Suatu negeri sedang berkembang di kawasan
Asian Tenggara sedang menghadapi suatu masalah besar. Sumber masalah itu
sendiri sudah ada beratus-ratus tahun. Namun para petinggi negeri masih
menganggapnya sebagai masalah kecil dan sepele jika dibandingkan begitu banyak
masalah yang harus lebih diprioritaskan.
Sekarang persoalan kecil itu semakin
membesar, semakin menumpuk, menggumpal bagaikan kawah api yang siap meledak.
Persoalan itu adalah, ”TIKUS”. Tikus berkembang biak dengan sangat luar
biasa karena iklimnya memang memungkinkan mereka berkembang dengan aman. Mereka
sekarang tidak hanya bermain di sekitar dapur, sawah, tumpukan sampah dan
pasar-pasar tradisional, tetapi telah memperluas wilayah operasinya hingga ke
pemukiman elite, super market, gudang bahan pangan, Industri makanan, bahkan
telah berani masuk ke istana negeri tanpa tercium oleh para pengawal istana.
Entah sudah berapa juta ton konsumsi yang sedianya diperuntukkan bagi
kesejahteraan manusia habis dilahapnya. Tidak terhitung berapa banyak kerugian
negeri oleh ulah si kotor hitam itu.
Gerombolan tikus semakin lama semakin
cerdik. Mereka tidak lagi takut pada kucing karena merasa derajat mereka sama
saja, sama-sama pencuri. Bahkan kalau perlu mereka berkolaborasi walaupun pada
akhirnya berselisih soal hasil curian.
Gerombolan tikus senantiasa belajar dari
pengalaman. Mereka sudah sangat mengenal berbagai model perangkap tikus untuk
tidak selalu terjebak. Mereka juga sangat hafal dengan aroma racun-racun tikus
dan lem-lem tikus sehingga bisa membedakan mana curian yang aman dan mana yang
bisa mematikan. Kalaupun ada yang terperangkap, itu hanyalah tikus-tikus kelas
rendahan yang tidak perlu membuat gusar gerombolan tikus lainnya. Bagi tikus
tidak berlaku hukum efek jera. Bagi tikus berlaku slogan yang lebih heroik,
”Mati satu, hidup seribu. Terperangkap satu, menjadi pengalaman bagi seribu
tikus lainnya”.
Penguasa negeri telah mengambil sikap tegas
untuk membasmi tikus dari yang paling besar hingga yang paling kecil, bahkan
yang baru lahir dan masih berwarna merah pun harus dibasmi. Hanya kementerian
kesehatan dan lembaga-lembaga riset yang keberatan. Bagi mereka keberadaan
tikus masdih diperlukan sebagai obyek percobaan temuan-temuan riset. Namun kali
ini penguasa negeri pengabaikan keberatan tersebut. Gerakan pembasmian tikus
harus dilaksanakan sekarang, jika tidak mereka yang akan terus membasmi
kehidupan negeri ini.
Penguasa negeri segera mengumumkan maklumat
dan mengundang para cerdik pandai untuk memberikan gagasan dan pemikiran untuk
melaksanakan gerakan pembasmian ini. Beribu-ribu proposal masuk. Ada usulan
yang hanya bersifat parsial, ada juga usulan yang tidak memperhitungkan
keselamatan mahluk lainnya, ada pula usulan yang biayanya tidak masuk akal,
bahkan ada yang mengusulkan penggunaan teknologi nuklir. Akhirnya setelah
melalui penilaian yang seksama dan ketat, ternyata hanya ada satu proposal yang
agak rasional untuk dipresentasikan dihadapan penguasa dalam sidang agung
terbuka untuk umum.
Walaupun telah berusia 70 tahun, mantan
Panglima Perang itu cukup energik memaparkan proposalnya. ”Pemberantasan tikus
secara massal dan total jangan hanya menjadi beban penguasa negeri. Seluruh
rakyat harus dilibatkan tanpa terkecuali karena seluruh rakyat merasakan akibat
kerusakan yang diakibatkan oleh ulah tikus.”
0 komentar:
Post a Comment