LINGKARAN hidup kita, kini dikuasai oleh
kebudayaan massa. Lazimnya kebudayaan massa di dunia ketiga indikatornya adalah
"kebudayaan pop komersialisasi gaya hidup".
Pergulatan kebudayaan massa, telah
terhitung sejak mengkristalnya renaisans berpenetrasi secara deviatif yang
berpadu dengan tradisi di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Post-post kebudayaan
massa singgah dan merembes melalui semangat menyambut teknologi komunikasi,
yang kemudian mengkristal dalam merkantilisme kaum tenager. Utamanya pada
produksi musik, modis dan rangsangan sensualitas yang tidak pernah berkompromi
dengan spiritualitas.
Fukuyama memprediksi bahwa ideologi ekonomi
yang berseberangan dengan ide-ide besar elite politik, juga menjadi bagian
penting dari kebudayaan massa, sehingga ketelanjuran dan ketergelinciran tidak
terlepas dari anatomi kaum muda. Artinya, transformasi ekonomi dalam produksi
teknologi komunikasi tanpa kompromi merampas ruh, jantung, dan perilaku nyinyir
kaum muda.
Maka, kebudayaan massa tidak dapat
dibendung, kita terkadang memang ingin membatasinya dengan nilai agama. Tapi,
coba lihat di audio visual, majelis taklim hanya disambar oleh ibu-ibu. Kalau
pun ada orang muda, mereka bagian dari segelintir anggota rois yang ada di
kampus. Dengan berbagai kemilaunya, kebudayaan massa, menusuk jantung kaum
tenager yang telah digerogoti oleh koronerisme teknologi komunikasi, kemudian
berbalik arah tampil sebagai bumerang.
Mengapa bumerang? Betapa tidak, internet
telah "diakui sebagai Tuhan kedua", setelah Tuhan pertama mereka
ritualitas kosong tanpa ukhrawi dan istikamah. Ini berlaku sangat menguat di
Indonesia yang mayoritas Islam. Belum lagi, kebudayaan massa bermetamorfosis
dengan gerakan Islam liberal, yang secara ekstrem mengutak-atik undercurrent
kaum moralis.
Di sini kebudayaan massa bertemu sahabatnya
yang bernama "youth secularis". Suatu paham sekuler yang menekuk
nekuk punggung kaum muda telah menarik seluruh perhatian kita. Apa yang
disinyalir oleh Dominggos Gernandes, guru besar teologi Chicago University,
menunjukkan bahwa generasi muda cenderung melaut di tengah perspektif lingkaran
setan kebudayaan tendensius. Apa yang dimaksud ilmuan Amerika Selatan ini
adalah tendensiusme yang secara gemilang memasuki jantung spiritualitas kaum
tenager.
Kebudayaan massa mengkristal dan
mencabik-cabik ideologi, politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan itu sendiri.
Ideologi yang diintrodusir Antonio Gramscy sebagai kekuatan utama suatu bangsa,
sirna ditelan dan ditelanjangi oleh kehendak elite politik yang menyubordinasi
kegamangan kaum remaja. Akibatnya, horison kebangsaan terpelanting ke arah
hedonisme, terjadi kebulatan tekad untuk menggalang "memilih yang
bayar", suatu karakteristik ideologi baru, yakni ideologi sembako.
Sementara itu, bayangan struktur ekonomi
dalam dimensi kebudayaan massa, menunjuk pada angka kebangkrutan moral, ini
ditandai dengan hancurnya sektor riil di bawah bayang-bayang minimarket.
Bersamaan dengan itu, merajalelanya perubahan-perubahan perspektif setiap
sektor ingin menjadi prostitusi dadakan. Kebudayaan massa telah memaksa
wartawan, seniman, PNS, paguyuban, ilmuan sampai petinggi di daerah, untuk
menjadi pelacur. Melacur adalah perspektif baru untuk melayani dinamika global
kebudayaan massa.
Pernik-pernik yang merangsang dari
kebudayaan massa, mau tidak mau membidani dan ngemong "kebudayaan pop
komersialisasi gaya hidup". Inilah yang ditarik simpulnya oleh Umar Kayam
(1982), sebagai suatu kekalahan untuk mengalahkan yang telah kalah, yakni
mengantisipasi "pepesan kosong" tradisi lama dengan berusaha
mengawinkan tradisi baru melalui ekslarasi kultural. Dan, ini tidak mungkin.
Mengapa tidak mungkin? Sebab, tradisi lama telah bertabrakan dengan hegemoni
politik kaum the have yang muncul dari priyayi Jawa. Maka, keputusasaan dan
frustrasi sangat akrab dengan generasi baru.
Apa yang disinyalir Kayam dua puluh delapan
tahun lalu itu, menemukan titik nadirnya. Ironi, saat saat kemerdekaan untuk
mengaktualisasikan ide, gagasan, dan pemikiran sedang bebas bebasnya, sehingga
rasanya tak layak bila kebudayaan massa menjebak kita, tapi apatah artinya,
kita toh sekarang berada dalam cermin yang retak di tengah pencarian tak
berkesudahan tentang keindonesiaan itu sendiri. Maka, kita pun membeku dalam
sumur tua, panggung retak yang di-setting oleh para elite politik. Sumur tua,
dalam arti, tak ada lagi air penjernih untuk ditimba. Setting yang bergeser di
atas panggung sosial hegemoni politik. Lalu kita mau apa?
Sukar untuk menjawab pertanyaan itu. Sukar,
karena kita berada lingkaran kehidupan romantisme ahistoris dan deideologisasi.
Artinya, kita tidak mengenal gilang gemilangnya sejarah kita, dan kita telanjur
meremas-remas ideologi dalam bentuk aksi sebagai resultante dari euforia yang
tidak berkesudahan. Barangkali alternatif-alternatif yang mungkin bisa diambil,
hanyalah terus menerus menghegemoni kaum muda dengan scienes, tentu dalam
struktur kurikulum yang antisipatif dengan milieu masing-masing.
Alternatif ini ditawarkan karena hanya
dengan nilai-nilai pedagogislah suatu kesempatan bisa diraih. Penetrasi
pedagogis harus merasuk tulang sumsum setiap lini kehidupan, baik ipoleksosbud
tadi, teristimewa lagi pengolahan dan pemetaan sains di tengah pranta kaum muda
lewat audio visual, sehingga kebudayaan massa yang secara masif telah mengoloni
generasi penerus itu, bisa sedikit tersingkir dan atau terpinggirkan lambat
atau cepat.
Alternatif berikutnya, barangkali kita
seyogianya membuka mata hati pada pengelolaan sektor riil. Kaum sektor informal
yang telah direptilkan oleh liberalisme dan merkantilisme, harus ditegakkan di
dalam wadah yang realistis dan faktual. Kita dipaksa untuk meredam konsumerisme
lewat aktualisasi sektor informal, yang dalam bahasa klisenya "mencintai produk
lokal", meski ini seperti mimpi di tengah globalisasi, tapi penulis yakin,
ini belum nightmare (mimpi buruk), tetapi masih tergolong "mimpi di siang
hari". Kita bisa bangkit, melepaskan selimut menyingsingkan lengan baju,
atau bahkan melepaskan baju, karena panasnya udara kebudayaan massa. Di tengah
udara yang panas itu, kita masih optimistis membangkitkan etos sektor riil
sebagai alternatif.
0 komentar:
Post a Comment