Dalam beberapa hari terakhir ini terjadi
peningkatan eskalasi kegaduhan di ruang publik terkait pernyataan keras
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengenai praktek kolusi bisnis dan
politik. Menurut presiden salah satu sebab utama terpuruknya kondisi
perekonomian bangsa saat terjadi krisis tahun 1998 adalah gurita bisnis pejabat
negara.Pejabat negara yang memiliki imperium bisnis akan rentan terhadap
konflik kepentingan (conflict of interest). Di samping itu, presiden juga
menuding persekongkolan antara pelaku bisnis dan pelaku politik sebagai sebab
utama terjadinya manipulasi pajak selama ini.
Penyataan keras presiden tersebut segera
mendapatkan respons dari lawan-lawan politik SBY. Presiden SBY dituding sengaja
melempar isu tersebut guna menekan geliat Partai Golkar terkait proses
penyelidikan yang dilakukan panitia khusus (pansus) Bank Century. Bahkan,
Presiden SBY dinilai berpotensi melakukan pelanggaran hak asasi manusia karena
melarang para pejabat negara untuk berbisnis serta mengekang hak politik para
pengusaha. Benarkah penilaian itu? Bagaimana semestinya kita memandang
pernyataan keras presiden tersebut agar dapat dipahami secara lebih utuh dan
proporsional?
Secara historis fenomena kedekatan
pengusaha dan dunia politik bukanlah hal baru. Dalam konteks Indonesia sendiri
rezim Orde Baru dikenal sangat permisif terhadap para pejabat negara yang
memiliki imperium bisnis pribadi. Pengalaman empiris di sejumlah negara lain
juga tak jauh berbeda.Melalui perusahaan Shinawatra Computer mantan Perdana
Menteri Thailand Thaksin Shinawatra mulai menggeluti dunia bisnis sebagai
perwira polisi yang memasok peralatan alat tulis kantor dan komputer bagi
institusi kepolisian pada tahun 1983. Tujuh tahun berselang perusahaan milik
keluarga bernama Shin Corporation mendapatkan konsesi cable TV dan berbagai
kebutuhan telekomunikasi lainnya senilai total 1,3 miliar bath. Konon, konsesi
tersebut didapat berkat kedekatan Thaksin dengan pemerintah Thailand saat itu.
Thaksin pun tergoda untuk terjun dalam dunia politik.
Atas dasar itu kemudian muncul hipotesa
yang menyebutkan bahwa jika pengusaha terlibat dalam dunia politik, maka
idealisme dan masa depan demokrasi menjadi taruhan. Secara alamiah seorang
pengusaha tentu tidak dapat menghindarkan diri dari keinginan untuk mengejar
keuntungan materi.
Sementara itu seorang pejabat negara
dituntut untuk lebih mengutamakan kepentingan masyarakat luas. Kesulitan untuk
melakukan pemilahan pun akan dialami oleh seorang pejabat negara yang memiliki
bisnis pribadi. Cepat atau lambat penyalahgunaan kekuasaan akan terjadi.
Apalagi bila payung hukum yang ada cenderung abu-abu.
Bagi seorang pengusaha berjalannya
bisnis mereka adalah segalanya. Bagi mereka putaran laju roda bisnis pribadi
jauh lebih penting untuk dijamin ketimbang mengoptimalkan pemberantasan korupsi
yang dinilai akan memiliki dampak berupa melambatnya akselerasi perekonomian
nasional. Pada titik ini terlihat jelas bahwa pejabat negara yang berbisnis
merupakan kalangan yang cenderung tidak loyal terhadap kepentingan umum,
terutama tata kelola pemerintahan bersih (good governance).
Di tangan mereka kekuasaan akan bermuara
pada patronase bisnis. Ia akan dengan mudah berperan sebagai patron yang
dikelilingi oleh para pengusaha lain yang menempatkan diri mereka sebagai
klien. Karena itu, amat riskan bila bangsa ini melakukan pembiaran terhadap
pejabat negara yang memiliki imperium bisnis pribadi. Bukan tidak mungkin hal
itu akan menjadi pintu masuk bagi terjadinya praktek kolusi, korupsi, dan
nepotisme di lingkungan birokrasi pemerintahan.
Masih segar dalam ingatan kita tatkala
mantan wakil presiden Jusuf Kalla mengeluarkan sebuah pernyataan kontroversial
pada forum seminar internasional mengenai reformasi birokrasi tahun 2006 lalu.
Ketika itu Jusuf Kalla mengatakan bahwa kinerja massif Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dalam memberantas korupsi telah membuat kalangan pejabat negara
takut dalam membuat kebijakan sehingga laju roda perekonomian nasional
berpotensi mengalami gangguan. Dalam konteks itu penulis berpandangan bahwa
sudah saatnya bangsa ini mulai melakukan pembalikan cara pikir dalam melihat
hubungan antara pemberantasan korupsi dan kondisi perekonomian. Tidak boleh
lagi ada pemikiran bahwa kinerja massif aparat hukum dalam melakukan
pemberantasan korupsi berpotensi mengganggu akselerasi perekonomian nasional.
Pemikiran semacam itu hanya akan menjadi justifikasi terjadinya berbagai
praktik korup yang terjalin antara pelaku dunia usaha dan pejabat negara.
Pemberantasan korupsi sesungguhnya harus
dimaknai sebagai langkah strategis guna mempercepat laju roda perekonomian
nasional. Dengan terciptanya tata kelola pemerintahan yang bersih, maka
akselerasi perekonomian nasional yang cepat dan efisien pun akan tercipta.
Pengurusan ijin usaha dan investasi akan jauh lebih cepat dan murah karena
pungutan-pungutan liar oknum birokrasi dapat dihilangkan. Guna memulai semua
itu mutlak harus diawali dengan upaya untuk melakukan minimalisasi benturan kepentingan
antara pelaku dunia usaha dan pejabat negara. Langkah ini diperlukan demi
kebaikan rakyat, bangsa, dan negara. Rakyat tidak akan pernah percaya bahwa
pemerintah memperjuangkan kepentingan masyarakat luas apabila para pejabat
negara sibuk mengurus bisnis mereka masing-masing.
Di samping itu, upaya minimalisasi
benturan kepentingan antara pelaku dunia usaha dan pejabat negara juga
diperlukan guna mendukung proses hukum penanganan kejahatan pajak yang saat ini
sedang digalakkan oleh pemerintah. Dalam konteks itulah pernyataan keras
Presiden SBY mengenai praktek kolusi bisnis dan politik dapat dipahami secara
lebih utuh dan proporsional.
0 komentar:
Post a Comment