Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Wednesday, November 16, 2011

MERAJUT KEMBALI DEMOKRASI MASYARAKAT DESA

Kekuasaan negara atas desa nyaris mengikis habis corak kebhinekaan budaya yang dikembangkan masyarakat desa berdasar kearifan lokal. Basis komunal masyarakat tercerabut dan pelanggaran atas hak ulayat merajalela sehingga memunculkan berbagai ketegangan antara masyarakat desa dengan negara berkenaan dengan masalah masyarakat adat, ekonomi desa maupun kelembagaan politik desa.  Peluang untuk menciptakan kembali kebhinekaan budaya semakin terbuka dengan adanya kebijakan otonomi daerah. Oleh karena itu, upaya untuk memperkuat kembali bangunan kultur lokal  penting dilakukan untuk menjamin tumbuhnya inisiatif dan partisipasi lokal. Lantas bagaimana melakukan upaya tersebut? 

Demokrasi versi masyarakat adat
Gunretno memaparkan kehidupan masyarakat Sikep, Jawa Tengah dalam bahasa Jawa. Menurut penuturannya, masyarakat Sikep (Sedulur Sikep)mengakui bahwa mengambil keputusan secara bersama merupakan hal yang baik sehingga mereka selalu memutuskan melalui mekanisme rembugan (diskusi). Keputusan tidak ditetapkan berdasar pada suara terbanyak melainkan berdasarkan rasionalitias pendapat dengan mengacu pada pengalaman dan interpretasi atas wekas (pesan) dalam bentuk pralambang (kiasan). Masyarakat Sikep juga mempertimbangkan pilihan tindakan yang mungkin dilakukan, artinya dalam mengambil satu kesepakatan Sedulur Sikep lebih mengutamakan sesuatu yang nyata.
Lebih lanjut, Gunretno mengatakan bahwa dalam masyarakat Sikep tidak memiliki pemimpin massa dan kelompok atau organisasi. Dengan tidak adanya “orang yang dituakan”, selain bapak sebagai kepala keluarga, setiap orang berhak untuk mengeluarkan pendapat juga seorang anak kecil.  Kebenaran bukan terletak pada usia orang, kebenaran adalah hakiki. Setiap orang  memiliki kebenaran hakiki sendiri dan bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.
Di TanaTora pengaruh keluarga lapis atas sangat kuat dalam pelaksanaan demokrasi di wilayah ini. Den Upa Rombelayuk, seorang ibu yang juga seorang kepala desa, menjelaskan bahwa demokrasi di masyarakat adat Tana Toraja tercermin dalam satu lembaga yang disebut kombongan.
Bentuk kombongan ada 4 macam yakni 1) kombongan Kalua Sang Lepongan Bulan – untuk memusyawarahkan aturan-aturan yang menyangkut antar Lembang dan biasa dihadiri oleh perwakilan dari masyarakat yang ada di atau di luar Tana Toraja; 2) Kombongan Kalua Sang Lembangan merupakan kombongan tertinggi dalam tingkat lembang; 3) Kombongan Karopi atau disebut kombongan saja – biasanya untuk meminta pertanggung jawaban dari To Parenge (pemuka adat) dan dihadiri oleh seluruh warga tanpa mengenal tingkatan. Dalam pengadilan ini seorang To Parenge bisa didosa (dihukum) oleh warganya, namun ia tidak bisa dijatuhkan karena pengangkatannya dilakukan melalui mekanisme pengusulan keluarga.
Kuatnya pengaruh keluarga dalam sistem politik masyarakat Toraja juga bisa dilihat dari keterangan lisan Den Upa yang menyebutkan bahwa dalam keluarga batihnya ada 3 orang yang menduduki jabatan kepala desa di 3 desa yang berbeda. Bentuk yang yang terakhir adalah kombongan Soroan –  di tingkat RT, atau kelompok keluarga atau organisasi jemaat gereja dilakukan untuk mengatur kegotong-royongan antar warga atau penyelesaian kasus kepelimikan tanah atau hutan. Den Upa ingin menunjukkan bahwa adat setempat memiliki kesesuaian dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Pada kesempatan tersebut, Kamardi (Kepala pamususngan), Bentek-Lombok Utara mengatakan bahwa kata adat biasanya diasosiasikan dengan tradisi, ketinggalan zaman dan lain sebagainya. Namun, struktur masyarakat adat, khususnya di Lombok Utara,  mengenal pembagian kekuasaan antara Majelis Krama Desa, Pemu-sungan, dan Majelis Krama Adat Desa. Majelis Krama Desa (MKD) merupakan lembaga yang berperan untuk menetapkan Garis Besar Haluan Desa dan mengesahkan RAPBDesa, lembaga semacam BPD.
Dalam prakteknya, keputusan dari MKD didasarkan masukan dari satuan komunitas disebut krama gubug dan masukan ini digodog pada Majelis Krama Dusun sebelum diajukan pada MKD. Pemusungan berperan untuk memimpin pemerintahan desa dan kehidupan masyarakat desa secara umum. Kinerja pemusungan akan senantiasa diawasi oleh Majelis Krama Adat Desa, sebuah lembaga yang terdiri dari 3 unsur pemimpin yaitu pemimpin agama, adat dan pemerintahan. Pembagian kekuasaan ini, menurut Kamardi, merupakan cerminan dari demokrasi desa (lihat profil Perekat Ombara pada Lesung edisi 2).

Pengembangan Wawasan Demokrasi

Mengawali pembicaraan pada sesi kedua, Pratikno, pengamat politik lokal dari UGM, mengatakan bahwa keberadaan demokrasi desa, pada satu sisi memiliki kearifan lama yang mengutamakan musyawarah tetapi di sisi lain feodalisme dan aristokrasi masih kuat sehingga akses masyarakat untuk menyuarakan aspirasi sangat terbatas. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, para penguasa lokal digunakan kolonial untuk menekan rakyat. Perilaku elit lokal yang menekan rakyat tetapi tidak berani mengusik kekuasaan di atasnya menandai munculnya proses ‘negaraisasi’. Setelah kemerdekaan proses negaraisasi semacam ini, menurut Pratikno dan juga Radi A. Gany, masih terus berlanjut baik melalui partai politik, sentralisasi kekuasaan, kebijakan homogenisasi desa, ataupun pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi. Keseluruhannya itu menjadikan lembaga desa menjadi semakin lemah.
Sementara itu, penjelasan Syarif Ibrahim Alqadrie, dari Universitas Tanjungpura menambahkan bahwa demokrasi desa telah redup sejak masuknya agama Hindu yang membawa pengaruh  feodalisme dan diskriminasi atas dasar kelas-kelas sosial ke berbagai pelosok Nusantara, terutama Jawa. Diskriminasi sosial semacam ini memunculkan dua kelas dalam masyarakat yaitu penguasa dan rakyat. Celakanya, para penguasa, terutama di kerajaan Jawa, tidak memikirkan kesejahteraan rakyat desa, bahkan menghisap berbagai sumber daya rakyat. Lebih buruk dari itu, budaya politik yang mengutamakan kepentingan penguasa dan tidak memikirkan rakyat ini terulang kembali pada masa pemerintahan Orde Baru.
Jatuhnya pemerintahan Orde Baru dan lahirnya kebijakan otonomi daerah, menurut pandangan ketiga akademisi ini, merupakan harapan bagi terciptanya keberdayaan lembaga desa dan demokrasi di wilayah perdesaan. Berkaitan dengan hal ini, mereka melihat bahwa pemberdayaan masyarakat desa merupakan jalan yang harus ditempuh untuk menegakkan demokrasi desa.
Tiga aktivis LSM yang menjadi pembicara pada sesi ketiga menunjuk konsep massa mengambang yang diterapkan pemerintah Orde Baru telah menyebabkan masyarakat desa menjadi apolitis. Mitos-mitos yang menyatakan bahwa masyarakat bodoh, miskin, malas dan fatalistis serta tidak berpikir jangka panjang yang dipompakan penguasa justru menumbuhkan kesadaran palsu yang membuat masyarakt desa teralienasi dari proses politik. Kesadaran palsu ini mesti dibongkar dan diganti dengan gerakan penyadaran dan pengorganisasian masyarakat secara murni sehingga independensi masyarakat desa akam tumbuh kembali.
Paulus Florus mengungkapkan pengalamannya bahwa gerakan penyadaran yang dilakukan yayasan Pancur Kasih di Kalimantan Barat telah membangkitkan rasa percaya diri bahwa mereka mampu berbuat. Lebih dari itu, proses penyadaran telah memperkuat solidaritas di kalangan masyarakat desa sehingga mereka dapat mengembangkan potensi ekonomi di sekitar mereka secara bersama.
Keberdayaan serupa juga tampak pada kasus anak nagari di Sumatera Barat. Zukri Saad mengungkapkan bahwa saat ini beberapa nagari tengah melakukan pengembangan ekonomi berbasis rakyat dengan memanfaatkan modal sosial yang ada diantara masyarakat. Lebih lanjut, anak nagari berencana membentuk simpul jaringan elektronik yang berperan memberi layanan informasi mengenai produksi, pasar, kredit, bahkan sampai kebutuhan rumah tangga agar mereka dapat bersaing dalam era pasar global. Keberdayaan ekonomi nagari akan memberi kekuatan ekonomi baru di tingkat basis yang pada gilirannya juga memperkuat ekonomi di wilayah ini.
Peran Pemerintah dimana?
Dalam makalahnya yang dibacakan EB Sitorus pada sesi keempat, Direktur Bina Manajemen Pemerintah Daerah Ditjen Otda Depdagri menegaskan bahwa homogenisasi pengaturan desa tidak akan ada lagi. Sebagai gantinya, pengaturan desa masa datang disesuaikan dengan kondisi sosial budaya setempat. Pengurusan desa sesuai asal usul ini diharapkan akan menciptakan desa demokratis sehingga masyarakat dapat berpartisipasi dan menyalurkan aspirasi mereka. Dalam prakteknya, pengaturan semacam ini tentu akan menemui banyak kesulitan karena selama ini hak dan kewenangan desa telah bercampur aduk dengan kewenangan pemerintah supra desa akibat kebijakan pengaturan desa yang lalu.  Pejabat pemerintah pusat ini juga mengingatkan agar pemda tidak menjadi kelompok birokrasi yang menekan rakyat dan memindahkan perilaku KKN dari birokrasi pusat ke birokrasi daerah.
Sebaliknya, Samsuri Aspar Wakil Bupati Kutai Kertanegara menengarai bahwa meski UU Otonomi Daerah menegaskan masyarakat desa merupakan komunitas yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan otonomi daerah, namun tersebut tidak mengatur kewenangan masyarakat desa. Selanjutnya, Wakil Bupati ini menjelaskan bahwa untuk kasus di Kutai Kertanegara, implementasi kebijakan otonomi daerah dikaitkan dengan program pemerintah daerah yang disebut Gerbang Dayaku (Gerakan Pengembangan Pemberdayaan Kutai)-- sebuah model pembangunan yang memposisikan rakyat sebagai komponen utama dalam pembangunan daerah termasuk desa. Untuk mendukung implementasi kegiatan di lapangan, pemerintah Kabupaten Kutai Kertanegara menyediakan dana sebesar 1 milyar untuk setiap desa. Dana ini digunakan untuk mendukung 3 kegiatan antara lain program pembangunan sarana / prasarana ekonomi desa, program pengembangan ekonomi kerakyatan, dan program peningkatan kualitas SDM. Dengan penyediaan dana sebesar ini diharapkan percepatan pembangunan di sektor pariwisata, agribisnis, dan iptek serta ketampilan dapat berjalan.
Masih dalam konteks kebijakan daerah, Soenaryo, kepala bagian pemerintahan desa Sekretariat Daerah Banyumas menilai bahwa timbulnya permasalahan yang berkaitan dengan penyelenggaraan otonomi desa lebih disebabkan karena pemahaman komponen lembaga tingkat desa terhadap substansi peraturan daerah ini masih sangat kurang.
Sebagai penutup dari sesi keempat ini, Haryo Habirono selaku koordinator OC menjelaskan bahwa  FPPM telah melakukan konsultasi publik di 12 daerah untuk membahas Rancangan Keppres tentang Pengaturan Mengenai Desa yang bertujuan mencabut dan atau memperbaiki substansi pada Kepmendagri 64/99  tentang Pemerintahan Desa. Hasil konsultasi publik ini menunjukkan bahwa masyarakat menolak rancangan Keppres tersebut namun jika Rancangan Keppres ini ditolak Kepmendagri 64/99 masih berlaku.
Oleh karena itu, FPPM lalu membentuk Tim Review yang bertugas untuk menyusun Position Paper atas Rakeppres tersebut dan juga membentuk Tim Amandemen UU No. 22/1999 karena apapun bentuk perbaikannya Rakeppres tidak akan sempurna jika UU tidak diamandemen terlebih dahulu (hasil kerja tim amandemen sudah dibukukan dan dipresentasikan di Depdagri pada tanggal 9 Oktober 2001– pen.).
Berbagai pemikiran yang terlontar dalam presentasi ini dibahas secara lebih lanjut dalam diskusi kelompok. Pembagian peserta dalam diskusi kelompok disesuaikan dengan minat dari masing-masing individu.
Diskusi kelompok
Diskusi kelompok menyangkut tiga topik yakni masyarakat adat, ekonomi masyarakat desa, dan politik desa. Pokok persoalan yang muncul dalam diskusi kelompok masyarakat adat adalah mengenai definisi atau pengertian dari masayakat adat, relasi dengan negara dan strategi penguatannya. Kendati demikian, dicatat bahwa pelaksanaan hukum adat terkadang kurang efektif karena banyak nilai-nilai adat yang tergeser oleh budaya luar atau tidak relevan lagi dengan kondisi sekarang.  Juga ditengarai adanya ketegangan antara masyarakat adat dengan negara, misalnya pemerintah memiliki target pembangunan yang kadang tidak sesuai dengan dengan keinginan masyarakat atau kerancuan antara aturan adat dengan aturan negara.
Diskusi dalam kelompok ini memandang perlunya penguatan terhadap masyarakat adat. Strategi penguatan masyarakat ini pada intinya mencakup 2 hal yakni advokasi terhadap kebijakan dan kegiatan praksis. Peserta memandang perlunya ada suatu produk hukum atau undang-undang yang menjamin pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat dengan segala pranatanya. Sedang kegiatan praksis diarahkan untuk memperkuat kelembagaan masyarakat adat dan pengembangan sumber daya manusia baik menyangkut penyadaran maupun sosialisasi nilai-nilai baru.
Pada diskusi bidang ekonomi masyarakat desa, peserta sepakat bahwa pemberdayaan ekonomi yang dilakukan mesti meliputi 4 prinsip yaitu kesejahteraan, keadilan, keberlanjutan, dan kemajemukan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari model  sentralistik, homogenisasi, bias Jawa, bias modernisasi, dan bias kapitalisme. Penjabaran dari pemberdayaan ekonomi masyarakat desa mencakup 5 aspek: akses terhadap  sumber daya alam (SDA), modal sosial, modal ekonomi, teknologi, dan kelembagaan. Kesejahteraan masyarakat desa sangat bergantung pada SDA yang tersedia di wilayah mereka namun pada banyak kasus masyarakat lokal tidak lagi memiliki akses untuk memanfaatkan SDA tersebut sekalipun berada pada tanah ulayat mereka. Oleh karena itu, mesti ada langkah-langkah yang menjamin distribusi penguasaan SDA secara merata.
Para peserta diskusi melihat bahwa masyarakat memiliki modal sosial yang dapat mendukung pengembangan potensi ekonomi mereka. Revitalisasi dan pengembangan modal sosial perlu dilakukan agar masyarakat desa mampu menggerakkan roda perekonomian. Dalam konteks ini, pengembangan infrastruktur sistem jaringan informasi ke wilayah desa mutlak diperlukan dan mendesak guna mendukung pengembangan ekonomi masyarakat desa.
Topik pembahasan yang terangkat dalam diskusi kelompok kelembagaan politik desa adalah mengenai  isu dan makna tentang otonomi. Menurut kelompok ini, makna otonomi adalah kewenangan yang mencakup hak dan kekuasan untuk mengatur dan mengurus desa. Dalam konteks ini para peserta diskusi melihat bahwa kondisi aktual yang ada di desa sekarang masih jauh dari makna yang terkandung dalam pengertian otonomi itu. Kondisi desa saat ini masih menjadi ajang kepentingan kekuasaan. Sisa-sisa uniformitas masih tampak kuat bercokol sehingga desa masih tetap bergantung pada kebijakan pemerintah kabupaten/kota.
Dalam situasi seperti ini, eksploitasi sumber-sumber desa oleh kota/kabupaten masih berlangsung sehingga menghambat terciptanya masyarakat desa yang makmur dan sejahtera.
Berpijak dari penggambaran ini, peserta diskusi kelompok menggambarkan bahwa desa yang otonom idealnya memiliki hak dan kekuasaan politik yang jelas untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat desa guna mewujudkan keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat desa. Oleh karena itu, penyeragaman aturan dan monopoli pendidikan politik oleh negara yang selama ini membelenggu kreativitas harus dihilangkan. Berkaitan dengan hal ini, peserta kelompok menyerukan agar seluruh komponen bangsa melakukan fasilitasi terhadap proses demokratisasi di masyarakat desa secara bertanggung jawab guna menghindarkan tumbuhnya konflik horisontal yang tidak perlu terjadi.
Tanpa bermaksud menyimpulkan diskusi yang berkembang, moderator mencatat bahwa penegakan demokrasi desa masih harus terus diperjuangkan. Dalam konteks ini,  strategi perjuangan mencakup aras kebijakan dan aras praksis. Pada aras kebijakan, berbagai komponen bangsa harus melakukan tindakan  proaktif untuk melakukan tekanan, lobi, publikasi, dan negosiasi agar kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sesuai dengan azas dan tujuan demokrasi desa.
Pada aras praksis, strategi perjuangan terdiri dari aspek struktural dan fungsional. Aspek struktural meliputi redistribusi faktor-faktor produksi, pelembagaan, kelembagaan, penmguatan jaringan, pengorganisasian relawan, dan penyediaan prasarana seperti modal, pasar, dan teknologi. Sedangkan secara fungsional mencakup pengembangan SDM baik itu melalui pelatihan, pendidikan politik, proses penyadaran, pemandirian ataupun revitalisasi guna memperkuat akar-akar masyarakat sipil yang ada, mengembangkan kearifan lokal dan melestarikan SDA.
Penutup
Otonomi daerah merupakan suatu peluang untuk menghidupkan kembali kemandirian dan otonomi desa. Namun, sebagaimana diingatkan Rady Gani dalam makalahnya bahwa pemandirian masyarakat desa seyogyanya jangan terjebak dalam romantisme demokrasi desa masa lalu yang berlebihan karena jiwa jaman (zeitgeist) sekarang berbeda dengan dahulu. Peringatan ini sekedar untuk mengingatkan kita bahwa pekerjaan belum selesai. Selamat bekerja.


MERAJUT KEMBALI DEMOKRASI MASYARAKAT DESA Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment