Bicara mengenai budaya politik (Political cultura)
dapat didefinisikan sebagai suatu perangkat norma yang menentukan sikap,
kepercayaan, dan nilai tentang politik yang berlaku dalam suatu masyarakat.
Budaya politik memberi arti, memprediksi dan membentuk
proses politik. Tanpa budaya politik individu dalam masyarakat tidak mengetahui
bagaimana menempatkan diri dalam sistem (politik), karena budaya politik dapat
membantu kita untuk mengerti persoalan yang ada dalam masyarakat, prospek
pemecahan masalah tersebut dihubungkan dengan konflik, integrasi dan stabilitas
politik.
Dengan demikian
fungsi budaya politik yang utama adalah : Menyediakan instrumen dan
indikator bagi warga negara tentang bagaimana seharusnya proses politik (dan
administrasi negara) yang demokratis berlangsung. Membentuk disposisi dan
presepsi tentang apa yang boleh ataupun tidak boleh dilakukan oleh tiap
komponen politik dalam masyarakat, baik pada jajaran struktur politik maupun
individu warga negara.
Menurut Margaret Conway dan Frank Fiegert, (Imawan:
2001), bahwa proses pembentukan budaya politik adalah sebagai berikut : Supervisual,
disini individu menghapal nilai-nilai dasar dan kewajiban yang harus diyakini, seperti nilai-nilai
kemasyarakatan yang paling mendasar misalnya seperti pancasila. Understand the basic tenants,
nilai-nilai dasar tersebut sudah dihafal dan mulai dipakai Belief the
Concepts, mempercayai arti penting dari pada suatu konsep yang dikenalkan,
sebab konsep itu dapat menjawab atau menerangkan fenomena keseharian yang
dihadapi oleh masyarakat. Motivation, nilai-nilai yang terkandung dalam
konsep yang dikenalkan sudah “menyatu” dengan pola fikir individu dan menjadi
faktor penggerak orang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Menurut Ronald Chilcote,(Imawan: 2001), ada dua
keunggulan dari budaya politik yaitu :Dapat dioperasikan pada tingkatan mikro
maupun makro. Mikro menyangkut aspek-aspek penting apa saja agar orang dapat
berorientasi ke elemen-elemen tertentu dalam sistem politiknya. Makro
menyangkut orientasi kelompok ke elemen-elemen dasar dari sistem politik.
Ketika dioperasikan atau ditempelkan keparadigma lain,
sehingga menjelaskan kinerja paradigma yang digunakan, misalnya, mengapa
rekrutman Walikota disuatu kota “dipaksakan” harus putra daerah sementara di
kota lain tidak demikian. Salah satu
pertanyaan besar dalam budaya politik adalah, apakah norma-norma yang ada dalam
masyarakat itu bersifat statik atau dinamik ?
Ada dua pendapat dalam hal ini: Statik,
pendapat ini dipelopori oleh Ronald C. Hilcote yang menyatakan bahwa budaya
politik itu bersifat statis, kompensional, karenanya tidak progresif. Budaya
politik lebih menitikberatkan pada pemeliharaan status quo, sebab lewat
sosialisasi yang diterima, dimana masyarakat “wajib menyakini” nilai yang ada
pada tahap supervisual, dan hal ini sangat sulit diharapkan terjadinya
perubahan. Proses sosialisasi cenderung menyebabkan seseorang memandanng satu nilai sebagai yang terbaik, sementara
perangkat nilai lain sebagai alternatif terburuk. Melalui kenyakinan seperti ini
para elit memanipulasi dan melindungi kepentingan mereka.
Dinamik, pendapat ini
dipelopori oleh Phillipe Schmitter, yang memandang norma-norma yang ada dalam
satu perangkat nilai kemasyarakatan tidak steril, Immune, dari dinamika
yang berlangsung dalam masyarakat norma yang ada berfungsi sebagai landasan
penjelas terhadap fenomena yang dihadapi. Bila landasan tidak mampu
menjelaskan, maka norma itu harus disesuaikan, dirumuskan kembali, sehingga
mampu menjelaskan fenomena yang dihadapi.
Bukankah dalam prinsip penjelasan ilmiah berlaku dalil, bila teori yang
kita gunakan tidak mampu menjelaskan fenomena yang dihadapi.
Political Enculturalish merupakan upaya untuk
menyesuaikan makna serta norma sesuai perkembangan yang terjadi; tanpa secara
esensial mengubah makna dasar dari norma tersebut. Oleh karena itu Political Enculturalish mengenal tiga tahapan
yaitu: Sosialization, yaitu proses pengenalan nilai dalam masyarakat secara
turun menurun. Indoctrination, yaitu proses memaksakan anggota masyarakat agar
yakin akan kebenaran nilai-nilai yang selama ini disosialisasikan.
Exprerience and Expectation, yaitu tindakan masyarakat
untuk mencocokkan makna dan kegunaan dari
nilai-nilai yang disosialisasikan
dengan kenyataan hidup sehari-hari. Ketimpangan antara harapan dan pengalaman
inilah yang mendorong terjadinya reinterprestasi terhapadap norma yang ada.
Budaya politik di Indonesia sebetulnya sangat sulit
untuk dibicarakan, karena ciri heterogenitas bangsa Indonesia, dan norma yang
ada sangat bervariasi, bahkan bila dihubungkan dengan kondisi geografis, serta
keadaan riil sulitnya transportasi yang menghubungkan antar pulau di Indonesia,
maka dapat dipastikan bahwa terdapat ribuan perangkat norma yang berlaku bagi
seluruh masyarakat Indonesia.
Norma-norma harus dipahami secara horizontal maksudnya tidak ada satupun norma yang lebih
tinggi atau lebih rendah dibandingkan dengan norma yang lain. Dan apabila
pemilahan dilakukan secara vertikal maka
dalam satu bangsa akan ditemui budaya politik elit dengan budaya politik
massa, perbedaan antara keduanya adalah budaya elit bercorak elitis, sedangkan
budaya massa bercorak egalitarian. Selanjutnya budaya elit sifatnya memusat,
sedangkan budaya massa dibangun atas kesadaran bersama atas pengalaman dan
cita-cita bersama.
Jumlah penguasa selalu lebih sedikit dibanding dengan
yang dikuasai sehingga, sejak berabad-abad sudah menjadi dalil pemikiran
politik bahwa kekuasaan dalam masyarakat di distribusikan dengan tidak merata
(Mas’oed dan Colin Mac Andrews, 2001: 77)
Dalam kontek Indonesia budaya massa identik dengan
budaya lokal yang hidup dan dipegang teguh oleh masyarakat setempat untuk
menterjemahkan fenomena yang dihadapi, sedangkan elit merujuk pada budaya jawa,
khususnya konsepsi jawa pada kekuasaan. Hal ini disebabkan karena secara riil konsep ini merupakan
landasan untuk menentukan elit nasional, sebagai akibat dari:
1.
Sejak zaman penjajahan
aktifitas pemerintahan terpusat dijawa.
2.
Mayoritas elit nasional pernah
mengenyam pendidikan dijawa, sehingga jawa menjadi semacam melting pot, dimana
seluruh unsur budaya lokal dipertemukan.
3.
Konsep-konsep dasar
kenegaraan sedikit banyak dipengaruhi
oleh konsep jawa tentang kekuasaaan,
seperti lebih menonjolnya peran eksekutif daripada legislatif dalam UUD 1945
(Imawan, 2001 : 5)
Hasil penting dari konsep ini adalah kekuasaan itu
bersifat centripental, yaitu memusat
pada satu titik, inilah yang menjadi titik sasaran pada pendukung ajaran
demokrasi politik. Sebab dalam kekuasaan yang demokratis kekuasaan itu harus
dibagi. Didistribusikan kepada institusi politik maupun kelompok politik yang
ada agar tercipta chek and balance, dengan kata lain demokrasi mengenal konsep
kekuasaan yang bersifat sentrifugal.
Kritik utama dari penyelenggaraan pemerintahan
(termasuk pemerintah daerah) di Indonesia adalah karena kita membangun struktur
modern yang seharusnya bersifat centrifugal, tetapi dioperasikan diatas prinsip
sentripetal.
Akibat dari dominasi konsepsi jawa tentang kekuasaan
ini pada tataran elit, maka mekanisme politik pemerintahan di Indonesia
ditandai oleh hal-hal sebagai berikut:
a.
Esensi politik adalah pemusatan
kekuasaan, bukan pembagian kekuasaan (Concentration of power, not distribution
of power).
b.
Politik merupakan urusan elit,
dan massa hanya mengikuti apapun yang diputuskan oleh para elit.
c.
Budaya politik nasional tidak
identik dengan budaya politik lokal,
tetapi selalu terjadi pemaksaan budaya nasional terhadap kasus-kasus lokal.
Dengan demikian, masalah besar dalam sistem politik
maupun sistem pemerintahan di Indonesia, ditinjau dari sudut budaya politik adalah: Ide kekuasaan yang
digunakan dan dikembangkan tidak sesuai, tidak kondusif dengan cita-cita
membangun maupun jaringan birokrasi
pemerintahan. Dominasi budaya politik nasional menihilkan kebijaksanan
politik lokal.
Muncul jenjang ketakutan yang
membuat mekanisme kerja sistem politik dan pemerintahan Indonesia sering tidak
tepat waktu dan tepat guna. Budaya politik suatu negara sangat dipengaruhi oleh
perilaku para pelaku politik/ aktor yang terlibat dalam bidang politik baik
secara individu maupun kelompok, para pelaku politik tersebut dapat dibagi
menjadi lima kategori yaitu: Pejabat terpilih, pejabat diangkat, kelompok
berkepentingan, organisasi peneliti dan media massa. Dua hal pertama terdapat
dalam pemerintahan dan tiga hal berikutnya terdapat dalam masyarakat.
BUDAYA POLITIK (Political Culture)
Rating: 4.5
Diposkan Oleh:
Realitas Sosial
Gokil :D
ReplyDeleteGila gokil abis :D
ReplyDelete