Demokrasi
versi masyarakat adat
Gunretno
memaparkan kehidupan masyarakat Sikep, Jawa Tengah dalam bahasa Jawa. Menurut
penuturannya, masyarakat Sikep (Sedulur Sikep)mengakui bahwa mengambil
keputusan secara bersama merupakan hal yang baik sehingga mereka selalu
memutuskan melalui mekanisme rembugan (diskusi). Keputusan tidak
ditetapkan berdasar pada suara terbanyak melainkan berdasarkan rasionalitias
pendapat dengan mengacu pada pengalaman dan interpretasi atas wekas
(pesan) dalam bentuk pralambang
(kiasan). Masyarakat Sikep juga mempertimbangkan pilihan tindakan yang mungkin
dilakukan, artinya dalam mengambil satu kesepakatan Sedulur Sikep lebih
mengutamakan sesuatu yang nyata.
Lebih
lanjut, Gunretno mengatakan bahwa dalam masyarakat Sikep tidak memiliki
pemimpin massa dan kelompok atau organisasi. Dengan tidak adanya “orang yang
dituakan”, selain bapak sebagai kepala keluarga, setiap orang berhak untuk
mengeluarkan pendapat juga seorang anak kecil.
Kebenaran bukan terletak pada usia orang, kebenaran adalah hakiki.
Setiap orang memiliki kebenaran hakiki
sendiri dan bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.
Di
TanaTora pengaruh keluarga lapis atas sangat kuat dalam pelaksanaan demokrasi
di wilayah ini. Den Upa Rombelayuk, seorang ibu yang juga seorang kepala desa,
menjelaskan bahwa demokrasi di masyarakat adat Tana Toraja tercermin dalam satu
lembaga yang disebut kombongan.
Bentuk
kombongan ada 4 macam yakni 1) kombongan Kalua Sang Lepongan
Bulan – untuk memusyawarahkan aturan-aturan yang menyangkut antar Lembang dan
biasa dihadiri oleh perwakilan dari masyarakat yang ada di atau di luar Tana
Toraja; 2) Kombongan Kalua Sang Lembangan merupakan kombongan
tertinggi dalam tingkat lembang; 3) Kombongan Karopi atau disebut kombongan
saja – biasanya untuk meminta pertanggung jawaban dari To Parenge (pemuka adat)
dan dihadiri oleh seluruh warga tanpa mengenal tingkatan. Dalam pengadilan ini
seorang To Parenge bisa didosa (dihukum) oleh warganya, namun ia tidak bisa
dijatuhkan karena pengangkatannya dilakukan melalui mekanisme pengusulan
keluarga.
Kuatnya
pengaruh keluarga dalam sistem politik masyarakat Toraja juga bisa dilihat dari
keterangan lisan Den Upa yang menyebutkan bahwa dalam keluarga batihnya ada 3
orang yang menduduki jabatan kepala desa di 3 desa yang berbeda. Bentuk yang
yang terakhir adalah kombongan Soroan –
di tingkat RT, atau kelompok keluarga atau organisasi jemaat gereja
dilakukan untuk mengatur kegotong-royongan antar warga atau penyelesaian kasus
kepelimikan tanah atau hutan. Den Upa ingin menunjukkan bahwa adat setempat
memiliki kesesuaian dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Pada
kesempatan tersebut, Kamardi (Kepala pamususngan), Bentek-Lombok Utara
mengatakan bahwa kata adat biasanya diasosiasikan dengan tradisi, ketinggalan
zaman dan lain sebagainya. Namun, struktur masyarakat adat, khususnya di Lombok
Utara, mengenal pembagian kekuasaan antara
Majelis Krama Desa, Pemu-sungan, dan Majelis Krama Adat Desa. Majelis
Krama Desa (MKD) merupakan lembaga yang berperan untuk menetapkan Garis Besar
Haluan Desa dan mengesahkan RAPBDesa, lembaga semacam BPD.
Dalam
prakteknya, keputusan dari MKD didasarkan masukan dari satuan komunitas disebut
krama gubug dan masukan ini digodog pada Majelis Krama Dusun
sebelum diajukan pada MKD. Pemusungan berperan untuk memimpin pemerintahan desa
dan kehidupan masyarakat desa secara umum. Kinerja pemusungan akan senantiasa
diawasi oleh Majelis Krama Adat Desa, sebuah lembaga yang terdiri dari 3 unsur
pemimpin yaitu pemimpin agama, adat dan pemerintahan. Pembagian kekuasaan ini,
menurut Kamardi, merupakan cerminan dari demokrasi desa (lihat profil Perekat
Ombara pada Lesung edisi 2).
Pengembangan Wawasan Demokrasi
Mengawali
pembicaraan pada sesi kedua, Pratikno, pengamat politik lokal dari UGM,
mengatakan bahwa keberadaan demokrasi desa, pada satu sisi memiliki kearifan
lama yang mengutamakan musyawarah tetapi di sisi lain feodalisme dan
aristokrasi masih kuat sehingga akses masyarakat untuk menyuarakan aspirasi
sangat terbatas. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, para penguasa lokal
digunakan kolonial untuk menekan rakyat. Perilaku elit lokal yang menekan
rakyat tetapi tidak berani mengusik kekuasaan di atasnya menandai munculnya
proses ‘negaraisasi’. Setelah kemerdekaan proses negaraisasi semacam ini,
menurut Pratikno dan juga Radi A. Gany, masih terus berlanjut baik melalui
partai politik, sentralisasi kekuasaan, kebijakan homogenisasi desa, ataupun
pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi. Keseluruhannya itu
menjadikan lembaga desa menjadi semakin lemah.
Sementara
itu, penjelasan Syarif Ibrahim Alqadrie, dari Universitas Tanjungpura
menambahkan bahwa demokrasi desa telah redup sejak masuknya agama Hindu yang
membawa pengaruh feodalisme dan
diskriminasi atas dasar kelas-kelas sosial ke berbagai pelosok Nusantara,
terutama Jawa. Diskriminasi sosial semacam ini memunculkan dua kelas dalam
masyarakat yaitu penguasa dan rakyat. Celakanya, para penguasa, terutama di
kerajaan Jawa, tidak memikirkan kesejahteraan rakyat desa, bahkan menghisap
berbagai sumber daya rakyat. Lebih buruk dari itu, budaya politik yang mengutamakan
kepentingan penguasa dan tidak memikirkan rakyat ini terulang kembali pada masa
pemerintahan Orde Baru.
Jatuhnya
pemerintahan Orde Baru dan lahirnya kebijakan otonomi daerah, menurut pandangan
ketiga akademisi ini, merupakan harapan bagi terciptanya keberdayaan lembaga
desa dan demokrasi di wilayah perdesaan. Berkaitan dengan hal ini, mereka
melihat bahwa pemberdayaan masyarakat desa merupakan jalan yang harus ditempuh
untuk menegakkan demokrasi desa.
Tiga
aktivis LSM yang menjadi pembicara pada sesi ketiga menunjuk konsep massa
mengambang yang diterapkan pemerintah Orde Baru telah menyebabkan masyarakat
desa menjadi apolitis. Mitos-mitos yang menyatakan bahwa masyarakat bodoh,
miskin, malas dan fatalistis serta tidak berpikir jangka panjang yang dipompakan
penguasa justru menumbuhkan kesadaran palsu yang membuat masyarakt desa
teralienasi dari proses politik. Kesadaran palsu ini mesti dibongkar dan
diganti dengan gerakan penyadaran dan pengorganisasian masyarakat secara murni
sehingga independensi masyarakat desa akam tumbuh kembali.
Paulus
Florus mengungkapkan pengalamannya bahwa gerakan penyadaran yang dilakukan
yayasan Pancur Kasih di Kalimantan Barat telah membangkitkan rasa percaya diri
bahwa mereka mampu berbuat. Lebih dari itu, proses penyadaran telah memperkuat
solidaritas di kalangan masyarakat desa sehingga mereka dapat mengembangkan
potensi ekonomi di sekitar mereka secara bersama.
Keberdayaan
serupa juga tampak pada kasus anak nagari di Sumatera Barat. Zukri Saad
mengungkapkan bahwa saat ini beberapa nagari tengah melakukan pengembangan
ekonomi berbasis rakyat dengan memanfaatkan modal sosial yang ada diantara
masyarakat. Lebih lanjut, anak nagari berencana membentuk simpul jaringan
elektronik yang berperan memberi layanan informasi mengenai produksi, pasar,
kredit, bahkan sampai kebutuhan rumah tangga agar mereka dapat bersaing dalam
era pasar global. Keberdayaan ekonomi nagari akan memberi kekuatan ekonomi baru
di tingkat basis yang pada gilirannya juga memperkuat ekonomi di wilayah ini.
Peran
Pemerintah dimana?
Dalam
makalahnya yang dibacakan EB Sitorus pada sesi keempat, Direktur Bina Manajemen
Pemerintah Daerah Ditjen Otda Depdagri menegaskan bahwa homogenisasi pengaturan
desa tidak akan ada lagi. Sebagai gantinya, pengaturan desa masa datang
disesuaikan dengan kondisi sosial budaya setempat. Pengurusan desa sesuai asal
usul ini diharapkan akan menciptakan desa demokratis sehingga masyarakat dapat
berpartisipasi dan menyalurkan aspirasi mereka. Dalam prakteknya, pengaturan
semacam ini tentu akan menemui banyak kesulitan karena selama ini hak dan
kewenangan desa telah bercampur aduk dengan kewenangan pemerintah supra desa
akibat kebijakan pengaturan desa yang lalu.
Pejabat pemerintah pusat ini juga mengingatkan agar pemda tidak menjadi
kelompok birokrasi yang menekan rakyat dan memindahkan perilaku KKN dari birokrasi
pusat ke birokrasi daerah.
Sebaliknya,
Samsuri Aspar Wakil Bupati Kutai Kertanegara menengarai bahwa meski UU Otonomi
Daerah menegaskan masyarakat desa merupakan komunitas yang perlu diperhatikan
dalam penyelenggaraan otonomi daerah, namun tersebut tidak mengatur kewenangan
masyarakat desa. Selanjutnya, Wakil Bupati ini menjelaskan bahwa untuk kasus di
Kutai Kertanegara, implementasi kebijakan otonomi daerah dikaitkan dengan
program pemerintah daerah yang disebut Gerbang Dayaku (Gerakan Pengembangan
Pemberdayaan Kutai)-- sebuah model pembangunan yang memposisikan rakyat sebagai
komponen utama dalam pembangunan daerah termasuk desa. Untuk mendukung
implementasi kegiatan di lapangan, pemerintah Kabupaten Kutai Kertanegara
menyediakan dana sebesar 1 milyar untuk setiap desa. Dana ini digunakan untuk
mendukung 3 kegiatan antara lain program pembangunan sarana / prasarana ekonomi
desa, program pengembangan ekonomi kerakyatan, dan program peningkatan kualitas
SDM. Dengan penyediaan dana sebesar ini diharapkan percepatan pembangunan di
sektor pariwisata, agribisnis, dan iptek serta ketampilan dapat berjalan.
Masih
dalam konteks kebijakan daerah, Soenaryo, kepala bagian pemerintahan desa
Sekretariat Daerah Banyumas menilai bahwa timbulnya permasalahan yang berkaitan
dengan penyelenggaraan otonomi desa lebih disebabkan karena pemahaman komponen
lembaga tingkat desa terhadap substansi peraturan daerah ini masih sangat
kurang.
Sebagai
penutup dari sesi keempat ini, Haryo Habirono selaku koordinator OC menjelaskan
bahwa FPPM telah melakukan konsultasi
publik di 12 daerah untuk membahas Rancangan Keppres tentang Pengaturan
Mengenai Desa yang bertujuan mencabut dan atau memperbaiki substansi pada
Kepmendagri 64/99 tentang Pemerintahan
Desa. Hasil konsultasi publik ini menunjukkan bahwa masyarakat menolak rancangan
Keppres tersebut namun jika Rancangan Keppres ini ditolak Kepmendagri 64/99
masih berlaku.
Oleh
karena itu, FPPM lalu membentuk Tim Review yang bertugas untuk menyusun
Position Paper atas Rakeppres tersebut dan juga membentuk Tim Amandemen UU No.
22/1999 karena apapun bentuk perbaikannya Rakeppres tidak akan sempurna jika UU
tidak diamandemen terlebih dahulu (hasil kerja tim amandemen sudah dibukukan
dan dipresentasikan di Depdagri pada tanggal 9 Oktober 2001– pen.).
Berbagai
pemikiran yang terlontar dalam presentasi ini dibahas secara lebih lanjut dalam
diskusi kelompok. Pembagian peserta dalam diskusi kelompok disesuaikan dengan
minat dari masing-masing individu.
Diskusi kelompok
Diskusi
kelompok menyangkut tiga topik yakni masyarakat adat, ekonomi masyarakat desa,
dan politik desa. Pokok persoalan yang muncul dalam diskusi kelompok masyarakat
adat adalah mengenai definisi atau pengertian dari masayakat adat, relasi
dengan negara dan strategi penguatannya. Kendati demikian, dicatat bahwa
pelaksanaan hukum adat terkadang kurang efektif karena banyak nilai-nilai adat
yang tergeser oleh budaya luar atau tidak relevan lagi dengan kondisi
sekarang. Juga ditengarai adanya
ketegangan antara masyarakat adat dengan negara, misalnya pemerintah memiliki
target pembangunan yang kadang tidak sesuai dengan dengan keinginan masyarakat
atau kerancuan antara aturan adat dengan aturan negara.
Diskusi
dalam kelompok ini memandang perlunya penguatan terhadap masyarakat adat.
Strategi penguatan masyarakat ini pada intinya mencakup 2 hal yakni advokasi
terhadap kebijakan dan kegiatan praksis. Peserta memandang perlunya ada suatu
produk hukum atau undang-undang yang menjamin pengakuan terhadap keberadaan
masyarakat adat dengan segala pranatanya. Sedang kegiatan praksis diarahkan
untuk memperkuat kelembagaan masyarakat adat dan pengembangan sumber daya
manusia baik menyangkut penyadaran maupun sosialisasi nilai-nilai baru.
Pada
diskusi bidang ekonomi masyarakat desa, peserta sepakat bahwa pemberdayaan
ekonomi yang dilakukan mesti meliputi 4 prinsip yaitu kesejahteraan,
keadilan, keberlanjutan, dan kemajemukan. Hal ini dimaksudkan untuk
menghindari model sentralistik,
homogenisasi, bias Jawa, bias modernisasi, dan bias kapitalisme. Penjabaran
dari pemberdayaan ekonomi masyarakat desa mencakup 5 aspek: akses terhadap sumber daya alam (SDA), modal sosial, modal
ekonomi, teknologi, dan kelembagaan. Kesejahteraan masyarakat desa sangat
bergantung pada SDA yang tersedia di wilayah mereka namun pada banyak kasus
masyarakat lokal tidak lagi memiliki akses untuk memanfaatkan SDA tersebut
sekalipun berada pada tanah ulayat mereka. Oleh karena itu, mesti ada
langkah-langkah yang menjamin distribusi penguasaan SDA secara merata.
Para
peserta diskusi melihat bahwa masyarakat memiliki modal sosial yang dapat
mendukung pengembangan potensi ekonomi mereka. Revitalisasi dan pengembangan
modal sosial perlu dilakukan agar masyarakat desa mampu menggerakkan roda
perekonomian. Dalam konteks ini, pengembangan infrastruktur sistem jaringan
informasi ke wilayah desa mutlak diperlukan dan mendesak guna mendukung
pengembangan ekonomi masyarakat desa.
Topik
pembahasan yang terangkat dalam diskusi kelompok kelembagaan politik desa
adalah mengenai isu dan makna tentang
otonomi. Menurut kelompok ini, makna otonomi adalah kewenangan yang mencakup
hak dan kekuasan untuk mengatur dan mengurus desa. Dalam konteks ini para
peserta diskusi melihat bahwa kondisi aktual yang ada di desa sekarang masih
jauh dari makna yang terkandung dalam pengertian otonomi itu. Kondisi desa saat
ini masih menjadi ajang kepentingan kekuasaan. Sisa-sisa uniformitas masih
tampak kuat bercokol sehingga desa masih tetap bergantung pada kebijakan
pemerintah kabupaten/kota.
Dalam
situasi seperti ini, eksploitasi sumber-sumber desa oleh kota/kabupaten masih
berlangsung sehingga menghambat terciptanya masyarakat desa yang makmur dan
sejahtera.
Berpijak
dari penggambaran ini, peserta diskusi kelompok menggambarkan bahwa desa yang
otonom idealnya memiliki hak dan kekuasaan politik yang jelas untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat desa guna mewujudkan keadilan,
kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat desa. Oleh karena itu, penyeragaman
aturan dan monopoli pendidikan politik oleh negara yang selama ini membelenggu
kreativitas harus dihilangkan. Berkaitan dengan hal ini, peserta kelompok
menyerukan agar seluruh komponen bangsa melakukan fasilitasi terhadap proses
demokratisasi di masyarakat desa secara bertanggung jawab guna menghindarkan
tumbuhnya konflik horisontal yang tidak perlu terjadi.
Tanpa
bermaksud menyimpulkan diskusi yang berkembang, moderator mencatat bahwa
penegakan demokrasi desa masih harus terus diperjuangkan. Dalam konteks
ini, strategi perjuangan mencakup aras
kebijakan dan aras praksis. Pada aras kebijakan, berbagai komponen bangsa harus
melakukan tindakan proaktif untuk
melakukan tekanan, lobi, publikasi, dan negosiasi agar kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah sesuai dengan azas dan tujuan demokrasi desa.
Pada
aras praksis, strategi perjuangan terdiri dari aspek struktural dan fungsional.
Aspek struktural meliputi redistribusi faktor-faktor produksi, pelembagaan,
kelembagaan, penmguatan jaringan, pengorganisasian relawan, dan penyediaan
prasarana seperti modal, pasar, dan teknologi. Sedangkan secara fungsional
mencakup pengembangan SDM baik itu melalui pelatihan, pendidikan politik,
proses penyadaran, pemandirian ataupun revitalisasi guna memperkuat akar-akar
masyarakat sipil yang ada, mengembangkan kearifan lokal dan melestarikan SDA.
Penutup
Otonomi
daerah merupakan suatu peluang untuk menghidupkan kembali kemandirian dan
otonomi desa. Namun, sebagaimana diingatkan Rady Gani dalam makalahnya bahwa
pemandirian masyarakat desa seyogyanya jangan terjebak dalam romantisme
demokrasi desa masa lalu yang berlebihan karena jiwa jaman (zeitgeist)
sekarang berbeda dengan dahulu. Peringatan ini sekedar untuk mengingatkan kita
bahwa pekerjaan belum selesai. Selamat bekerja.
0 komentar:
Post a Comment