Pengalaman banyak negara menunjukkan bahwa tumbangnya rezim
otoritarian tidak serta merta memperbaiki hidup rakyat. Banyak pengalaman
menunjukkan, tak seluruh kesempatan yang sebenarnya terbuka untuk tujuan itu
termanfaatkan dengan baik. Sebutlah contoh soal otonomi daerah. Alih-alih
mensejahterakan rakyat, beban rakyat justru makin menumpuk saja. Sebuah survey
kecil-kecilan menunjukkan sekitar 70% Perda adalah soal bagaimana mengambil
uang rakyat atau memperkokoh kedudukan pejabat publik dan elit politik. Ini
terkait pada ‘doa’ ekseskutif dan legislatif tentang bagaimana caranya
meningkatan PAD. Penolakan rakyat pada RAPBD, baik propinsi maupun kabupaten,
adalah contoh lain yang kasat mata. Belakangan situasi ini menimbulkan
frustrasi dan nostalgia pada ‘kebaikan’ rezim otoritarianisme.
Nyatalah bahwa keharusan menumbangkan rezim otoritarianisme adalah
suatu hal, membentuk suatu negara demokrasi, mengkonsolidasikannya,
mempertahankan, serta memberikan vitalitas dan makna kepadanya adalah hal yang
lain lagi. Dalam konteks Indonesia, ‘carut-marut’ hasil reformasi terjadi
karena peralihan itu tidak diikuti oleh perubahan struktur politik yang menjadi
mesin utama bagi pengaturan hidup bersama dalam tatanan negara modern ini di
satu pihak, dan budaya politik rakyat di pihak lain. Masa transisi kemudian
hanya menjadi arena ‘dagang sapi’. Struktur politik yang ada selama ini,
demikian pula dengan budaya politik rakyat yang dominan, adalah jalan bagi
tidak nyambungnya agenda-agenda politik partai, yang disebut Moeslim
Abdurachman (Kompas, Juli 2001), cendrung hanya menjalankan politik
negara, dengan kebutuhan atau persoalan hidup rakyat sehari-hari.
***
Beberapa waktu lalu Anies Baswedan menulis bahwa untuk mewujudkan
sebuah negara yang demokratis, hubungan antara ‘pemain’ (dalam hal ini adalah
para politikus) dengan ‘penonton’ (konstituen) tidak boleh seperti hubungan
pemain dan penonton dalam sepakbola (Kompas, 24/06/02). Dengan
menggunakan pendekatan politik ekonomi yang biasa mendasarkan pada pertanyaan
‘siapa mendapat apa dan mengapa’ Baswedan mengatakan bahwa konstruksi hubungan
antara ‘pemain’ dan ‘penonton’ dalam demokrasi haruslah bersifat kalkulatif dan
transaksional. Itu berarti bahwa, berbeda dengan permainan sepakbola, dalam
demokrasi, ‘penonton’ boleh, dan yang lebih penting lagi adalah bisa,
mengoreksi hubungan di antara keduanya. Jika tidak, hemat saya, yang akan
terjadi adalah ‘premanisme politik’ belaka.
Beberapa waktu sebelumnya Moeslim Abdurahman (op.cit) menulis
pula bahwa sudah sejak lama partai politik diragukan dapat melakukan artikulasi
terhadap aspirasi rakyat di luar politik negara, khususnya yang disebut sebagai
politik pergulatan hidup (human struggle) sehari-hari. Secara teoritik,
demikian Abdurachman, partai-partai diragukan dapat menjadi representasi,
apalagi menjadi wadah melakukan aksi bersama berkaitan dengan proyek
emansipatoris. Bahkan di mana-mana sering menunjukkan, dalam praktik pembagian
kekuasaan, partai-partai dengan mudah memanipulasi diri menjadi proyek elit
yang tidak lagi peka terhadap penderitaan rakyat yang telah memberikan
perwakilan politik kepadanya. Maka tak heran jika kemudian Abdururachman
menjuduli tulisannya ‘Rakyat Tanpa Wakil’. “Karena itu, hal yang amat
tragis dalam perkembangan politik suatu bangsa bila partai-partainya telah
melakukan praktik manipulasi kekuasaan, sementara itu terjadi kekosongan the
signifier dalam masyarakatnya yang sanggup mengartikulasikan politik
keresahan sosial, terutama dari kalangan mereka yang selama ini disebut sebagai
orang-orang tertindas (the subordination of people),” demikian
Abdurachman.
Sebelum era reformasi bergulir, Heru Nugroho, sosiolog dari UGM,
pernah pula menulis bahwa dalam masyarakat modern atau bahkan postmodern saat
ini, filsafat pencerahan yang menjadi akar konsep negara modern membawa dampak
munculnya dua kategori bidang kehidupan, yaitu kehidupan privat (privat life)
berhadapan dengan lingkungan publik (public sphere). Jika saja kehidupan
politik tetap konsisten dengan filsafat pencerahan ini, yang sejatinya
memberikan kebebasan individu seluas-luasnya dalam berpolitik (liberal),
menurut Nugroho, maka setiap kebijakan publik (politik termasuk di dalamnya, pen.)
akan selalu merupakan aspirasi dari setiap individu dan setiap aspirasi
individu merupakan cerminan dari kebijakan publik. Namun, kenyataannya, justru
sebaliknya. Setiap kebijakan publik belum tentu mencerminkan aspirasi setiap
individu bahkan tidak jarang kebijakan publik tersebut berlakunya coercieve
bagi masing-masing individu. Akibatnya individu mengalami alienasi dan
ketidakberdayaan dalam menghadapi kebijakan publik. Untuk mengatasi hal itu
diperlukan struktur-struktur atau lembaga-lembaga mediasi yang mengantarai
keduanya. Atau, meminjam kata-kata Abdurachman, “… Untuk menemukan kembali
basis politik yang berorientasi pada proyek emasipatoris rakyat, sudah tentu
tidak ada jalan lain kecuali perlu dilakukan regrouping politik baru
oleh rakyat sendiri (di luar demokrasi kepertaian) yang lebih bercorak partisipatoris,
yang berbasis komunitas”.
***
Demikianlah,
catatan di atas tentu saja sedikit dari
begitu banyak teori yang telah dikembangkan terhadap kinerja reformasi yang
tengah berlangsung, maupun langkah-langkah strategis yang harus ditempuh dalam
masa transisi menuju demokrasi pasca runtuhnya rezim otoritarianisme yang lalu
itu. Soalnya kemudian adalah bagaimana konstruk ‘hubungan kalkulatif dan
transaksional’ itu dapat diwujudkan dalam kehidupan politik yang nyata;
“lembaga-lembaga mediasi” apa yang memungkinkannya; agar ‘regrouping politik”
baru dapat tercipta ditengah kehidupan rakyat semesta. Atau, meminjam kata-kata
para pengamen jalanan di atas, bagaimana ‘barisan rakyat harus dirapatkan’.
Meminjam
kategori Baswedan, di satu pihak, secara struktural, benar adanya hal itu dapat
dilakukan melalui rekayasa institusional, misalnya dengan mengubah sistem
pemilihan umum. Namun, menurut saya, lebih penting lagi melalui penataan
kembali peraturan-perundangan politik lain, khususnya UU tentang Partai Politik,
yang memungkinkan – atau malah mengharuskan --
partai politik berakar pada konstituennya: sebuah harapan yang relatif
tidak tertampung dalam RUU Partai Politik yang tengah digodog DPR dewasa ini.
Masalahnya,
jika dicermati, hanya ada satu klausul yang mengarah pada tujuan dimaksud.
Yakni Pasal 8 butir e, yang menyebutkan partai politik berkewajiban ‘melakukan
pendidikan politik dan menyalurkan aspirasi politik’. Bagaimana kewajiban itu
harus dilakukan tidaklah begitu jelas benar. Ini menunjukkan bahwa (rencana)
kebijakan itu masih berorientasi pada sistem massa mengambang, yang berakibat
pada terciptanya negara mengambang (Daniel Sparinga, 1998), yang jelas-jelas merugikan rakyat. Jika partai
politik masih mengambang sedemikian rupa maka hubungan yang bersifat kalkulatif
dan transaksional tidak pernah akan terwujud.
Di pihak
lain, penataan ulang institusi politik itu dapat pula dilakukan secara
kultural. Hemat saya adalah dengan menciptakan ‘sistem distrik’ (baca:
orientasi pada wilayah pemilihan dalam pemilu, bahkan dalam pengertian rakyat
mampu melaksanakan pemilu lokal sebelum pemilu nasional berlangsung untuk
menentukan utusan rakyat di parlemen nanti) sebagai budaya politik rakyat pada
umumnya (bandingkan dengan Baswedan, yang lebih menekankan pada pengembangan social
capital). Sebab, sistem pemilihan umum yang menganut sistem distrik
(rekayasa institusi secara struktural) yang tidak diimbangi oleh ‘budaya
politik yang berorientasi distrik’ ini tetap saja rawan dengan ‘premanisme
politik’ atau ‘penunggang bebas’.
‘Budaya
politik rakyat yang berorientasi distrik’ ini menjadi penting, bahkan mutlak,
pertama, justru karena ia akan menjadi media atau alat bagi berjalannya
mekanisme ‘kalkulatif dan transaksional’ dalam hubungan pemilih dan yang
dipilih itu sendiri. Kedua, menjadi lebih penting lagi, karena adanya
‘kegagalan institusi’ sebagai akibat tidak cocoknya sistem pengorganisasian
partai politik (demokrasi partai) yang sejatinya berasal dari satu peradaban
tertentu (Barat), yang karenanya memiliki ‘sistem ritualnya’ sendiri (yang
umumny berangkat dari paham liberal), jika dihadapkan pada mekanisme-mekanisme
yang menyangkut cara memikirkan dan memformulasikan kepentingan yang ada dalam
kehidupan masyarakat semacam ‘Masyarakat Indonesia’ ini pada umumnya (yang
umumnya masih berorientasi pada kehidupan keluarga, kampung (lokalitas), dan
‘orang-orang seasal-usul’). Padahal, seperti ditulis Baswedan, merujuk Przeworski (1991), memikirkan dan
memformulasikan kepentingan adalah modal (media?) untuk mendapatkan manfaat
dari demokrasi itu sendiri.
Itu
berarti bahwa menciptakan sebuah
pengorganisasian politik setingkat wilayah pemilihan (distrik) adalah merupakan
suatu keniscayaan. Itu berarti pula bahwa komunitas (atau desa adminsitratif)
atau federasi antar komunitas (atau federasi antar desa) dalam skala satuan
wilayah pemilihan sebagai suatu ‘mesin politik’, yang akan menggantikan peran
formal partai politik, harus diupayakan (Zakaria, 2002). Dengan demikian, di
sini, seperti yang dikemukakan Diamond (1994), kerja-kerja pengorganisasian dan
pendidikan politik (dalam arti luas, tidak sekedar voter edocation),
menjadi kegiatan-kegiatan yang mutlak pula harus dilakukan.
Pada
masanya nanti, aliansi-aliansi komunitas dalam skala wilayah pemilihan inilah
yang akan beraliansi atau berkoalisi secara strategis dengan partai-partai
politik peserta pemilu yang ada demi terwujudnya suatu kontrak sosial baru
untuk menggantikan kontrak sosial lama yang telah telah usang itu. Dengan
begitu pula, kebuntuan pilihan para pejuang pro-demokrasi, semacam organisasi
non-pemerintah misalnya, yang masih terjebak pada pilihan-pilihan masuk partai
politik atau tidak, dapat diatasi. Kita memang butuh kesadaran dan imajinasi
baru. Sebab, seperti dikatakan Partha Chaterjee (1993), kesengsaraan
bangsa-bangsa di dunia ketiga selama ini justru terjadi karena menyerahnya
kesadaran dan imajinasi ini, sehingga kita terjebak pada pilihan-pilihan yang
telah ditentukan pihak lain.
Regrouping
politik yang demikian itu tak membutuhkan
perombakan peraturan-perundangan politik yang berlaku sekarang sekalipun.
Banyak celah yang dapat disiasati. Buat apa menghabiskan tenaga, waktu dan
uang, untuk mengerjakan hal-hal yang pasti menimbulkan resistensi dari
pihak-pihak yang akan ‘dirugikan’ (baca; partai politik).
***
Semua itu tentu saja bukan suatu pekerjaan mudah. Tantangan utama
yang akan dihadapi justru akan datang dari pihak yang memang diuntungkan oleh
‘sistem demokrasi’ ala pertandingan sepakbola itu sendiri. Di samping
itu, juga menjadi sulit karena keharusan perubahan ini menyangkut suatu
masyarakat yang tatanan institusionalnya selama ini telah diporakporandakan
oleh kebijakan-kebijakan politik, ekonomi, dan budaya selama ini. Itu berarti,
perubahan yang ingin diupayakan itu menyangkut suatu masyarakat yang modal
sosialnya, saya lebih cendrung mengatakannya energi sosialnya (social
energy), telah abih tandeh! (Zakaria, 2000). Dalam situasi yang
demikian itu, warga masyarakat tak tahu lagi mana yang benar dan mana yang
salah; mana yang seharusnya dan mana yang tidak perlu; dan seterusnya.
Meski begitu, pengorganisasian dan pendidikan politik ulang harus
segera dilakukan. Ini memang pekerjaan besar. Namun dosa besar jika tidak
segera dikerjakan. ***
0 komentar:
Post a Comment