APA yang harus diwaspadai oleh gerakan-gerakan sosial yang sedang melakukan resistensi? Sebelum melancarkan aksinya, setiap gerakan sosial (social movement) tentu telah merumuskan terlebih dahulu apa-apa saja yang menjadi tuntutan mereka, kepada siapa mereka harus menuntut, dan lewat mekanisme yang bagaimana mereka menuntut. Tuntutan yang ingin dicapai harus dirumuskan dengan jelas, kemudian harus jelas pula kepada siapa-siapa saja mereka menyampaikan tuntutan tersebut.
Ketika sebuah gerakan sosial sudah menetapkan yang mana “musuh” atau pihak yang harus bertanggungjawab untuk merealisasikan tuntutan mereka, maka tidak tertutup kemungkinan mereka juga akan dimusuhi, atau dengan kata lain, musuh yang mereka lawan akan memberi perlawanan balik. Masyarakat di sebuah wilayah yang menuntut ganti rugi karena lahan mereka digusur oleh sebuah perusahaan, misalnya, akan menetapkan bahwa “musuh” yang harus mereka hadapi adalah perusahaan yang telah merampas tanah mereka tersebut. Maka mekanisme dalam menyampaikan tuntutan pun bisa dibagi dalam dua bentuk. Pertama, masyarakat yang menjadi korban penggusuran lahan melakukan resistensi terhadap perusahaan tersebut lewat aksi demonstrasi. Mekanisme yang seperti ini biasanya dilakukan dengan cara mengakomodir massa dalam jumlah tertentu untuk melakukan pressure terhadap perusahaan tersebut. Kedua, beberapa orang yang menjadi perwakilan masyarakat korban penggusuran lahan tersebut menempuh jalur mediasi untuk menyelesaikan kasus tersebut dengan perusahaan yang bersangkutan. Mekanisme yang seperti ini tentu tidak banyak menguras energi massa. Masyarakat “hanya” menunggu informasi atau hasil dari kesepakatan perundingan antara tim lobi yang mewakili masyarakat dengan perusahaan. Walaupun begitu, mekanisme yang terakhir ini tidak cukup kuat untuk membuat pihak yang dituntut merasa tertekan. Maka alangkah bagusnya apabila kedua mekanisme tersebut dijalankan secara bersamaan. Demonstrasi bertujuan memberi tekanan lewat aksi massa sedangkan tim lobi juga memberi tekanan lewat jalur mediasi.
Ketika gerakan sosial tau kalau mereka punya “musuh”, maka berarti mereka juga harus siap untuk mendapat serangan dari musuhnya. Aksi demonstrasi menuntut ganti rugi lahan terhadap perusahaan (musuh) bukan tidak mungkin akan mendapat serangan-serangan balik untuk melemahkan gerakan tersebut. Resistensi yang dilancarkan masyarakat bisa saja direspon dengan represi oleh perusahaan tersebut. Tujuannya tidak lain adalah untuk melemahkan gerakan sosial tersebut sehingga posisi perusahaan tetap aman, walaupun perusahaan tetap berupaya mencari solusi terhadap penyelesaian kasus tersebut. Setidaknya jika gerakan sosial itu berhasil dilemahkan, maka kemungkinan terjadinya kebrutalan massa berupa pengrusakan-pengrusakan (misalnya membakar bangunan, memecahkan kaca, merusak mobil perusahaan atau karyawan) bisa dihindari. Tentu tujuan dari melemahkan gerakan sosial tersebut tidak hanya seperti yang disebutkan di atas, ada kepentingan-kepentingan lain misalnya seperti “menyelamatkan” uang perusahaan agar tidak dipakai untuk membayar ganti rugi pada korban penggusuran lahan. Jika tujuan dari perusahaan tersebut berhasil dicapai, maka resistensi masyarakat akan melemah dan tekanan dari mereka terhadap perusahaan untuk mencapai tuntutan akan sangat sulit untuk diwujudkan.
Maka dari itu, perlu kiranya setiap gerakan sosial melakukan protect of social movement agar mampu bertahan dari serangan-serangan “musuh” yang tidak mungkin hanya menerapkan defensive strategydalam menghadapi resistensi tersebut. Gerakan sosial setidaknya harus menerapkan dua bentukprotection terhadap gangguan-gangguan atau serangan-serangan dari “musuh” yang bisa melemahkan mereka. Pertama, proteksi terhadap hard extermination. Bentuk dari hard exterminationini misalnya berupa penggunaan instrumen aparat keamanan (satpam, polisi, tentara) oleh “musuh” untuk melancarkan counter attack terhadap gerakan sosial dengan tujuan sebagai upaya pelemahan atau penumpasan. Demonstran akan mengalami benturan-benturan fisik dengan “musuh” apabila pendekatan seperti ini yang digunakan untuk merespon resistensi mereka.
Kedua, penggunaan kekerasan terhadap gerakan sosial sebenarnya berpeluang untuk menimbulkan semangat perlawanan yang semakin besar. Setiap represi (dalam bidang apa pun) akan selalu memunculkan resistensi (Santoso, 2009: 29). Ketika ternyata yang didapati “musuh” adalah semangat resistensi yang semakin membara di kalangan massa dari hasil respon mereka lewat mekanisme penumpasan dengan cara kekerasan (hard destroying), maka itu justru membuat posisi mereka semakin terancam dan tertekan. Untuk mencegah hal tersebut, “musuh” akan menerapkan strategi-strategi dengan tingkat resiko yang kecil apabila ternyata yang terjadi bukan seperti yang diharapkan. Perusahaan yang khawatir massa akan semakin “menggila” karena mendapat represi akan mencari jalan lain untuk melemahkan gerakan sosial tersebut.
Dalam hal ini soft extermination menjadi pilihan keduanya. Bentuk dari softextermination misalnya seperti upaya-upaya pelemahan lewat penyebaran fitnah berupa isu-isu diberikannya sejumlah uang untuk pemimpin gerakan atau sekelompok orang berpengaruh dalam gerakan sosial tersebut agar mau menuruti kepentingan-kepentingan dan kemauan-kemauan “musuh.” Bentuk lain misalnya “musuh” melakukan serangan “balas gagasan” terhadap orang-orang yang berpengaruh atau menjadi penggerak gerakan sosial tersebut. Misalnya ada organisasi mahasiswa yang beridiologi sosialisme menjadi pendamping masyarakat korban penggusuran lahan dalam menyuarakan tuntutan mereka. Oleh perusahaan (musuh) tersebut, lalu Organisasi Mahasiswa ini dituduh sebagai organisasi komunis. Masyarakat awam yang menganggap komunis sebagai sebuah ideologi jahat lalu menjauhi atau tidak mau didampingi lagi oleh organisasi tersebut.
Serangan “balas gagasan” ini awalnya adalah untuk membentuk opini publik yang kemudian efeknya adalah terpecah-belahnya gerakan sosial tersebut. Maka dari itu masyarakat harus dicerdaskan terlebih dahulu sebelum mereka berhasil dipengaruhi oleh musuh lewat penetrasi penumpasan gerakan sosial secara halus (soft extermination). Untuk memberi perlawanan atas serangan yang seperti ini, maka gerakan sosial harus mampu memberi serangan balik dengan cara melawan gagasan dengan gagasan, pemikiran dengan pemikiran, atau ide dengan ide; bukan justru merespon upaya pelemahan secara halus tersebut dengan cara-cara brutal karena itu tidak dapat memulihkan opini publik yang telah diracuni.
Gerakan sosial perlu mewaspadai dua bentuk penumpasan di atas. Membalut lapisan immune pada gerakan sosial akan membuat upaya-upaya pelemahan yang dilakukan “musuh” tidak akan berhasil dengan mudah, atau bahkan justru gagal sama sekali. Upaya pelemahan tidak hanya dilakukan lewat memberangus massa dengan cara memukul atau menembaki mereka, tetapi bisa juga dilakukan dengan cara meracuni otak massa agar semangat mereka memudar dan kemudian hilang. Jika itu berhasil dilakukan, maka “musuh” akan tetap bisa santai di pagi hari sambil menikmati secangkir kopi, sementara rakyat yang pulang dengan tangan kosong hanya bisa meratapi nasibnya.
Upaya penumpasan secara kasar (hard extermiantion) maupun secara halus (soft extermination) bahkan sering pula digencarkan “musuh” sebelum sebuah gerakan sosial turun ke lapangan untuk melakukan demonstrasi. Misalnya, ketika sebuah gerakan sosial yang sedang merencanakan sebuah aksi protes mahabesar untuk menuntut ganti rugi lahan pada sebuah perusahaan mendapati bahwa beberapa anggota mereka diculik secara misterius, terlebih lagi, jika yang diculik ternyata di kemudian hari didapati dalam keadaan tidak bernyawa. Jika cara kekerasan dan ekstrem seperti itu yang dilakukan, bukan berarti gerakan sosial tersebut pasti akan melemah. Ada dua kemungkinan yang bisa terjadi: (i) gerakan sosial tersebut menjadi lemah karena anggota-anggotanya mengalami tekanan psikis atau ketakutan; (ii) atau bisa saja semangat perlawanan semakin besar karena adanya pemicu baru kemarahan massa. Makin keras penumpasan dilancarkan makin teguh dan luas reaksi perlawanan (Manan, 2005: 25).
Demikian pula halnya dengan soft extermination, pelemahan seperti ini bisa juga bisa dialami oleh gerakan sosial sebelum mereka beraksi. Misalnya sebuah gerakan sosial yang diiming-imingi janji tertentu atau diberi sejumlah besar uang, asalkan mereka tidak melanjutkan aksinya. Bagi gerakan sosial yang mudah terpengaruh dan mampu diperdaya oleh rayuan-rayuan “musuh” seperti ini pasti akan mengurungkan niat untuk melakukan aksinya. Kecuali jika gerakan sosial tersebut dibangun dengan suatu pondasi yang kokoh atau terbangunnya sikap konsistensi untuk mencapai tuntutan mereka dan tidak akan menyerah atau berhenti sebelum tuntutan tersebut terealisasi, maka mereka tidak akan terpengaruh.
Agar sebuah gerakan sosial bisa tetap survive dalam aksinya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, maka konsistensi dan semangat juang harus tetap dijaga dan ditingkatkan. Selain itu, tindakan-tindakan penumpasan yang dilakukan “musuh” perlu pula diperhatikan, diwasdai dan dilawan.
0 komentar:
Post a Comment