Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Wednesday, November 9, 2011

Merealisasikan Pendidikan Bebas Biaya


Miris. Kata itulah yang pertama penulis ucapkan ketika mendengar cerita suami saya usai pulang mengantar seseorang dari Jakarta melaku­kan survei sebuah sekolah dasar negeri di salah satu desa kawasan transmigrasi di Kabupaten Konawe Selatan. Sekolah di­maksud akan menerima bantuan dari ya­yasan di jakarta melalui sebuah program yang bertajuk "Bakrie Membangun Neg­eri". Sebelum kembali ke Jakarta, orang tersebut berterima kasih sekali kepada sua­mi karena telah menunjukkan sebuah se­kolah yang paling buruk sekali kondisinya dibandingkan sekolah-sekolah di daerah (propinsi) lain yang di survei.
Sekadar informasi, SDN tersebut adalah SDN 2 Landono, dimana keadaan bangu­nan sekolahnya 4 ruangan dari 6 ruangan yang ada kondisinya sudah tidak bisa digu­nakan. Bahkan sebagian besar siswanya sudah pindah ke sekolah lain, yakni SDN 1 Landono. Kini, tersisa 41 siswa saja yang masih bertahan di sana. Menurut Kepala SDN 2 Landono, pihaknya telah berusaha meminta bantuan kepada intansi terkait, dan hanya mendapat tanggapan berarti. Padahal kalau dilihat dari lokasi, tidak begitu jauh hanya berjarak sekitar 1 Km dari jalan utama (Jalan Poros Kendari - Motaha), kurang lebih 20 menit pedalanan dari Bandara WMI (Bandara Haluoleo sekarang). Bagaimana bisa ada sekolah dasar negeri yang kondisinya sudah demikian parah, tidak terpantau oleh pemerintah yang ber­wenang. Padahal pemerintah kita sudah menganggarkan dana untuk pendidikan yang cukup besar, yakni, dua puluh persen dari total APBN, sehingga seharusnya tidak ada lagi sekolah-sekolah dengan kondisi yang sangat memprihatinkan seperti itu. Lalu kemanakah larinya dana tersebut?
Selama ini, pemerintah mengandalkan Bantuan Operasi Sekolah (BOS), padahal hanya mampu menutupi 30 persen biaya pendidikan. Tak heran, pihak sekolah pon­tang-panting mencari akal untuk menutupi kekurangan biaya. Banyak kepala sekolah yang mengeluh karena BOS takmencuku­pi. Ditambah tersendat-sendatnya pen­cairan BOS, Meminta pungutan orang tua murid, takut dituding melanggar brand "gratis" dan tentunya protes dari masyarakat. Tapi bila tidak, kualitas layanan terhadap anak didik jadi korban. Belem lagi adanya anggaran pendidikan yang dikorupsi termasuk dana BOS. Dana tersebut banyak ditemukan dis­elewengkan oleh oknum sekolah atau Dinas Pendidikan. Jelas ini semakin membuat pro­gram sekolah gratis terseok-seok.
Berdasarkan hasil penelitian yang di­lakukan Balitbang Depdiknas, untuk menuju sekolah gratis dibutuhkan dana sebesar Rp 1,8 juta per siswa SD per tahun dan Rp. 2,7 Juta Persiswa SMP per tahun, sementara anggaran BOS yang disediakan oleh Pemerintah untuk SD di Kota baru Rp. 400 ribu per siswa per tahun dan untuk SD di kabupaten sebesar 397 ribu per siswa per tahun. Sedangkan BOS untuk SMP di Kota sebesar Rp. 575 ribu per siswa per tahun dan SMP di Kabupaten sebesar Rp. 570 ribu per siswa per tahun. Jadi masih ada sekitar Rp 1,4 juta biaya yang harus ditanggung orang tua. (Media Umat Edisi 15, 19 Juni - 9 Juli 2009).
Sekolah gratis tak seta merta mengen­taskan anak-anak dari jalanan. Banyak dari mereka yang putus sekolah atau bahkan samasekali tak pernah sekolah. Sebab seka­lipun bebas SPP. komponen biaya lain seperti seragam, buku, alas sekolah, dan lain-lain tetap tak terbeli. Kalau sudah begitu, apanya yang gratis? Benarlah ung­kapan yang mengatakan, di zaman serba susah seperti ini, mana ada yang gratis.
Sistem Pendidikan Islam: Bebas Biaya

Pada dasarnya, sistem pendidikan Islam didasarkan pada sebuah kesadaran bahwa setiap Muslin wajib menuntut ilmu dan tidak boleh mengabaikannya. Rasulullah saw. bersabda: menuntut ilmu wajib bagi setiap Muslim (HR. Ibnu Adi dan Baiha- '4N Rasul saw, juga bersabda"Diantara tanda tanda kiamat adalah menghilangnya ilmu dan menyebarnya kebodohan ...... (HR. al-Bukhari, Muslim dan Ahmad). Untuk itu Allah Swt. telah mewajibkan setiap Muslim untuk menuntut ilmu dan mem­bekali dirinya dengan berbagai macam ilmu yang dibutuhkannya dalam kehidupan kare­na ilmu dianggap sesuatu yang harus ada dan termasuk kebutuhan primer manusia. Atas dasar ini, negara wajib menyediakan pendidikan bebas biaya alias gratis kepada warga negaranya, baik Muslim maupun non-Muslim, agar mereka bias menjalankan kewajibannya atau memenuhi kebutuhan primer mereka.
Betapa pentingnya masalah pendidikan ini dalam Islam sehingga Rasulullah saw. telah menetapkan tebusan tawanan Perang Badar berupa keharusan mengajar sepuluh anak kaum Muslim. Hal ini bertujuan men­dorong kaum Muslimin agar menuntut ilmu dan memberantas buta huruf. Adapun pen­didikan bebas biaya menjadi tanggung ja­wab negara berdasarkan Ijma Sahabat tentang pernberian gaji kepada para guru den­gan jumlah tertentu yang dananya diambil dari Baitul Mal (Kas Negara). Pada masa Khalifah Umar, guru diberikan gaji lima belas dinar (kurang lebih 63,75 gram emas) setiap bulannya atau sekitar Rp 5 juta. Selanjutnya para Khalifah sepanjang masa Daulah Khilafah Islamiyah juga memberi­kan pendidikan bebas biaya kepada warga negaranya. Hal ini menunjukkan bahwa masalah pembiayaan pendidikan adalah tanggungjawab negara. Karena Negara mem­punyai kewajiban memelihara, mengatur dan melindungi urusan rakyatnya.
Negara menyediakan pendidikan secara gratis bagi warga negaranya, baik yang fakir miskin maupun yang kaya. uang yang dikeluarkan negara dari Baitul Mal tidak hanya untuk menggaji guru yang mengajari anak-anak fakir miskin saja, tetapi untuk guru yang mengajari semua anak tanpa memandang istilah miskin atau kaya. Setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan bebas biaya di semua jenjang pendidikan. Biaya yang dibebaskan tidak hanya men­yangkut SPP, tetapi juga termasuk biaya buku, biaya praktikum, dan lain-lain. Semua biaya pendidikan termasuk biaya untuk gaji dan kesejahteraan pendidikan dan tenaga pen­didikan, sarana fisik sekolah, sarana proses belajar mengajar, dan sarana-sarana penun­jang lainnya yang dibutuhkan (seperti klinik kesehatan, asrama bagi pelajar, kantor, sara­na administrasi dan lain-lain), semuanya disediakan oleh negara. Rakyat bisa saja ikut menyediakan sarana-sarana tersebut sebagai amal jariah, tetapi mereka tidak mengambil alih tanggungjawab negara.  Tetap saja, kepala negaralah yang akan bertanggung jawab di hadapan Allah Swt. terhadap terpenuhinya sarana-sarana tersebut. Hal ini didasarkan pada kaidah syara bahwa Rasulullah bersab­da: "Seorang imam adalah bagaikan penggembala. dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya (Yang dipimpinnya)" (HR. Ahmad, Syaikhan, Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibnu Umar)
Lalu bagaimana merealisasikan pendidikan bebas biaya ini? Tentunya negara harus bersungguh-sungguh berupaya mendap­atkan sumber pendapatan negara, agar bisa memenuhi kebutuhan primer bagi warga negaranya. termasuk kebutuhan pendidikan. Pada masa Rasulullah dan para Khalifah sesudahnya, sumber pendapatan negara pada saat itu diperoleh dari berbagai pos pemasukan diantaranya dari pos fa'i dan kharaj yang meliputi ghanimah (harta ram­pasan perang), kharaj, tanah-tanah, jizyah, fa'i dan dharibah (pajak); pos kepemilikan umum yang meliputi penghasilan dari minyak bumi, gas, listrik, barang tambang, laut, sungai, selat, mata air, hutan, padang gem­balaan, dan sebagainya; dan pos zakat Yang meliputi zakat uang, komoditas perd­agangan, pertanian dan buah-buahan, unta, sapi, dan domba. Pada masa sekarang ten­tunya sumber pendapatan negara kita juga diperoleh dari berbagai pos pemasukan yang ada. Indonesia dengan sumber daya alam yang melimpahruah baik dari hasil bumi dan laut bila dikelola dengan baik tentunya merupakan sumber pemasukan yang sangat besar. Selain itu devisa negara dari berbagai komoditas baik perdagangan, pariwisata. Ditambah lagi pajak yang dikenakan oleh pemerintah ke­pada warga negaranya mulai dari pajak peng­hasilan, pajak bumi dan bangunan, pajak pertambahan nilai, dan lain-lain tentunya cukup menambah sumber pendapatan nega­ra. Jadi tidak ada alasan untuk tidak mem­berikan anggaran pendidikan dengan porsi Yang besar.
Dengan anggaran yang diberikan pemer­intah untuk pendidikan sekarang yaitu dua puluh persen dari total APBN, atau di Depdiknas sendiri alokasi dana Pendidikan mencapai puluhan triliunan rupiah tetapi ternyata belum m,ampu menuntaskan pro­gram sekolah gratis dan wajib beiajar 9 tahun. Di mana-mana masih ditemui se­kolah dengan kondisi yang mempri­hatinkan, masih banyak anak usia SD yang putus sekolah atau malah belum terjang­kau samasekali oleh pelayanan pendidikan. Anggaran untuk pelaksanaan wajib belajar sebes-r Rp 31 triliun ini justru menyebar ke hamper seluruh direktorat, seperti Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik Tenaga Kependidikan (PMPTK) dan Sekretariat Jenderal. Berdasarkan data yang dihimpun ICW sepanjang tahun 2008, ada 36 kasus korupsi di Depdiknas dengan modus markup dan penyalahgunaan keuangan. Hal ini berarti tidak cukup dengan anggaran  besar untuk merealisasikan pendidikan gratis bagi rakyat, tetapi perlu adanya tanggungjawab yang besar bagi para pelaku pendidikan itu sendiri baik itu aparat pemer­intah di Depdiknas_maupun kepala se­kolah dan guru di mana saja berada untuk mengemban amanah tersebut. Karena se­tiap amanah itu akan diminta pertanggungjawabannya di hadapan Allah Swt. di akher­at kelak.
Selain itu dalam kondisi yang serba ka­pitalistik seperti saat ini, dimana dunia pendidikan kita juga sudah dirasuki oleh roh kapitalisme maka sulit sekali untuk menghindari adanya komersialisasi dunia pendidikan. Bahkan komersialisasi ini su­dah merembes di tingkat pendidikan dasar. Seperti penerapan sekolah berstandar in­ternational (SBI). Kategorisasi SBI dan non SBI telah menciptakan jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, antara si pintar dan si bodoh. Betapa tidak, SBI bukan hanya bisa ditembus bagi mereka yang otaknya cenderung encer, tetapi juga harus berduit. Karena untuk bisa duduk di bang­ku SBI harus merogoh kocek hingga pulu­han juta rupiah. Di tingkat pendidikan tinggi, komersialisasi pendidikan makin menggelinding setelah disahkannya UU Badan Hukum Perguruan Tingai- melalui UU ini, lembaga pendidikan layaknya se­buah perusahaan yang mengejar profit Kondisi ini jelas semakin merampas hak-hak rakyat untuk mendapatkan pen­didikan.
Tentu saja, jika sistem kapitatisme masih bercokol di negeri ini, komersialisasi pen­didikan akan tetap menggurita dan sekolah gratis pun mustahil diterapkan. Diperlu­kan langkah-langkalt yang sistematis den­gan merombak semua sistem mulai dari paradigma pendidikan hingga paradigma ekonomi. Artinya harus ada sistem yang baik dari yang Maha Baik, yaitu dari Allah Swt yang akan merubah kondisi dunia pendidikan kita saat ini. Sehingga seluruh rakyat akan dapat menikmati pendidikan di Indonesia dengan murah bahkan gratis dan tentunya bermutu tinggi. Itulah yang kita harapkan bersama. (**)

Merealisasikan Pendidikan Bebas Biaya Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment