Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Tuesday, November 15, 2011

DEMOKRASI MASIH DALAM BUNGKUSAN

Menyoal kehidupan masyarakat dalam konstalasi politik yang carut-marut saat ini,  selain memprihatinkan, keberadaannya juga tak jauh beda dengan keadaan sebelumnya. Walau zaman telah berubah, namun kebijakan-kebijakan yang ada acapkali meletakkan persoalan demokrasi dan hak-hak rakyat dalam posisi tanda kurung.  Kehendak untuk mengintegrasikan isu-isu global (demokrasi, lingkungan hidup dan HAM) terus saja dilakukan, walau sekali lagi, semuanya itu juga kembali terbenam dalam berbagai kepentingan lain yang dianggap lebih besar dan penting.

Eskalasi konflik dimasyarakat luas yang terus membesar, absennya kebijakan politik yang memberi keteduhan di ruang publik sebagai akibat tawuran para elit, lagi-lagi memposisikan kerusakan sumber daya alam  yang kian tak terkendali. Disini,  konflik politik yang berpangkal pada pemanfaatan sumber daya alam, tak lagi terjadi antara buruh dan pemilik modal semata-mata, melainkan pada mereka yang berkelimpahan (comfortably endowed) akibat sistem politik yang memberi peluang sebesar-besarnya bagi mereka di masa silam dengan lapisan tebal masyarakat luas yang berkekurangan (specifically deprived). Kebijakan politik untuk otonomi daerah sesungguhnya memberi ruang yang lebih besar dari upaya untuk memperbaharui dan menyegarkan ruang publik. Sementara ini yang menjadi persaksian bersama, justeru pengurasan dan laju pengrusakan sumberdaya alam kian tak terkendali. 
Kapitalisme tak hanya bertahan, tapi memang justeru berkembang selama ada produksi industri untuk diperjualbelikan dalam pasar. Sementara kebudayaan menjadi hidup berkat kesepakatan tentang nilai-nilai dan khususnya norma moral yang harus mengatur kehidupan bersama.  Hidup manusia praktis di atur oleh legitimasi politik, produksi untuk pasar dan integrasi sosial-budaya. Persoalannya, di Indonesia kapitalisme memaksakan terpisahnya pasar dari kebudayaan serta terlepasnya ekonomi dari ikatannya dengan kehidupan sosial. Gelora untuk memperkuat posisi komunitas lokal ataupun masyarakat adat, sebagai misal, terutama dalam mengintegrasikan hak-hak lokal/adat dalam konteks kebudayaan yang  bersandar pada pelestarian lingkungan, penegakan HAM dan demokrasi, sesungguhnya suatu upaya untuk mengembalikan kesepakatan tentang nilai dan moral tadi ke dalam relasi-relasi produsksi.
Namun yang terjadi nyaris berbalik, sehingga tampak muncul ‘persekutuan yang tak suci’ (unholly alliance), saat modal global dan gurita domestik dapat meng-akomodasi kepentingan ekonomi lokal yang relatif besar dibanding modal domestik yang pas-pasan. Tampaknya, redefenisi kebijakan negara dengan dinyata- kannya secara tegas akan kata-kata pembangunan yang berkelanjutan dalam perekonomian Indonesia, seakan memberikan perlawanan yang kuat terhadap intervensi global tersebut. Ternyata,  intervensi pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi sulit dilakukan, sebab   institusi yang ada relatif lemah, di pihak lain rakyat sedang mencari jalannya sendiri akibat praktek negara yang selama ini memang tak pernah ambil peduli dengan nasib rakyat.  Maka yang terjadi, pasar tak sekedar solusi optimal dalam perekonomian kita, melainkan satu-satunya kekuatan pemaksa yang mendiktekan apapun, termasuk perpolitikan yang ada dewasa ini.
Gejala inilah (dalam bahasa Polanyi) yang disebut tercerabutnya ekonomi dari kehidupan sosial budaya. Sebab  menurutnya; ekonomi kapitalis adalah Disembedded Economy. “Siapapun yang ingin maju dalam market ekonomis dengan menciptakan keuntungan sebesar-besarnya harus berani meninggalkan moral ekonomi, yakni kewajiban sosial terhadap anggota komunitas sebagaimana diatur dalam kebudayaan. Ekonomi Kapitalis tidak menyangkal nilai-nilai budaya tapi di dalam pasar semua nilai itu akan ditempatkan di antara tanda kurung”.
Yang terjadi di negeri kita jauh lebih besar dari itu, dimana proses sosial yang berlangsung  tak hanya terbenamnya ekonomi dalam nilai-nilai budaya            ( embeddedness) atau sekedar ketercerabutan ekonomi dari nilai-nilai budaya (disembeddedness), tetapi tercantolnya ekonomi pada faktor kekuasaan (reembeddedness). Dalam Korupsi, borjuasi nasional menjinakkan kekuasaan negara dengan memakai uang. Dalam Kolusi, kekuasaan negara menjinakkan borjuasi nasional dengan memakai wewenang birokrasi. Dalam nepotisme, kekuasaan mempertahankan diri terhadap ekonomi pasar dengan menerapkan sistem kekerabatan dalam moral ekonomi untuk menciptakan sumberdaya manusia di birokrasi.

Bagaimana mengkaitkan persoalan besar di atas dengan optimisme bangkitnya civil society di Indonesia? Tanda-tandanya perlu dicermati dengan baik, yakni  bangkitnya wilayah privat dimana kelompok masyarakat dengan nilai budayanya masing-masing menuntut hak-haknya untuk menjadi wilayah publik.
Terbentuknya wilayah publik tidak lagi bisa didasarkan pada asal-usul, melainkan pada pilihan dan konsensus yang sadar untuk menerima beberapa nilai yang ingin diwujudkan.
Oleh sebab itu tindakan-tindakan yang paling memungkinkan adalah :
·         Menggalang aksi bersama di kekuatan sipil dengan menggabungkan isu-isu demokrasi, HAM dan LH
·         Aksi bersama dimulai tingkat desa (sesuai dengan nuansa OTDA) dan mengisi orang-orang pilihan untuk lembaga-lembaga demokrasi di desa (BPD dsb)
·         Melakukan delinking (pemutusan hubungan) terhadap kekuatan lama (militer, parpol dll) terhadap kehidupan sehari-hari rakyat.
·         Proses demiliterisasi terhadap militer harus pula diikuti dengan sipilisasi terhadap kaum sipil. Disini, segala bentuk defenisi kekerasan pada konteks sosial yang ada harus diturunkan dan dieksplisitkan sebagai bahan kampanye: “Demokrasi dan Keadilan”.
·         Menghimpun berbagai kekuatan untuk peduli dan membangun desa/kelurahan. Pendekatan holistik ini  perlu hati-hati sembari tidak memberi porsi untuk tunggangan politik bagi kekuatan lama.





DEMOKRASI MASIH DALAM BUNGKUSAN Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment