),
yaitu peta yang menunjukkan pola penggunaan tanah untuk berbagai macam kegiatan
fungsional perkotaan, seperti kawasan perumahan, perdagangan, pemerintahan,
industri, jalur hijau, ruang terbuka dan tanah kosong dan bangunan umum.
b. Jaringan Utilitas Umum
Peta jaringan utilitas umum yang mencakup jaringan air bersih, jaringan
pembuangan dan drainase, jaringan gas, jaringan listrik, dan jaringan
telekomunikasi.
c. Pola Transportasi
Peta jaringan jalan yang menunjukkan berbagai klasifikasi teknis,
klasifikasi fungsi, serta kondisi setiap jalan. Macam-macam fasilitas angkutan
umum, terminal dan perhentian bus. Masalah lalu lintas seperti kemacetan,
rambu-rambu, volume lalu lintas, dan tingkat kecelakaan.
d. Kondisi Fisik Lingkungan
Peta yang menggambarkan kondisi struktur dan lingkungan secara
keseluruhan. Dalam peta ini harus dapat ditunjukkan kondisi struktur bangunan
maupun suatu kawasn fungsionalsecara keseluruhan, perumahan, pusat perdagangan,
bangunan umum, industri dan lain-lain.
Dari penilaian kondisi ini harus
dapat dikemukakan suatu analisis bagian mana yang dapat dipertahankan,
dipelihara, dibongkar, atau dikembangkan.
Adapun
tujuan penentuan lokasi kawasan pusat pemerintahan di Kota Pangkalan Balai
adalah agar secara efektif dan efisien dapat memberikan pelayanan pemerintahan
kepada masyarakat sehingga fungsi sebagai “public service” dapat terpenuhi
secara optimal. Dalam penentuan lokasi kawasan pusat pemerintahan itu sendiri
terdapat beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi penentuan lokasi (Vera Sari, 1997:9) antara lain adalah:
1. Faktor Tanah
Sebagai ibukota yang dipindahkan menuju suatu lokasi baru, termasuk
segala perlengkapan dan kegiatannya sebagai pusat pemerintahan ibukota,
diperlukan suatu areal yang cukup luas, tanah yang relatif mudah dan murah
dibebaskan, serta sedapat mungkin tidak merusak lingkungan alam dan kegiatan
penduduk yang telah ada.
2. Tersedianya Fasilitas Sosial
Faktor ini memperhitungkan 2 pemikiran:
a. Pembuatan fasilitas baru sebagai sarana kehidupan penduduk yang akan
dipindahkan relaif lebih besar biayanya dibandingkan dengan mengingkatkan
pelayanan fasilitas yang ada.
b. Sebagai faktor pengikat penduduk pendatang, sebagai akibat dipindahkannya
segala kegiatan pemerintahan kabupaten. Pada awal pemindahannya, fasilitas
pelayanan yang primer ini benar-benar merupakan sesuatu yang amat dibutuhkan.
3. Faktor Sarana Angkutan Umum
Dengan fungsinya sebagai pusat pemerintahan maka peranan tersedianya
sarana angkutan umum merupakan kebutuhan primer. Makin tinggi jumlah sarana
angkutan makin tinggi mobilitas yang dapat dicapai.
4. Jaringan Jalan
Penilaian jaringan jalan ditekankan pada kemungkinan pembangunan jaringan
jalan di masa yang akan datang. Makin besar jumlah/panjang jalan yang tersedia
akan semakin menguntungkan. Pemanfaatan jaringan jalan yang telah ada akan
semakin menguntungkan dari segi kemungkinan pembiayaan.
5. Kondisi Ekonomi
Dukungan fungsi ekonomi harus cukup kuat, hal ini dilihat dari:
a. Nilai produk per kapita, dikaitkan dengan kemampuan masyarakat untuk
mengembangkan fungsi ekonomi kotanya di masa yang akan datang
b. Nilai produk pertanian atau non pertanian, dikaitkan dengan sumber utama
kegiatan penduduk dahn kemungkinan pengembangan kegiatan yang heterogen dimasa
yang akan datang.
Sejalan dengan pengembangan pusat pemerintahan tersebut
cenderung akan terjadi pula ekspansi ruang kearah pinggiran, terutama diawali
dari arah pusat kota, baik berupa kegiatan komersial maupun perumahan. Walaupun
kecenderungan ekspansi berupa ekstensifikasi ke pinggir, namun dalam beberapa
kasus dapat saja terjadi intensifikasi pemanfaatan ruang, terutama oleh
kegiatan - kegiatan komersial. Sebagian persiapan/antisipasi perkembangan lebih
lanjut, maka kawasan pinggiran dipersiapkan untuk tindak ekstensifikasi wilayah
terbangun.
Unsur-unsur dasar dalam perencanaan fisik suatu kawasan yang
perlu diperhatikan dalam penentuan lokasi kawasan pusat pemerintahan antara
lain adalah (Djoko Sujarto; 62-71:1985)
-
letak
geografis
-
keadaan
topografis
-
keadaan
vegetasi
-
keadaan
hidrologi
-
geologi
dan kemampuan lahan
-
sumber
daya alam dan ketenagaan
-
pola
penggunaan tanah
dengan pertimbangan tersebut maka
aspek-aspek tersebut maka diharapkan akan dapat menyediakan lahan guna
menempatkan serta melayani pembangunan masyarakat dengan segala kegiatan
usahanya dan kegiatan sosial budayanya.
Selain itu juga pertimbangan terhadap
faktor penentuan lokasi pusat pemerintahan juga harus memeperhatikan
kondisi-kondisi yang terdapat di lokasi antara lain (G.H Knibbs, F.R AS;
62-112:1901):
1.
Aspek topografi menjadi pertimbangan dalam
penentuan lokasi untuk mendukung pembangunan bangunan-bangunan perkantoran
2.
permukaan tanah dan keadaan tanah
3.
kondisi sumber air
4.
Penyediaan jaringan air bersih
5.
penyediaan jaringan drainase
Pemilihan lokasi bagi kawasan pusat
pemerintahan agar dapat dimanfaatkan secara berdayaguna ditentukan berdasarkan
faktor fisik dan sosial antara lain adalah (James Sturgis Pray; 1914) :
1.
Faktor alamiah yang dipengaruhi oleh iklim
dan topografi lokasi
2.
Tersedinya fasilitas-fasilitas bagi
penunjang perkembangan kawasan antara lain adalah fasilitas transpotasi,
fasilitas sosial dan fasilitas ekonomi
3.
Faktor kependudukan dalam hal ini dengan
melihat pola guna lahan dimana masyarakat melakukan aktivitasnya seperti
pemukiman penduduk, perdagangan,industri, pendidikan dan sebagainya.
4.
pertumbuhan ekonomi yang didukung oleh
sumber keuangan untuk memperhitungkan ketersediaan lahan dalam hal ini adalah
harga lahan yang ada.
Selain beberapa hal diatas, penentuan
lokasi pusat pemerintahan memiliki kaitan dengan standar mengenai luas lingkup
pelayanan yang disesuaikan dengan besar kecilnya unit satuan yang dilayani.
“.....Penentuan lokasi ini akan meliputi
pemilihan dan analisa letak (site selection and site analysis), termasuk di
dalamnya studi tentang keadaan topografi, pola penggunaan tanah sekarang,
hubungan dengan pusat-pusat kegiatan penduduk maupun kegiatan sosial ekonomi
yang telah ada dan direncakan, jaringan jalan, perhitungan-perhitungan
perekonomian perdagangan, dll.”( Myra P.Gunawan, 1977:186)
Dalam penentuan lokasi kawasan pusat
pemerintahan juga diperlukan pertimbangan terhadap topografi atau bentuk dasar
permukaan tanah. Kriteria topografi sendiri antara lain adalah ketinggian
diatas permukaan air laut, orientasi topografi dan kemiringan lereng. (Joseph
De Chiara dan Lee E Koppelman, 4:1994).
“
Bentuk dasar permukaan tanah atau struktur topografi suatu tapak merupakan
sumber daya visual dan estetika yang angat mempengaruhi lokasi dari berbagai
tata guna tanah serta fungsi rekreasi, intrefretatif dan sebagainya. Pemahaman
terhadap struktur topografi tidak hanya memberi petunjuk terhadap pemilihan
lokasi untuk jalan dan rute lau lintas alam tetapi juga menyatakan susunan
keruangan terhadap lokasi.” (Joseph De Chiara dan Lee E. Koppelman, 1994:3)
Selain itu juga topografi sangat
dibutuhkan dalam pemilihan lokasi bagi kawasan pusat pemerintahan dengan tujuan
untuk melihat kondisi dari lokasi. Semakin datar lokasi maka semakin besar daya
dukung terhadap bangunannya.
“Untuk
kepentingan pembangunan dan pengaturan guna lahan, perlu ditunjang oleh
karakteristik topografis yang baik, yang menyangkut kemiringan lahan yang kecil
dan kondisi relief yang tidak berlekuk-lekuk. Lahan dengan persen lereng yang
besar dan relief yang berlekuk-lekuk atau berbukit-bukit akan meningkatkan
biaya pembangunan fasilitas perkotaan terutama dalam hal pematangan lahan.
Selain itu juga menyulitkan pergerakan penduduk.”(Mohammad Syafri Afriansyah,
1990:89)
Dalam
penentuan lokasi kawasan pusat pemerintahan untuk mendapatkan gambaran yang
baik mengenai wilayah yang memiliki karakteristik air yang baik (kualitas dan
kuantitas), maka diperlukan informasi tentang sebaran sungai dan karakteristik
air tanah ( Mohammad Syafri Afriansyah, 1990).
Untuk
mengetahui kualitas air yang baik dapat dengan melihat kejernihan air,
kelayakan air yang bisa dijadikan sebagai air bersih untuk kebutuhan air minum
dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Akan tetapi dengan keterbatasan data yang
diperoleh tentang sumber air ini maka untuk karakteristik kualitas air tidak
dapat dilakukan analisis.
Sedangkan
untuk karakteristik kuantitas air dapat melihat dari (Joseph De Chiara dan Lee
E. Koppelmen, 1994):
-
Sumber
air tanah
-
Kecepatan
limpasan
-
Pengendapan
-
Kandungan
oksigen
-
Debit
air
-
Sebaran
sungai dan rawa
Selain
itu juga dalam penentuan lokasi pusat pemerintahan suatu wilayah harus
memperhatikan tata guna lahan perkotaan yang ada . Sejauh ini pola guna lahan
yang ada di Kota Pangkalan Balai adalah berupa pemukiman penduduk, perkebunan,
kehutanan, perdagangan dan jasa, dan perkantoran.
Kepemilikan
lahan juga merupakan factor penentu dalam penentuan lokasi kawasan pusat
pemerintahan. Hal ini dimaksudkan agar lahan tersebut dikemudian hari tidak
menjadi persengketaan dan merugikan bagi penduduk. Status tanah negara menjadi
prioritas dalam menunjang penentuan lokasi ini karena dengan status tanah milik
negara maka tidak akan mengeluarkan biaya yang banyak misalnya dalam
pemebebasan tanah apabila lokasi nantinya merupakan tanah milik rakyat.
Ketersediaan
lahan yang luas dapat menjadi pertimbangan dalam pennetuan lokasi kawasan pusat
pemerintahan ini, hal ini dikarenakan pada akhirnya lahan dapat menyediakan
ruang bagi bangunan-bangunan pemerintahan dan fasilitas-fasilitas penunjang
lainnya. (Alfred Agache; 1912)
Menurut Davis G Epstein dalam pembangunan
suatu kawasan harus memperhatikan hubungan dengan kota-kota dan pusat-pusat
lainnya di dalam wilayahnya (Davis G Epstein, 1073:26-83). Dalam hal ini faktor
prasarana dapat merupakan potensi perhubungan yang besar (Sumitro Maskun,
1975:33). Ini berarti bahwa suatu kawasan pusat pemerintahan harus terletak
pada lokasi yang mudah dicapai.
Untuk menunjang fungsinya sebagai pusat administrasi dan
pemerintahan, maka lokasi harus menyediakan fasilitas dan utilitas untuk
kehidupan sehari-hari (lembaga Affliansi Penelitian dan Industri ITB 1976:7-8).
Dan menyediakan kesempatan kerja, sebagaimana dikemukakan oleh Bambang Panudju
sebagai berikut:
“
Bahwa tanpa ada fasilitas sosial dan utilitas yang cukup baik, orang akan
mendapatkan kesukaran dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari”
Selain itu penyediaan fasilitas prasarana dan sarana tersebut
akan menentukan perkembangan dari perkotaan tersebut. Dimana penyediaan prasarana tersebut dapat
membantu kelancaran penduduk untuk memperoleh pelayanan terhadap administrasi
pemerintahan. Prasarana yang harus tersedia di lokasi adalah berupa jaringan
pipa air minum, jaringan, listrik, jaringan air limbah, sistem persampahan, dan
darinase(Djayadinata, D.T; 1992).
“
Pembangunan tidak dapat berjalan dengan lancar jika prasarana tidak baik. Jadi prasarana
dapat dianggap sebagai faktor potensial dalam menentukan masa depan dari
perkembangan suatu wilayah perkotaan dan pedesaan.” (Djayadinata, D.T; 1992:25)
Menurut Cristie L. Waite bahwa lokasi sebagai pelayanan kepada
masyarakat umum bagian yang berat yaitu pada penyediaan atau mempersiapkan
pemanfaatkan terhadap air tanah atau permukaan dan dalam penyediaan saluran air
limbah.
Daya hubung antara satu lokasi ke lokasi lainnya sangat
dibutuhkan untuk memperlancar aktivitas penduduk baik itu dari ketersediaan
jaringan jalan, status dan fungsi jalan, kondisi jalan dan jarak yang akan
ditempuh terhadap lokasi yang akan dituju (Rushton, 1973:41-63). Tingkat daya
hubung antara Zona yang satu dengan yang lain akan berbeda, karena hal ini
didasarkan atas pertimbangan jarak capai dan faktor kegiatan yang akan
berkembangan dalam hal ini adalah kegiatan pemerintahan.
Selain itu juga dalam
pertimbangan penentuan lokasi kawasan pusat pemerintahan bahwa kawasan tersebut
harus berada dekat dengan pusat pelayanan dan bisnis di kota tersebut, tapi
bukan berarti berada di lingkungan tersebut dan lokasi tersebut juga harus
ditempatkan dekat dengan jaringan jalan arteri(James W.R Adams,175-176: 1952).
“Bangunan pemerintahan yaang menjadi satu
kawasan dari kota harus memiliki akses yang mudah untuk menghubungkan dengan
pusat-pusat yang akan dilayaninya( Wernekke;64-163:1909).”
“Pusat pemerintahan harus didukung dengan
ketersediaan jaringan jalan yang menghubungkan dengan pusat kota.”
(Cheveland;1973)
Lingkungan yang baik yang dibutuhkan bagi lokasi kawasan pusat
pemerintahan adalah lokasi yang tidak mudah banjir dan jauh dari hambatan
seperti bencana alam lainnya . Selain itu pula kualitas lingkungan ini dapat
dilihat dari tidak tercemar oleh limbah lingkungan. Menurut Alfred Agache bahwa
dalam pemilihan lokasinya lahan yang dibutuhkan adalah lahan yang tidak mudah
terkena banjir. Dalam penilaian kualitas lingkungan itu sendiri kriteria
kualitas lingkungan yang baik adalah bahwa lingkungan tidak mudah tercemar baik
itu oleh polusi udara maupun limbah air dan terdapat fasilitas-fasilitas
seperti MCK,TPS, jamban, dan sebagainya. Untuk kriteria sedang, kriteria
kulitas lingkungan dapat dilihat dengan tidak mudah tercemar seperti banjir dan
polusi yang terdapat diperkotaan baik air dan udara. Sedangkan untuk kriteria
buruk bahwa lokasi tersebut mudah tercemar baik itu dari limbah air maupun
polusi udara. Selain itu pula sebagian besar terdiri dari perumahan kumuh
dengan padat penduduknya.
Dari uraian diatas maka pertimbangan atau faktor penentu yang
telah dikaji terhadap penentuan lokasi kawasan pusat pemerintahan baik ditinjau
menurut pandangan pandangan ahli perencanaan maupun dari kebijakan yang telah
ada, maka dapatlah ditentukan kriteria penentuan lokasi kawasan yang digunakan
untuk menentukan lokasi pusat pemerintahan di Kota Pangkalan balai dengan
melihat faktor-faktor sebagai berikut:
- Kondisi fisik (faktor tanah/topografi)
- Sumber Daya Air
- Ketersediaan Lahan
- Tata guna lahan perkotaan
- Status Tanah
- Aksesibilitas
- Kelengkapan Prasarana Dasar
- Kualitas Lingkungan
2.4 Metode Penentuan Lokasi Kawasan Pusat
Pemerintahan
2.4.1 Metode Overlay dalam SPANS (Spatial
Analysis System) Terhadap Analisis Kesesuaian Lahan
Dalam
analisis fisik dasar pada penentuan lokasi kawasan pusat pemerintahan kota
Pangkalan Balai menggunakan metode tumpang tindih dalam Spatial Analysis System
(SPANS) yang merupakan bagian dari metode Geography Information System (GIS).
Tumpang-tindih merupakan metode yang cukup pentingdalam analisis geografis.
Pada dasarnya tumpang tindih dilakukan untuk membandingkan nilai-nilai
klasifikasi pada peta yang kemudian menghasilkan peta baru dengan nilai
kalasifikasi tertentu.
Tumpang-tindih
yang terdapat pada SPANS terdiri dari empat fungsi-fungsi pokok. Pertama,
tumpang tindih dua peta sederhana yang terdiridari tiga tipe : impose, join
atau stamp. Pada tumpang-tindih ini, satu peta (layer/tematik
diutamakan/didahulukan dari peta yang lain. Kedua, yaitu tumpang tindih
matriks. Merupakan metode tumpang-tindih dua peta yang sangat handal, karena
hasil nilai klasifikasi dari tiap-tiap irisan dua peta yang ditumpang-tindih
dapat teridentifikasi. Yang ketiga yaitu tumpang tindih indexing, yang
merupakan satu-satunya metode tumpang tindih pada SPANS yang memungkinkan
dilakukan pembobotan. Tumpang tindih indexing ini banyak digunakan untuk
peta-peta kesesuaian. Yang terakhir, merupakan fasilitas penunjang dalam
tumpang tindih, yaitu reklasifikasi. Reklasifikasi ini memungkinkan pemakai
menggabungkan kelas-kelas tertentu pada peta dari kelas-kelas yang sudah ada,
sesuai dengan kebutuhan.
Metode
tersebut digunakan dalam penentuan lokasi yang sesuai untuk kawasan pusat
pemerintahan di kota Pangkalan Balai dengan tujuan untuk memberikan penilaian
terhadap kesesuaian lahan. Identifikasi kesesuaian lahan bagi aktivitas
pemerintahan pada dasarnya merupakan gambaran terhadap kondisi fisik sehingga
aktivitas tersebut dapat dilakukan sesuai dengan kondisi yang ada. Penekanan
terhadap aspek fisik membawa konsekuensi bahwa penilaian kesesuaian lahan hanya
terkait dengan karakteristik fisik eksisting wilayah tersebut. Asumsi utamanya
adalah bahwa berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, karakteristik fisik suatu
wilayah mencerminkan suatu areal merupakan wilayah potensi, kendala, dan
limitasi bagi suatu aktifitas (use) tertentu. Berdasarkan karakteristik lahan,
untuk suatu penggunaan lahan tertentu maka dikenal:
(1)
lahan yang mungkin dikembangkan (wialyah
potensi);
(2)
lahan yang mungkin dikembangkan, tetapi
dengan konsekuensi fisik dan ekonomis (wilayah kendala) dan;
(3)
lahan yang sama sekali tidak mungkin
dikembangkan (wilayah limitasi).
Oleh karena fungsi kegiatan yang
digunakan dalam studi ini adalah pusat pemerintahan, maka kriteria-kriteria
kesesuaian yang digunakan selanjutnya merupakan kriteria untuk penilaian
kesesuaian lahan bagi kawasan pusat pemerintahan yang sesuai. Sementara dalam
penilaian kesesuaian lahan yang dilakukan dalam studi ini lebih ditekankan pada
aspek fisik. Untuk mencapai hasil tersebut maka metode yang digunakan adalah
metode overlay (tumpang tindih) terhadap peta-peta tematik tertentu.
Pada
dasarnya, dalam melakukan identifikasi kesesuaian lahan bagi penentuan lokasi
kawasan pusat pemerintahan yang dilakukan dalam studi ini terdiri dari tahapan
sebagai berikut:
Tahap 1,
Identifikasi faktor-faktor yang relevan
Identifikasi terhadap faktor-faktor yang
relevan pada dasarnya merupakan tahap yang paling penting dan harus
di[ertimbangkan secara hati-hati dan mendalam. Beberapa kriteria, klasifikasi,
preferensi atau penekanan dalam pemilihan faktor-faktor tersebut dapat berbeda
untuk beberapa kasus (Gollany, 1976:82). Kriteria fisik berbeda dengan kriteria
sosial ekonomi, lingkungan atau politis. Setelah mendapatkan faktor-faktor yang
diperlukan, maka peta-peta yang telah diproses dalam GIS melalui digitalizing,
transformasi dan manipulasi.
Tahap
2, Penilaian elemen-elemen faktor kesesuaian lahan
Pada tahap ini dilakukan klasifikasi
terhadap masing-masing faktor. Klasifikasi dilakukan berdasarkan tingkat
kesesuian elemen tiap faktor terhadap kriteria
penentuan lokasi kawasan pusat pemerintahan. Setelah mendapatkan
klasifikasi dan penilaian pada tiap elemen dari masing-masing faktor, maka
informasi-informasi tersebut ditransfer ke peta-peta yang telah didigitasi
dalam GIS. Dengan fasilitas reklasifikasi dan updating, peta-peta yang telah di
digitasi tersebut dimanipulasi hingga kesesuaian dengan informasi-informasi
yang telah didapat.
Tahap
3, Overlay untuk mendapatkan peta kesesuaian lahan
Peta-pata yang telah ditransformasi ke
dalam GIS selanjutnya di tumpang tindih (overlay) untuk mendapatkan peta
kesesuian lahan. Penggunaan metode Saaty dalam studi ini juga mengakibatkan
prosedur tumpang tindih diawali dari hirarki tertinggi, yang kemudian
dilanjutkan yang lebih rendah.
Artikel ini sangat luar biasa dan memang saya butuhkan untuk referensi saya. Boleh saya tahu siapa penulisnya
ReplyDelete