Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Friday, September 21, 2012

Membentuk Pemimpin Cerdas Melalui Pemilih Cerdas

DALAM waktu yang tidak terlalu lama lagi, Sulawesi Selatan akan menyelenggarakan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur. Tentunya kita semua berharap, melalui Pemilihan tersebut, kita akan memperoleh pemimpin daerah yang berkwalitas, yang mampu mewujudkan apa yang menjadi tujuan suatu daerah otonom, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan pelayanan umum dan meningkatkan daya saing daerah. Untuk mewujudkan ketiga tujuan tersebut, memang tidak mudah, diperlukan pemimpin yang berkualitas, yang mampu menggerakan seluruh elemen masyarakat, untuk menggali semua potensi yang ada di daerah, guna dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat banyak. Untuk mendapatkan seorang pemimpin yang berkwalitas dalam Pemilukada langsung salah satu komponen yang sangat penting adalah menggunakan hak untuk ’MEMILIH’.

Muncul pertanyaan : apa susahnya memilih dalam pemilu/pemilukada ? Bukankah itu pekerjaan yang selesai dilakukan hanya beberapa detik saja ? Kita tentu mempunyai berbagai penilaian atas pertanyaan tersebut. Namun, kalau ditelusuri agak serius, pertanyaan ini sebenarnya mengisyaratkan percampuran berbagai kondisi psikologis masyarakat, antara kepedulian untuk ikut Pemilukada, apatisme, dan ketiadaan harapan untuk masa depan pasca-Pemilukada. Pesimisme masa depan dan janji kampanye yang sekadar isapan jempol akhirnya mendorong pemilih menjadi pragmatis. Belum lagi adanya anggapan, siapa pun yang berkuasa tidak akan mampu melakukan perubahan signifikan.

Ada baiknya kita membuat pemetaan kecil tentang perilaku pemilih dalam menentukan pilihan atas seorang kandidat. Dalam ilmu politik, perilaku pemilih (political behaviour) ini memang menjadi wilayah studi tersendiri. Secara garis besar perilaku pemilih, dalam konteks Pemilukada, dapat dikelompokan dalam beberapa kategori:

pertama, penentuan pilihan karena kasamaan ideologi dengan kandidat. Namun, dalam kehidupan Indonesia sekarang dengan politik aliran semakin cair, ideologi agaknya tidak lagi menjadi faktor determinan, di samping untuk mencari garis persamaan ideologis sekarang ini juga bukan hal mudah karena arus pragmatisme politik yang demikian kuat.

Kedua, pilihan didasarkan pada afiliasi partai politik. Kandidat yang didukung partai politik pilihannya, kepada dialah pilihan dijatuhkan. Pemilih yang berperilaku seperti ini agaknya lebih banyak, sehingga para kandidat berupaya sekuat tenaga untuk memperoleh dukungan partai politik sebanyak mungkin.

Ketiga, pilihan karena kesamaan etnisitas. Banyak yang mengasumsikan, etnisitas akan turut menentukan pilihan politik seseorang, sehingga salah satu kandidat Pemilukada menjadikan isu etnisitas sebagai penarik suara. Saya mempunyai asumsi, meski etnisitas ikut menentukan, tapi dalam Pemilukada hal ini tidak terlalu signifikan.

Keempat, pilihan didasarkan pada pragmatisme politik. Pragmatisme ini bisa muncul karena banyak hal, seperti politik uang, kedekatan dengan kandidat, dan sebagainya. Politik uang dalam berbagai bentuk manifestasinya, mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam membentuk pragmatisme politik. Politik uang sebagai bentuk pragmatisme politik tidak selalu dalam arti pemberian sejumlah uang kepada pemilih, tapi bisa dalam bentuk-bentuk yang agak soft agar tidak dikesankan "membeli" suara. Saya menduga, pemilih dalam Pemilukada nanti banyak yang menempuh cara ini untuk menentukan pilihan.

Kelima, pilihan karena program dan integritas kandidat. Pemilih yang rasional biasanya melihat sisi ini. Tapi saya menduga kuat, tidak banyak pemilih yang menggunakan hal ini sebagai pertimbangan utama untuk menentukan pilihan.

Fenomena demikian lumrah dalam masyarakat. Meski demikian, sebagai bagian dari proses demokrasi yang paling workable sekarang ini, keberadaan Pemilukada tidak bisa diabaikan begitu saja. Ia menjadi prasyarat utama untuk menandai apakah demokrasi terjadi atau tidak. Pemilukada dalam konteks ini menjadi satu-satunya ruang untuk menunjukkan keberkuasaan rakyat atas elitenya. Melalui proses pemilihan itu, rakyat menyerahkan sebagian kedaulatannya kepada elitenya.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana agar Pilgub Sul-Sel yang akan dilaksanakan Tahun 2013 mendatang tidak sekadar formalitas prosedur demokrasi, tapi lebih dari itu, mempunyai makna untuk perubahan ke arah yang lebih baik ? Tidak ada jawaban tunggal tentang hal ini. Namun salah satu elemen penting yang bisa dijadikan jawaban adalah ’mendorong pemilih untuk lebih cerdas & berkwalitas dalam menentukan pilihan’.


Membentuk Pemimpin Cerdas Melalui Pemilih Cerdas Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment