Menyoal kehidupan masyarakat dalam konstalasi politik yang
carut-marut saat ini, selain
memprihatinkan, keberadaannya juga tak jauh beda dengan keadaan sebelumnya.
Walau zaman telah berubah, namun kebijakan-kebijakan yang ada acapkali
meletakkan persoalan demokrasi dan hak-hak rakyat dalam posisi tanda
kurung. Kehendak untuk mengintegrasikan
isu-isu global (demokrasi, lingkungan hidup dan HAM) terus saja dilakukan,
walau sekali lagi, semuanya itu juga kembali terbenam dalam berbagai
kepentingan lain yang dianggap lebih besar dan penting.
Eskalasi
konflik dimasyarakat luas yang terus membesar, absennya kebijakan politik yang
memberi keteduhan di ruang publik sebagai akibat tawuran para elit, lagi-lagi
memposisikan kerusakan sumber daya alam
yang kian tak terkendali. Disini,
konflik politik yang berpangkal pada pemanfaatan sumber daya alam, tak
lagi terjadi antara buruh dan pemilik modal semata-mata, melainkan pada mereka
yang berkelimpahan (comfortably endowed) akibat sistem politik yang
memberi peluang sebesar-besarnya bagi mereka di masa silam dengan lapisan tebal
masyarakat luas yang berkekurangan (specifically deprived). Kebijakan
politik untuk otonomi daerah sesungguhnya memberi ruang yang lebih besar dari
upaya untuk memperbaharui dan menyegarkan ruang publik. Sementara ini yang
menjadi persaksian bersama, justeru pengurasan dan laju pengrusakan sumberdaya
alam kian tak terkendali.
Kapitalisme
tak hanya bertahan, tapi memang justeru berkembang selama ada produksi industri
untuk diperjualbelikan dalam pasar. Sementara kebudayaan menjadi hidup berkat
kesepakatan tentang nilai-nilai dan khususnya norma moral yang harus
mengatur kehidupan bersama. Hidup
manusia praktis di atur oleh legitimasi politik, produksi untuk pasar dan
integrasi sosial-budaya. Persoalannya, di Indonesia kapitalisme memaksakan
terpisahnya pasar dari kebudayaan serta terlepasnya ekonomi dari ikatannya
dengan kehidupan sosial. Gelora untuk memperkuat posisi komunitas lokal ataupun
masyarakat adat, sebagai misal, terutama dalam mengintegrasikan hak-hak
lokal/adat dalam konteks kebudayaan yang
bersandar pada pelestarian lingkungan, penegakan HAM dan demokrasi,
sesungguhnya suatu upaya untuk mengembalikan kesepakatan tentang nilai dan
moral tadi ke dalam relasi-relasi produsksi.
Namun
yang terjadi nyaris berbalik, sehingga tampak muncul ‘persekutuan yang tak
suci’ (unholly alliance), saat modal global dan gurita domestik dapat
meng-akomodasi kepentingan ekonomi lokal yang relatif besar dibanding modal
domestik yang pas-pasan. Tampaknya, redefenisi kebijakan negara dengan dinyata-
kannya secara tegas akan kata-kata pembangunan yang berkelanjutan dalam
perekonomian Indonesia, seakan memberikan perlawanan yang
kuat terhadap intervensi global tersebut. Ternyata, intervensi pemerintah untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi menjadi sulit dilakukan, sebab institusi yang ada relatif lemah, di pihak
lain rakyat sedang mencari jalannya sendiri akibat praktek negara yang selama
ini memang tak pernah ambil peduli dengan nasib rakyat. Maka yang terjadi, pasar tak sekedar solusi
optimal dalam perekonomian kita, melainkan satu-satunya kekuatan pemaksa yang
mendiktekan apapun, termasuk perpolitikan yang ada dewasa ini.
Gejala
inilah (dalam bahasa Polanyi) yang disebut tercerabutnya ekonomi dari kehidupan
sosial budaya. Sebab menurutnya; ekonomi
kapitalis adalah Disembedded Economy. “Siapapun yang ingin maju dalam
market ekonomis dengan menciptakan keuntungan sebesar-besarnya harus berani
meninggalkan moral ekonomi, yakni kewajiban sosial terhadap anggota komunitas
sebagaimana diatur dalam kebudayaan. Ekonomi Kapitalis tidak menyangkal
nilai-nilai budaya tapi di dalam pasar semua nilai itu akan ditempatkan di
antara tanda kurung”.
Yang
terjadi di negeri kita jauh lebih besar dari itu, dimana proses sosial yang
berlangsung tak hanya terbenamnya
ekonomi dalam nilai-nilai budaya
( embeddedness) atau sekedar ketercerabutan ekonomi dari
nilai-nilai budaya (disembeddedness), tetapi tercantolnya ekonomi pada
faktor kekuasaan (reembeddedness). Dalam Korupsi, borjuasi nasional
menjinakkan kekuasaan negara dengan memakai uang. Dalam Kolusi, kekuasaan
negara menjinakkan borjuasi nasional dengan memakai wewenang birokrasi. Dalam
nepotisme, kekuasaan mempertahankan diri terhadap ekonomi pasar dengan
menerapkan sistem kekerabatan dalam moral ekonomi untuk menciptakan sumberdaya
manusia di birokrasi.
Bagaimana
mengkaitkan persoalan besar di atas dengan optimisme bangkitnya civil
society di Indonesia? Tanda-tandanya perlu dicermati dengan baik,
yakni bangkitnya wilayah privat dimana
kelompok masyarakat dengan nilai budayanya masing-masing menuntut hak-haknya
untuk menjadi wilayah publik.
Terbentuknya
wilayah publik tidak lagi bisa didasarkan pada asal-usul, melainkan pada
pilihan dan konsensus yang sadar untuk
menerima beberapa nilai yang ingin diwujudkan.
Oleh sebab itu tindakan-tindakan yang paling
memungkinkan adalah :
·
Menggalang aksi bersama di kekuatan sipil
dengan menggabungkan isu-isu demokrasi, HAM dan LH
·
Aksi bersama dimulai tingkat desa (sesuai
dengan nuansa OTDA) dan mengisi orang-orang pilihan untuk lembaga-lembaga
demokrasi di desa (BPD dsb)
·
Melakukan delinking (pemutusan hubungan)
terhadap kekuatan lama (militer, parpol dll) terhadap kehidupan sehari-hari
rakyat.
·
Proses demiliterisasi terhadap militer harus
pula diikuti dengan sipilisasi terhadap kaum sipil. Disini, segala bentuk
defenisi kekerasan pada konteks sosial yang ada harus diturunkan dan
dieksplisitkan sebagai bahan kampanye: “Demokrasi dan Keadilan”.
·
Menghimpun berbagai kekuatan untuk peduli dan
membangun desa/kelurahan. Pendekatan holistik ini perlu hati-hati sembari tidak memberi porsi
untuk tunggangan politik bagi kekuatan lama.
0 komentar:
Post a Comment