Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Wednesday, December 28, 2011

Menjemput Masa Depan (Mandat dan Peran Lembaga Pendamping Dalam Pendekatan Partisipatif)


           Upaya pendampingan telah dikembangkan sebagai pendekatan utama oleh LSM dalam kiprahnya membangun posisi tawar masyarakat pada berbagai  aras aktifitas, khususnya masyarakat terpinggirkan di kota maupun di desa. Di era orde baru aktifitas pendampingan itu telah mendapatkan respon baragam dari berbagai pelaku pembangunan. Ada yang positif namun banyak sekali yang menunjukan resistensi karena pendamping dinilai mencikaraui ( baca : mengacau) keberlangsungan pelayanan publik serba top-down dari oligarki kekuasaan waktu itu.
           Dengan berbagai modus operandi yang diniatkan untuk memperkuat posisi tawar masyarakat sipil terhadap hegemono negara, pendampingan telah berkembang menjadi suatu acuan utama kiprah LSM. Baik LSM yang bergerak diakar rumput dan lebih condong pada peningkatan kesejahteraan ekonomi sampai-sampai LSM generasi mutakhir yang menginginkan transformasi sosial. Pendampingan telah menjadi tools yang efekfif untuk menggalang kekuatan rakyat agar mampu menuntut haknya (advokasi), mempermudah mobilisasi massa dan satu dua menjejakan pengaruhnya di sektor politik praktis.
           Era reformasi tiba, berbagai kekuatan yang telah terbangun mulai menunjukan jati dirinya. Bila selama ini LSM berperan mendampingi  advokasi rakyat di era ini rakyat sudah berani sendiri menuntut haknya, bahkan dengan kinerja yang lebih beringas bahkan tanpa konsep gerakan yang terukur. Negara yang dipersonifikasikan oleh pemerintah banyak mengakomodasi berbagai gerakan rakyat itu sampai-sampai seluruh jargon yang selama ini menjadi indentitas LSM kini dengan mulus hadir dalam wacana para birokrat negeri, dari pusat sampai daerah. Interaksi ini mirip mekanisme amplifier, statemen biasa di pusat, mengeras di level Propinsi, makin keras dikumandangkan di Kapupaten-Kota sampai kebablasan, serta hebat sekali dampaknya ke desa-desa akar rumput. Mekanisme ini jelas mengalami distorsi, namun saya menemui banyak birokrat lokal dengan khusyuk menerapkan pendekatan partisipatoris menggunakan jargon-jargon pemberdayaan versi LSM dulunya.
           Suasana sudah berubah, dinamika bernegara bergerak ke paradigma berbeda. Reformasi memberikan ruang gerak kepada komponen masyarakat untuk secara bebas menyalurkan aspirasinya, Media massa tidak terhalang oelh rambu-rambu kekuasaan, Semua pihak bebas untuk berekspresi. Gerakan LSM tentu harus pula menyesuaikan diri dan kiprahnya dengan mindset lain. LSM yang selama ini berperan sebagai salah satu lembanga pendamping rakayt, perlu melakukan reposisi yang efektif agar tetap bisa berperan menjawab tantangan bangsa.
           Ditengah maraknya perkembangan fenomina  yang disebut Globalisasi, liberalisasi ekonomi, pasar bebas, hegemoni adanya adidaya, hilangnya batas administratif negara dan berbagai ramalan masa depan lainnya. Peran LSM sebagai Lembaga Pendamping akan makan dibutuhkan, namun dengan kinerja yang membutuhkan berbagai kapasitas yang lain. Bila selama ini LSM eksist dengan semangat dan idealisme atau sekadar mengekspressikan keperdulian terhadap rakayat saja sembari mengelola demo-demo  rakyat dengan tangan terkepal dan mengacung-acung ke udara rerik di hadapan penentu kebijakan publik negeri, ke masa depan tentu tidak lagi demikian. Efektivitas pendampingan nampaknya perlu amunisi lebih mengingat luasnya wilayah pemberdayaan. Pekerjaan tidak hanya mulai dari nol, tapi dri titik minus.
           Mengambik pemahaman atas perkembangan yang sedang berlangsung di nagari-nagari di Sumatera Barat yang sekaligus basis aktifitas pemakalah, berikut beberapa agenda yang perlu diperhitungkan dalam upaya menuju efektifitas pendampingan, antara lain:

1.    Telah banyak metodologi (PRA,RRA,P3MD,P5SD, dst) yang dimamfaatkan dalam proses pendampingan. Terakhir pendekatan pendampingan menuju partisipasi lebih produktif dari masyarakat desa (kini : nagari) telah diterapkan P3MD sebagai tools untuk memulai perencanaan pembangunan pada tingkat dusun dan musbangdes di desa. Pola yang sifatnya memassal serta generik ini tentu sangat bergantung pada SDM pengelolaannya  (fasilitator desa ?) dan akhirnya berimplikasi pada kualitas partisipasi yang dibutuhkan. Dalam benak pemakalah, urusan pendampingan dan membantu masyarakat merencanakan masa depannya tidaklah urusan mekanis sehingga tak boleh dikelola oleh operator saja. Pendampingan sarat dengan berbagai tujuan ideal sehingga rendah kualitasnya bila diurus oleh operator sembarangan. Pendampingan menyangkut seni membangun partisipasi, yang didukung oleh mind-set ideal pendamping dalam memformulasikan tujuan-tujuan kolektif masyarakat. Seni mendampingi membutuhkna komitmen total pendamping (bukan sekedar ada hono belaka), berpihak kepada rakyat banyak, memahami dinamika pembangunan, visi yang jauh ke depan, serta berbagai kriteria yang ideal lainnya. Mengingat maha luasnya aktifitas pendampingan yang harus diurus, nampaknya perlu secara sistematik mempersiapkan tenaga pendamping berkualitas.  Disamping itu secara terus menerus dilakukan pengkajian dan penyempurnaan metodologi karena perbedaan latar belakang kultur dan  dinamika partisipasi, berbagai konsep asing yang telah ada perlu dibumikan  (domestikasi konsep).
2.     Disamping memungkinan penerpan konsep-konseo pendampingan yang telah ada, di nagari-nagari, dalam menerawang ke masa depan, pendamping perlu memiliki keterampilan yang lain seperti perencanaan skenario (scenario planning). Masyarakat dampingan perlu secara musyawarah mengembangkan alternatif skenario masa depan kolektif, kendala-kendala yang mungkin akan ada berikut berbagai implikasinya. Pemahaman yang utuh tentang pilihan-pilihan masa depan tentulah memicu kesadaran partisipatif masyarakat dan pada gilirannya akan diperoleh kontribusi maksimal.
3.       Mengingat banyaknya agenda publik yang harus dikembangkan di nagari-nagari (terutama menyusun berbagai peraturan nagari, mengembangkan sumber-sumber ekonomi nagari, membangun pranata sosial yang aspiratif serta pengelolaan pelayanan publik berbasis nagari, maka peran efektif dan strategis pendamping adalah memfasilitasi kelahirannya dengan dukungan-dukungan yang efektif. Dengan demikian kriteria lanjut dari pendampingan adalah mempunyai keterampilan dalam penyusunan produk hukum (legal draf) yang benar-benar bisa dioperasikan dan bermamfaatr memperbesar modal sosial masyarakat,
4.       Peran lain yang sangat strategis adalah memposisikan lembanga pendamping sebagai mediator masyarakat dalam berhubungan dengan pihak luar, yakni menjadi pendamping masyarakat dalam berinterasi dengan berbagai pihak berkepentingan lain (multi-stakeholders seperti pemerintah, partai politik, pelaku ekonomi/investor, mitra asing dll). Disamping itu yang tak kalah penting adalah peran fasilitator membangun sinergi berbagai pihak sehingga diperoleh pola interaksi yang adil, harmonis dan kesetaraan.
5.       Untuk membangun di Sumatera Barat, lembaga pendamping memerlukan berbagai keterampilan dan kompetensi teknis berbasis akatifitas di lahan-lahan pertanian modern, mengelola sumber daya laut serta secara umu pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan.
6.       Agenda terakhir adalah sangat diperlukannnya pengembangan wacana baru yang antisipatif terhadap kecenderungan masa depan ke tengah masyarakat dampingan. Penguasaan simbol-simbol  modernitas masa depan seperti penguasaan bahasa asing, teknologi informasi serta berbagai idiom pergaulan internasional suka atau tidak suka akan menambah citra pendamping idelal di masa depan. Kesadaran akan masa depan itu akan menjembatani masyarakat dampingan untuk setara, bermartabat dan tegak kepala bila berhadapan dengan bangsa-bangsa lain karena memiliki standar informasi, berbahasa yang sama dan tidak gagap teknologi. Lembaga pendamping yang mengesampingkan simbol-simbol itu tidak akan membantu dlam memfasilitasi masyarakat dampingan.

Penutup

            Intinya Mandat terhadap lembaga pendamping akan dapat dikelola secara efektif-produktif bila menguasai metodologi pendampingan yang senantiasa bertumbuh dan terus menerus disempurnakan (seni membangun partisipasi); Terampil membantu masyarakat dalam merancang skenario masa depan bersama; Bekerja keras dengan masyarakat dalam menyusun produk hukum bagi kepentingan bersama; mengambil peran mediator yang mensinergikan berbagai stake-holder menuju kesetaraan, keadilan dan harmonis; memiliki keterampilan teknis mengelola potensi sumber daya yang ada dan terakhir berperan sengat efektif mengenalkan simbol-simbol masa depan agar masyarakat dampingan tidak gagap teknologi dan dapat berkomunikasi secara luas dengan suku bangsa mana saja.
      Untuk itu berbagai lembaga yang bergerak di sektor mereposisi diri dan meningkatkan kapasitas lembaga agar bisa mengantisipasi berbagai perubahan-perubahan.

Menjemput Masa Depan (Mandat dan Peran Lembaga Pendamping Dalam Pendekatan Partisipatif) Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment