Adalah sesuatu yang lumrah bahwa
dalam suatu komunitas, pergeseran struktur kemasyarakatan dan struktur
kebudayaan yang dianut terjadi. Begitupun dalam era globalisasi sekarang ini.
Namun yang menjadi tidak lumrah adalah pada saat pergeseran yang berlangsung
pada kedua struktur tersebut, terjadi dalam sebuah kondisi “keterpaksaan”.
Globalisasi dengan kekuatan ekonomi
politiknya sebagai bentuk imprealisme dan kolonialisme baru, -sebagaimana
disinyalir oleh Irwan Abdullah, antropolog UGM- memaksa struktur masyarakat dan
struktur kebudayaan bergeser dari situasi sistem kemasyarakatan yang terbatas
atau bounded system menjadi sistem kemasyarakatan yang tanpa batas atau
borderless system, sebuah situasi yang menguntungkan pasar bebas kapitalisme
tanpa memperdulikan apakah orang-orang yang hidup dalam kedua struktur tersebut
sudah siap atau belum.
Pergeseran struktur masyarakat ini
dapat dilihat dengan makin hilangnya ciri khas sebuah komunitas yaitu :
·
Minat atau nilai yang sama dikalangan anggotanya
·
Persamaan ekologi dan lokalitas
·
Sistem atau struktur sosial yang sama
Ketiga ciri khas ini perlahan-lahan
hilang digilas oleh arus globalisasi. Nilai yang dikhayalkan bersama oleh
anggota komunitas sebagai nilai yang dicitakan dan diidealkan oleh para
penganutnya atau meminjam istilah Ben Anderson imagined communities bergeser
posisi fungsi peran dan muatannya dari sekedar minat atau nilai dikalangan
masyarakat lokal tertentu atau collective mind menjadi nilai yang berlaku
global atau global mind dalam bahasa Marshall Goldsmith.
Dalam analisis lanjutnya, Marshall
Goldsmith memetakan ciri masyarakat global yang merupakan arah pergeseran
struktur kemasyarakatan dan struktur kebudayaan yang terjadi, yaitu
·
Diversitas
·
Pembentukan nilai jangka panjang
·
Hilangnya Humanitas
Ciri inilah yang menggantikan
struktur masyarakat lama yang bersifat lokalitas dan terbatas oleh
batasan-batasan teritori menjadi sesuatu yang menglobal sifatnya.
Sebenarnya ketiga nilai dari global
mind ini, secara sepintas lalu, tampak tidak terlalu berbahaya, utamanya pada
point pertama dan kedua. Tapi kalau kita perhatikan pada point ketiga, maka
disinilah mulai tampak secara jelas pangkal masalahnya. Hilangnya Humanitas.
Dengan hilangnya humanitas, maka manusia sudah bukan manusia lagi, manusia sudah
menjadi makhluk berdimensi tunggal (one dimensional man-nya Herbert Marcuse).
Dapat kita saksikan pada masyarakat
global, bahwa perkembangan teknologi informasi (information technology), telah
menggiring manusia menuju sebuah bangunan komunitas semu, maya dan artifisial
(virtual community) sehingga ditengah bangunan dunia yang makin terhubungkan
(connected), maka sesungguhnya individu-individu itu malah makin terasing dan
makin terputus hubungan dengan manusia lain (dis-connected).
Semua persoalan kemasyarakatan dan
kebudayaan manusia sudah tidak diselesaikan di ruang politik (politic space)
atau ruang kebudayaan (cultur space), namun coba diselesaikan disela-sela tuts
komputer dan layar monitor. Sehingga manusia menjadi makin individualis dan
terasing dari komunitas manusia dan kemanusiaannya. Dan dalam ruang maya ini,
semua masalah menjadi tidak memiliki nilai sakralitas, spiritualitas dan
orisinalitas serta asal usul. Yang terbangun adalah tipe manusia yang
mementingkan diri sendiri (selfish man) bahkan lebih parah lagi mereka adalah
manusia digital (digital man). Manusia yang seluruh sisi dan segi kehidupannya
diatur oleh remote kontrol.
Contoh kasus, misalnya apa yang
telah dilakukan oleh perusahaan elektronik Sony, dalam upayanya memberikan
solusi pragmatis terhadap keterasingan (dis-connected) manusia ditengah
keramaian (connected). Sebelum kebijakan untuk menembus pasar produk jenis
Walkman, pimpinan Sony secara khusus melakukan survay lapangan dan menemukan
bahwa betapa banyak manusia yang terasing dan kesepian ditengah keramaian
(lokasi survay adalah stasiun keteta api bawah tanah di Jepang). Karenanya,
dengan adanya Walkman, diharapkan mereka akan melupakan kesepiannya bahkan
menikmatinya.
Nah dari sinilah sebenarnya pangkal
masalahnya, karena teknologi informasi (information technology) yang menjadi
ujung tombak dari globalisasi, ternyata telah mengarahkan manusia untuk
menikmati kesendirian. Bahkan mengarahkan nilai dan minat yang terbentuk dalam
struktur kemasyarakatan dan kebudayaan lokal, kepada satu titik yang sangat
merugikan masyarakat, bahkan kemanusiaan kita.
Titik tersebut tidak menyisakan
satupun ruang untuk berkembangnya kebudayaan lokal dan kearifan-kearifan
tradisional yang selama ini merupakan bangunan imagined communities dan menjadi
collective mind. Bangunan budaya lokal menjadi tidak lebih dari sebuah trivial
pursuit atau upaya pencarian terhadap hal-hal yang remeh-remeh saja. Mulai dari
model potongan rambut apa yang dipakai Vic chou (pemeran Hua Zhe Lei di Meteor
Garden), sampai pada merk pakaian dalam Madonna, yang sesungguhnya tidak ada
korelasi positifnya dengan makna sesungguhnya dari kebudayaan sebagai hasil
dari sebuah proses pemanusiaan manusia.
Globalisasi dengan senjata utamanya
teknologi informasi (information technology) telah menggeser nilai dasar kultur
lokal masyarakat berupa moralitas, keimanan atau makna luhur yang difahami
secara mendalam menjadi sebuah bangunan kultur yang mengglobal dengan warnanya
yang bersifat tidak punya kedalaman (depthlessness) sebuah konsentrasi pada
bentuk (style) dan permukaan (surface) sebagaimana disinyalir oleh Frederic
Jameson.
Bahkan sekarang ini, struktur
kemasyarakatan dan struktur kebudayaan telah bertekuk lutut di hadapan sebuah
ruang kehidupan yang oleh Michael J. Wolf disebutnya sebagai entertainment
zone. Sebuah wilayah yang menyeret kehidupan untuk tidak memperhatikan lagi
hal-hal lain selain hiburan dan hiburan, sehingga dalam budaya pop sekarang
ini, muncul istilah All I wanna do is have some fun (apa yang kuinginkan cuma
bersenang-senang).
Lalu dengan memanfaatkan kekuatan
ekonomi pasar bebasnya, arus globalisasi menyeret semua manusia dalam kondisi
yang digambarkan diatas, namun manusia tidak terlalu merasakannya, karena
caranya begitu halus, globalisasi telah berhasil melakukan massifikasi terhadap
budaya massa melalui mekanisme produksi dan reproduksi. Dan ujung-ujungnya
adalah sebuah kedangkalan budaya, serta bukannya sebuah kesadaran bahwa budaya
merupakan konsep utama dalam aktivitas kehidupan.
0 komentar:
Post a Comment