Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Sunday, November 6, 2011

PERAMBAHAN HUTAN DENGAN PENGALIHAN FUNGSI HUTAN PRODUKSI MENJADI LAHAN PERKEBUNAN


Konsep Pengelolaan Hutan


Optimalisasi kebijakan alih fungsi hutan mencegah kerugian negara, dengan mengedepankan penegakan hukum. Perubahan peruntukan seharusnya melalui perizinan yang lengkap, namun akhir-akhir ini banyak hutan konsevasi justru berubah fungsi.
Indonesia Kehilangan hutan asli 72% (Walhi, 2009) Luas Hutan dan lahan  yang rusak 101.73 juta Ha, 59.62 juta Ha berada dalam kawasan hutan (Badan Planologi, Dephut, 2003) Pada periode tahun 1970 hingga 1990-an, laju kerusakan hutan diperkirakan antara 0,6 sampai 1,2 juta ha per tahun,  Pemetaan yang dilakukan oleh pemerintah dengan World Bank, mengatakan bahwa laju kerusakan hutan selama periode 1986 – 1997 sekitar 1,7 juta ha per tahun, dan mengalami peningkatan tajam sampai lebih dari 2 juta ha/tahun (FWI/GFW, 2001). Laju kersakan hutan pada periode 1997-2000 sebesar 3.8 juta Ha/tahun.
Selama periode 2000 - 2006 telah dipublikasi berbagai versi perkiraan kerusakan hutan Indonesia. Angka dari Departemen Kehutanan adalah 2,83 juta ha per tahun, dalam kurun waktu 1997-2000 (2005). Pada tahun 2007, dalam buku laporan State of the World’s Forests, FAO (Food and Agricultural Organization) menempatkan Indonesia di urutan ke-8 dari sepuluh negara dengan luas hutan alam terbesar di dunia. Dengan laju kerusakan hutan di Indonesia telah mencapai 1,87 juta ha dalam kurun waktu 2000 – 2005, mengakibatkan Indonesia menempati peringkat ke-2 dari sepuluh negara, dengan laju kerusakan tertinggi dunia. 
Pada saat ini kondisi sumberdaya hutan sebagai sumberdaya publik semakin rusak/terdegradai, sehingga sumber daya hutan yang semestinya dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat telah menjadi sumber ancaman bagi kehidupan berupa sumber konflik dan sumber bencana (kebakaran, banjir, longsor, dsb). Konflik sumber daya hutan merebak hamper seluruh kawasan hutan Indonesia, utamanya pada kawasan hutan baik menyebabkan banyak permasalahan-permasalahn menyangkut penguasaan dan pengelolaan kehutanan.
Dalam memperoleh manfaat optimal dari hutan dan kawasan hutan bagi kesejahteraan masyarakat, maka pada prinsipnya semua hutan dan kawasan hutan dapat dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan manfaat, karakteristik, dan akibatnya serta tidak dibenarkan mengubah fungsi pokoknya yaitu :         (1) fungsi konservasi; (2) fungsi lindung; dan (3) fungsi produksi.
Pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan disebutkan :

Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (2) huruf b meliputi kegiatan :
    1. Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan,
    2. Pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan
    3. Rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan
    4. Perlindungan hutan dan konservasi hutan
Pengelolaan hutan pada dasarnya menjadi kewenangan pemerintah atau Pemerintah Daerah, Mengingat berbagai keikhlasan daerah serta kondisi sosial dan lingkungan yang sangat terkait dengan kelestarian hutan dan kepentingan masyarakat luas yang membutuhkan kemampuan pengelolaan secara khusus, maka pengelolaan masalah hutan dapat dilimpahkan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) yang bergerak dalam bidang kehutanan, termasuk koperasi maupun masyarakat perorangan. Untuk mencapai tujuan pengelolaan hutan tersebut, maka dilakukan upaya kegiatan pengelolaan hutan diantaranya : tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan.

Pemanfaatan hutan haruslah berdasarkan kondisi hutan yang diklasifikasikan menurut fungsinya berdasarkan tata hutan yang meliputi pembagian kawasan hutan dalam blok-blok berdasarkan ekosistem, tipe, fungsi dan rencana pemanfaatan hutan (pasal 22 Ayat (2) UUK). Pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan dengan tetap manjaga kelestariannya, dengan demikian pada dasarnya pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional.

Hak masyarakat Adat Atas Hutan
Undang-undang kehutanan menyatakan bahwa hutan merupakan kekayaan alam yang dikuasai Negara yang akan digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Pemerintah yang mewakili Negara, berwenang menetapkan status hutan termasuk menetapkan satu wilayah sebagai hutan adat. Dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999, Hutan Adat adalah hutan negara yang bearada dalam wilayah adat yang pengelolaannya diserahkan pada masyarakat hukum adat, berarti masyarakat adat tidak diakui kepemilikannya tetapi dapat memperoleh hak mengelola dan memanfaatkan hutan sebagai hutan adat. Dan pemerintalah yang berwenang memberikan hak itu, melalui proses pengakuan Masyarakat Adat yang masih “hidup”.
Hutan adat adalah kawasan hutan yang berada di dalam wilayah adat yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari siklus kehidupan komunitas adat penghuninya, hutan adat merupakan hutan Negara yaitu hutan Negara yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat, undang-undang 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan mengakui adanya masyarakat hukum adat apabila memenuhi unsur, antara lain :
1.      Masyarakat masih dalam bentuk penguyuban (rechtsgemeenschap)
2.      Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya
3.      Ada wilayah hukum adat yang jelas
4.      Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati; dan masih mengadakan pemungutan hasil hutan diwilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. (Penjelasan Pasal 67 ayat (1) Undang-undang 41 Tahun 1999).
Istilah hukum adat tertera secara jelas dalam UUPA, misalnya dalam pasal 5 disebutkan “hukum agrarian yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa adalah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional…………..dst”. Dalam pasal 3 juga dinyatakan bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi.
Beberapa ahli, seperti Harsono, B (1997 : 21) dan Kuntoro (1995 : 33) menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan hukum adat dalam Undang-Undang pokok Agraria maupun Undang-Undnag kehutanan adalah hukum “Adat Bangsa” sebagai konsekuensi dari lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merupakan kesatuan dari kelompok-kelompok masyarakat adat yang sudah ada sebelumnya.
Meskipun demikian, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah mengharuskan adanya pengesahan masyarakat adat sebagai persyaratan utama diperolehnya hak pengelolaan hutan adat. Pandangan masyarakat mengenai hutan adat sangat beragam dan sangat terkait dengan konsep wilayah adat setempat. Ada masyarakat adat yang mendefinisikan hutan adat sebagai daerah keramat dimana kuburan nenek moyang berada. Ada yang mendefinisikan hutan adat sebagai hutan lindung atau hutan cadangan yang dapat dibuka jika anggota masyarakat membutuhkan tanah. Ada pula yang mendefinisikan semua hutan di dalam wilayah adat mereka sebagai hutan adat. Sebaiknya masyarakat adat sendiri mencapai kesepakatan untuk menentukan pengertian hutan adat dan wilayah adat, untuk kemudian diusulkan pada pemerintah untuk disahkan.
Undang-undang No 41 Tahun 1999 menetapkan hak masyarakat adat di hutan Negara, sebagai berikut ;
1.      Memungut hasil hutan untuk pemenuhan hidup sehari-hari.
2.       Mengelola hutan sesuai hukum adat yang berlaku bila tidak bertentangan dengan undang-undang.
3.      Mendapatkan pemberdayaan untuk meningkatkan kesejahteraan persyaratan utama untuk memperoleh pengakuan atas hak-hak itu adalah pembuktian keberadaan sebagai masyarakat adat.
Adapun hak masyarakat adat atas hutan adat menurut Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 itu sebenarnya sangat terbatas :
1.      Hak atas hutan adat hanyalah hak pakai
2.      Hak pakai ini dibatasi oleh hak Negara melaksanakan pembangunan dan hak hutan untuk dilestarikan.
3.      Hak atas hutan adat diberikan oleh pemerintah dan dapat ditarik pemerintah sehingga tidak ada kepastian hukum.
4.      Urusan memperoleh hak atas hutan adat tidak mudah karena meliputi usaha membuktikan diri sebagai masyarakat adat.
Pemerintah Pusat juga beranggapan bahwa hak atas hutan meliputi sebagian kawasan hutan yang ditetapkan sebagai hutan adat Karena itu pula, pemerintah ingin menetapkan hutan adat dengan batas-batas yang pasti. Ketentuan mengenai penentuan hutan adat dan pengesahan hak masyarakat.
Dengan demikian hutan Negara yang berupa hutan adat yang dikelola oleh masyarakat hukum adat masih diakui keberadaannya selama kenyataannya masih ada dan diakui kebenarannya untuk melakukan kegiatan pengelolaan hutan.

Konsep Pengaturan Hak Atas Hutan
Menurut Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan hanya dikenal dua penggolongan hutan berdasarkan pemilikannya, yaitu Hutan milik atau Hak dan Hutan Negara, Hutan Milik (Hak) adalah hutan yang tumbuh/berada pada lahan-lahan yang telah berstatus hak milik, sedangkan Hutan Negara adalah hutan-hutan yang tumbuh pada lahan yang tidak dibebani hak (milik). Karena faktor historis, tradisi serta sosial ekonomi banyak masyarakat, khususnya masyarakat di dalam dan sekitar hutan yang masih menggantungkan hidupnya pada hutan. Sehingga pada hutan Negara sesungguhnya tidak seratus persen bebas dari penguasaan masyarakat.
Untuk mengakomodir adanya sejumlah masyarakat di dalam dan sekitar hutan yang masih menguntungkan hidupnya pada hutan dan hasil hutan, pemerintah mengeluarkan beberapa bentuk kebijakan antara lain :
1.      Pada kawasan hutan produksi, masyarakat lokal diperbolehkan memungut hasil hutan (kayu, rotan, dan hasil hutan lainnya) untuk kepentingan hidup sehari-hari.
2.      Pada kawasan konservasi (Taman Nasional) disediakan zona pemanfaatan tradisional.
3.      Adanya program HPH Bina Desa Hutan sebagai upaya meningkatkan kehidupan masyarakat sekitar hutan (Iin Ichwandi 2002 : 6)
Hak mengelola sumberdaya hutan secara mandiri kepada masyarakat sekitar hutan merupakan kebijakan yang cukup baru, yaitu dengan dikeluarkannya kebijakan tentang HPHKM ( Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan ) melalui SK Menhut No. 677/1998. dalam SK tersebut HPHKM diberikan kepada masyarakat sekitar hutan yang terwadahi dalam bentuk koperasi dalam jangka waktu tertentu. Begitu juga dalam UU No. 41/1999 dinyatakan bahwa masyarakat hukum adat berhak melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang, dimana dapat dilakukan pada hutan adat atau kawasan hutan dengan tujuan khusus.
Hak pengelolaan hutan yang diberikan ini hanya terbatas pada sumber daya yang berada di atas tanah, sedangkan penguasaan tanahnya masih tetap oleh Negara. Dengan tetap statusnya sebagai lahan Negara ini masih memungkinkan dicabutnya hak pengelolaan tersebut.

Konsep Perambahan Hutan
Perambahan kawasan hutan dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, diartikan sebagai perbuatan melakukan pembukaan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang.
Pada dasarnya perambahan hutan dapat dikategorikan sebagai penyerobotan kawasan hutan yang berarti perbuatan yang dilakukan orang atau badan hukum secara tidak sah tanpa izin dari pejabat yang berwenang, bertujuan menguasai atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah dan melawan hukum merupakan perbuatan yang dilarang. ( Alam Setia Zain ; 1996 : 41 )
Perambahan hutan adalah merupakan suatu kegiatan pembukaan hutan dengan tujuan untuk memiliki, menguasai dan memanfaatkan hasil hutan tanpa melihat dan memperhatikan fungsi pokok yang diemban oleh suatu kawasan hutan.
Kegiatan perambahan kawasan hutan secara illegal ( tanpa Izin dari Pejabat yang berwenang ) dapat berupa :
1.      Pembukaan kawasan hutan dengan cara menduduki kawasan hutan dengan tujuan untuk perladangan, pertanian, atau perladangan berpindah-pindah yang dilakukan secara tradisional.
2.      Pembukaan hutan dengan tujuan mengambil hasil kayu maupun hasil hutan lainnya secara melawan hukum.
3.      Pembukaan kawasan hutan untuk kawasan wisata, pengembalaan, perkemahan, atau pembukaan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin yang diberikan.
4.       Pembukaan kawasan hutan untuk tempat pemukiman atau bangunan lainnya ( Alam Setia Zain ; 1996 : 41 dan Penjelasan UU No. 41 Tahun 1999 ).
Alam Setia Zain (1999 ; 41) menjelaskan tindakan perambahan hutan atau penyerobotan kawasan hutan dapat digolongkan sebagi kesatuan tindakan yang bertentangan dengan aturan hukum dengan memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
1.      Memasuki kawasan hutan dan merambah kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang
2.      Menguasai kawasan hutan dan atau hasil hutan untuk suatu tujuan tertentu
3.      Memperoleh suatu manfaat dari tanah hutan atau manfaat dari hasihutan.


PERAMBAHAN HUTAN DENGAN PENGALIHAN FUNGSI HUTAN PRODUKSI MENJADI LAHAN PERKEBUNAN Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment