Mereka yang
selama ini menganggap Rakyat hanya objek dari aturan, yang selalu harus diatur,
yang selalu melanggar aturan. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan semangat
bahwa rakyat pun bisa mengatur diri dan aturan! Masyarakat selama ini hanya
bisa menyaksikan kebijakan demi kebijakan dibuat oleh pemerintah. Akhir
1987, sejumlah mahasiswa dan akademisi muda yang bergabung dalam Volunteers’
Development Corp (VDC), berkeinginan untuk sekedar mengaktualisasikan diri di tengah kondisi
masyarakat yang serba kekurangan alias “wong cilik”. Kondisi pengusaan
dan kepemilikan faktor produksi yang minim, budaya bisu, statis, hidup asal
jalan, sekedar bertahan dan pendidikan rendah merupakan kondisi riil yang
mereka hadapi. Terpaan kebijakan pemerintah yang otokratis, KKN, dan penetrasi
kapitalisme ke pedesaan menguasai seluruh sarana-sarana hidup dan kehidupan
ikut memperburuk kondisi sosial dan ekonominya, karena tuntutan dan tantangan
hidup kebutuhan yang semakin tinggi, serta ketidaksiapan menghadapi berbagai
perubahan.
Pertama,
menyadari akan budaya masyarakat yang suka realitis menghadapi hidup. Dengan
masalah hidup keseharian mereka, pemberdayaan lebih kontekstual dan mengena
bagi mereka, disamping perubahan apapun tak mungkin dilakukan tanpa memahami
kondisi sosial dan budaya mereka. Kedua, menyadari sikap apolitis dan
apatis dalam menyoal hal-hal yang jauh dari jangkauan mereka. Sikap-sikap
masyarakat demikian merupakan gejala umum yang dijumpai di daerah-daerah
dampingan kami yang mencapai 11 kelompok yang tersebar di seluruh daerah
Gunungkidul, yang sebagian besar daerah pertanian lahan kering dan daerah
peternakan. Ketiga, tanpa bangunan ekonomi yang relatif mandiri akan
mendorong masyarakat tetap berada pada pola-pola resistensinya, tanpa
menghiraukan perubahan dan perkembangan sosial, politik, dan budaya yang
terjadi.
Berangkat
dari need ofassesment, dengan alat-alat penilaian dan mediasi yang
alakadarnya kami mencoba bersama-sama masyarakat melalui forum-forum pertemuan
Selasa Kliwon-an (selapanan), kami melakukan diskusi-diskusi yang
seringkali, kamipun bingung mau dibawa kemana arah diskusinya, tetapi
masyarakat telah memiliki arah untuk memajukan usaha-usaha off farm yang
dimilikinya. Maka kami mengikuti pola dan arah masyarakat tersebut, seraya
memberikan pertimbangan-pertimbangan yang diperlukan. Wujud yang dinyatakan
oleh masyarakat adalah menganggap bahwa usaha peternakan kambing memiliki
prospek yang baik. Anggota kelompok terdiri dari 65 orang, artinya tidak semua
anggota masyarakat mampu terwadai. Pada tahun 1989 dari anggaran sejumlah Rp. 5 juta yang diajukan, hanya
terealisir Rp. 1,5 juta dalam bentuk hibah (grant), ditambah 3 kwintal
bantuan kacang ijo senilai Rp. 240.000,- dari Ibu-Ibu Dharma Wanita UGM. Ini
dimanfaatkan untuk usaha bubur kacang ijo yang dijual keliling desa-desa
menggunakan sepeda onthel. Total modal awal mencapai Rp: 1.740.000,-.
Pada tahun itu pula bantuan uang tersebut diwujudkan dalam pembelian kambing
dengan harga Rp. 22.000,- per-ekor, sehingga mendapat 65 ekor kambing.
Sehingga setiap anggota mendapat satu ekor kambing dengan cara menggaduh pada
kelompok dengan sistem maro. Setahun berjalan (tahun 1991) usaha kambing
mengalami perkembangan mencapai 75 ekor. Namun pada tahun yang sama
kegagalan harus mereka tanggung, karena terkena penyakit sejenis scabies. Berbagai
upaya sudah dilakukan, dari mencari penyuluh dan mantri hewan Kabupaten
setempat maupun pengobatan ala tradisional, namun tidak menunjukan gejala membaik.
Akibatnya terpaksa sejumlah kambing yang masih hidup dijual hanya Rp. 450.000,-, karena sebagian besar mati
karena penyakit ini. Kegagalan ini membuat masyarakat sempat patah semangat,
namun mereka tetap memberi jalan keluar, dana yang tersisa dipakai untuk simpan
pinjam dengan bunga 2% per selapanan.
0 komentar:
Post a Comment