DALAM waktu yang tidak terlalu lama lagi, Sulawesi
Selatan akan menyelenggarakan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur. Tentunya
kita semua berharap, melalui Pemilihan tersebut, kita akan memperoleh pemimpin
daerah yang berkwalitas, yang mampu mewujudkan apa yang menjadi tujuan suatu
daerah otonom, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
meningkatkan pelayanan umum dan meningkatkan daya saing daerah. Untuk
mewujudkan ketiga tujuan tersebut, memang tidak mudah, diperlukan pemimpin yang
berkualitas, yang mampu menggerakan seluruh elemen masyarakat, untuk menggali
semua potensi yang ada di daerah, guna dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk
kepentingan rakyat banyak. Untuk mendapatkan seorang pemimpin yang berkwalitas
dalam Pemilukada langsung salah satu komponen yang sangat penting adalah
menggunakan hak untuk ’MEMILIH’.
Muncul pertanyaan : apa susahnya memilih
dalam pemilu/pemilukada ? Bukankah itu pekerjaan yang selesai dilakukan hanya
beberapa detik saja ? Kita tentu mempunyai berbagai penilaian atas pertanyaan
tersebut. Namun, kalau ditelusuri agak serius, pertanyaan ini sebenarnya
mengisyaratkan percampuran berbagai kondisi psikologis masyarakat, antara
kepedulian untuk ikut Pemilukada, apatisme, dan ketiadaan harapan untuk masa
depan pasca-Pemilukada. Pesimisme masa depan dan janji kampanye yang sekadar
isapan jempol akhirnya mendorong pemilih menjadi pragmatis. Belum lagi adanya
anggapan, siapa pun yang berkuasa tidak akan mampu melakukan perubahan
signifikan.
Ada baiknya kita membuat pemetaan kecil
tentang perilaku pemilih dalam menentukan pilihan atas seorang kandidat. Dalam
ilmu politik, perilaku pemilih (political behaviour) ini memang menjadi wilayah
studi tersendiri. Secara garis besar perilaku pemilih, dalam konteks
Pemilukada, dapat dikelompokan dalam beberapa kategori:
pertama, penentuan pilihan karena kasamaan
ideologi dengan kandidat. Namun, dalam kehidupan Indonesia sekarang dengan
politik aliran semakin cair, ideologi agaknya tidak lagi menjadi faktor
determinan, di samping untuk mencari garis persamaan ideologis sekarang ini
juga bukan hal mudah karena arus pragmatisme politik yang demikian kuat.
Kedua, pilihan didasarkan pada afiliasi
partai politik. Kandidat yang didukung partai politik pilihannya, kepada dialah
pilihan dijatuhkan. Pemilih yang berperilaku seperti ini agaknya lebih banyak,
sehingga para kandidat berupaya sekuat tenaga untuk memperoleh dukungan partai
politik sebanyak mungkin.
Ketiga, pilihan karena kesamaan etnisitas.
Banyak yang mengasumsikan, etnisitas akan turut menentukan pilihan politik
seseorang, sehingga salah satu kandidat Pemilukada menjadikan isu etnisitas
sebagai penarik suara. Saya mempunyai asumsi, meski etnisitas ikut menentukan,
tapi dalam Pemilukada hal ini tidak terlalu signifikan.
Keempat, pilihan didasarkan pada pragmatisme
politik. Pragmatisme ini bisa muncul karena banyak hal, seperti politik uang,
kedekatan dengan kandidat, dan sebagainya. Politik uang dalam berbagai bentuk
manifestasinya, mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam membentuk
pragmatisme politik. Politik uang sebagai bentuk pragmatisme politik tidak
selalu dalam arti pemberian sejumlah uang kepada pemilih, tapi bisa dalam
bentuk-bentuk yang agak soft agar tidak dikesankan "membeli" suara.
Saya menduga, pemilih dalam Pemilukada nanti banyak yang menempuh cara ini
untuk menentukan pilihan.
Kelima, pilihan karena program dan
integritas kandidat. Pemilih yang rasional biasanya melihat sisi ini. Tapi saya
menduga kuat, tidak banyak pemilih yang menggunakan hal ini sebagai
pertimbangan utama untuk menentukan pilihan.
Fenomena demikian lumrah dalam masyarakat.
Meski demikian, sebagai bagian dari proses demokrasi yang paling workable
sekarang ini, keberadaan Pemilukada tidak bisa diabaikan begitu saja. Ia
menjadi prasyarat utama untuk menandai apakah demokrasi terjadi atau tidak.
Pemilukada dalam konteks ini menjadi satu-satunya ruang untuk menunjukkan
keberkuasaan rakyat atas elitenya. Melalui proses pemilihan itu, rakyat
menyerahkan sebagian kedaulatannya kepada elitenya.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah
bagaimana agar Pilgub Sul-Sel yang akan dilaksanakan Tahun 2013 mendatang tidak
sekadar formalitas prosedur demokrasi, tapi lebih dari itu, mempunyai makna
untuk perubahan ke arah yang lebih baik ? Tidak ada jawaban tunggal tentang hal
ini. Namun salah satu elemen penting yang bisa dijadikan jawaban adalah
’mendorong pemilih untuk lebih cerdas & berkwalitas dalam menentukan
pilihan’.
0 komentar:
Post a Comment