Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Thursday, March 8, 2012

Globalisasi Dan Kebudayaan Lokal

Adalah sesuatu yang lumrah bahwa dalam suatu komunitas, pergeseran struktur kemasyarakatan dan struktur kebudayaan yang dianut terjadi. Begitupun dalam era globalisasi sekarang ini. Namun yang menjadi tidak lumrah adalah pada saat pergeseran yang berlangsung pada kedua struktur tersebut, terjadi dalam sebuah kondisi “keterpaksaan”. 
Globalisasi dengan kekuatan ekonomi politiknya sebagai bentuk imprealisme dan kolonialisme baru, -sebagaimana disinyalir oleh Irwan Abdullah, antropolog UGM- memaksa struktur masyarakat dan struktur kebudayaan bergeser dari situasi sistem kemasyarakatan yang terbatas atau bounded system menjadi sistem kemasyarakatan yang tanpa batas atau borderless system, sebuah situasi yang menguntungkan pasar bebas kapitalisme tanpa memperdulikan apakah orang-orang yang hidup dalam kedua struktur tersebut sudah siap atau belum.
Pergeseran struktur masyarakat ini dapat dilihat dengan makin hilangnya ciri khas sebuah komunitas yaitu :
·         Minat atau nilai yang sama dikalangan anggotanya
·         Persamaan ekologi dan lokalitas
·         Sistem atau struktur sosial yang sama
Ketiga ciri khas ini perlahan-lahan hilang digilas oleh arus globalisasi. Nilai yang dikhayalkan bersama oleh anggota komunitas sebagai nilai yang dicitakan dan diidealkan oleh para penganutnya atau meminjam istilah Ben Anderson imagined communities bergeser posisi fungsi peran dan muatannya dari sekedar minat atau nilai dikalangan masyarakat lokal tertentu atau collective mind menjadi nilai yang berlaku global atau global mind dalam bahasa Marshall Goldsmith.
Dalam analisis lanjutnya, Marshall Goldsmith memetakan ciri masyarakat global yang merupakan arah pergeseran struktur kemasyarakatan dan struktur kebudayaan yang terjadi, yaitu
·         Diversitas 
·         Pembentukan nilai jangka panjang
·         Hilangnya Humanitas
Ciri inilah yang menggantikan struktur masyarakat lama yang bersifat lokalitas dan terbatas oleh batasan-batasan teritori menjadi sesuatu yang menglobal sifatnya.
Sebenarnya ketiga nilai dari global mind ini, secara sepintas lalu, tampak tidak terlalu berbahaya, utamanya pada point pertama dan kedua. Tapi kalau kita perhatikan pada point ketiga, maka disinilah mulai tampak secara jelas pangkal masalahnya. Hilangnya Humanitas. Dengan hilangnya humanitas, maka manusia sudah bukan manusia lagi, manusia sudah menjadi makhluk berdimensi tunggal (one dimensional man-nya Herbert Marcuse).
Dapat kita saksikan pada masyarakat global, bahwa perkembangan teknologi informasi (information technology), telah menggiring manusia menuju sebuah bangunan komunitas semu, maya dan artifisial (virtual community) sehingga ditengah bangunan dunia yang makin terhubungkan (connected), maka sesungguhnya individu-individu itu malah makin terasing dan makin terputus hubungan dengan manusia lain (dis-connected).
Semua persoalan kemasyarakatan dan kebudayaan manusia sudah tidak diselesaikan di ruang politik (politic space) atau ruang kebudayaan (cultur space), namun coba diselesaikan disela-sela tuts komputer dan layar monitor. Sehingga manusia menjadi makin individualis dan terasing dari komunitas manusia dan kemanusiaannya. Dan dalam ruang maya ini, semua masalah menjadi tidak memiliki nilai sakralitas, spiritualitas dan orisinalitas serta asal usul. Yang terbangun adalah tipe manusia yang mementingkan diri sendiri (selfish man) bahkan lebih parah lagi mereka adalah manusia digital (digital man). Manusia yang seluruh sisi dan segi kehidupannya diatur oleh remote kontrol. 
Contoh kasus, misalnya apa yang telah dilakukan oleh perusahaan elektronik Sony, dalam upayanya memberikan solusi pragmatis terhadap keterasingan (dis-connected) manusia ditengah keramaian (connected). Sebelum kebijakan untuk menembus pasar produk jenis Walkman, pimpinan Sony secara khusus melakukan survay lapangan dan menemukan bahwa betapa banyak manusia yang terasing dan kesepian ditengah keramaian (lokasi survay adalah stasiun keteta api bawah tanah di Jepang). Karenanya, dengan adanya Walkman, diharapkan mereka akan melupakan kesepiannya bahkan menikmatinya.
Nah dari sinilah sebenarnya pangkal masalahnya, karena teknologi informasi (information technology) yang menjadi ujung tombak dari globalisasi, ternyata telah mengarahkan manusia untuk menikmati kesendirian. Bahkan mengarahkan nilai dan minat yang terbentuk dalam struktur kemasyarakatan dan kebudayaan lokal, kepada satu titik yang sangat merugikan masyarakat, bahkan kemanusiaan kita.
Titik tersebut tidak menyisakan satupun ruang untuk berkembangnya kebudayaan lokal dan kearifan-kearifan tradisional yang selama ini merupakan bangunan imagined communities dan menjadi collective mind. Bangunan budaya lokal menjadi tidak lebih dari sebuah trivial pursuit atau upaya pencarian terhadap hal-hal yang remeh-remeh saja. Mulai dari model potongan rambut apa yang dipakai Vic chou (pemeran Hua Zhe Lei di Meteor Garden), sampai pada merk pakaian dalam Madonna, yang sesungguhnya tidak ada korelasi positifnya dengan makna sesungguhnya dari kebudayaan sebagai hasil dari sebuah proses pemanusiaan manusia.
Globalisasi dengan senjata utamanya teknologi informasi (information technology) telah menggeser nilai dasar kultur lokal masyarakat berupa moralitas, keimanan atau makna luhur yang difahami secara mendalam menjadi sebuah bangunan kultur yang mengglobal dengan warnanya yang bersifat tidak punya kedalaman (depthlessness) sebuah konsentrasi pada bentuk (style) dan permukaan (surface) sebagaimana disinyalir oleh Frederic Jameson.
Bahkan sekarang ini, struktur kemasyarakatan dan struktur kebudayaan telah bertekuk lutut di hadapan sebuah ruang kehidupan yang oleh Michael J. Wolf disebutnya sebagai entertainment zone. Sebuah wilayah yang menyeret kehidupan untuk tidak memperhatikan lagi hal-hal lain selain hiburan dan hiburan, sehingga dalam budaya pop sekarang ini, muncul istilah All I wanna do is have some fun (apa yang kuinginkan cuma bersenang-senang). 
Lalu dengan memanfaatkan kekuatan ekonomi pasar bebasnya, arus globalisasi menyeret semua manusia dalam kondisi yang digambarkan diatas, namun manusia tidak terlalu merasakannya, karena caranya begitu halus, globalisasi telah berhasil melakukan massifikasi terhadap budaya massa melalui mekanisme produksi dan reproduksi. Dan ujung-ujungnya adalah sebuah kedangkalan budaya, serta bukannya sebuah kesadaran bahwa budaya merupakan konsep utama dalam aktivitas kehidupan. 

Globalisasi Dan Kebudayaan Lokal Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment