Politik sesungguhnya banyak berurusan dengan soal
etika. Dan ketika belakangan ini publik dikejutkan dengan kasus
Bupati Garut Aceng Fikri yang digugat oleh perempuan usia 18 tahun,
yang diceraikan setelah dinikahi empat hari sebelumnya, maka ia
segera dihadapkan pada etika dan kehormatan pejabat publik.
Diberitakan, Kementerian Dalam Negeri kemungkinan akan memasukkan
sejumlah usulan aturan pembentukan badan kehormatan kepala daerah.
Aturan pembentukan badan kehormatan ini dianggap perlu untuk
menangani tindakan pejabat pemerintah yang dianggap melanggar
peraturan. Sementara, DPRD Garut telah menggelar sidang khusus untuk
membahas tanggapan dewan atas derasnya protes terhadap Bupati Garut.
Aceng sendiri terpilih lewat jalur independen sebagai bupati tahun
2008. Ia dipandang cukup kontroversial selama ini, dalam beberapa
kasus. Tetapi kasus perempuan itu, puncaknya. Kritik pedas dari
jejaring sosial hingga aksi demonstrasi masyarakat Garut menuntut
pengunduran dirinya masih terus muncul hingga sekarang. Kasusnya
telah menjadi isu nasional.
Ini adalah suatu potret dimana pejabat publik
disorot oleh kasus yang dipandang tidak etis atau tidak pantas
dilakukan. Terlepas dari detil kasusnya, serta alasan-alasan khusus
sang bupati, tentu publik segera memperoleh peluru untuk
memprotesnya. Pemimpin adalah sosok teladan, sehingga, bahkan
kehidupan pribadinya pun dipandang penting dan relevan untuk
dipersoalkan. Kita tahu bahwa pemimpin ideal, bukannya yang tidak
pernah berbuat salah (can’t do no wrong), karena dalam alam
demokrasi kepemimpinan politik selalu dikoreksi. Tetapi, dalam ukuran
etika yang bisa longgar dan sempit, persepsi tentang kehidupan
pribadi pemimpin bisa menjadi soal. Soal poligami saja, misalnya,
banyak yang menentang soal itu, kalau dilakukan pejabat publik. Sudah
banyak kejadian, pejabat publik kita yang mundur, karena kehidupan
pribadinya terbongkar.
Masih belum lekang dalam ingatan mundurnya Direktur
CIA David Petraeus, 60 tahun, akibat skandal perselingkuhan. Kasus
ini menghebohkan tak hanya jagat intelijen, tetapi juga politik.
Bagaimanapun ia pejabat publik dan ia harus bertanggungjawab dengan
perbuatannya. Nah, apabila di Amerika Serikat, yang nilai-nilai
masyarakatnya lebih liberal ketimbang kita saja, ada hal-hal yang
secara etis tidak dapat ditoleransi, tentu kita sebagai bagian dari
masyarakat Timur yang lebih konservatif, juga tidak akan memberi
toleransi terhadap hal yang sama. Bahwa, ketika orang sudah menjadi
pejabat publik, maka moralitasnya dipersepsikan lebih dari rata-rata.
Moralitas pribadi pejabat publik ialah moralitas publik itu sendiri.
Di kita, dan tampaknya di mana-mana juga demikian,
pemimpin adaah panutan alias suri teladan. Karenanya melekat sekali
di dalamnya, dimensi etis. Etika sesungguhnya tidak langsung terkait
dengan hukum formal yang kaku. Tetapi, pelanggaran etika juga dapat
berakibat pelanggaran hukum. Dan seringkali pelanggaran etika,
dipandang jauh lebih besar daya rusaknya ketimbang pelanggaran hukum
formal. Terhukum secara etis, tampaknya jauh lebih berat ketimbang,
terhukum secara formal di pengadilan. Jadi, tampaknya persoalan etika
pejabat publik ini tidak main-main. Ia bukan urusan sepele. Rakyat
dalam demokrasi langsung memilih pemimpinnya. Tetapi, tetap saja
rakyat tidak menyodorkan blangko kosong secara etis. Mereka butuh
teladan, dan bahkan di luar ekspektasi banyak elite politik, yakni
rakyat membutuhkan pemimpin yang mendekati sempurna. Begitu
ketidaksempurnaan itu menyembul, maka rakyat resah. Dan keresahannya
itu membludak ke dalam aneka reaksi.
0 komentar:
Post a Comment