Miris. Kata itulah yang
pertama penulis ucapkan ketika mendengar cerita suami saya usai pulang mengantar seseorang dari Jakarta melakukan survei sebuah sekolah
dasar negeri di salah satu desa kawasan transmigrasi di Kabupaten Konawe
Selatan. Sekolah dimaksud akan menerima bantuan dari yayasan di jakarta melalui sebuah
program yang bertajuk "Bakrie Membangun Negeri". Sebelum kembali ke Jakarta , orang tersebut berterima kasih sekali kepada suami
karena telah menunjukkan sebuah sekolah
yang paling buruk sekali kondisinya dibandingkan sekolah-sekolah di
daerah (propinsi) lain yang di survei.
Sekadar informasi, SDN tersebut adalah SDN 2 Landono, dimana keadaan bangunan
sekolahnya 4 ruangan dari 6 ruangan yang ada kondisinya sudah tidak bisa digunakan.
Bahkan sebagian besar siswanya sudah pindah
ke sekolah lain, yakni SDN 1
Landono. Kini, tersisa 41 siswa saja yang masih bertahan di sana .
Menurut Kepala SDN 2 Landono,
pihaknya telah berusaha meminta bantuan kepada intansi terkait, dan hanya mendapat tanggapan berarti. Padahal
kalau dilihat dari lokasi, tidak begitu jauh
hanya berjarak sekitar 1 Km dari jalan utama (Jalan Poros Kendari -
Motaha), kurang lebih 20 menit pedalanan
dari Bandara WMI (Bandara Haluoleo sekarang). Bagaimana bisa ada sekolah dasar negeri yang kondisinya sudah
demikian parah, tidak terpantau oleh
pemerintah yang berwenang. Padahal pemerintah kita sudah menganggarkan dana untuk pendidikan yang cukup besar, yakni, dua puluh persen dari total
APBN, sehingga seharusnya tidak ada lagi sekolah-sekolah dengan kondisi yang
sangat memprihatinkan seperti itu. Lalu kemanakah larinya dana tersebut?
Selama ini,
pemerintah mengandalkan Bantuan Operasi
Sekolah (BOS), padahal hanya mampu menutupi 30 persen biaya pendidikan. Tak heran, pihak sekolah pontang-panting
mencari akal untuk menutupi kekurangan biaya. Banyak kepala sekolah yang
mengeluh karena BOS takmencukupi. Ditambah tersendat-sendatnya pencairan BOS, Meminta pungutan orang tua murid, takut dituding melanggar brand "gratis"
dan tentunya protes dari masyarakat.
Tapi bila tidak, kualitas layanan
terhadap anak didik jadi korban. Belem
lagi adanya anggaran pendidikan yang
dikorupsi termasuk dana BOS. Dana
tersebut banyak ditemukan diselewengkan oleh oknum sekolah atau Dinas Pendidikan. Jelas ini semakin membuat program
sekolah gratis terseok-seok.
Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan Balitbang
Depdiknas, untuk menuju sekolah
gratis dibutuhkan dana sebesar Rp 1,8 juta per siswa SD per tahun dan Rp. 2,7
Juta Persiswa SMP per tahun, sementara anggaran BOS yang disediakan oleh
Pemerintah untuk SD di Kota baru Rp. 400 ribu per siswa per tahun dan untuk SD
di kabupaten sebesar 397 ribu per siswa per tahun. Sedangkan BOS untuk SMP di
Kota sebesar Rp. 575 ribu per siswa per tahun dan SMP di Kabupaten sebesar Rp.
570 ribu per siswa per tahun. Jadi
masih ada sekitar Rp 1,4 juta biaya
yang harus ditanggung orang tua. (Media Umat Edisi 15, 19 Juni - 9 Juli
2009).
Sekolah gratis tak seta merta mengentaskan anak-anak dari jalanan. Banyak
dari mereka yang putus
sekolah atau bahkan samasekali
tak pernah sekolah. Sebab sekalipun bebas SPP. komponen biaya lain seperti seragam, buku, alas sekolah, dan lain-lain tetap tak terbeli. Kalau
sudah begitu, apanya yang
gratis? Benarlah ungkapan yang mengatakan, di zaman serba susah seperti ini,
mana ada yang gratis.
Sistem
Pendidikan Islam: Bebas Biaya
Pada dasarnya,
sistem pendidikan Islam didasarkan
pada sebuah kesadaran bahwa setiap
Muslin wajib menuntut ilmu dan tidak boleh mengabaikannya. Rasulullah saw. bersabda: menuntut ilmu wajib bagi setiap Muslim (HR. Ibnu Adi dan Baiha-
'4N Rasul saw, juga bersabda"Diantara tanda tanda kiamat adalah menghilangnya ilmu dan menyebarnya kebodohan ...... (HR. al-Bukhari, Muslim dan Ahmad). Untuk itu Allah Swt. telah mewajibkan setiap Muslim untuk menuntut ilmu dan membekali dirinya dengan berbagai macam ilmu yang dibutuhkannya dalam kehidupan karena ilmu dianggap sesuatu yang harus ada dan termasuk kebutuhan primer manusia. Atas dasar ini, negara wajib menyediakan pendidikan bebas biaya alias gratis kepada warga negaranya, baik Muslim maupun non-Muslim, agar mereka bias menjalankan kewajibannya atau memenuhi kebutuhan primer
mereka.
Betapa
pentingnya masalah pendidikan ini dalam Islam sehingga Rasulullah saw. telah menetapkan tebusan tawanan Perang
Badar berupa keharusan mengajar sepuluh anak kaum Muslim. Hal ini bertujuan mendorong kaum Muslimin agar menuntut ilmu
dan memberantas buta
huruf. Adapun pendidikan
bebas biaya menjadi tanggung jawab negara berdasarkan Ijma Sahabat tentang pernberian gaji kepada para
guru dengan jumlah
tertentu yang dananya diambil dari Baitul Mal (Kas Negara). Pada masa Khalifah Umar, guru diberikan gaji lima belas dinar (kurang lebih 63,75 gram
emas) setiap bulannya
atau sekitar Rp 5 juta. Selanjutnya
para Khalifah sepanjang masa Daulah Khilafah Islamiyah juga memberikan pendidikan bebas biaya kepada warga negaranya. Hal ini menunjukkan bahwa masalah pembiayaan pendidikan adalah tanggungjawab negara. Karena Negara mempunyai kewajiban memelihara, mengatur dan melindungi urusan rakyatnya.
Negara
menyediakan pendidikan secara gratis bagi warga negaranya, baik yang fakir miskin maupun yang kaya. uang yang dikeluarkan
negara dari Baitul Mal tidak hanya
untuk menggaji guru yang mengajari anak-anak
fakir miskin saja, tetapi untuk guru
yang mengajari semua anak tanpa memandang istilah miskin atau kaya. Setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan bebas biaya di semua jenjang pendidikan. Biaya yang dibebaskan tidak hanya menyangkut SPP, tetapi juga termasuk biaya buku, biaya praktikum, dan lain-lain. Semua biaya
pendidikan termasuk biaya untuk gaji dan kesejahteraan pendidikan dan tenaga
pendidikan, sarana fisik sekolah,
sarana proses belajar mengajar, dan
sarana-sarana penunjang lainnya
yang dibutuhkan (seperti klinik kesehatan,
asrama bagi pelajar, kantor, sarana
administrasi dan lain-lain), semuanya disediakan
oleh negara. Rakyat bisa saja ikut menyediakan
sarana-sarana tersebut sebagai amal jariah,
tetapi mereka tidak mengambil alih tanggungjawab
negara. Tetap saja, kepala negaralah yang akan bertanggung jawab di hadapan
Allah Swt. terhadap terpenuhinya sarana-sarana
tersebut. Hal ini didasarkan pada
kaidah syara bahwa Rasulullah bersabda: "Seorang imam adalah bagaikan penggembala. dan ia akan dimintai pertanggungjawaban
atas gembalaannya (Yang dipimpinnya)" (HR. Ahmad, Syaikhan, Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibnu Umar)
Lalu bagaimana
merealisasikan pendidikan bebas
biaya ini? Tentunya negara harus bersungguh-sungguh berupaya mendapatkan sumber pendapatan negara, agar bisa memenuhi kebutuhan primer bagi warga negaranya. termasuk kebutuhan pendidikan.
Pada masa Rasulullah dan
para Khalifah sesudahnya,
sumber pendapatan negara pada
saat itu diperoleh dari berbagai pos pemasukan diantaranya dari pos fa'i dan kharaj yang meliputi ghanimah (harta
rampasan perang), kharaj, tanah-tanah, jizyah, fa'i dan dharibah (pajak); pos
kepemilikan umum yang
meliputi penghasilan dari minyak bumi, gas, listrik, barang tambang, laut, sungai, selat, mata air, hutan, padang gembalaan, dan sebagainya; dan pos zakat Yang meliputi zakat uang, komoditas
perdagangan, pertanian dan buah-buahan, unta, sapi, dan domba. Pada masa sekarang tentunya sumber pendapatan negara kita
juga diperoleh dari
berbagai pos pemasukan yang ada.
Indonesia
dengan sumber daya alam yang
melimpahruah baik dari hasil bumi dan laut bila
dikelola dengan baik tentunya merupakan
sumber pemasukan yang sangat besar.
Selain itu devisa negara dari berbagai komoditas
baik perdagangan, pariwisata.
Ditambah lagi pajak yang dikenakan
oleh pemerintah kepada warga
negaranya mulai dari pajak penghasilan,
pajak bumi dan bangunan, pajak pertambahan
nilai, dan lain-lain tentunya cukup
menambah sumber pendapatan negara.
Jadi tidak ada alasan untuk tidak memberikan
anggaran pendidikan dengan porsi Yang besar.
Dengan anggaran yang diberikan pemerintah untuk pendidikan sekarang yaitu
dua puluh persen dari total APBN, atau di Depdiknas sendiri alokasi dana Pendidikan mencapai puluhan triliunan rupiah tetapi ternyata belum m,ampu menuntaskan program sekolah gratis dan wajib beiajar 9 tahun. Di mana-mana masih ditemui sekolah
dengan kondisi yang memprihatinkan, masih
banyak anak usia SD yang putus
sekolah atau malah belum terjangkau
samasekali oleh pelayanan pendidikan. Anggaran
untuk pelaksanaan wajib belajar sebes-r
Rp 31 triliun ini justru menyebar ke
hamper seluruh direktorat, seperti Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik
Tenaga Kependidikan (PMPTK) dan Sekretariat
Jenderal. Berdasarkan data yang
dihimpun ICW sepanjang tahun 2008, ada 36 kasus korupsi di Depdiknas dengan modus
markup dan penyalahgunaan keuangan.
Hal ini berarti tidak cukup dengan anggaran besar
untuk merealisasikan pendidikan gratis bagi rakyat, tetapi perlu adanya tanggungjawab yang besar bagi para pelaku pendidikan itu sendiri baik itu aparat pemerintah
di Depdiknas_maupun kepala sekolah dan
guru di mana saja berada untuk mengemban
amanah tersebut. Karena setiap amanah
itu akan diminta pertanggungjawabannya di hadapan Allah Swt. di akherat
kelak.
Selain itu dalam kondisi yang serba kapitalistik seperti saat ini, dimana
dunia pendidikan kita
juga sudah dirasuki oleh roh
kapitalisme maka sulit sekali untuk menghindari adanya komersialisasi dunia pendidikan. Bahkan
komersialisasi ini sudah
merembes di tingkat pendidikan dasar. Seperti penerapan sekolah berstandar international (SBI). Kategorisasi SBI dan non SBI telah menciptakan jurang pemisah
antara si kaya dan si
miskin, antara si pintar dan
si bodoh. Betapa tidak, SBI bukan hanya bisa ditembus bagi mereka yang otaknya cenderung encer, tetapi juga harus berduit. Karena untuk bisa duduk di
bangku SBI harus merogoh kocek
hingga puluhan juta
rupiah. Di tingkat pendidikan tinggi, komersialisasi pendidikan makin menggelinding setelah disahkannya UU Badan Hukum Perguruan Tingai- melalui UU ini, lembaga pendidikan layaknya sebuah perusahaan yang mengejar
profit Kondisi ini jelas semakin
merampas hak-hak rakyat untuk mendapatkan pendidikan.
Tentu saja, jika sistem kapitatisme masih bercokol di negeri ini, komersialisasi
pendidikan akan tetap
menggurita dan sekolah gratis
pun mustahil diterapkan. Diperlukan langkah-langkalt yang sistematis dengan merombak semua sistem mulai dari paradigma pendidikan hingga paradigma ekonomi. Artinya harus ada sistem yang
baik dari yang Maha Baik,
yaitu dari Allah Swt yang
akan merubah kondisi dunia pendidikan
kita saat ini. Sehingga seluruh rakyat akan dapat menikmati pendidikan di Indonesia dengan murah bahkan
gratis dan tentunya
bermutu tinggi. Itulah yang kita harapkan bersama. (**)
0 komentar:
Post a Comment