Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Monday, November 7, 2011

PENGABAIAN LAYANAN PUBLIK


Pada hakikatnya pemerintahan merupakan suatu gambaran tentang bagaimana pada permulaan pemerintahan setelah terbentuk dan bagaimana pemerintahan itu telah berkembang melalui perkembangan dari 3 tipe masyarakat yaitu masyarakat setara, masyarakat bertingkat dan masyarakat berlapis.
Perkembangan pemerintahan itu juga ditentukan oleh perkembangan masyarakatnya yang disebabkan oleh faktor-faktor lain yang melandasinya seperti pertambahan dan tekanan penduduk, ancaman atau perang dan penjarahan yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat terhadap kelompok masyarakat yang lain dan telah menjadi faktor-faktor yang memacu perkembangan pemerintahan yaitu penguasaan oleh suatu pemerintah atau negara.
 Evaluasi pendidikan sebagai mana dimaksud dalam PP.No. 19 Tahun 2005 sesungguhnya merupakan suatu keb­ijakan yang bertujuan "mulia", yang bermuarah pada perbaikan dan pemer­ataan kualitas pendidikan secara na­sional. Hal ini secara detail dikernu­kakan oleh Bapak Djemari Mardapi (Ketua Badan Standar Nasional Pen­didikan) dalam suatu acara dialog MetroTV Namun disayangkan karena evaluasi pendidikan yang dimaksud­kan itu ternyata salah kaprah. Secara teoretis dalam “Ilmu Administrasi Negara",  evaluasi merupakan salah satu fungsi yang perlu dilakukan untuk mengetahui kelemahan, kekuran­gan, dan hambatan serta faktor-faktor pcndukung,, terhadap suatu implemen­tasi kebijakan publik. Tujuannya adalah untuk mencari solusi terhadap adanya kelemahan, kekurarangan, dan hambat­an tersebut dan sekaligus menjaga/ memelihara dan meningkatkan factor-­faktor pendukung, sehingga dapat di­lakukan penyempurnaan (simplifica­tion) terhadap, implementasi kebijakan tahap berikutnya dan pada gilirannya dapat rneningkatkan kinerja organisasi.
Jika kita memahami/mendalami mak­na evaluasi dalam konteks Ilmu ad­rninistrasi Negara, maka orang-orang yang berpikir rasional akan sependa­pat bahwa evaluasi adalah suatu fung­si yang mutlak diperlukan dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan kiner­ja organisasi publik. Pemahaman ini menjadi penguatan tentang pentingn­ya penerapan,PP.No. 19 Tahun 2005.
Namun kemudian menjadi bias dan distorsi, jika pemahaman evaluasi yang rasional tersebut dikaitkan dengan kelulusan/ketidaklulusan siswa. Berarti ada upaya memutarbalikan konsep evaluasi menjadi konsep uji, karena ada kepentingan tertentu. Secara teor­etis dalam dunia pendidikan, bahwa "ujian" bertujuan untuk mengetahui tingkat penguasaan siswa atas selu­ruh mata pelajaran yang diterimanya selama proses pernbelajaran, kemudi­an ditetapkan batas kelulusan atas persentase tertentu dari penguasaan siswa. Oleh karena itu, seharusnya yang diujikan itu adalah seluruh materi pelajaran yang diperoleh selama pros­es pembelajaran pada jenjang tertentu. dan penentuan kelulusan seharusnya menjadi kewenangan kepala sekolah dan dewan guru karena merekalah yang palinmg  mengetahui kemampuan siswa secara objektif.
Dari pemahaman tersebut, selanjut­nva timbul Pula bias dan distorsi terha­dap konsep ujian. ketika Soal ujian disusun berdasarkan standar nasional yang hanya pas untuk DKI Jakarta dan Pulau Jawa terutama di daerah pedalaman yang masih memprihatinkan dilihat dari berbagai dimensi penentu kualitas pendidikan (kelengkapan saran dan prasarana, pasilitas perpustakaan, labolatorium,  kualitas dan kopetensi guru, rasio antara guru dan siswa, kemampuan managerial kepala sekolah, kelengkapan administrasi sekolah dan lain-lain). Dimensi tersebut masih memperli­hatkan kesenjangan yang cukUptajam antar DKI Jakarta dan luar DKI, antar pulau Jawa dan luar Jawa, antar daerah perkotaan dan daerah pedalaman dan antar sekolah. Secara formalistik dan normatif, ada kurikulum nasional 1994 dan 2004 tetapi kurikulum tidak berop­erasi sendiri untuk mewujudkan kual­itas yang berstandar nasional.
Kurikulum hanyalah sekedar doku­men yang perlu didukung oleh berb­agai dimensi penentu yang dikemu­kakan di atas. Bayangkan bagaimana nasib siswa di pedalaman Papua yang terisolir dalam menghadapi Unas?. Ko­mentar tokoh Papua (Metro TV tgl.25 Desember 2009 pkl.00.25) tidak setuju Unas karena adanya kesenjangan antara pulau Jawa dan luar Jawa seh­ingga yang layak adalah ujian lokal.
Kondisi serupa rnasih menjadi pedoman di daerah pedalaman luar Jawa lain­nya, mungkin termasuk pedalaman Sul­tra, misalnya SMU di Konut, Butur dll. Kondisi yang masih memprihatinkan itu, dibuktikan dengan status lembar hitam bagi daerah-daerah (selain DKI Jakarta dan Yogyakarta) dalam penye­lenggaraan Unas 2009 yang lalu. Kita tidak selayaknya mempersalahkan se­kolah/guru jika ada intervensi sebab secara psikologis, ada beban moral dan tanggung jawab moral sekolah dan guru atas keberhasilan/ketidakberhasilan sis­wanya. Ada harapan dan tuntutan lingkungan (orang tua siswa dan masyar­akat secara umum).
Oleh karena itu, dari pemikiran teor­itis dan rasional, seharusnya kebijakan evaluasi pendidikan nasional yang dit­uangkan dalam PP.No.19 Tahun 2005, dikembalikan pada fungsi evaluasi yang sesungguhnya, yaitu untuk menemu­kan peta kualitas pendidikan secara nasional. Pemetaan yang benar adalah dilakukan dengan cara mengevalusi secara komprehensif terhadap dimensi­-dimensi penentu kualitas pendidikan tsb di atas, tidak hanya mengevaluasi pengusaan siswa atas materi pembelajaran yang multi kesenjangan itu kemu­dian berakhir dengan keputusan lulus dan tidak lulus para siswa. Jika evaluasi itu dilakukan dengan benar menurut ukuran teori dan rasionalitas, akan ditemukan pemetaan kesenjangan di­mensi-dimensi penentu kualitas pen­didikan secara nasional yang selanjutnya menjadi input dalam penentuan kebijakan pemerataan kualitas pen­didikan secara nasional.


Solusi
Dalam kajian ilmu Administrasi Nega­ra, seharusnya pemerintah pada selu­ruh hirarki menempatkan diri sebagai pelayan publik (fungsi public service). Teori pelayanan publik mensyaratkan kebijakan-kebijakan pemerintah lebih menekankan/berorientasi pada kepent­ingan publik. Melayani publik berarti mengakomodir keinginan dan aspirasi publik, ada keseimbangan antara hak/ kewajiban publik dan hak/kewajiban pemerintah Pada tahap pengarnbilan keputusan atas suatu kebijakan, ter-lebih dahulu dilakukan uji publik sehingga tidak terjadi otoriter dalam praktek negara demokrasi.
Dengan kajian teoretis tersebut, maka dapat direkomendasikan bahwa selayaknya dan lebih bermartabat jika uang negara (uang rakyat) yang di­alokasikan dalam APBN untuk mem­biayai penyelenggaraan Unas 2010 dibahas kembali bersama DPR, agar anggaran yang sangat besar itu dialihkan untuk mengatasi kesenjangan yang Multidimensial itu. Dengan demi­kian secara bertahap dapat dilakukan peningkatan kualitas pada daerah­-daerah teringgal di luar Jawa terutama pada daerah pedalaman. Jika kesen­jangan itu telah teratasi secara nasion­al atau telah terjadi pemerataan kuali­tas, barulah kebijakan Unas layak un­tuk diselenggarakan. Layaknya seka­rang hanyalah evaluasi nasional ter­hadap semua dimensi kesenjangan dan tidak ada kaitannya dengan penentuan kelulusan siswa. Rekomendasi ini tentu kontra produktif bagi pejabat yang bermental vertikal (Asal Bapak Senang) atau orientasi proyek (kesempatan menikmati uang rakyat) yang berdampak pada "Pengabaian Pelay­anan Publik".
Bertolak dari argumentasi teoretik dan rasional yang.dijelaskan itu, pada akhirnya dapat dikatakan bahwa jika Unas tetap diselenggarakan dengah menggunakan uang rakyat yang san­gat besar dan hasil akhirya adalah keputusan tentang kelulusan dan ketidaklulusan siswa, menimbulkan rasa ketidakadilan publik, tidak merespon putusan MA, tidak merespon him­bauan KOMNAS-HAM maka itu­ dapat dimaknai sebagai "Pengabaian Pelayanan Publik" yang justru menjadi esensi fungsi pemerintah. (*) –
Tata pemerintahan yang baik memiliki 14 (empat belas) karakteristik sebagai berikut:
a.      Tata pemerintahan yang berwawasan ke depan (Prinsip-1).
Wawasan ke depan mengandung pengertian adanya pemahaman mengenai permasalahan, tantangan dan potensi yang dimiliki oleh suatu unit pemerintahan, dan mampu merumuskan gagasan-gagasan dengan visi dan misi untuk perbaikan maupun pengembangan pelayanan dan menuangkannya dalam strategi pelaksanaan, rencana kebijakan dan program-program kerja ke depan berkaitan dengan bidang tugasnya.
b.     Tata pemerintahan yang bersifat terbuka (Prinsip-2).
Bersifat terbuka dalam penyelenggaraan pemerintahan di setiap tahap pengambilan keputusan dapat ditengarai dengan derajad aksesibilitas publik terhadap informasi terkait dengan suatu kebijakan publik. Setiap kebijakan publik termasuk kebijakan alokasi anggaran, pelaksanaannya maupun hasil-hasilnya mutlak harus diinformasikan kepada publik atau dapat diakses oleh publik selengkap-lengkapnya melalui berbagai media dan forum untuk mendapat respon. 
c.     Tata pemerintahan yang cepat tanggap (Prinsip-3).
Kebutuhan akan karakteristik ini karena selalu adanya kemungkinan munculnya situasi yang tidak terduga atau adanya perubahan yang cepat dari kebutuhan masyarakat akan pelayanan publik apapun.
d.     Tata pemerintahan yang akuntabel (Prinsip-4).
Akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan dituntut di semua tahap mulai penyusunan program kegiatan dalam rangka pelayanan publik, pembiayaan,
pelaksanaan, dan evaluasinya, maupun hasil dan dampaknya. Akuntabilitas juga
dituntut dalam hubungannya dengan masyarakat/publik, dengan instansi atau aparat di bawahnya maupun dengan instansi atau aparat di atas. Secara substansi,
penyelenggaraan pemerintahan harus berdasarkan pada sistem dan prosedur tertentu, memenuhi ketentuan perundangan, dapat diterima secara politis, berdasarkan pada metode dan teknik tertentu maupun nilai-nilai etika tertentu, serta dapat menerima konsekuensi bila keputusan yang diambil tidak tepat.
e.     Tata pemerintahan yang berdasarkan profesionalitas & kompetensi (Prinsip-5).
Tata pemerintahan dengan karakteristik seperti ini akan tampak dari upaya-upaya mengorganisasikan kegiatan dengan cara mengisi posisi-posisi dengan aparat yang sesuai dengan kompetensi, termasuk di dalamnya kriteria jabatan dan mekanisme penempatannya. Di samping itu, terdapat upaya-upaya sistematik untuk mengembangkan profesionalitas sumber daya manusia yang dimiliki unit yang bersangkutan melalui berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan.
f.         Tata pemerintahan yang menggunakan struktur dan sumber daya secara efisien dan efektif (Prinsip-6).
Upaya untuk menggunakan struktur dan sumber daya secara efisien dan efektif merupakan salah satu respon atas tuntutan akuntabilitas. Kinerja penyelenggaraan pemerintahan perlu secara terus menerus ditingkatkan dan dioptimalkan melalui pemanfaatan sumber daya dan organisasi yang efektif dan efisien, termasuk upaya-upaya berkoordinasi untuk menciptakan sinergi dengan berbagai pihak dan organisasi lain.
  1. Tata pemerintahan yang terdesentralisasi (Prinsip-7).
Tata pemerintahan yang memiliki karakteristik seperti ini tampak dari adanya pendelegasian wewenang sepenuhnya yang diberikan kepada aparat dibawahnya sehingga pengambilan keputusan dapat terjadi pada tingkat dibawah sesuai lingkup tugasnya. Pendelegasian wewenang tersebut semakin mendekatkan aparat pemerintah kepada masyarakat.
h.  Tata pemerintahan yang demokratis dan berorientesi pada consensus (Prinsip-8).
Prinsip ini menjunjung tinggi penghormatan hak dan kewajiban pihak lain. Dalam suatu unit pemerintahan, pengambilan keputusan yang diambil melalui konsensus perlu dihormati. ditegakkannya hukum terhadap seseorang atau sekelompok orang yang melakukan pelanggaran hukum.
  1. Tata pemerintahan yang memiliki komitmen pada pengurangan kesenjangan (Prinsip-12).
Prinsip ini berpihak kepada kepentingan kelompok masyarakat yang tidak mampu, tertinggal atau termarjinalkan.
  1. Tata pemerintahan yang memiliki komitmen pada pasar (Prinsip-13).
 Prinsip ini menyatakan dibutuhkannya keterlibatan pemerintah dalam pemantapan mekanisme pasar.
  1. Tata pemerintahan yang memiliki komitmen pada lingkungan hidup (Prinsip­14).
Prinsip ini menegaskan keharusan setiap kegiatan pemerintahan dan pembangunan untuk memperhatikan aspek lingkungan termasuk melakukan analisis secara konsisten dampak kegiatan pembangunan terhadap lingkungan.

PENGABAIAN LAYANAN PUBLIK Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

2 komentar: