Dari rentangan sejarah politik dan sosial-budaya yang sudah panjang
ke belakang di Nusantara ini, bangsa Indonesia dalam khazanah kebudayaannya
nyaris tidak mengenal sistem demokrasi seperti yang kita pahami sekarang.
Demokrasi yang kita kenal sekarang ini barang cangkokan yang datang dari luar,
khsususnya dunia maju di Eropah dan Amerika. Dia masuk beserta dengan pemikiran
moderen lainnya, yang kuncinya dibukakan buat pertama kali oleh pemerintahan
jajahan Belanda melalui jalur pendidikan, yakni melalui Etishe Politiek
di permulaan abad ke 20 yl. Dari sanalah bermula munculnya kesadaran nasional
yang kredonya dicetuskan dalam Sumpah Pemuda th 1928 oleh para pemuda yang kebanyakan masih berada
di bangku sekolah waktu itu.
Rentetan peristiwa dari 1928 ke 1945 dan peristiwa-peristiwa yang
berlalu selama masa kemerdekaan ini adalah juga rentetan pergumulan dengan
demokrasi itu sendiri. Sebagai berbangsa kita telah melalui pasang naik dan
pasang surut dari upaya berdemokrasi itu.
Masa yang relatif singkat antara 1945 dan 1959 (14 tahun) di awal
kemerdekaan adalah masa kita berupaya untuk menerapkan sistem demokrasi ala
Barat itu secara bersungguh-sungguh, karena kita ingin membuktikan kepada dunia
luar bahwa kita adalah bangsa yang merdeka yang mampu menegakan demokrasi, di
samping juga dengan keyakinan bahwa itulah sistem politik yang terbaik untuk
diterapkan dalam alam Indonesia merdeka. Sekarang upaya itu kelihatannya hanya
tinggal kenang-kenangan sejarah.
Masa sesudah itu, yaitu dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden th
1959 sampai dewasa ini, (40 tahun), kita mengalami pasang surut dari upaya
berdemokrasi itu, Yang terjadi sesungguhnya adalah proses involusi, yakni
dimana kita berbalik surut ke belakang ke masa-masa lalu yang panjuang dari
sejarah politik dan sosial-budaya di tanah air ini, karena kita merasa gagal
bereksperimen dengan demokrasi ala Barat tidak cocok untuk kita dan bukan
bahagian dari budaya kita. Kembali kepada nilai-nilai kebudayaan lama yang
diwariskan oleh para leluhur lalu menjadi adagium baru. Yang kita ambil dari
demokrasi itu terutama adalah-dan hanyalah-kerangka struktural dan kulit-kulit
luarnya, sementara isi dan subtansinya adalah sistem politik primordial yang
hakekatnya bertentangan dan bahkan bertolak belakang dengan sistem dan prinsip
demokrasi ala Barat itu sendiri. Sementra terminologi “demokrasi” dengan segala
macam jargon yang menyertainya adalah
seluruhnya moderen, yang kita lakukan sesungguhnya adalah upaya pelestarian
budaya politik primordial dengan kemasan baru. Ibaratnya, kita mengisikan
anggur tua itu ke dalam botol yang baru (“the old wine in the new bottle”).
Dari sana sini kita melakukan pencampur-adukan secara sinkretik dari
sistem politik primordial dari
kebudayaan leluhur kita dengan sistem dan prinsip demokrasi yang datang dari
Barat itu, sehingga jadilah hasilnya seperti yang kita lihat dari label-label
yang kita berikan kepada demokrasi Indonesia itu. Di zaman Sukarno namanya “ demokrasi terpimpin,”
sementara zaman Suharto namanya “demokrasi Pancasila,”
Kedua-duanya demokrasi itu isinya praktis sama, yaitu neo-feodalisme
berorientasi etatik, sentralistik, otokratik dan totaliter, di samping nepotik
dan despotik, dengan menempatkan rakyat
kembali sebagai kawula, bukan sebagai rakyat yang merdeka. Kedaulatan
tidaklah terletak di tangan rakyat, tetapi di penguasa Negara yang memerintah
secara otoriter dan diktatorial.
Di zaman Suharto, untuk tujuan stabilitas politik, sebagai prasyarat
bagi pembangunan, militer dipergunakan sebagai ujung tombak kekuasaan, sementara
untuk pembangunan ekonomi secara sadar dan sistematik memanfaatkan keahlian dan
kelihaian kelompok keturunan Cina untuk menggerakan ekonomi nasional, dengan
tirai pelindung SARA untuk mengamankan kegiatan mereka. “Seratus tahun pun
diberi kesempatan kepada rakyat untuk mengembangkan ekonomi bangsa yang
morat-marit di awal pemerintahan Orde
Baru seperti yang diwariskan Sukarno takkan terkerjarkan,” dalih tim penasihat
ekonomi dari grup “Barkeley Mafia” yang membantu merumus dan mendisaikan corak
ekonomi Orde Baru. Untuk itu kita perlu memanfaatkan keahlian dan kelihaian
dari “Sedulur Turwo” (pedagang Cina) untuk menyelamatkan ekonomi
Indonesia dari tepi jurang kehancurannya. Melalui limbo ersatz kapitalismus yang
mereka kuasai dan kembangkan selama ini, mirakelpun terjadi. Dalam waktu 5
repelita pendapatan per kapita naik dari 60 dollar menjadi sampai 1500 dollar,
yang berarti 25 kali lipat dalam jangka waktu 30 tahun. Tetapi harga yang harus
dibayar adalah bahwa jadinya ekonomi dan bisnis perdagangan Indonesia
benar-benar terpegang hampir seluruhnya di tangan para cukong dan pedagang Cina
itu, sama atau bahkan berlebih dari
gambaran penguasaan mereka di rantau Nan Yang lainnya di Asia Tenggara ini.
Praktek kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) sementara itupun marak dan
membudaya tak terkendalikan.
Kerjasama antar penguasa dan pengusaha non-pribumi inilah yang
mengangkatkan ekonomi Indonesia selama masa Orde Baru. Jurang-jurang
kesenjangan dan kepincangan ekonomi dan sosial-budaya makin menganga antara
kelompok elit penguasa dan pengusaha dengan rakyat terbanyak. Dan puncak dari semua inilah yang akhirnya
mengantarkan kita ke era Reformasi dengan tumbangya kekuasaan Suharto dan
berganti dengan aspiran: Habibie.
Di ujung perjalananan panjang selama 40 tahun (1959-1999) itulah
kita menyadari kekeliruan kita, dengan menanggungkan segala resiko dan
konsekuensi yang diakibatkannnya, dan kita menyatakan diri ingin kembali kepada
demokrasi yang sesungguhnya. Pendulumnya sekarang bergerak dari yang tadinya bersifat
neofeodal dari kebudayaan leluhur kita, ke demokrasi yang lebih universal dan
egaliter, dengan kembali menekankan kepada the rule of law dan kesamaan di muka hukum serta menjunjung
tinggi hak-hak asasi manusia. Di tengah-tengah perkisaran angin inilah
munculnya keinginan untuk memberikan otonomi kepada daerah-daerah yang selam
ini telah dijadikan sapi perahan oleh pusat.
Dengan itu keluarlah Undang-Undang No. 22/1999 dan 25/1999 yang
dibidani oleh pemerintahan interim Habibie. Mei 2000 ini genaplah kedua
undang-undang itu berusia setahun. Namun kedua undang-undang itu sampai saat
ini belum bisa diterapkan karena belum satupun dari sebanyak 54 Peraturan
Pelaksanaan yang dituntut oleh kedua undang-undang itu sendiri telah
dikeluarkan. Padahal Mei 2001 kedua undang-undang tersebut diharapkan telah
harus berjalan,
Sejarah otonomi untuk daerah-daerah ini sendiri sebenarnya telah
berjalan panjang, karena disadari demokrasi tidak akan jalan tanpa otonomi.
Upaya untuk memberikan otonomi kepada daerah-daerah ini dari segi
perundang-undangannya sudah berumur dengan usia Republik ini sendiri.
Undang-undang yang pertama sekali dikeluarkan setelah proklamasi kemerdekaan
adalah UU No. 22 th 1948, UU No. 22 dan 25 th 1999 sekarang ini. Dengan
demikian UU no. 22 dan 25/ 1999 yang menjadi fokus perhatian dan keperdulian
kita sekarang ini adalah UU otonomi yang ke 7 dan ke 8 nya selama lebih
setengah abad kita merdeka.
Namun kenyataannya adalah seperti yang kita lihat sendiri selama
ini. Bukannya otonomi dan kemerdekaan
mengurus diri sendiri yang didapatkan oleh daerah-daerah, te tapi malah
sebalikmya. Daerah dikekang dan
dikendalikan dari pusat sehingga daerah
kehilangan kemandirian dan kemerdekaannya. Bahkan, seperti dikatakan, daerah
menjadi sapi perahan untuk kepentingan pusat dan pihak berkuasa di pusat.
Di balik dari rentetan undang-undang ini, di sisi lain, jelas
terlihat bahwa selama era kemerdekaan ini telah terjadi tarik tambang
kepentingan dan”power struggle” antara pusat dan daerah, yang sering
berujung dengan tragedi berdarah, baik berupa pembakangan, maupun pemberontakan
daerah, dsb, walau selalu berakhir dengan kekalahan di pihak daerah. Otonomi
itu sendiri dari segi diplomasi politik dari pusat terhadap daerah bisa
diartikan sebagai janji politik ataupun umpan pembujuk agar daerah tetap setia
kepada pusat. Bahwa hal itu bersifat janji dan umbukan politik terlihat dari
kenyataan bahwa otonomi yang berkali-kali dijanjikan dalam kenyataan tidak
bersua. Bahkan sebaliknya.
Selama masa Orde Lama dan Orde Baru yang sitem kekuasaanya makin
terpusat di bawah kendali Presiden yang kekuasaannya nyaris tidak terbatas,
daerah benar-benar berada dalam lemah tak beradaya. Keculi sumber Pendapatan
Daerah yang tinggal di daerah, yang rata-rata jumlahnya tidak lebih dari 10%
jumlah Pendapatan Bruto Daerah, semua kekayaan daerah diangkut ke pusat dan di
kendalikan langsung oleh Pusat melalui berbagai perangkat yang di ciptakan oleh
pusat. Pada contoh-contoh yang ekstrim terlihat,di hampir semua daerah dengan
katagori SDA daerah yang tinggi, SDMnya justru yang relatif lebih terbelakang.
Kasus Aceh, Riau, Jambi, Kalteng, dan Irian Jaya, adalah contoh nyata dari
ketimpangan dan sekaligus perlakuan
ketidak-adilan dari pusat terhadap daerah yang sungguh menyolok. Di Pusat,
sebaliknya, menumpuklah semua kekayaan yang berasal dari kekayaan daerah itu.
Delapan puluh sampai 90% dari uang yang beredar, beredar di pusat.
Industri-industri dan pasar uang dan jasa berkembang pesat dari pusat dan di
Jawa umumnya. Di daerah orang hanya bisa gigit jari, dan menggerutu, tapi tak
terkeluarkan, karena mesin keamanan dan pengamanan berjalan efektif. Palu
gondam kekuasaan di daerah-daerah jauh lebih kuat dan lebih kejam dalam
menghadapi kritik, sanggahan, apalagi pembangkangan dari rakyat daerah.
Pemerintahan di daerah bahkan dilakukan dengan cara dan cara militer. Dan
militer mendominasi kedudukan-kedudukan stategis di daerah, seperti juga di
pusat.
Dari segi tinjauan sosial-budaya di atas terlihat bahwa yang
berhadapan sesunguhnya bukanlah antara pusat dan daerah itu an sich,tetapi
antara dua sistem dari dua sumber budaya politik yang berbeda, yang menyebabkan
terjadinya polarisasi dan antagonisme antara pusat dan daerah. Di satu sisi
kita ingin berdemokrasi, karena tuntutan zaman, tetapi di sisi lain kita secara berbangsa tidak memiliki khazanah
budaya itu – kecuali di satu-dua daerah tertentu yang memiliki budaya demokrasi
dalam pengertian asli (oer-democratie) yang tidak begitu saja bisa
ditrasfer ke dalam lingkungan format sekarang secara nasional, selain jiwa dan
semangatnya.
Masalah yang kita hadapi sekarang dengan pelaksanaan otonomi di
daerah tak ter lepas dari unsur dialektika budaya itu di ma na dua sistem
politik yang saling bertentangan berupaya mencari kompromo melalui pendekatan
sinkretik seperti terlihat, setting budaya dari UU no.22 dan 25/1999, sejauh
ini, masih dengan semangat menempatkan otonomi sebagai hadiah atau pemberian
dari pusat, dan adalah hak pusat untuk mengatur kerangka acuan pokoknya, sementara
pelaksanaan teknisnya diserahkan kepada daerah-daerah.
Walau secara struktural dalam UU no22 dan 25/1999 itu dikatakan
hubungan antara pusat dan daerah tidak lagi bersifat herarkis atas bawah,
tetapi horizontal dengan sistem organisasi yang flatly structured, namun
dalam sistem pelimpahan pewenangan dan pembagian pewenangan itu sendiri masih
berbau sentripental dan ditentukan secara sepihak oleh pusat, dengan visi dan
persepsi pusat. Oleh karena itu, seperti terlihat dari substansi UU itu
sendiri, seluruh daerah, betapapun beragamnya latar belakang alam, budaya, dan
manusianya, diperlakukan sama dan seragam, dengan sistem dan struktur yang sama
Peraturan Pelaksanaannya – yang sekarang draffnya tengah diedarkan ke
daerah-daerah untuk dimintakan tanggapan dan masukan – juga berlakusama untuk
semua daerah-daerah. Mestinya, berangkat dari prinsip otonomi itu sendiri, yang
berarti menghargai dan menjunjung tinggi akan perbedaan dan keberbagian dari
daerah-daerah, daerahlah yang paling mengetahui keadaan daerah mereka sendiri,
dan karenanya daeralah yang harus mengatur dan menyusun aturan pelaksanaannya
yang di sesuaikan dengan sikon daerah masing-masing. Sebaliknya, daerah daerah
yang memerlikan bimbingan dan perhatian maupun bantuan lebih besar, karena
keterbelakangannya dan kekurangan SDA maupun SDMnya, mestinya mendapatkan jatah
lebih besar. Daerah-daerah yang sudah bisa menggelinding sendiri, seperti
kota-kota besar, dan daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam yang lebih
besar, juga memberikan kontribusinya yang lebih besar, bagi kepentingan
pemerataan kesejahteraan rakyat dan masyarakat secara nasional. Keragaman dan
proporsionalitas yang adil dan bijaksana harus juga lebih menonjol daripada
keseragaman yang diartikan secara kaku, dan dikendalikan secara sepihak dari
atas.
Dititik-beratkannya hak otonomi dan desentralisasi kepada daerah
tingkat dua kabupaten dan kota, dan tidak pada daerah tingkat satu Propinsi,
juga memperlihatkan bias politik dari pusat, yang di balik-belakangnya adalah
rasa”ketakutan” dari pengendali kekuasaan
di pusat akan membaliknya propinsi menjadi kekuatan lawan manakala
otonomi dititik beratkan kepada propinsi. Untuk itulah propinsi lebih berfungsi
sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dengan memberikan hak dekonsentrasi,
bukan otonomi. Otonomi yang diberikan kepada propinsi hanyalah sebatas hal-hal
yang belumatau tidak mampu ditangani oleh kabupaten dan kota, yang sifatnya
bisa temporer. Pada hal, peta politik dan sosial budaya di daerah-daerah selama
ini memperlihatkan bahwa kesatuan daerah pertama-tama tercermin dari kesatuan
wilayah provinsi. Wilayah Provinsi hampir
tanpa kecuali sekaligus memperlihatkan dirinya sebagai unit kesatuan
sosial dan budaya, di samping kesatuan ekonomi dan pemerintahan dari daerah yang
bersangkutan.
Di sisi lain, wilayah kabupaten dan kota, di daerah, selama ini,
lebih memperlihatkan hubungan simbiotik yang saling melengkapi dan saling
ketergantungan, bukan-dan tidak pernah-berdiri sendiri-sendiri. Pusat jala dari
kegiatan apapun di kabupaten, selama ini, bukanlah di kota kabupaten, tetapi di
kotamadnya. Kabupaten dan kota di hampir semua daerah di Indonesia disamping
tidak memperlihatkan kemandirian dan kepribadiannya tetapi juga bukan merupakan
unit kesatuan sosial dan budaya, dan bukan pula unit kesatuan ekonomi dan alam lingkungan. Kabupaten, terutama
selama ini lebih bersifat adminstratif daripada unit kesatuan sosial-budaya
maupun ekonomi dan alam lingkungan itu.
Lebih jauh lagi, walau Desa-atau Nagari, Marga, Kampung, atau apapun
namanya di daerah-daerah yang boleh dihidupkan kembali-diberi peluang untuk
mengatur dirinya sendiri, dibawah koordinasi kabupaten, UU no. 22 dan 25/1999
terlalu sedikit memberikan perhatian terhadap otonomi desa ini;padahal, di
desalah rata-rata rakyat dan penduduk ditemukan, dan bukan di kabupaten dan
kota, dalam artian sosial –budaya. Desalah sesungguhnya yang merupakan unit
kesatuan masyarakat yang benar-benar hidup, di mana adat, agama, bahasa,
hubungan kerabat, dan hubungan sosial-budaya lainnya yang benar-benar
operasional dan fungsional. Bias politik yang paling pincang dari pusat seperti
tercermin dari bunyi kedua UU ini, justru adalah di tingkat desa ini, yang
sekaligus memperlihatkan betapa sedikitnya pusat-dengan sebutan “pemerintahan”
dalam UU no. 22 dan 25 th 1999 itu-memberikan perhatian terhadap segala sesuatu
yang berkaitan dengan rakyat, dengan kepentingan dan kemaslahatan rakyat, di
desa. Padahal rakyat inilah yang setiap
kali dikatakan secara retorik sebagai pemegang kedaulatan negara. Rakyat,
seperti selama ini hanyalah jadi obyek, bukan subyek, dan ditempatkan kembali
dalam kedudukannya sebagai kawula, bukan warga negara yang merdeka dan
berdaulat.
Walau konsep otonomi seperti yang dituangkan ke dalam UU no 22 dan
25/1999 ini, sejauh ini adalah yang termaju ketimbang undang-undang otonomi
yang telah ada sebelumnya, dari segi tinjauan sosial-budaya, seperti diuraikan
di atas, memiliki kelemahan-kelemahan yang cukup mendasar. Kelemahan-kelemahan
itu tidaklah terutama terletak pada segi instrumentasi maupun
institusionalisasinya, tetapi pada yang paling mendasar dari basis
sosial-budaya dari prinsip otonomi itu sendiri.
Pertema, seperti diuraikan, otonomi seperti yang tertuang melalui UU
no. 22 dan 25/1999 itu tidaklah diartikan sebagai bahagian yang integral dan
tidak terpisahkan dari pengejawantahan demokrasi, dengan prinsip “tiada demokrasi tanpa otonomi, sebagaimana tiada
otonomi tanpa demokrasi”. Tetapi lebih pada aspek struktural-instrumentalnya.
Kedua, karena demokrasi adalah jiwa dan otonomi adalah
pengejawantahannya, otonomi itu seharusnya ada di semua tingkat pemerintahan
dan bahkan pada semua aspek kegiatan, dari atas sampai ke bawah. Karenanya,
otonomi itu harus ada di tingkat provinsi, kabupaten/kota dan desa, sampai
kepada level sisietal dan individual sekalipun, sejalan dengan peranan dan
fungsi masing-masing dalam mekanisme pengejawantahan demokrasi itu. Sebagai
konsekuensinya, otonomipun juga harus ada di tingkat pusat sekalipun.
Ketiga, bagaimanapun, dan betapapun lemahnya konsep otonomi yang ada
sekarang, janganlah “karena mengaharapkan burung di langit, yang di tangan
dilepaskan”. Kita harus mulai dengan apa yang ada yang telah ada di tangan
sekarang. Oleh karena itu, sejalan dengan tuntutan dari daerah-daerah sendiri,
UU no 22 dan 25 1999 ini harus segera dilaksanakan. Sambil berjalan
tertatah-tatah dan tertatih-tatih dengan pelaksanaan otonomi iltu kita
memperbaikai diri dan menyempurnakannya, sehingga melalui proses learning by
doing and experimenting ini kita akan makin dekat pada tujuan ideal
demokrasi itu, daripada mengharapkan burung di udara, atau mempersiapkan segala
sesuatu secara cermat terlebih dahulu, lengkap dengan peraturan-peraturan
pelaksanaannya, baru memulainya. Proses “trial and error” adalah juga
bagian yang esensial yang harus dilalui dari pelaksanaan demokrasi melalui
otonomi itu. Apalagi dengan mengingat kenyataan bahwa demokrasi itu sendiri
adalah sesuatu yang masih asing di tengah-tengah masyarakat dan budaya kita
yang selama ini lebih cenderung menoleh ke belakang daripada ke depan. Beberapa
generasi diperlukan sampai demokrasi itu mulai berdetik dalam jantung kehidupan
kita secara bernegara dan bermasyarakat.
Keempat, konsep “bhinneka tunggal ika” dalam kita bernegara,
dengan mengingat latar belakang geografik, kultural dan sosial yang sangat
beragam, bagaimanapun, memerlukan keseimbangan antara kebhinnekaan dan
keikannya itu, tanpa menempatkan kelompok sosial yang satu lebih tinggi ataupun
lebih rendah dari yang lainnya. Prinsip saling harga-menghargai dan merasa
saling membutuhkan adalah bahagian yang esensial dan bahkan fundamental dari
prinsip demokrasi dan otonomi itu. Konsep otonomi, oleh karena itu, diharapkan
akan bisa menjadi penyeimbang bagi keberagaman sosial-budaya Nusantara itu
dalam mempraktekan demokrasi di bumi Indonesia tercinta itu.
0 komentar:
Post a Comment