Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Saturday, February 18, 2012

Lingkaran Hidup Di Tengah Kebudayaan Massa

LINGKARAN hidup kita, kini dikuasai oleh kebudayaan massa. Lazimnya kebudayaan massa di dunia ketiga indikatornya adalah "kebudayaan pop komersialisasi gaya hidup".
Pergulatan kebudayaan massa, telah terhitung sejak mengkristalnya renaisans berpenetrasi secara deviatif yang berpadu dengan tradisi di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Post-post kebudayaan massa singgah dan merembes melalui semangat menyambut teknologi komunikasi, yang kemudian mengkristal dalam merkantilisme kaum tenager. Utamanya pada produksi musik, modis dan rangsangan sensualitas yang tidak pernah berkompromi dengan spiritualitas.
Fukuyama memprediksi bahwa ideologi ekonomi yang berseberangan dengan ide-ide besar elite politik, juga menjadi bagian penting dari kebudayaan massa, sehingga ketelanjuran dan ketergelinciran tidak terlepas dari anatomi kaum muda. Artinya, transformasi ekonomi dalam produksi teknologi komunikasi tanpa kompromi merampas ruh, jantung, dan perilaku nyinyir kaum muda.
Maka, kebudayaan massa tidak dapat dibendung, kita terkadang memang ingin membatasinya dengan nilai agama. Tapi, coba lihat di audio visual, majelis taklim hanya disambar oleh ibu-ibu. Kalau pun ada orang muda, mereka bagian dari segelintir anggota rois yang ada di kampus. Dengan berbagai kemilaunya, kebudayaan massa, menusuk jantung kaum tenager yang telah digerogoti oleh koronerisme teknologi komunikasi, kemudian berbalik arah tampil sebagai bumerang.
Mengapa bumerang? Betapa tidak, internet telah "diakui sebagai Tuhan kedua", setelah Tuhan pertama mereka ritualitas kosong tanpa ukhrawi dan istikamah. Ini berlaku sangat menguat di Indonesia yang mayoritas Islam. Belum lagi, kebudayaan massa bermetamorfosis dengan gerakan Islam liberal, yang secara ekstrem mengutak-atik undercurrent kaum moralis.
Di sini kebudayaan massa bertemu sahabatnya yang bernama "youth secularis". Suatu paham sekuler yang menekuk nekuk punggung kaum muda telah menarik seluruh perhatian kita. Apa yang disinyalir oleh Dominggos Gernandes, guru besar teologi Chicago University, menunjukkan bahwa generasi muda cenderung melaut di tengah perspektif lingkaran setan kebudayaan tendensius. Apa yang dimaksud ilmuan Amerika Selatan ini adalah tendensiusme yang secara gemilang memasuki jantung spiritualitas kaum tenager.
Kebudayaan massa mengkristal dan mencabik-cabik ideologi, politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan itu sendiri. Ideologi yang diintrodusir Antonio Gramscy sebagai kekuatan utama suatu bangsa, sirna ditelan dan ditelanjangi oleh kehendak elite politik yang menyubordinasi kegamangan kaum remaja. Akibatnya, horison kebangsaan terpelanting ke arah hedonisme, terjadi kebulatan tekad untuk menggalang "memilih yang bayar", suatu karakteristik ideologi baru, yakni ideologi sembako.
Sementara itu, bayangan struktur ekonomi dalam dimensi kebudayaan massa, menunjuk pada angka kebangkrutan moral, ini ditandai dengan hancurnya sektor riil di bawah bayang-bayang minimarket. Bersamaan dengan itu, merajalelanya perubahan-perubahan perspektif setiap sektor ingin menjadi prostitusi dadakan. Kebudayaan massa telah memaksa wartawan, seniman, PNS, paguyuban, ilmuan sampai petinggi di daerah, untuk menjadi pelacur. Melacur adalah perspektif baru untuk melayani dinamika global kebudayaan massa.
Pernik-pernik yang merangsang dari kebudayaan massa, mau tidak mau membidani dan ngemong "kebudayaan pop komersialisasi gaya hidup". Inilah yang ditarik simpulnya oleh Umar Kayam (1982), sebagai suatu kekalahan untuk mengalahkan yang telah kalah, yakni mengantisipasi "pepesan kosong" tradisi lama dengan berusaha mengawinkan tradisi baru melalui ekslarasi kultural. Dan, ini tidak mungkin. Mengapa tidak mungkin? Sebab, tradisi lama telah bertabrakan dengan hegemoni politik kaum the have yang muncul dari priyayi Jawa. Maka, keputusasaan dan frustrasi sangat akrab dengan generasi baru.
Apa yang disinyalir Kayam dua puluh delapan tahun lalu itu, menemukan titik nadirnya. Ironi, saat saat kemerdekaan untuk mengaktualisasikan ide, gagasan, dan pemikiran sedang bebas bebasnya, sehingga rasanya tak layak bila kebudayaan massa menjebak kita, tapi apatah artinya, kita toh sekarang berada dalam cermin yang retak di tengah pencarian tak berkesudahan tentang keindonesiaan itu sendiri. Maka, kita pun membeku dalam sumur tua, panggung retak yang di-setting oleh para elite politik. Sumur tua, dalam arti, tak ada lagi air penjernih untuk ditimba. Setting yang bergeser di atas panggung sosial hegemoni politik. Lalu kita mau apa?
Sukar untuk menjawab pertanyaan itu. Sukar, karena kita berada lingkaran kehidupan romantisme ahistoris dan deideologisasi. Artinya, kita tidak mengenal gilang gemilangnya sejarah kita, dan kita telanjur meremas-remas ideologi dalam bentuk aksi sebagai resultante dari euforia yang tidak berkesudahan. Barangkali alternatif-alternatif yang mungkin bisa diambil, hanyalah terus menerus menghegemoni kaum muda dengan scienes, tentu dalam struktur kurikulum yang antisipatif dengan milieu masing-masing.
Alternatif ini ditawarkan karena hanya dengan nilai-nilai pedagogislah suatu kesempatan bisa diraih. Penetrasi pedagogis harus merasuk tulang sumsum setiap lini kehidupan, baik ipoleksosbud tadi, teristimewa lagi pengolahan dan pemetaan sains di tengah pranta kaum muda lewat audio visual, sehingga kebudayaan massa yang secara masif telah mengoloni generasi penerus itu, bisa sedikit tersingkir dan atau terpinggirkan lambat atau cepat.
Alternatif berikutnya, barangkali kita seyogianya membuka mata hati pada pengelolaan sektor riil. Kaum sektor informal yang telah direptilkan oleh liberalisme dan merkantilisme, harus ditegakkan di dalam wadah yang realistis dan faktual. Kita dipaksa untuk meredam konsumerisme lewat aktualisasi sektor informal, yang dalam bahasa klisenya "mencintai produk lokal", meski ini seperti mimpi di tengah globalisasi, tapi penulis yakin, ini belum nightmare (mimpi buruk), tetapi masih tergolong "mimpi di siang hari". Kita bisa bangkit, melepaskan selimut menyingsingkan lengan baju, atau bahkan melepaskan baju, karena panasnya udara kebudayaan massa. Di tengah udara yang panas itu, kita masih optimistis membangkitkan etos sektor riil sebagai alternatif. 

Lingkaran Hidup Di Tengah Kebudayaan Massa Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment