Hijrah
bukanlah sekedar suatu peristiwa sejarah, bukanlah sekedar perpindahan sejumlah
sahabat dari Mekkah ke Abissinia maupun ke Madinah atas perintah Rasul. Janganlah
dianggap sama dengan perpindahan sekelompok masyarakat primitive atau
berperadaban rendah dari suatu tempat ke tempat lain.
Hijrah
adalah suatu konsep yang sangat luhur dan merupakan konsep yang sama sekali
baru, jadi bukan hanya sekedar suatu peristiwa sejarah yang sederhana. Bahkan
para filsuf sejarah belum memberikan perhatian yang cukup atas masalah hijrah
ini, walaupun selama ini hijrah merupakan faktor utama kebangkitan peradaban
sepanjang zaman.
Dalam
sejarah kita mengenal banyak peradaban, dan semuanya terlahir dari peristiwa
hijrah. Sebaliknya tidak pernah dicatat dalam sejarah ada suatu suku bangsa
yang berkembang tanpa terlebih dahulu harus meninggalkan tanah asalnya dan
berhijrah. Dan Al-Qur’an menyebutkan perintah tentang hijrah dalam banyak
sekali kesempatan menunjukkan betapa pentingnya konsep ini.
Semua
peradaban di dunia ini [dari Amerika sampai Sumeria], semuanya tumbuh dari
proses hijrah. Suatu masyarakat primitif akan tetap primitif selama mereka
tidak mau meninggalkan negerinya sendiri. Mereka baru akan mencapai suatu
peradaban setelah melakukan hijrah dan menetap di suatu negeri baru.
Apa sih
sebenarnya yang merupakan faktor dasar dalam perubahan dan perkembangan
masyarakat? Faktor dasar apa yang membuat masyarakat tiba tiba berubah dan
berkembang, atau tiba tiba rusak dan merosot? Faktor yang kadangkala
menyebabkan suatu masyarakat berhasil melakukan suatu lompatan positif ke
depan, yang, secara total mengubah wataknya, semangatnya, tujuannya, dan bentuknya,
dalam kurun waktu 1 atau 2 abad, yang mengubah sama sekali pola hubungan
perseorangan dan sosialnya.
Selama
berabad abad orang terus mencari jawaban atas pertanyaan ini, terutama semenjak
abad terakhir. Semua aliran sosiologi dan sejarah telah sama mencurahkan
perhatian untuk menemukan jawabannya. Yang jadi pertanyaan dasar adalah: Apakah
yang menjadi “motor“ sejarah, yang meruapakan faktor dasar dalam perkembagan
dan perubahan masyarakat?
Berbagai
aliran berbeda pendapat mengenai hal ini, tiap aliran punya “jago”nya masing
masing. Ada beberapa aliran yang sama sekali gak percaya sama sejarah, dan
menganggapnya hanya kumpulan kisah kuno yang tercecer, sehingga mereka juga
menolak jika ada angapan bahwa sosiologi juga harus memiliki hukum hukum, kaidah
atau prisnsip prinsip yang baku. Sehingga timbullah anarkisme ilmiah, yang
bersikap pesimistis terhadap filsafat sosiologi dan humaniora, dan berpendapat
bahwa yang jadi faktor dasar adalah serba kebetulan. Semua hal yang terjadi itu
kebetulan semata.
Kelompok
lainnya adalah golongan materialis yang dimana mereka menganut paham
determinisme sejarah. Menurut mereka, sejarah dan masyarakat sejak awalnya
sampai sekarang adalah bagaikan sebatang pohon daunnya rindang, tidak memiliki
kemauan sendiri. Berawal dari benih, bertunas, muncul di permukaan tanah,
tumbuh bercabang dan berdaun, lalu berbunga, mekar di musim semi dan layu di
musim gugur, mencapai puncak pertumbuhannya dan akhirnya ambruk ke tanah.
Kelompok ini percaya begitulah sejarah, terdapat hukum hukum yang menentukan
kehidupan masyarakat dalam sejarah, seperti laiknya hukum gravitasi, jadi
manusia tidak dapat mempengaruhi masyarakatnya karena masyarakat adalah gejala
alam yang berkembang sesuai dengan faktor faktor dan hukum hukum alam.
Kelompok
ketiga terdiri dari atas mereka yang memuja para pahlawan dan orang orang
besar, termasuk golongan ini adalah mereka yang menganut paham fasisme dan
nazi, menurut mereka hukum adalah alat mereka yang berkuasa, karena itu gak ada
ngaruhnya buat masyarakat. Orang awam, palagi dari golongan rendah, tidak
pernah turut serta dalam perubahan masyarakat. Mereka hanyalah alat bagi orang
orang lain. Satu satunya faktor fundamental untuk mengubah atau memajukan
masyarakat adalah pribadi besar.
Menurut
kelompok ini, nasib masyarakat dan umat manusia tergenggam dalam tangan orang
orang besar, yang bertindak sebagai pemimpin masyarakat. Karena itu kebahagiaan
maupun kebinasaan suatu masyarakat tidaklah tergantung pada massa rakyatnya,
bukanlah akibat hukum hukum lingkungan dan adat, serta bukan pula kebetulan.
Semuanya semata mata bergantung pada orang orang besarnya, yang sesekali muncul
dalam dalam masyarakat untuk merubah nasib masyarakatnya dan adakalanya bahkan
nasib umat manusia.
Ada
pula yang berpendapat bahwa rakyat, masyarakat secara umum, mempunyai peranan
dalam menentukan nasib mereka. Namun tidaklah ada satu ajaran, bahkan tidak
juga pada paham demokrasi dalam bentuknya yang kuno maupun yang modern, yang
menegaskan bahwa rakyat merupakan faktor fundamental dalam perkembangan dan
perubahan sosial.
Menurut
berbagai ajaran demokrasi, bentuk pemerintahan terbaik adalah ketika dimana
rakyat turut berpartisipasi di dalamnya. Tapi sayang sungguh sayang, sejak
zaman demokrasi Athena hinga dewasa ini, tidak ada satupun dari ajaran ini yang
menegaskan bahwa rakyat menjadi faktor dasar dalam perubahan dan perkembangan
sosial, bahkan para sosiolog yang paling demokratis pun tidak. Malah
sebaliknya, yang mereka andalkan sebagai faktor penentu ialah determinisme,
pemimpin besar, golongan elite, peristiwa kebetulan, atau kehendak Tuhan.
Para
pemuja orang besar [kelompok ketiga tadi], dapat dibagi jadi 2 golongan.
Golongan pertama yaitu mereka yang berpendapat bahwa yang mengubah masyarakat
manusia adalah tokoh tokoh besar seperti Budha, Musa, atau Yesus. Golongan ini
adalah pemuja pahlawan murni. Sedangkan menurut golongan lainnya, yang mula
mula muncul adalah seorang pemimpin, lalu di ikuti oleh sekelompok elite, yang
merupakan para genius yang terlahir dalam keadaan khusus, sehingga terbentuklah
suatu tim. Tim inilah yang memimpin masyarakat menurut jalan dan pada tujuan
yang mereka pilih, golongan ini mungkin lebih tepat disebut sebagai pemuja
elit.
Dalam
Islam dan Al-Qur’an tidak ditemukan satupun dari teori teori di atas. Dalam
pandangan Islam, Rasul merupakan pribadi terbesar, dan jika Islam mengandalkan
peranan rasul sebagai faktor fundamental dalam perubahan dan perkembangan
sosial, berarti Islam mengakui pula semua nabi, khususnya nabi Muhammad,
sebagai faktor fundamental dalam perubahan dan perkembangan sosial.
Namun, ternyata tidaklah demikian. Tugas dan karakteristik Rasul
jelas sekali tertera dalam Al-Qur’an, ialah menyampaikan risalah.
Beliau bertanggung jawab untuk menyampaikan risalah, beliau adalah
seorang yang memperingatkan dan menyampaikan berita gembira. Dan ketika Rasul
bersedih hati karena ummat tidak menyambut risalah beliau sehingga beliau tidak
berhasil memimpin mereka sebagaimana yang beliau harapkan, maka berkali kali
Allah menyatakan pada beliau bahwa tugas beliau hanyalah menyampaikan risalah,
memperingatkan manusia, dan membawa kabar gembira, menunjukkan jalan bagi
mereka. Sama sekali beliau tidak bertanggung jawab atas keruntuhan ataupun
kejayaan mereka, karena yang bertanggung jawab adalah rakyat sendiri.
Menurut
Al-Qur’an, rasul bukanlah penyebab aktif perubahan dan perkembangan fundamental
dalam sejarah manusia. Tetapi beliau dilukiskan sebagai pembawa risalah yang
bertugas menunjukkan ajaran dan jalan kebenaran pada manusia. Dengan berbuat
demikian sempurnalah tugas beliau, dan terserahlah kepada manusia apakah akan
memilih kebenaran atau mengingkarinya, apakah akan menerima petunjuk atau
memilih kesesatan.
Islam gak kenal ama kebetulan, karena semua berada di tangan
Allah. Islam menolak adanya sesuatu yang terjadi secara kebetulan, [things happen 4 a reason],
tanpa sebab atau tujuan, baik dalam alam maupun dalam masyarakat manusia. Bila
dalam Al-Qur’an disebutkan tentang tokoh tokoh besar, selain para Nabi, maka
seringkali itu dihubungkan dengan kutukan atau cercaan atas mereka. Kalaupun
mereka disebut karena ketakwaan dan kesalehan mereka, Al-Qur’an tidak pernah
mengangap mereka sebagai faktor efektif dalam masyarakat mereka.
Maka
kesimpulan yang dapat ditarik dari ajaran Al-Qur’an ialah, bahwa menurut Islam
faktor fundamental dalam perubahan dan perkembangan sosial bukanlah pribadi
pribadi sang pemimpin, bukan pula kebetulan, ataupun hukum hukum yang berlaku
umum dan abadi.
Pada
umumnya, setiap ajaran, setiap agama, setiap Nabi, dialamatkan kepada mereka
yang sekaligus juga merupakan faktor perubahan sosial yang fundamental dan
efektif di dalam ajaran itu. Demikianlah Al-Qur’an dialamatkan kepada an-nas,
yaitu rakyat. Rasul diutus kepada an-nas, Beliau berbicara kepada an-nas,
an-nas lah yang bertanggung jawab atas perbuatan mereka sendiri, an-nas lah
yang menjadi faktor dasar kemerosotan, ringkasnya an-nas lah yang memikul
seluruh tanggung jawab terhadap masyarakat dan sejarah.
Kata
an-nas ini penting sekali. Ada beberapa persamaan dan sinonimnya. Tapi satu
satunya yang mirip dengan kata itu, baik secara struktural maupun fonetik,
ialah kata “massa”. Dalam sosiologi, massa terdiri dari segenap rakyat yang
merupakan kesatuan tanpa menghiraukan perbedaan kelas ataupun sifat yang
terdapat dalam kalangan mereka. Karena itu “massa” berarti rakyat itu sendiri,
tanpa menunjuk pada kelas atau bentuk sosial tertentu.
Pengertian
an-nas tepat sama seperti itu, ialah rakyat, tanpa arti tambahan apa apa.
Al-Qur’an juga menyebut manusia dengan kata kata insan dan basyar, tapi kedua
kata tersebut maisng masing menunjuk pada nilai nilai etis dan hewani yang
terkandung dalam diri manusia.
Dari
sini dapat kita tarik kesimpilan esbebe: Islam adalah ajaran sosial pertama
yang yang mengandalkan massa sebagai faktor dasar yang sadar – yang menentukan
sejarah dan masyarakat bukan mereka yang terpilih sebagaimana pendapat
Nietzsche, bukan para aristokrat dan ningrat sebagaimana yang di kemukakan
Plato, bukan tokoh-tokoh besarnya Carlyle dan Emerson, bukan mereka yang
berdarah murni yang digambarkan oleh Alexis Carrel, bukan pula para pendeta
atau intelektual, melainkan massa.
Keluhuran
ajaran Islam ini akan benar benar kita sadari bila kita membandingkannya dengan
ajaran ajaran lain. Kepada siapakah ajaran ajaran lain itu dialamatkan?
Diantaranya ada yang dialamatkan kepada kelas terpelajar dan intelektual, yang
lain dialamatkan kepada suatu kelompok pilihan tertentu dalam masyarakat. Ada
yang dialamatkan kepada suatu ras unggul, ada yang dialamatkan kepada
manusia-manusia super, ada yang memusatkan perhatiannya pada suatu kelas
tertentu dalam masyarakat, seperti kelas proletar atau kelas borjuis.
Kita
pun dapat menyimpulkan dari Al-Qur’an, Al-Qur’an dialamatkan kepada rakyat dan
rakyatlah yang menjadi poros serta faktor fundamental dalam perkembangan dan
perubahan sosial. Merekalah yang bertanggung jawab dihadapan Allah. TAPI,
bersamaan dengan itu pribadi pribadi besar, kebetulan, dan tradisi juga bisa
mempengaruhi nasib masyarakat. Jadi menurut Islam, ada empat faktor fundamental
perkembangan dan perubahan sosial:
Sedikit
tentang tradisi, sepanjang ajaran Islam dan Al-Qur’an, mengandung makna bahwa
setiap masyarakat mempunyai jalan serta watak tertentu, yaitu bagaikan makhluk
hidup. Disamping rakyat bertanggung jawab atas nasibnya, maka setiap individu
anggota masyarakat pun bertanggung jawab atas nasib mereka masing masing. Jadi
ada pertanggung jawaban kolektif dan pertanggung jawaban individual.
Pada
setiap tahap masyarakat, sesuai dengan kondisinya, salah satu dari ke empat
faktor diatas akan lebih berpengaruh dari yang lainnya.
Dalam
ajaran Islam, pribadi Rasul mempunyai peranan dasar dan konstruktif dalam
membawa perubahan, perkembangan dan kemajuan, dalam membangun peradaban yang
akan datang dan mengubah jalan sejarah. Sebabnya adalah beliau tampil di suatu
lokasi khusus, jazirah arab yang dari sudut pandangan peradaban keadaannya sama
dengan letak geografisnya. Jazirah itu dikitari ke tiga sisinya oleh lautan,
tapi ia senantiasa haus dan gersang. Ia bertetangga dengan peradaban-peradaban
besar dalam sejarah; di Utara, peradaban Yunani dan Byzantium, di Timur,
peradaban Persia, di Tenggara, peradaban India, di Barat-laut, peradaban
Iram-Ibrani. Ia pun bertetangga dengan agama agama Musa, Isa dan Zarathustra,
aupun dengan keseluruhan peradaban Arya dan Semit. Pada waktu tampilnya Rasul
Islam, semua peradaban yang ada mengumpul di sekeliling jazirah arab. Tapi
tidak membekas disana.
Pada umumnya ada 5 faktor
yang membangun pribadi seseorang. Pertama, Ibunya yang memberikannya struktur
dan dimensi ruhaniahnya.
Faktor yang kedua, adalah
ayahnya yang memberikan dimensi lain sesudah ibunya.
Faktor ketiga, adalah
sekolahnya.
Faktor ke empat adalah
masyarakat dan lingkungannya.
Faktor ke lima adalah
kebudayaan umum masyarakat ataupun kebudayaan umum dunia secara keseluruhan.
Nah,
khusus untuk Rasulullah, ternyata tidak satupun dari faktor faktor tersebut
diatas yang telah mempengaruhi ruhani beliau. Sebaliknya, Allah sengaja
menghendaki bahwa ruhani beliau terbebas dari acuan atau bentuk, agar ruhani
beliau tidak sampai tersentuh bentuk buatan atau yang ditanamkan menurut selera
zaman dan lingkungan, sebab pribadi besar itu justru hadir untuk menghancurkan
segala acuan. Andaikata beliau sempat tumbuh dalam salah satu acuan demikian,
tentulah tidak akan pernah berhasil menjalankan tugas beliau. Mungkin,
misalnya, beliau menjadi seorang dokter besar, tapi hanya menurut model yunani,
atau mungkin jadi filsuf agung, tapi hanya menurut model Persia, atau jadi
tokoh besar, tapi hanya model yang diperkenankan zaman.
Itulah
sebabnya Rasul dilahirkan dalam keadaan yatim. Meskipun mempunyai ibu, namun
beliau terpelihara dari segala bentuk dan acuan. Sejak awal kanak-kanaknya
beliau telah di hijrahkan ke gurun pasir, padahal ibunda beliau masih hidup.
Menjadi kebiasaan orang Arab ketika itu untuk mengirimkan bayi bayi mereka ke
desa desa di gurun pasir, sampai mereka berumur dua tahun, sehingga masa kanak
kanak mereka lewatkan di gurun, sesudah itu barulah mereka kembali ke kota
untuk diasuh dan dibesarkan oleh ibu mereka sendiri. Bertentangan dengan
kebiasaan ini, Muhammad Rasulullah begitu pulang ke Mekkah kembali lagi ke
gurun, dan tinggal disana hingga usia 5 tahun. Ibunda beliau wafat tidak lama
kemudian. Langkah langkah Ilahi yang penuh hikmah da ghaib telah memelihara,
dari pengaruh semua bentuk dan acuan yang ada, dan untuk membentuk suatu acuan
baru. Kemudian kembali tangan Allah dan nasib mengarahkannya dari kota ke
gurun, dengan dalih menjadi gembala, agar lingkungan kota jangan sampai
mengesankan bentuk pada jiwa yang harus berkembang bebas. Lagi pula, agar
supaya jangan sampai ada pengaruh masyarakat dan zaman atas Rasul, maka beliau
telah dilahirkan dalam suatu masyarakat yang tidak mengenal kebudayaan umum.
Tambahan lagi, beliau adalah buta-huruf agar acuan sekolah pun tidak sampai
membekas pada beliau.
Jelaslah
bahwa keistimewaan serta kelebihan terbesar seorang yang harus melaksanakan
tugas semacam itu adalah justru bahwa dia dibebaskan dari segala macam bentuk
dan acuan yang telah diterima zamannya, yang membentuk manusia menurut suatu
stereotype. Karena orang yang ditakdirkan untuk membinasakan segala berhala,
menutup semua akademi dan menggantikannya dengan masjid, orang yang ditakdirkan
untuk menghancurkan semua bentuk dan acuan rasial, nasional, maupun regional,
sekali kali tidak boleh sampai menerima pengaruh sesuatu bentuk demikian.
Hanya
ada dua cara untuk mengenal seorang tokoh besar, dan keduanya harus ditempuh
secara serentak.
Cara
pertama ialah dengan menyelidiki karya karya intelektual, tulisan, ceramah,
teori-teorinya, maupun buku bukunya. Untuk mengenalnya kita perlu mengetahui
ide ide dan apa yang diyakininya. Tapi ini pun belumlah cukup untuk memahami
tokoh yang bersangkutan, karena banyak hal dalam kehidupannya yang tidak sampai
tercermin dalam karya karya, tulisan-tulisan, maupun pernyataan pernyataannya,
atau mungkin juga tercermin disana, namun sukar ditangkap. Maka cara yang
kedua, yang melengkapi cara yang pertama, serta memungkinkan kita untuk
memahami tokoh itu secara paripurna ialah dengan mempelajari biografinya serat
mencari jawab atas pertanyaan pertanyaan seperti: Dimana dia Lahir? Bagaimana
keluarganya? Apa bangsa dan negerinya? Bagaimana masa kanak kanaknya? Bagaimana
pendidikannya? Dalam lingkungan seperti apa dia dibesarkan? Dimana ia belajar?
Siapa guru gurunya? Peristiwa peristiwa apa yang dialami semasa hidupnya? Apa
saja kegagalan dan keberhasilannya?
Demikianlah
ada 2 metoda untuk mengenal seseorang dan kedua duanya harus dilakukan, pertama
menyeldiki pikiran dan keyakinannya dan kedua, mempelajari biografinya dari
awal sampai lahir.
Nah
disinilah agama itu mirip manusia. Ide ide agama kita temukan sarinya dalam
bukunya, “al-kitab”nya, yang merupakan dasar ajaran yang didakwahkannya
kepada manusia. Sedangkan biografi suatu agama adalah sejarahnya.
Demikianlah
ada 2 metoda dasar untuk mempelajari Islam secara tepat, persis dan sesuai
dengan metodologi dewasa ini. Pertama dengan mempelajari Al-Qur’an, sebagai
himpunan ide serta produk ilmiah dan sastra. Kedua, dengan mempelajari sejarah
Islam, yaitu seluruh perkembangan yang pernah dialami Islam sejak awal risalah
Rasul hingga hari ini.
Kedua
metoda diatas kiranya telah cukup jelas, namun sayang studi tentang Al-Qur’an
maupun sejarah Islam dalam kalangan kita sekarang ini masih lemah.
Dalam
bukunya “Malam Imperialisme”, Farhat Abbas mengatakan, kebangkitan sosial di
negeri negeri Afrika Utara; Maroko, Ajlazair, dan Tunisia, berawal dari
kedatangan Muhammad Abduh ke sana untuk mengajarkan tafsir Al-Qur’an, yang
dalam pendidikan agama disana tidak diajarkan.
Jelas
bahwa penulis buku itu, yang dia sendiri tidaklah berorientasi religius,
beranggapan bahwa awal kebangkitan dan perkembangan religius di negeri negeri
Afrika Utara terjadi ketika kaum Muslimin disana beserta para ulama mereka
mengeyampingkan pelajaran tentang pelbagai ilmu agama dan kembali mencurahkan
perhatian mereka kepada Al-Qur’an dan mempelajari isinya.
Bahasa
agama, terutama agama semit, yang kita imani nabi nabinya adalah merupakan
bahasa simbolis. Maksudnya bahasa yang menyampaikan maksud melalui tamsil dan
symbol bahasa terbaik dan tertinggi yang pernah ada. Maka dari itu nilainya
lebih dalam dan abadi daripada bahasa eksposisi, yakni bahasa yang jelas dan
eksplisit serta menyampaikan maksud secara langsung. Bahasa yang sederhana dan
jelas, yang tidak mengandung simbol dan tamsil, untuk tujuan pengajaran mungkin
lebih mudah, tapi tidak mengandung keabadian. Karena sebagaimana dikemukakan
oleh filsuf Mesir kenamaan, Abdel Rahman Al Badawi, suatu agama yang
menjelaskan semua ide dan ajarannya dalam bahasa yang sederhana,
unidimensional, dan terus terang tidak akan tahan lama.
Agama
di alamatkan kepada berbagai macam dan kelas manusia, baik awam maupun
terpelajar. Lagipula mereka bukan hanya dari satu generasi dan zaman saja,
melainkan terdiri atas rangkaian aneka ragam generasi yang saling menyusul
sepanjang sejarah. Karena itu untuk menyampaikan konsep konsepnya agama harus
mempergunakan bahasa yang serba bisa dan berisi banyak alias multi tafsir.
Itu
juga sebabnya kenapa agama agama harus mempergunakan bahasa simbolis, agama
agama itu dialamatkan kepada aneka ragam jenis dan generasi manusia. Banyak
konsep yang terkandung dalam agama tidak begitu jelas dipahami orang pada waktu
konsep itu pertama kali dikemukakan. Karena itu kisah kejadian Adam, yakni
kisah kejadian manusia, disampaikan secara simbolis.
Bagaimanakah
kejadian manusia menurut pandangan Islam? Bermula ketika Allah berfirman pada
para malaikat “Aku hendak menciptakan khalifah di bumi”. Disini bermula aspek
simbolis kisah itu, Allah menghendaki untuk menciptakan khalifah-Nya dari tanah
permukaan bumi. Mungkin ada yang bertanya Tanya dalam hatinya kenapa Allah
nggak memilih bahan yang sedikit lebih suci dan lebih berharga, malah
sebaliknya. Dia telah memilih zat yang sangat rendah dalam menciptakan Adam.
Al-Qur’an menyebutkan pada tiga tempat tentang bahan asal manusia. Mula mula
Al-Qur’an mempergunakan ungkapan “lempung tembikar” (QS 55:14) yakni lempung
endapan yang kering. Lalu Al-Qur’an menyebutkan, “Kuciptakan manusia dari
lempung berbau” (QS 15:26) yakni lempung busuk. Kemudian dipergunakannya kata
tin, juga berarti lempung (QS 6:2, 23:12). Demikianlah Allah menghendaki
menciptakan khalifah-Nya. Khalifah yang mulia ini dibentuknya dari lumpung
kering, lalu dihembuskan-Nya ruh-Nya kedalamnya, maka jadilah manusia.
Dalam
bahasa manusia, lumpur adalah symbol kenistaan terendah. Tidak ada makhluk yang
lebih rendah adripada lumpur. Kembali kedalam bahasa manusia, dzat yang paling
luhur dan paling suci ialah Allah, dan bagian yang paling luhur dan paling suci
dari tiap dzat adalah ruhnya. Manusia, wakil Allah, diciptakan dari lumpur,
dari lempung endapan, dari bahan terendah di dunia ini, lalu Allah
menghembuskan kedalamnya bukan darah-Nya, bukan raga-Nya atau semacam itu,
melainkan ruh-Nya, yakni sebutan untuk bagain yang paling terhormat yang
terdapat dalam perbendaharaan bahasa manusia. Allah adalah Zat termulia, dan
ruh-Nya adalah suatu konsep terluhur sepanjang akal fikiran manusia.
Demikianlah
manusia terdiri atas dua anasir yang saling bertentangan, yaitu lumpur dan ruh
Allah, kemuliaan dan keistimewaannya justru karena sifatnya yang bidimensional.
Jarak anatara kedua dimensinya adalah jarak anatar lumpur dan ruh Allah. Setiap
manusia dikaruniai dengan dua dimensi ini, terserah apa kehendaknya, Apakah ia
akan terperosok kedalam kutub endapan lumpur yang ada pada dirinya. Ataukah ia
akan meningkat ke arah kutub mulia, yakni kearah Allah dan ruh Allah. Dan
terjadilah pertarungan terus menerus dalam diri manusia, yang baru akan
berakhir bila ia telah memantapkan pilihannya pada salah satu kutub itu sebagai
determinan hidupnya.
Setelah
menciptakan manusia, Allah mengajarkan nama nama kepadanya. Apa maksudnya Allah
mengajarkan nama nama pada manusia? Wallahu’alam. Setiap orang bisa menyatakan
pendapatnya, dan setiap penafsir dapat mengemukakan tafsirnya sendiri. Masing
masing menafsirkannya sesuai dengan pandangan dan jalan pikirannya. Tetapi
terlepas dari mana tafsir yang tepat untuk itu, maka tidak bisa disangsikan
lagi bahwa pengajaran adalah merupakan pusat perhatian Islam. Setelah
menyelesaikan kejadian manusia, Allah mengajarkan nama nama kepada khalifah-Nya
sehingga jadilah manusia pemilik nama nama itu. Para malaikat lalu memprotes,
“Kami diciptakan dari api tanpa asap, sedangkan manusia diciptakan dari
lempung, kenapa engkau melebihkannya dari kami?” Allah menjawab “Aku mengetahui
apa yang kalian tidak ketahui; bersujudlah kepada makhluk-Ku ini” Segenap
malaikat Allah diperintahkan untuk bersujud kepada makhluk ini.
Inilah
humanisme sejati. Perhatikanlah, alangkah agungnya martabat dan kedudukan
manusia. Sedemikian agungnya sehhingga semua malaikat diperintahkan bersujud
padanya. Meskipun secara inheren mereka memiliki keunggulan atas manusia dan
meskipun mereka diciptakan dari cahaya, sedangkan manusia berasal dari lumpur
dan lempung. Karena mereka memprotes, maka Allah menguji mereka. Allah menanyakan
nama nama; mereka tidak tahu, tapi Adam mengetahuinya. Para malaikat kalah
dalam ujian itu, terbuktilah keunggulan Adam karena pengetahuannya tentang nama
nama. Konsep manusia menurut Islam dijelaskan oleh bersujudnya para malaikat
kepada Adam. Manusia mengetahui apa yang tidak diketahui oleh malaikat, dan
pengetahuan inilah yang membuatnya lebih mulia dari para malaikat. Meskipun
menurut ras dan asalnya malaikat lebih unggul dari manusia. Dengan perkataan
lain, yang membuat manusia lebih mulia dan lebih bermartabat adalah
pengetahuaanya, bukan keturunannya.
Satu
hal yang menarik dari berkenaan dengan kejadian manusia ialah bahwa Allah
memanggil semua makhluk ciptaan-Nya, segala gejala alam, benda benda mati,
tumbuhan dan hewan, lalu berkata kepada mereka, “Aku hendak menawarkan suatu
amanah kepadamu sekalian, bumi, langit, gunung, samudra dan hewan” [QS 33:72].
Semuanya menolak. Sebaliknya dan sebagai gantinya, manusia menerimanya. Maka
jelaslah bahwa manusia memiliki keistimewaan dan keunggulan lain, karena
keberaniannya menerima amanah yang semula di tawarkan Allah kepada seluruh
makhluk lain, tetapi semuanya sama menolak. Manusia bukan hanya khalifah di
dunia dan di bumi ini, tetapi ia pun sebagaimana dijelaskan Al-Qur’an –
merupakan pemelihara amanah-Nya. Apakah yang dimaksudkan dengan Amanah itu?
Setiap orang bisa berbeda pendapat. Menurut Jalaudin Rumi, yang dimaksudkan
dengan Amanah itu tidak lain dari kehendak manusia, kehendak bebasnya – Free
will. Inipun merupakan pendapat saya.
Karena
kehendak bebasnya maka manusia bisa unggul atas semua makhluk lain yang ada di
dunia. Ia adalah satu satunya makhluk yang mampu menghadapi sifat nalurinya
sendiri. Hewan atau tumbuhan tidak dapat berbuat demikian. Tidak pernah,
misalnya kita menjumpai hewan yang secara sukarela berpuasa selama dua hari,
ataupun tumbuhan yang bunuh diri karena gak kuat menanggung sedih. Tumbuhan
atau hewan gak bisa berbakti atau berkhianat (maksudnya berkbakti pada
manusia). Mereka itu nggak mungkin berbuat lain selain fitrah kejadian mereka.
Hanya manusialah yang bisa berontak kepada fitrah kejadiannya. Ia bahkan bisa
membangkang terhadap kebutuhan kebutuhan ruhani ataupun jasmaninya dan berbuat
melawannya. Ia bebas, mau jadi orang baek atau jadi orang jahat, apakah ia
hendak menyerupai lumpur atau hendak menyerupai Allah. Jadi Free Will –
Kehendak, adalah harta milik manusia yang paling berharga.
Sehubungan
dengan filsafat kejadian manusia menurut Islam kita bisa menarik kesimpulan
kesimpulan sebagai berikut:
Semua
manusia bukan hanya sama, mereka adalah bersaudara. Antara kesamaan dan
persaudaraan terdapat perbedaan yang cukup jelas. Kesamaan adalah konsep legal,
sedangkan persaudaraan memancarkan keseragaman sifat beserta disposisi semua
manusia. Bagaimanapun keanekaragamannya, manusia berasal dari sumber yang satu.
Pria
dan wanita adalah sama. Berbeda dengan semua filsafat dunia lama, pria dan
wanita diciptakan dari zat dan bahan yang sama, pada waktu yang sama, and oleh
al-Khaliq, Sang Pencipta yang sama pula. Mereka adalah bersaudara, berasal dari
ibu dan ayah yang sama.
Keunggulan
manusia atas malaikat maupun seluruh makhluk lain berpangkal pada pengetahuan.
Karena manusia mempelajari nama nama, maka malaikat jatuh bersujud
dihadapannya. Mereka terpaksa tunduk, walaupun nasab mereka lebih tinggi dari
manusia.
Dan
yang paling penting adalah kedudukan manusia yang terletak antara lempung dan
Allah. Karena ia memiliki kehendak, maka ia bisa memilih salah satu dari kedua
kutub itu. Sementara itu, karena ia memiliki kehendak, maka dia harus
bertanggung jawab. Menurut pandangan Islam, manusia adalah satu satunya makhluk
yang tidak hanya bertanggung jawab atas nasibnya, tetapi juga untuk
melaksanakan suatu tugas suci di dunia ini. Ia adalah pemikul amanah Allah.
Sekarang
marilah kita perluas pengamatan kita. Sejarah telah mencatat tragedi besar,
yaitu tidak diakuinya manusia sebagai makhluk bidimensional. Berlawanan dengan
ajaran agama agama lain yang mengajarkan bahwa Tuhan dan syaitan senantiasa
dalam keadaan bertempur dalam alam, maka menurut Islam, satu satunya kekuatan
dalam alam ialah kekuatan Allah. Tetapi dalam diri manusia, disitulah syaitan
melancarkan perang terhadap Allah. Manusia menjadi medan laga! Berbeda dengan
agama agama sebelumnya, maka dualisme Islam menyatakan adanya dua “tuhan”, dua
hipostasi dalam batin dan disposisi manusia, bukan dalam alam. Alam hanya
mengenal satu hipostasi yang berada dibawah kehendak suatu kekuasaan tunggal,
yakni kekuasaan Allah. Menurut Islam syaitan bukanlah lawan Allah, melainkan
lawan manusia, atau mungkin lebih tepat, lawan terhadap belahan ilahiah diri
manusia.
Tragisnya
itu sekarang karena sejarah menunjukkan kepada kita bagaimana semua masyarakat
dan peradaban selama ini di orientasikan kepada khusus pada akhirat dan
penolakan dunia atau sebaliknya pada dunia debu ini. Padahal manusia itu
makhluk bidimensional yang mengandung unsur Allah dan lumpur, karena itu ia
memerlukan keduanya. Agama dan ideologi yang diyakininya serta mendasari
hidupnya haruslah memenuhi serta memperhatikan kedua macam kebutuhan itu.
Jarak
antara ruh Allah dan lempung busuk adalah jarak antara dua infinita. Manusia
merupakan “keraguan”, setangkai pendulum yang berayun antara kedua arah itu,
kehendak bebas yang berhadapan dengan pilihan yang rumit, apakah ia akan memilih
ruh Allah, ataukah akan terbenam dalam lempung busuk, dibawah endapan lumpur.
Disatu
pihak adalah yang luhur, kesempurnaan, keindahan, kekuasaan, kesadaran,
kehendak mutlak tanpa hingga. Lebih luhur dan lebih agung dari apa yang bisa
dibayangkan. Lepas dari segala sesuatu yang rendah, dangkal, keji, pasaran, dan
picisan. Itulah akhirat. Di pihak lain ialah yang terendah dari yang rendah,
kerusakan, keburukan, kelemahan, kebodohan, kemerosotan tanpa ujung, lebih
nista, lebih buruk dan lebih congkak dari apapun yang bisa dibayangkan.
Itulah dunia kini.
Jalan
yang terbentang antara lempung dan Allah itulah yang disebut “agama”.
Mengertilah kita bahwa agama berarti jalan, atau cara, wahana dan sarana, bukan
tujuan. Semua kesengsaraan yang dialami umat umat beragama adalah akibat
berubahnya jiwa dan tujuan agama. Peranan agama telah berubah. Agama telah
menjadi tujuan dalam dirinya sendiri.
Bila
kita telah mengubah jalan menjadi tujuan, beramal demi untuknya, menghiasnya,
bahkan menyembahnya selama ratusan tahun dari generasi ke generasi, dan tergila
gila kepadanya sehingga setiap kali disebut namanya atau setiap kali kita
terpandang padanya maka mata kita basah berlinang air mata, lalu bila kita
tersinggung dan marah jika ada orang lain yang nggak menyetujuinya, bila semua
dana dan waktu kita curahkan untuk mendadani dan memperbaikinya, sehingga gak
ada lagi waktu kita untuk urusan lain, bila kita hilir mudik berkepanjangan
diatasnya, terus menerus mendiskusikannya, mengusapkan debunya bagaikan obat di
mata kita, maka apa yang akan terjadi? Kita akan tersesat! Ya, jalan yang lurus
dan benar ini bahkan akan membelokkan kita dan kita nggak akan sampe pada
tujuan kita. Sesat setelah menemukan jalan begini ini jauh lebih buruk daripada
kalo kita belum nemuinnya.
Kita
dengar jalan yang benar dan lurus ini, jalan yang mulus dan suci ini, telah
mengantarkan ribuan manusia pada tujuannya. Tapi seumur hidup kita telah
terpaku padanya, sehingga akibatnya kita sama saja dengan orang yang keliru dan
sesat jalan.
Kenapa?
Karena eh karena kita telah menjadikan jalan itu sebagai tempat rekreasi. Kita
telah menjadikannya semacam taman suci atau balai pertemuan. Coba perhatiin
ummat Syiah. Menurut kepercayaan mereka, Imam adalah seorang yang memimpin dan
membimbing mereka. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya mereka telah
mengeramatkannya dan menganggapnya sebagai suatu yang gaib, sesuatu yang
supra-manusiawi, yang dipuja, yang dicintai, disembah dan diluhurkan. Tapi gak
leih dari itu! Agama sebagai keseluruhan, tokoh tokoh penting agama semuanya
telah berubah menjadi tujuan dalam diri mereka sendiri, dan tidak mampu lagi
membimbing kita pada tujuan yang sebenarnya. Shalat, misalnya, adalah suatu
cara. Al-Qur’an menyatakannya sebagai cara untuk mencegah kekejian dan
kemunkaran. Tetapi ungkapan ungkapan dan gerakan gerakan shalat telah menjadi
tujuan dalam dirinya, sehingga meskipun pengetahuan kita tentang shalat telah
semakin berkembang, semakin halus dan smeakin teknis, namun pengaruh aktual
shalat kita telah menjadi semakin merosot.
Saya
kira, bukanlah suatu kebetulan bahwa nama nama dan ungkapan ungkapan islamiah
yang dimaksudkan untuk berbagai aspek dan dimensi agama mangandung arti jalan.
Kata din (agama) sendiri, selain mengandung pengertian “hikmah” dan lain
sebagainya, juga disama artikan dengan “jalan”. Begitu pula istilah-istilah
suluk: Jalan sempit di pegunungan; syari’ah: jalan menuju sungai, dimana
seseorang bisa melepaskan dahaganya; thariqah: jalan lebar yang menghubungkan
suatu kota atau negeri dengan kota atau negeri lain; madzhab: jalan raya;
shirath: jalan ke tempat ibadah; ummah: sekelompok orang yang berjalan ke arah
tujuan yang sama dibawah seorang pemimpin.
Karena
itu agama ialah jalan yang bertolak dari lempung menuju Allah serta
mengantarkan manusia dari kekejian, stagnasi, dan kejahilan, dari kehidupan
lempung yang rendah dan sifat syaitaniyah kepada kemuliaan, kehidupan ruhaniah
dan ilahiah. Agama yang berhasil mengantarkan kita kepada yang demikian itu
adalah agama yang benar. Tapi kalau tidak, maka bisa jadi ada 2 kemungkinan,
mungkin aja kita salah milih jalan, atau yang lebih “parah” jalannya sudah
benar hanya saja kita salah menggunakannya.
Mungkin
aja ada yang bilang: “Dalam kenyataannya sekarang ini orang yang bukan muslim
lebih baik dari yang muslim” ini bisa jadi benar. Seorang yang melangkah maju
dengan mantap pada jalan yang berliku mungkin akan lebih dahulu tiba daripada
orang lain yang telah menemukan jalan yang benar tapi nggak tahu bagaimana
mempergunakannya. Atau jalannya udah bener tapi cuman luntang lantung di
pinggir jalan. Atau lebih celaka lagi, mereka mungkin dengan penuh rasa
congkak, hanya keluyuran kian kemari sambil memberikan seribu tokoh sejarah
yang berhasil karena melalui jalan itu. Tapi, bagaimanapun banyaknya bukti yang
membenarkan jalan mereka, namun mereka tidak menyadari keterbelakangan mereka.
Mereka tidak pernah mempertanyakan keadaan mereka. Mereka nggak ngerasa perlu
merubah diri mereka, atau untuk mengevaluasi kekeliruan mereka.
kita juga punya nih artikel mengenai faktor fundamental, silahkan dikunjungi dan dibaca , berikut linknya
ReplyDeletehttp://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/2459/1/INVESTOR%20DECISION%20MAKING%20BASED%20ON%20FUNDAMENTAL.pdf
semoga bermanfaat