Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Wednesday, December 28, 2011

MASALAH DEMOKRASI DAN OTONOMI DAERAH, (Sisi Sosial Budaya)

Dari rentangan sejarah politik dan sosial-budaya yang sudah panjang ke belakang di Nusantara ini, bangsa Indonesia dalam khazanah kebudayaannya nyaris tidak mengenal sistem demokrasi seperti yang kita pahami sekarang. Demokrasi yang kita kenal sekarang ini barang cangkokan yang datang dari luar, khsususnya dunia maju di Eropah dan Amerika. Dia masuk beserta dengan pemikiran moderen lainnya, yang kuncinya dibukakan buat pertama kali oleh pemerintahan jajahan Belanda melalui jalur pendidikan, yakni melalui Etishe Politiek di permulaan abad ke 20 yl. Dari sanalah bermula munculnya kesadaran nasional yang kredonya dicetuskan dalam Sumpah Pemuda th 1928  oleh para pemuda yang kebanyakan masih berada di bangku sekolah waktu itu.
Rentetan peristiwa dari 1928 ke 1945 dan peristiwa-peristiwa yang berlalu selama masa kemerdekaan ini adalah juga rentetan pergumulan dengan demokrasi itu sendiri. Sebagai berbangsa kita telah melalui pasang naik dan pasang surut dari upaya berdemokrasi itu.  Masa yang relatif singkat antara 1945 dan 1959 (14 tahun) di awal kemerdekaan adalah masa kita berupaya untuk menerapkan sistem demokrasi ala Barat itu secara bersungguh-sungguh, karena kita ingin membuktikan kepada dunia luar bahwa kita adalah bangsa yang merdeka yang mampu menegakan demokrasi, di samping juga dengan keyakinan bahwa itulah sistem politik yang terbaik untuk diterapkan dalam alam Indonesia merdeka. Sekarang upaya itu kelihatannya hanya tinggal kenang-kenangan sejarah.
Masa sesudah itu, yaitu dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden th 1959 sampai dewasa ini, (40 tahun), kita mengalami pasang surut dari upaya berdemokrasi itu, Yang terjadi sesungguhnya adalah proses involusi, yakni dimana kita berbalik surut ke belakang ke masa-masa lalu yang panjuang dari sejarah politik dan sosial-budaya di tanah air ini, karena kita merasa gagal bereksperimen dengan demokrasi ala Barat tidak cocok untuk kita dan bukan bahagian dari budaya kita. Kembali kepada nilai-nilai kebudayaan lama yang diwariskan oleh para leluhur lalu menjadi adagium baru. Yang kita ambil dari demokrasi itu terutama adalah-dan hanyalah-kerangka struktural dan kulit-kulit luarnya, sementara isi dan subtansinya adalah sistem politik primordial yang hakekatnya bertentangan dan bahkan bertolak belakang dengan sistem dan prinsip demokrasi ala Barat itu sendiri. Sementra terminologi “demokrasi” dengan segala macam  jargon yang menyertainya adalah seluruhnya moderen, yang kita lakukan sesungguhnya adalah upaya pelestarian budaya politik primordial dengan kemasan baru. Ibaratnya, kita mengisikan anggur tua itu ke dalam botol yang baru (“the old wine in the new bottle”).
Dari sana sini kita melakukan pencampur-adukan secara sinkretik dari sistem politik primordial  dari kebudayaan leluhur kita dengan sistem dan prinsip demokrasi yang datang dari Barat itu, sehingga jadilah hasilnya seperti yang kita lihat dari label-label yang kita berikan kepada demokrasi Indonesia itu. Di  zaman Sukarno namanya “ demokrasi terpimpin,” sementara zaman Suharto namanya “demokrasi Pancasila,”
Kedua-duanya demokrasi itu isinya praktis sama, yaitu neo-feodalisme berorientasi etatik, sentralistik, otokratik dan totaliter, di samping nepotik dan despotik, dengan menempatkan rakyat  kembali sebagai kawula, bukan sebagai rakyat yang merdeka. Kedaulatan tidaklah terletak di tangan rakyat, tetapi di penguasa Negara yang memerintah secara otoriter dan diktatorial.
Di zaman Suharto, untuk tujuan stabilitas politik, sebagai prasyarat bagi pembangunan, militer dipergunakan sebagai ujung tombak kekuasaan, sementara untuk pembangunan ekonomi secara sadar dan sistematik memanfaatkan keahlian dan kelihaian kelompok keturunan Cina untuk menggerakan ekonomi nasional, dengan tirai pelindung SARA untuk mengamankan kegiatan mereka. “Seratus tahun pun diberi kesempatan kepada rakyat untuk mengembangkan ekonomi bangsa yang morat-marit  di awal pemerintahan Orde Baru seperti yang diwariskan Sukarno takkan terkerjarkan,” dalih tim penasihat ekonomi dari grup “Barkeley Mafia” yang membantu merumus dan mendisaikan corak ekonomi Orde Baru. Untuk itu kita perlu memanfaatkan keahlian dan kelihaian dari “Sedulur Turwo” (pedagang Cina) untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia dari tepi jurang kehancurannya. Melalui limbo ersatz kapitalismus yang mereka kuasai dan kembangkan selama ini, mirakelpun terjadi. Dalam waktu 5 repelita pendapatan per kapita naik dari 60 dollar menjadi sampai 1500 dollar, yang berarti 25 kali lipat dalam jangka waktu 30 tahun. Tetapi harga yang harus dibayar adalah bahwa jadinya ekonomi dan bisnis perdagangan Indonesia benar-benar terpegang hampir seluruhnya di tangan para cukong dan pedagang Cina itu, sama atau bahkan berlebih  dari gambaran penguasaan mereka di rantau Nan Yang lainnya di Asia Tenggara ini. Praktek kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) sementara itupun marak dan membudaya tak terkendalikan.
Kerjasama antar penguasa dan pengusaha non-pribumi inilah yang mengangkatkan ekonomi Indonesia selama masa Orde Baru. Jurang-jurang kesenjangan dan kepincangan ekonomi dan sosial-budaya makin menganga antara kelompok elit penguasa dan pengusaha dengan rakyat terbanyak.  Dan puncak dari semua inilah yang akhirnya mengantarkan kita ke era Reformasi dengan tumbangya kekuasaan Suharto dan berganti dengan aspiran: Habibie.
Di ujung perjalananan panjang selama 40 tahun (1959-1999) itulah kita menyadari kekeliruan kita, dengan menanggungkan segala resiko dan konsekuensi yang diakibatkannnya, dan kita menyatakan diri ingin kembali kepada demokrasi yang sesungguhnya. Pendulumnya sekarang bergerak dari yang tadinya bersifat neofeodal dari kebudayaan leluhur kita, ke demokrasi yang lebih universal dan egaliter, dengan kembali menekankan kepada the rule of law  dan kesamaan di muka hukum serta menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Di tengah-tengah perkisaran angin inilah munculnya keinginan untuk memberikan otonomi kepada daerah-daerah yang selam ini telah dijadikan sapi perahan oleh pusat.
Dengan itu keluarlah Undang-Undang No. 22/1999 dan 25/1999 yang dibidani oleh pemerintahan interim Habibie. Mei 2000 ini genaplah kedua undang-undang itu berusia setahun. Namun kedua undang-undang itu sampai saat ini belum bisa diterapkan karena belum satupun dari sebanyak 54 Peraturan Pelaksanaan yang dituntut oleh kedua undang-undang itu sendiri telah dikeluarkan. Padahal Mei 2001 kedua undang-undang tersebut diharapkan telah harus berjalan,
Sejarah otonomi untuk daerah-daerah ini sendiri sebenarnya telah berjalan panjang, karena disadari demokrasi tidak akan jalan tanpa otonomi. Upaya untuk memberikan otonomi kepada daerah-daerah ini dari segi perundang-undangannya sudah berumur dengan usia Republik ini sendiri. Undang-undang yang pertama sekali dikeluarkan setelah proklamasi kemerdekaan adalah UU No. 22 th 1948, UU No. 22 dan 25 th 1999 sekarang ini. Dengan demikian UU no. 22 dan 25/ 1999 yang menjadi fokus perhatian dan keperdulian kita sekarang ini adalah UU otonomi yang ke 7 dan ke 8 nya selama lebih setengah abad kita merdeka.
Namun kenyataannya adalah seperti yang kita lihat sendiri selama ini. Bukannya otonomi dan kemerdekaan  mengurus diri sendiri yang didapatkan oleh daerah-daerah, te tapi malah sebalikmya. Daerah  dikekang dan dikendalikan  dari pusat sehingga daerah kehilangan kemandirian dan kemerdekaannya. Bahkan, seperti dikatakan, daerah menjadi sapi perahan untuk kepentingan pusat dan pihak berkuasa di pusat.
Di balik dari rentetan undang-undang ini, di sisi lain, jelas terlihat bahwa selama era kemerdekaan ini telah terjadi tarik tambang kepentingan dan”power struggle” antara pusat dan daerah, yang sering berujung dengan tragedi berdarah, baik berupa pembakangan, maupun pemberontakan daerah, dsb, walau selalu berakhir dengan kekalahan di pihak daerah. Otonomi itu sendiri dari segi diplomasi politik dari pusat terhadap daerah bisa diartikan sebagai janji politik ataupun umpan pembujuk agar daerah tetap setia kepada pusat. Bahwa hal itu bersifat janji dan umbukan politik terlihat dari kenyataan bahwa otonomi yang berkali-kali dijanjikan dalam kenyataan tidak bersua. Bahkan  sebaliknya.
Selama masa Orde Lama dan Orde Baru yang sitem kekuasaanya makin terpusat di bawah kendali Presiden yang kekuasaannya nyaris tidak terbatas, daerah benar-benar berada dalam lemah tak beradaya. Keculi sumber Pendapatan Daerah yang tinggal di daerah, yang rata-rata jumlahnya tidak lebih dari 10% jumlah Pendapatan Bruto Daerah, semua kekayaan daerah diangkut ke pusat dan di kendalikan langsung oleh Pusat melalui berbagai perangkat yang di ciptakan oleh pusat. Pada contoh-contoh yang ekstrim terlihat,di hampir semua daerah dengan katagori SDA daerah yang tinggi, SDMnya justru yang relatif lebih terbelakang. Kasus Aceh, Riau, Jambi, Kalteng, dan Irian Jaya, adalah contoh nyata dari ketimpangan dan sekaligus  perlakuan ketidak-adilan dari pusat terhadap daerah yang sungguh menyolok. Di Pusat, sebaliknya, menumpuklah semua kekayaan yang berasal dari kekayaan daerah itu. Delapan puluh sampai 90% dari uang yang beredar, beredar di pusat. Industri-industri dan pasar uang dan jasa berkembang pesat dari pusat dan di Jawa umumnya. Di daerah orang hanya bisa gigit jari, dan menggerutu, tapi tak terkeluarkan, karena mesin keamanan dan pengamanan berjalan efektif. Palu gondam kekuasaan di daerah-daerah jauh lebih kuat dan lebih kejam dalam menghadapi kritik, sanggahan, apalagi pembangkangan dari rakyat daerah. Pemerintahan di daerah bahkan dilakukan dengan cara dan cara militer. Dan militer mendominasi kedudukan-kedudukan stategis di daerah, seperti juga di pusat.
Dari segi tinjauan sosial-budaya di atas terlihat bahwa yang berhadapan sesunguhnya bukanlah antara pusat dan daerah itu an sich,tetapi antara dua sistem dari dua sumber budaya politik yang berbeda, yang menyebabkan terjadinya polarisasi dan antagonisme antara pusat dan daerah. Di satu sisi kita ingin berdemokrasi, karena tuntutan zaman, tetapi di sisi lain kita   secara berbangsa tidak memiliki khazanah budaya itu – kecuali di satu-dua daerah tertentu yang memiliki budaya demokrasi dalam pengertian asli (oer-democratie) yang tidak begitu saja bisa ditrasfer ke dalam lingkungan format sekarang secara nasional, selain jiwa dan semangatnya.
Masalah yang kita hadapi sekarang dengan pelaksanaan otonomi di daerah tak ter lepas dari unsur dialektika budaya itu di ma na dua sistem politik yang saling bertentangan berupaya mencari kompromo melalui pendekatan sinkretik seperti terlihat, setting budaya dari UU no.22 dan 25/1999, sejauh ini, masih dengan semangat menempatkan otonomi sebagai hadiah atau pemberian dari pusat, dan adalah hak pusat untuk mengatur kerangka acuan pokoknya, sementara pelaksanaan teknisnya diserahkan kepada daerah-daerah.
Walau secara struktural dalam UU no22 dan 25/1999 itu dikatakan hubungan antara pusat dan daerah tidak lagi bersifat herarkis atas bawah, tetapi horizontal dengan sistem organisasi yang flatly structured, namun dalam sistem pelimpahan pewenangan dan pembagian pewenangan itu sendiri masih berbau sentripental dan ditentukan secara sepihak oleh pusat, dengan visi dan persepsi pusat. Oleh karena itu, seperti terlihat dari substansi UU itu sendiri, seluruh daerah, betapapun beragamnya latar belakang alam, budaya, dan manusianya, diperlakukan sama dan seragam, dengan sistem dan struktur yang sama Peraturan Pelaksanaannya – yang sekarang draffnya tengah diedarkan ke daerah-daerah untuk dimintakan tanggapan dan masukan – juga berlakusama untuk semua daerah-daerah. Mestinya, berangkat dari prinsip otonomi itu sendiri, yang berarti menghargai dan menjunjung tinggi akan perbedaan dan keberbagian dari daerah-daerah, daerahlah yang paling mengetahui keadaan daerah mereka sendiri, dan karenanya daeralah yang harus mengatur dan menyusun aturan pelaksanaannya yang di sesuaikan dengan sikon daerah masing-masing. Sebaliknya, daerah daerah yang memerlikan bimbingan dan perhatian maupun bantuan lebih besar, karena keterbelakangannya dan kekurangan SDA maupun SDMnya, mestinya mendapatkan jatah lebih besar. Daerah-daerah yang sudah bisa menggelinding sendiri, seperti kota-kota besar, dan daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam yang lebih besar, juga memberikan kontribusinya yang lebih besar, bagi kepentingan pemerataan kesejahteraan rakyat dan masyarakat secara nasional. Keragaman dan proporsionalitas yang adil dan bijaksana harus juga lebih menonjol daripada keseragaman yang diartikan secara kaku, dan dikendalikan secara sepihak dari atas.
Dititik-beratkannya hak otonomi dan desentralisasi kepada daerah tingkat dua kabupaten dan kota, dan tidak pada daerah tingkat satu Propinsi, juga memperlihatkan bias politik dari pusat, yang di balik-belakangnya adalah rasa”ketakutan” dari pengendali kekuasaan  di pusat akan membaliknya propinsi menjadi kekuatan lawan manakala otonomi dititik beratkan kepada propinsi. Untuk itulah propinsi lebih berfungsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dengan memberikan hak dekonsentrasi, bukan otonomi. Otonomi yang diberikan kepada propinsi hanyalah sebatas hal-hal yang belumatau tidak mampu ditangani oleh kabupaten dan kota, yang sifatnya bisa temporer. Pada hal, peta politik dan sosial budaya di daerah-daerah selama ini memperlihatkan bahwa kesatuan daerah pertama-tama tercermin dari kesatuan wilayah provinsi. Wilayah Provinsi hampir  tanpa kecuali sekaligus memperlihatkan dirinya sebagai unit kesatuan sosial dan budaya, di samping kesatuan ekonomi dan pemerintahan dari daerah yang bersangkutan.
Di sisi lain, wilayah kabupaten dan kota, di daerah, selama ini, lebih memperlihatkan hubungan simbiotik yang saling melengkapi dan saling ketergantungan, bukan-dan tidak pernah-berdiri sendiri-sendiri. Pusat jala dari kegiatan apapun di kabupaten, selama ini, bukanlah di kota kabupaten, tetapi di kotamadnya. Kabupaten dan kota di hampir semua daerah di Indonesia disamping tidak memperlihatkan kemandirian dan kepribadiannya tetapi juga bukan merupakan unit kesatuan sosial dan budaya, dan bukan pula unit kesatuan ekonomi  dan alam lingkungan. Kabupaten, terutama selama ini lebih bersifat adminstratif daripada unit kesatuan sosial-budaya maupun ekonomi dan alam lingkungan itu.
Lebih jauh lagi, walau Desa-atau Nagari, Marga, Kampung, atau apapun namanya di daerah-daerah yang boleh dihidupkan kembali-diberi peluang untuk mengatur dirinya sendiri, dibawah koordinasi kabupaten, UU no. 22 dan 25/1999 terlalu sedikit memberikan perhatian terhadap otonomi desa ini;padahal, di desalah rata-rata rakyat dan penduduk ditemukan, dan bukan di kabupaten dan kota, dalam artian sosial –budaya. Desalah sesungguhnya yang merupakan unit kesatuan masyarakat yang benar-benar hidup, di mana adat, agama, bahasa, hubungan kerabat, dan hubungan sosial-budaya lainnya yang benar-benar operasional dan fungsional. Bias politik yang paling pincang dari pusat seperti tercermin dari bunyi kedua UU ini, justru adalah di tingkat desa ini, yang sekaligus memperlihatkan betapa sedikitnya pusat-dengan sebutan “pemerintahan” dalam UU no. 22 dan 25 th 1999 itu-memberikan perhatian terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan rakyat, dengan kepentingan dan kemaslahatan rakyat, di desa.  Padahal rakyat inilah yang setiap kali dikatakan secara retorik sebagai pemegang kedaulatan negara. Rakyat, seperti selama ini hanyalah jadi obyek, bukan subyek, dan ditempatkan kembali dalam kedudukannya sebagai kawula, bukan warga negara yang merdeka dan berdaulat.       
Walau konsep otonomi seperti yang dituangkan ke dalam UU no 22 dan 25/1999 ini, sejauh ini adalah yang termaju ketimbang undang-undang otonomi yang telah ada sebelumnya, dari segi tinjauan sosial-budaya, seperti diuraikan di atas, memiliki kelemahan-kelemahan yang cukup mendasar. Kelemahan-kelemahan itu tidaklah terutama terletak pada segi instrumentasi maupun institusionalisasinya, tetapi pada yang paling mendasar dari basis sosial-budaya dari prinsip otonomi itu sendiri.
Pertema, seperti diuraikan, otonomi seperti yang tertuang melalui UU no. 22 dan 25/1999 itu tidaklah diartikan sebagai bahagian yang integral dan tidak terpisahkan dari pengejawantahan demokrasi, dengan prinsip “tiada  demokrasi tanpa otonomi, sebagaimana tiada otonomi tanpa demokrasi”. Tetapi lebih pada aspek struktural-instrumentalnya.
Kedua, karena demokrasi adalah jiwa dan otonomi adalah pengejawantahannya, otonomi itu seharusnya ada di semua tingkat pemerintahan dan bahkan pada semua aspek kegiatan, dari atas sampai ke bawah. Karenanya, otonomi itu harus ada di tingkat provinsi, kabupaten/kota dan desa, sampai kepada level sisietal dan individual sekalipun, sejalan dengan peranan dan fungsi masing-masing dalam mekanisme pengejawantahan demokrasi itu. Sebagai konsekuensinya, otonomipun juga harus ada di tingkat pusat sekalipun.
Ketiga, bagaimanapun, dan betapapun lemahnya konsep otonomi yang ada sekarang, janganlah “karena mengaharapkan burung di langit, yang di tangan dilepaskan”. Kita harus mulai dengan apa yang ada yang telah ada di tangan sekarang. Oleh karena itu, sejalan dengan tuntutan dari daerah-daerah sendiri, UU no 22 dan 25 1999 ini harus segera dilaksanakan. Sambil berjalan tertatah-tatah dan tertatih-tatih dengan pelaksanaan otonomi iltu kita memperbaikai diri dan menyempurnakannya, sehingga melalui proses learning by doing and experimenting ini kita akan makin dekat pada tujuan ideal demokrasi itu, daripada mengharapkan burung di udara, atau mempersiapkan segala sesuatu secara cermat terlebih dahulu, lengkap dengan peraturan-peraturan pelaksanaannya, baru memulainya. Proses “trial and error” adalah juga bagian yang esensial yang harus dilalui dari pelaksanaan demokrasi melalui otonomi itu. Apalagi dengan mengingat kenyataan bahwa demokrasi itu sendiri adalah sesuatu yang masih asing di tengah-tengah masyarakat dan budaya kita yang selama ini lebih cenderung menoleh ke belakang daripada ke depan. Beberapa generasi diperlukan sampai demokrasi itu mulai berdetik dalam jantung kehidupan kita secara bernegara dan bermasyarakat.
Keempat, konsep “bhinneka tunggal ika” dalam kita bernegara, dengan mengingat latar belakang geografik, kultural dan sosial yang sangat beragam, bagaimanapun, memerlukan keseimbangan antara kebhinnekaan dan keikannya itu, tanpa menempatkan kelompok sosial yang satu lebih tinggi ataupun lebih rendah dari yang lainnya. Prinsip saling harga-menghargai dan merasa saling membutuhkan adalah bahagian yang esensial dan bahkan fundamental dari prinsip demokrasi dan otonomi itu. Konsep otonomi, oleh karena itu, diharapkan akan bisa menjadi penyeimbang bagi keberagaman sosial-budaya Nusantara itu dalam mempraktekan demokrasi di bumi Indonesia tercinta itu.
 

MASALAH DEMOKRASI DAN OTONOMI DAERAH, (Sisi Sosial Budaya) Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment