Upaya pendampingan
telah dikembangkan sebagai pendekatan utama oleh LSM dalam kiprahnya membangun
posisi tawar masyarakat pada berbagai
aras aktifitas, khususnya masyarakat terpinggirkan di kota maupun di
desa. Di era orde baru aktifitas pendampingan itu telah mendapatkan respon
baragam dari berbagai pelaku pembangunan. Ada yang positif namun banyak sekali
yang menunjukan resistensi karena pendamping dinilai mencikaraui ( baca :
mengacau) keberlangsungan pelayanan publik serba top-down dari oligarki
kekuasaan waktu itu.
Dengan berbagai
modus operandi yang diniatkan untuk memperkuat posisi tawar masyarakat sipil
terhadap hegemono negara, pendampingan telah berkembang menjadi suatu acuan utama
kiprah LSM. Baik LSM yang bergerak diakar rumput dan lebih condong pada
peningkatan kesejahteraan ekonomi sampai-sampai LSM generasi mutakhir yang
menginginkan transformasi sosial. Pendampingan telah menjadi tools yang efekfif
untuk menggalang kekuatan rakyat agar mampu menuntut haknya (advokasi),
mempermudah mobilisasi massa dan satu dua menjejakan pengaruhnya di sektor
politik praktis.
Era reformasi tiba,
berbagai kekuatan yang telah terbangun mulai menunjukan jati dirinya. Bila
selama ini LSM berperan mendampingi
advokasi rakyat di era ini rakyat sudah berani sendiri menuntut haknya,
bahkan dengan kinerja yang lebih beringas bahkan tanpa konsep gerakan yang
terukur. Negara yang dipersonifikasikan oleh pemerintah banyak mengakomodasi
berbagai gerakan rakyat itu sampai-sampai seluruh jargon yang selama ini
menjadi indentitas LSM kini dengan mulus hadir dalam wacana para birokrat
negeri, dari pusat sampai daerah. Interaksi ini mirip mekanisme amplifier,
statemen biasa di pusat, mengeras di level Propinsi, makin keras dikumandangkan
di Kapupaten-Kota sampai kebablasan, serta hebat sekali dampaknya ke desa-desa
akar rumput. Mekanisme ini jelas mengalami distorsi, namun saya menemui banyak
birokrat lokal dengan khusyuk menerapkan pendekatan partisipatoris menggunakan
jargon-jargon pemberdayaan versi LSM dulunya.
Suasana sudah
berubah, dinamika bernegara bergerak ke paradigma berbeda. Reformasi memberikan
ruang gerak kepada komponen masyarakat untuk secara bebas menyalurkan
aspirasinya, Media massa tidak terhalang oelh rambu-rambu kekuasaan, Semua
pihak bebas untuk berekspresi. Gerakan LSM tentu harus pula menyesuaikan diri
dan kiprahnya dengan mindset lain. LSM yang selama ini berperan sebagai salah
satu lembanga pendamping rakayt, perlu melakukan reposisi yang efektif agar
tetap bisa berperan menjawab tantangan bangsa.
Ditengah maraknya
perkembangan fenomina yang disebut
Globalisasi, liberalisasi ekonomi, pasar bebas, hegemoni adanya adidaya,
hilangnya batas administratif negara dan berbagai ramalan masa depan lainnya.
Peran LSM sebagai Lembaga Pendamping akan makan dibutuhkan, namun dengan
kinerja yang membutuhkan berbagai kapasitas yang lain. Bila selama ini LSM
eksist dengan semangat dan idealisme atau sekadar mengekspressikan keperdulian
terhadap rakayat saja sembari mengelola demo-demo rakyat dengan tangan terkepal dan
mengacung-acung ke udara rerik di hadapan penentu kebijakan publik negeri, ke
masa depan tentu tidak lagi demikian. Efektivitas pendampingan nampaknya perlu
amunisi lebih mengingat luasnya wilayah pemberdayaan. Pekerjaan tidak hanya
mulai dari nol, tapi dri titik minus.
Mengambik pemahaman
atas perkembangan yang sedang berlangsung di nagari-nagari di Sumatera Barat
yang sekaligus basis aktifitas pemakalah, berikut beberapa agenda yang perlu
diperhitungkan dalam upaya menuju efektifitas pendampingan, antara lain:
1. Telah banyak metodologi (PRA,RRA,P3MD,P5SD, dst) yang dimamfaatkan
dalam proses pendampingan. Terakhir pendekatan pendampingan menuju partisipasi
lebih produktif dari masyarakat desa (kini : nagari) telah diterapkan P3MD
sebagai tools untuk memulai perencanaan pembangunan pada tingkat dusun dan
musbangdes di desa. Pola yang sifatnya memassal serta generik ini tentu sangat
bergantung pada SDM pengelolaannya
(fasilitator desa ?) dan akhirnya berimplikasi pada kualitas partisipasi
yang dibutuhkan. Dalam benak pemakalah, urusan pendampingan dan membantu
masyarakat merencanakan masa depannya tidaklah urusan mekanis sehingga tak
boleh dikelola oleh operator saja. Pendampingan sarat dengan berbagai tujuan
ideal sehingga rendah kualitasnya bila diurus oleh operator sembarangan.
Pendampingan menyangkut seni membangun partisipasi, yang didukung oleh mind-set
ideal pendamping dalam memformulasikan tujuan-tujuan kolektif masyarakat. Seni
mendampingi membutuhkna komitmen total pendamping (bukan sekedar ada hono
belaka), berpihak kepada rakyat banyak, memahami dinamika pembangunan, visi
yang jauh ke depan, serta berbagai kriteria yang ideal lainnya. Mengingat maha
luasnya aktifitas pendampingan yang harus diurus, nampaknya perlu secara
sistematik mempersiapkan tenaga pendamping berkualitas. Disamping itu secara terus menerus dilakukan
pengkajian dan penyempurnaan metodologi karena perbedaan latar belakang kultur
dan dinamika partisipasi, berbagai
konsep asing yang telah ada perlu dibumikan
(domestikasi konsep).
2. Disamping memungkinan
penerpan konsep-konseo pendampingan yang telah ada, di nagari-nagari, dalam
menerawang ke masa depan, pendamping perlu memiliki keterampilan yang lain
seperti perencanaan skenario (scenario planning). Masyarakat dampingan perlu
secara musyawarah mengembangkan alternatif skenario masa depan kolektif,
kendala-kendala yang mungkin akan ada berikut berbagai implikasinya. Pemahaman
yang utuh tentang pilihan-pilihan masa depan tentulah memicu kesadaran
partisipatif masyarakat dan pada gilirannya akan diperoleh kontribusi maksimal.
3.
Mengingat banyaknya agenda
publik yang harus dikembangkan di nagari-nagari (terutama menyusun berbagai
peraturan nagari, mengembangkan sumber-sumber ekonomi nagari, membangun pranata
sosial yang aspiratif serta pengelolaan pelayanan publik berbasis nagari, maka
peran efektif dan strategis pendamping adalah memfasilitasi kelahirannya dengan
dukungan-dukungan yang efektif. Dengan demikian kriteria lanjut dari
pendampingan adalah mempunyai keterampilan dalam penyusunan produk hukum (legal
draf) yang benar-benar bisa dioperasikan dan bermamfaatr memperbesar modal
sosial masyarakat,
4.
Peran lain yang sangat strategis
adalah memposisikan lembanga pendamping sebagai mediator masyarakat dalam
berhubungan dengan pihak luar, yakni menjadi pendamping masyarakat dalam
berinterasi dengan berbagai pihak berkepentingan lain (multi-stakeholders
seperti pemerintah, partai politik, pelaku ekonomi/investor, mitra asing dll).
Disamping itu yang tak kalah penting adalah peran fasilitator membangun sinergi
berbagai pihak sehingga diperoleh pola interaksi yang adil, harmonis dan
kesetaraan.
5.
Untuk membangun di Sumatera
Barat, lembaga pendamping memerlukan berbagai keterampilan dan kompetensi
teknis berbasis akatifitas di lahan-lahan pertanian modern, mengelola sumber
daya laut serta secara umu pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan.
6.
Agenda terakhir adalah sangat
diperlukannnya pengembangan wacana baru yang antisipatif terhadap kecenderungan
masa depan ke tengah masyarakat dampingan. Penguasaan simbol-simbol modernitas masa depan seperti penguasaan
bahasa asing, teknologi informasi serta berbagai idiom pergaulan internasional
suka atau tidak suka akan menambah citra pendamping idelal di masa depan.
Kesadaran akan masa depan itu akan menjembatani masyarakat dampingan untuk
setara, bermartabat dan tegak kepala bila berhadapan dengan bangsa-bangsa lain
karena memiliki standar informasi, berbahasa yang sama dan tidak gagap
teknologi. Lembaga pendamping yang mengesampingkan simbol-simbol itu tidak akan
membantu dlam memfasilitasi masyarakat dampingan.
Penutup
Intinya
Mandat terhadap lembaga pendamping akan dapat dikelola secara efektif-produktif
bila menguasai metodologi pendampingan yang senantiasa bertumbuh dan terus
menerus disempurnakan (seni membangun partisipasi); Terampil membantu
masyarakat dalam merancang skenario masa depan bersama; Bekerja keras dengan
masyarakat dalam menyusun produk hukum bagi kepentingan bersama; mengambil
peran mediator yang mensinergikan berbagai stake-holder menuju kesetaraan,
keadilan dan harmonis; memiliki keterampilan teknis mengelola potensi sumber
daya yang ada dan terakhir berperan sengat efektif mengenalkan simbol-simbol
masa depan agar masyarakat dampingan tidak gagap teknologi dan dapat
berkomunikasi secara luas dengan suku bangsa mana saja.
Untuk
itu berbagai lembaga yang bergerak di sektor mereposisi diri dan meningkatkan
kapasitas lembaga agar bisa mengantisipasi berbagai perubahan-perubahan.
0 komentar:
Post a Comment