Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Monday, December 19, 2011

BENIH-BENIH DEMOKRASI, (Antara Cita Dan Realitas)

Mereka yang selama ini menganggap Rakyat hanya objek dari aturan, yang selalu harus diatur, yang selalu melanggar aturan. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan semangat bahwa rakyat pun bisa mengatur diri dan aturan! Masyarakat selama ini hanya bisa menyaksikan kebijakan demi kebijakan dibuat oleh pemerintah. Akhir 1987, sejumlah mahasiswa dan akademisi muda yang bergabung dalam Volunteers’ Development Corp (VDC), berkeinginan untuk sekedar mengaktualisasikan diri di tengah kondisi masyarakat yang serba kekurangan alias “wong cilik”. Kondisi pengusaan dan kepemilikan faktor produksi yang minim, budaya bisu, statis, hidup asal jalan, sekedar bertahan dan pendidikan rendah merupakan kondisi riil yang mereka hadapi. Terpaan kebijakan pemerintah yang otokratis, KKN, dan penetrasi kapitalisme ke pedesaan menguasai seluruh sarana-sarana hidup dan kehidupan ikut memperburuk kondisi sosial dan ekonominya, karena tuntutan dan tantangan hidup kebutuhan yang semakin tinggi, serta ketidaksiapan menghadapi berbagai perubahan.
 Menghadapi tantangan dan tuntutan, semakin diperlukan upaya-upaya; Pertama, menumbuhkan kesadaran sosial masyarakat untuk membangun solidaritas kelompok yang dinamis, dan menggunakan kekuatan secara mandiri dan subsidiaritas merupakan prasyarat utama kemajuan desa. Kedua, kesadaran politik menyangkut: kesadaran memiliki kepentingan yang jelas, berani bicara; memahami, memaknai, dan menjalankan pengambilan keputusan bersama, komunikasi egaliter di tingkat kelompok, serta pentingnya mengelola konflik ditingkat kelompok merupakan kondisi pembelajaran demokrasi bagi masyarakat. Ketiga, kesadaran akan hak berekonomi meliputi: penguasaan aset dan faktor/sumber daya produksi seperti: tanah, modal, teknologi tepat guna dan alam. Ikut mengontrol dan berhak atas penguasaan proses produksi, dan pembagian hasil dalam kemajuan ekonomi desa. Keempat, kesadaran akan akses informasi, pengembangan dan aktualisasi diri.
 Berpijak pada pengorganisasian dan pengembangan ekonomi, seperti: menguasai produksi, kreativitas berproduksi (diversifikasi), mengakses pasar, mengkritisi kebijakan ekonomi daerah berikut implikasinya, dan menyikapi kritis situasi yang melingkupinya merupakan awal bagi awal pemberdayaan masyarakat. Pijakan ekonomi ini, kami pilih karena pertimbangan-pertimbangan :
Pertama, menyadari akan budaya masyarakat yang suka realitis menghadapi hidup. Dengan masalah hidup keseharian mereka, pemberdayaan lebih kontekstual dan mengena bagi mereka, disamping perubahan apapun tak mungkin dilakukan tanpa memahami kondisi sosial dan budaya mereka. Kedua, menyadari sikap apolitis dan apatis dalam menyoal hal-hal yang jauh dari jangkauan mereka. Sikap-sikap masyarakat demikian merupakan gejala umum yang dijumpai di daerah-daerah dampingan kami yang mencapai 11 kelompok yang tersebar di seluruh daerah Gunungkidul, yang sebagian besar daerah pertanian lahan kering dan daerah peternakan. Ketiga, tanpa bangunan ekonomi yang relatif mandiri akan mendorong masyarakat tetap berada pada pola-pola resistensinya, tanpa menghiraukan perubahan dan perkembangan sosial, politik, dan budaya yang terjadi.
Berangkat dari need ofassesment, dengan alat-alat penilaian dan mediasi yang alakadarnya kami mencoba bersama-sama masyarakat melalui forum-forum pertemuan Selasa Kliwon-an (selapanan), kami melakukan diskusi-diskusi yang seringkali, kamipun bingung mau dibawa kemana arah diskusinya, tetapi masyarakat telah memiliki arah untuk memajukan usaha-usaha off farm yang dimilikinya. Maka kami mengikuti pola dan arah masyarakat tersebut, seraya memberikan pertimbangan-pertimbangan yang diperlukan. Wujud yang dinyatakan oleh masyarakat adalah menganggap bahwa usaha peternakan kambing memiliki prospek yang baik. Anggota kelompok terdiri dari 65 orang, artinya tidak semua anggota masyarakat mampu terwadai. Pada tahun 1989 dari anggaran sejumlah     Rp. 5 juta yang diajukan, hanya terealisir Rp. 1,5 juta dalam bentuk hibah (grant), ditambah 3 kwintal bantuan kacang ijo senilai Rp. 240.000,- dari Ibu-Ibu Dharma Wanita UGM. Ini dimanfaatkan untuk usaha bubur kacang ijo yang dijual keliling desa-desa menggunakan sepeda onthel. Total modal awal mencapai Rp: 1.740.000,-. Pada tahun itu pula bantuan uang tersebut diwujudkan dalam pembelian kambing dengan harga Rp. 22.000,- per-ekor, sehingga mendapat 65 ekor kambing. Sehingga setiap anggota mendapat satu ekor kambing dengan cara menggaduh pada kelompok dengan sistem maro. Setahun berjalan (tahun 1991) usaha kambing mengalami perkembangan mencapai 75 ekor. Namun pada tahun yang sama kegagalan harus mereka tanggung, karena terkena penyakit sejenis scabies. Berbagai upaya sudah dilakukan, dari mencari penyuluh dan mantri hewan Kabupaten setempat maupun pengobatan ala tradisional, namun tidak menunjukan gejala membaik. Akibatnya terpaksa sejumlah kambing yang masih hidup dijual hanya   Rp. 450.000,-, karena sebagian besar mati karena penyakit ini. Kegagalan ini membuat masyarakat sempat patah semangat, namun mereka tetap memberi jalan keluar, dana yang tersisa dipakai untuk simpan pinjam dengan bunga 2% per selapanan.
 Sampai tahun 1994, kegiatan simpan pinjam terus menerus dilakukan, meskipun tidak memiliki pertumbuhan modal yang baik. Hal ini disebabkan modal yang tinggal sedikit, juga anggota kelompok sebagian besar sering menghendaki adanya pembagian hasil bunga untuk mengobati kegagalannya dan supaya tetap semangat. Tetapi upaya-upaya ini, tidak membuahkan hasil secara perlahan-lahan anggota keluar dari kelompok. Bahkan tahun 1995 tinggal 25 orang anggota (separoh dari anggota). Beberapa anggota seret angsurannya, tunggakan simpan pinjam makin banyak, masyarakat makin kesulitan untuk mengangsur karena berbagai usaha pertanian maupun peternakan kurang berhasil baik. Di tengah situasi yang memburuk bahkan modal hampir mencapai nol, kesadaran “rembugan kelompok” untuk suatu kemajuan membuahkan pertimbangan-pertimbangan untuk memacu diri, mengapa uang kelompok tidak pernah maju, mengapa usaha masyarakat selalu gagal….?. Tahun 1995 akhir mereka mulai memiliki ide untuk memperluas usaha pertanian dusun, karena luas yang digarap sangat kecil rata-rata hanya sekitar     1000-1500 m2 dengan rencana menyewa lahan kas desa. Mereka mencoba memetakan jumlah kas desa yang ada di sekitar dusun tersebut. Perdebatan di tingkat anggota saat itu, siapakah yang berhak memanfaatkan kas desa tersebut? Mengapa sebagian besar kas desa dikuasai oleh makelar-makelar tanah di desa, yang kemudian di sewa-kan lagi kepada para buruh tani atau petani gurem dengan harga yang sangat mahal?

BENIH-BENIH DEMOKRASI, (Antara Cita Dan Realitas) Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment