Pada hakikatnya pemerintahan merupakan suatu gambaran tentang bagaimana pada
permulaan pemerintahan setelah terbentuk dan bagaimana pemerintahan itu telah
berkembang melalui perkembangan dari 3 tipe masyarakat yaitu masyarakat setara,
masyarakat bertingkat dan masyarakat berlapis.
Perkembangan pemerintahan itu juga ditentukan oleh
perkembangan masyarakatnya yang disebabkan oleh faktor-faktor lain yang
melandasinya seperti pertambahan dan tekanan penduduk, ancaman atau perang dan
penjarahan yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat terhadap kelompok
masyarakat yang lain dan telah menjadi faktor-faktor yang memacu perkembangan
pemerintahan yaitu penguasaan oleh suatu pemerintah atau negara.
Evaluasi pendidikan
sebagai mana dimaksud dalam PP.No. 19 Tahun 2005 sesungguhnya merupakan
suatu kebijakan yang bertujuan "mulia", yang bermuarah pada perbaikan dan pemerataan
kualitas pendidikan secara nasional. Hal ini secara detail dikernukakan oleh
Bapak Djemari Mardapi (Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan) dalam suatu
acara dialog MetroTV Namun disayangkan karena evaluasi pendidikan yang dimaksudkan
itu ternyata salah kaprah. Secara teoretis dalam “Ilmu Administrasi Negara", evaluasi merupakan salah satu
fungsi yang perlu dilakukan untuk mengetahui kelemahan, kekurangan, dan hambatan serta faktor-faktor pcndukung,, terhadap suatu
implementasi kebijakan publik.
Tujuannya adalah untuk mencari solusi terhadap adanya kelemahan, kekurarangan, dan hambatan
tersebut dan sekaligus menjaga/ memelihara
dan meningkatkan factor-faktor pendukung, sehingga dapat dilakukan
penyempurnaan (simplification) terhadap,
implementasi kebijakan tahap berikutnya dan pada gilirannya dapat rneningkatkan kinerja organisasi.
Jika kita memahami/mendalami makna evaluasi dalam konteks Ilmu
adrninistrasi Negara, maka orang-orang yang
berpikir rasional akan sependapat bahwa evaluasi adalah suatu fungsi yang mutlak diperlukan dalam upaya memperbaiki
dan meningkatkan kinerja organisasi publik. Pemahaman ini menjadi
penguatan tentang pentingnya penerapan,PP.No.
19 Tahun 2005.
Namun
kemudian menjadi bias dan distorsi, jika pemahaman evaluasi yang rasional
tersebut dikaitkan dengan kelulusan/ketidaklulusan siswa. Berarti ada upaya
memutarbalikan konsep evaluasi menjadi konsep uji, karena ada kepentingan
tertentu. Secara teoretis dalam dunia pendidikan, bahwa "ujian"
bertujuan untuk mengetahui tingkat
penguasaan siswa atas seluruh mata pelajaran yang diterimanya selama
proses pernbelajaran, kemudian ditetapkan batas kelulusan atas persentase
tertentu dari penguasaan siswa. Oleh
karena itu, seharusnya yang
diujikan itu adalah seluruh materi pelajaran yang diperoleh selama
proses pembelajaran pada jenjang tertentu. dan penentuan kelulusan seharusnya
menjadi kewenangan kepala sekolah dan
dewan guru karena merekalah yang palinmg mengetahui kemampuan
siswa secara objektif.
Dari pemahaman tersebut, selanjutnva
timbul Pula bias dan distorsi terhadap konsep
ujian. ketika Soal ujian disusun
berdasarkan standar nasional yang hanya pas untuk DKI Jakarta dan Pulau Jawa terutama di daerah pedalaman yang masih
memprihatinkan dilihat dari berbagai dimensi penentu kualitas pendidikan
(kelengkapan saran dan prasarana, pasilitas perpustakaan, labolatorium,
kualitas dan kopetensi guru, rasio antara guru dan siswa, kemampuan managerial
kepala sekolah, kelengkapan administrasi sekolah dan lain-lain). Dimensi
tersebut masih memperlihatkan kesenjangan yang cukUptajam antar DKI Jakarta dan luar DKI, antar pulau
Jawa dan luar Jawa, antar daerah perkotaan dan daerah pedalaman dan antar
sekolah. Secara formalistik dan normatif,
ada kurikulum nasional 1994 dan 2004 tetapi kurikulum tidak beroperasi
sendiri untuk mewujudkan kualitas yang berstandar nasional.
Kurikulum
hanyalah sekedar dokumen yang perlu didukung oleh berbagai dimensi penentu
yang dikemukakan di atas. Bayangkan bagaimana nasib siswa di pedalaman Papua
yang terisolir dalam menghadapi Unas?.
Komentar tokoh Papua (Metro TV tgl.25 Desember 2009 pkl.00.25)
tidak setuju Unas karena adanya kesenjangan antara pulau Jawa dan luar Jawa sehingga
yang layak adalah ujian lokal.
Kondisi serupa rnasih menjadi pedoman di daerah pedalaman luar Jawa lainnya, mungkin termasuk pedalaman Sultra, misalnya SMU di Konut, Butur dll. Kondisi yang masih memprihatinkan itu, dibuktikan
dengan status lembar hitam bagi daerah-daerah (selain DKI Jakarta
dan Yogyakarta) dalam penyelenggaraan
Unas 2009 yang lalu. Kita tidak selayaknya mempersalahkan sekolah/guru jika ada intervensi sebab secara
psikologis, ada beban moral dan tanggung jawab moral sekolah dan guru atas
keberhasilan/ketidakberhasilan siswanya. Ada harapan dan tuntutan
lingkungan (orang tua siswa dan masyarakat
secara umum).
Oleh karena itu, dari pemikiran teoritis dan
rasional, seharusnya kebijakan evaluasi pendidikan nasional yang dituangkan
dalam PP.No.19 Tahun 2005, dikembalikan pada fungsi evaluasi yang sesungguhnya, yaitu untuk menemukan peta
kualitas pendidikan secara nasional. Pemetaan yang benar adalah dilakukan
dengan cara mengevalusi secara komprehensif terhadap dimensi-dimensi penentu kualitas pendidikan tsb
di atas, tidak hanya mengevaluasi pengusaan siswa atas materi pembelajaran yang
multi kesenjangan itu kemudian berakhir dengan keputusan lulus dan tidak lulus
para siswa. Jika evaluasi itu dilakukan
dengan benar menurut ukuran teori dan rasionalitas,
akan ditemukan pemetaan kesenjangan dimensi-dimensi penentu kualitas pendidikan
secara nasional yang selanjutnya menjadi input dalam penentuan kebijakan pemerataan kualitas pendidikan
secara nasional.
Solusi
Dalam kajian
ilmu Administrasi Negara, seharusnya
pemerintah pada seluruh hirarki menempatkan diri sebagai pelayan publik
(fungsi public service). Teori pelayanan publik mensyaratkan
kebijakan-kebijakan pemerintah lebih menekankan/berorientasi pada kepentingan
publik. Melayani publik berarti mengakomodir keinginan dan aspirasi publik, ada keseimbangan antara hak/ kewajiban
publik dan hak/kewajiban pemerintah Pada tahap pengarnbilan keputusan atas
suatu kebijakan, ter-lebih dahulu dilakukan uji publik sehingga tidak terjadi otoriter dalam praktek
negara demokrasi.
Dengan kajian teoretis tersebut, maka dapat
direkomendasikan bahwa selayaknya dan lebih bermartabat jika uang negara (uang
rakyat) yang dialokasikan dalam APBN untuk
membiayai penyelenggaraan Unas 2010 dibahas
kembali bersama DPR, agar anggaran yang
sangat besar itu dialihkan untuk
mengatasi kesenjangan yang
Multidimensial itu. Dengan
demikian secara bertahap dapat dilakukan peningkatan
kualitas pada daerah-daerah teringgal di luar Jawa terutama pada daerah pedalaman. Jika kesenjangan itu telah teratasi secara nasional
atau telah terjadi pemerataan kualitas, barulah kebijakan Unas layak untuk diselenggarakan. Layaknya sekarang hanyalah evaluasi nasional terhadap
semua dimensi kesenjangan dan tidak ada
kaitannya dengan penentuan kelulusan siswa. Rekomendasi ini tentu kontra produktif bagi pejabat yang
bermental vertikal (Asal Bapak Senang) atau orientasi proyek (kesempatan
menikmati uang rakyat) yang berdampak pada "Pengabaian Pelayanan
Publik".
Bertolak dari argumentasi teoretik dan rasional yang.dijelaskan
itu, pada akhirnya dapat dikatakan bahwa jika Unas tetap diselenggarakan dengah
menggunakan uang rakyat yang sangat besar dan hasil akhirya adalah keputusan
tentang kelulusan dan ketidaklulusan siswa, menimbulkan rasa ketidakadilan
publik, tidak merespon putusan MA, tidak merespon himbauan KOMNAS-HAM maka itu dapat dimaknai sebagai
"Pengabaian Pelayanan Publik" yang justru menjadi esensi fungsi
pemerintah. (*) –
Tata pemerintahan yang baik memiliki 14 (empat belas) karakteristik
sebagai berikut:
a. Tata
pemerintahan yang berwawasan ke depan (Prinsip-1).
Wawasan ke depan mengandung pengertian adanya pemahaman mengenai permasalahan, tantangan dan potensi yang dimiliki
oleh suatu unit pemerintahan, dan mampu merumuskan gagasan-gagasan
dengan visi dan misi untuk perbaikan maupun
pengembangan pelayanan dan menuangkannya dalam strategi pelaksanaan,
rencana kebijakan dan program-program kerja ke depan berkaitan dengan bidang tugasnya.
b. Tata
pemerintahan yang bersifat terbuka (Prinsip-2).
Bersifat terbuka dalam penyelenggaraan pemerintahan di setiap tahap
pengambilan keputusan dapat ditengarai dengan derajad aksesibilitas publik
terhadap informasi terkait dengan suatu kebijakan publik. Setiap kebijakan
publik termasuk kebijakan alokasi anggaran,
pelaksanaannya maupun hasil-hasilnya mutlak harus diinformasikan
kepada publik atau dapat diakses oleh publik selengkap-lengkapnya melalui berbagai media dan forum untuk mendapat
respon.
c. Tata
pemerintahan yang cepat tanggap (Prinsip-3).
Kebutuhan akan karakteristik ini karena selalu adanya kemungkinan munculnya
situasi yang tidak terduga atau adanya perubahan yang cepat dari kebutuhan
masyarakat akan pelayanan publik apapun.
d. Tata pemerintahan yang akuntabel
(Prinsip-4).
Akuntabilitas dalam
penyelenggaraan pemerintahan dituntut di semua tahap mulai penyusunan program
kegiatan dalam rangka pelayanan publik, pembiayaan,
pelaksanaan, dan evaluasinya, maupun hasil dan dampaknya. Akuntabilitas juga
dituntut dalam hubungannya dengan masyarakat/publik, dengan instansi atau aparat di bawahnya maupun dengan instansi atau aparat di atas. Secara substansi,
penyelenggaraan pemerintahan harus berdasarkan pada sistem dan prosedur tertentu, memenuhi ketentuan perundangan, dapat diterima secara politis, berdasarkan pada metode dan teknik tertentu maupun nilai-nilai etika tertentu, serta dapat menerima konsekuensi bila keputusan yang diambil tidak tepat.
pelaksanaan, dan evaluasinya, maupun hasil dan dampaknya. Akuntabilitas juga
dituntut dalam hubungannya dengan masyarakat/publik, dengan instansi atau aparat di bawahnya maupun dengan instansi atau aparat di atas. Secara substansi,
penyelenggaraan pemerintahan harus berdasarkan pada sistem dan prosedur tertentu, memenuhi ketentuan perundangan, dapat diterima secara politis, berdasarkan pada metode dan teknik tertentu maupun nilai-nilai etika tertentu, serta dapat menerima konsekuensi bila keputusan yang diambil tidak tepat.
e. Tata pemerintahan yang
berdasarkan profesionalitas & kompetensi (Prinsip-5).
Tata pemerintahan dengan karakteristik seperti ini akan tampak dari
upaya-upaya mengorganisasikan kegiatan dengan cara mengisi posisi-posisi dengan
aparat yang sesuai dengan kompetensi, termasuk di dalamnya kriteria jabatan dan
mekanisme penempatannya. Di samping itu,
terdapat upaya-upaya sistematik untuk mengembangkan profesionalitas
sumber daya manusia yang dimiliki unit yang bersangkutan melalui berbagai
kegiatan pendidikan dan pelatihan.
f. Tata pemerintahan yang menggunakan struktur dan sumber
daya secara efisien dan efektif
(Prinsip-6).
Upaya untuk menggunakan struktur dan sumber daya secara efisien dan efektif
merupakan salah satu respon atas tuntutan akuntabilitas. Kinerja
penyelenggaraan pemerintahan perlu secara terus menerus ditingkatkan dan
dioptimalkan melalui pemanfaatan
sumber daya dan organisasi yang efektif dan efisien, termasuk upaya-upaya berkoordinasi untuk menciptakan sinergi
dengan berbagai pihak dan organisasi
lain.
- Tata
pemerintahan yang terdesentralisasi (Prinsip-7).
Tata pemerintahan yang
memiliki karakteristik seperti ini tampak dari adanya pendelegasian wewenang
sepenuhnya yang diberikan kepada aparat dibawahnya sehingga pengambilan
keputusan dapat terjadi pada tingkat dibawah sesuai lingkup tugasnya.
Pendelegasian wewenang tersebut semakin mendekatkan aparat pemerintah kepada masyarakat.
h. Tata pemerintahan yang demokratis dan
berorientesi pada consensus (Prinsip-8).
Prinsip ini menjunjung tinggi penghormatan hak dan kewajiban pihak lain.
Dalam suatu unit pemerintahan, pengambilan keputusan yang diambil melalui
konsensus perlu dihormati.
ditegakkannya hukum terhadap seseorang atau sekelompok orang yang melakukan
pelanggaran hukum.
- Tata
pemerintahan yang memiliki komitmen pada pengurangan kesenjangan (Prinsip-12).
Prinsip ini berpihak kepada
kepentingan kelompok masyarakat yang tidak mampu, tertinggal atau termarjinalkan.
- Tata pemerintahan yang memiliki komitmen
pada pasar (Prinsip-13).
Prinsip ini menyatakan dibutuhkannya keterlibatan
pemerintah dalam pemantapan mekanisme pasar.
- Tata
pemerintahan yang memiliki komitmen pada lingkungan hidup (Prinsip14).
Prinsip ini menegaskan
keharusan setiap kegiatan pemerintahan dan pembangunan untuk memperhatikan aspek lingkungan termasuk
melakukan analisis secara konsisten dampak kegiatan pembangunan
terhadap lingkungan.
terima kasih atas informasinya, ini bisa jadi tambahan dalam menyelesaikan tugas saya...
ReplyDeleteoke, sama-sama..
ReplyDelete