Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Friday, November 11, 2011

MENDUDUKKAN UTUSAN RAKYAT


Pengalaman banyak negara menunjukkan bahwa tumbangnya rezim otoritarian tidak serta merta memperbaiki hidup rakyat. Banyak pengalaman menunjukkan, tak seluruh kesempatan yang sebenarnya terbuka untuk tujuan itu termanfaatkan dengan baik. Sebutlah contoh soal otonomi daerah. Alih-alih mensejahterakan rakyat, beban rakyat justru makin menumpuk saja. Sebuah survey kecil-kecilan menunjukkan sekitar 70% Perda adalah soal bagaimana mengambil uang rakyat atau memperkokoh kedudukan pejabat publik dan elit politik. Ini terkait pada ‘doa’ ekseskutif dan legislatif tentang bagaimana caranya meningkatan PAD. Penolakan rakyat pada RAPBD, baik propinsi maupun kabupaten, adalah contoh lain yang kasat mata. Belakangan situasi ini menimbulkan frustrasi dan nostalgia pada ‘kebaikan’ rezim otoritarianisme.
Nyatalah bahwa keharusan menumbangkan rezim otoritarianisme adalah suatu hal, membentuk suatu negara demokrasi, mengkonsolidasikannya, mempertahankan, serta memberikan vitalitas dan makna kepadanya adalah hal yang lain lagi. Dalam konteks Indonesia, ‘carut-marut’ hasil reformasi terjadi karena peralihan itu tidak diikuti oleh perubahan struktur politik yang menjadi mesin utama bagi pengaturan hidup bersama dalam tatanan negara modern ini di satu pihak, dan budaya politik rakyat di pihak lain. Masa transisi kemudian hanya menjadi arena ‘dagang sapi’. Struktur politik yang ada selama ini, demikian pula dengan budaya politik rakyat yang dominan, adalah jalan bagi tidak nyambungnya agenda-agenda politik partai, yang disebut Moeslim Abdurachman (Kompas, Juli 2001), cendrung hanya menjalankan politik negara, dengan kebutuhan atau persoalan hidup rakyat sehari-hari.
***
Beberapa waktu lalu Anies Baswedan menulis bahwa untuk mewujudkan sebuah negara yang demokratis, hubungan antara ‘pemain’ (dalam hal ini adalah para politikus) dengan ‘penonton’ (konstituen) tidak boleh seperti hubungan pemain dan penonton dalam sepakbola (Kompas, 24/06/02). Dengan menggunakan pendekatan politik ekonomi yang biasa mendasarkan pada pertanyaan ‘siapa mendapat apa dan mengapa’ Baswedan mengatakan bahwa konstruksi hubungan antara ‘pemain’ dan ‘penonton’ dalam demokrasi haruslah bersifat kalkulatif dan transaksional. Itu berarti bahwa, berbeda dengan permainan sepakbola, dalam demokrasi, ‘penonton’ boleh, dan yang lebih penting lagi adalah bisa, mengoreksi hubungan di antara keduanya. Jika tidak, hemat saya, yang akan terjadi adalah ‘premanisme politik’ belaka.
Beberapa waktu sebelumnya Moeslim Abdurahman (op.cit) menulis pula bahwa sudah sejak lama partai politik diragukan dapat melakukan artikulasi terhadap aspirasi rakyat di luar politik negara, khususnya yang disebut sebagai politik pergulatan hidup (human struggle) sehari-hari. Secara teoritik, demikian Abdurachman, partai-partai diragukan dapat menjadi representasi, apalagi menjadi wadah melakukan aksi bersama berkaitan dengan proyek emansipatoris. Bahkan di mana-mana sering menunjukkan, dalam praktik pembagian kekuasaan, partai-partai dengan mudah memanipulasi diri menjadi proyek elit yang tidak lagi peka terhadap penderitaan rakyat yang telah memberikan perwakilan politik kepadanya. Maka tak heran jika kemudian Abdururachman menjuduli tulisannya ‘Rakyat Tanpa Wakil’. “Karena itu, hal yang amat tragis dalam perkembangan politik suatu bangsa bila partai-partainya telah melakukan praktik manipulasi kekuasaan, sementara itu terjadi kekosongan the signifier dalam masyarakatnya yang sanggup mengartikulasikan politik keresahan sosial, terutama dari kalangan mereka yang selama ini disebut sebagai orang-orang tertindas (the subordination of people),” demikian Abdurachman.
Sebelum era reformasi bergulir, Heru Nugroho, sosiolog dari UGM, pernah pula menulis bahwa dalam masyarakat modern atau bahkan postmodern saat ini, filsafat pencerahan yang menjadi akar konsep negara modern membawa dampak munculnya dua kategori bidang kehidupan, yaitu kehidupan privat (privat life) berhadapan dengan lingkungan publik (public sphere). Jika saja kehidupan politik tetap konsisten dengan filsafat pencerahan ini, yang sejatinya memberikan kebebasan individu seluas-luasnya dalam berpolitik (liberal), menurut Nugroho, maka setiap kebijakan publik (politik termasuk di dalamnya, pen.) akan selalu merupakan aspirasi dari setiap individu dan setiap aspirasi individu merupakan cerminan dari kebijakan publik. Namun, kenyataannya, justru sebaliknya. Setiap kebijakan publik belum tentu mencerminkan aspirasi setiap individu bahkan tidak jarang kebijakan publik tersebut berlakunya coercieve bagi masing-masing individu. Akibatnya individu mengalami alienasi dan ketidakberdayaan dalam menghadapi kebijakan publik. Untuk mengatasi hal itu diperlukan struktur-struktur atau lembaga-lembaga mediasi yang mengantarai keduanya. Atau, meminjam kata-kata Abdurachman, “… Untuk menemukan kembali basis politik yang berorientasi pada proyek emasipatoris rakyat, sudah tentu tidak ada jalan lain kecuali perlu dilakukan regrouping politik baru oleh rakyat sendiri (di luar demokrasi kepertaian) yang lebih bercorak partisipatoris, yang berbasis komunitas”.

***
Demikianlah, catatan di atas tentu saja sedikit  dari begitu banyak teori yang telah dikembangkan terhadap kinerja reformasi yang tengah berlangsung, maupun langkah-langkah strategis yang harus ditempuh dalam masa transisi menuju demokrasi pasca runtuhnya rezim otoritarianisme yang lalu itu. Soalnya kemudian adalah bagaimana konstruk ‘hubungan kalkulatif dan transaksional’ itu dapat diwujudkan dalam kehidupan politik yang nyata; “lembaga-lembaga mediasi” apa yang memungkinkannya; agar ‘regrouping politik” baru dapat tercipta ditengah kehidupan rakyat semesta. Atau, meminjam kata-kata para pengamen jalanan di atas, bagaimana ‘barisan rakyat harus dirapatkan’.
Meminjam kategori Baswedan, di satu pihak, secara struktural, benar adanya hal itu dapat dilakukan melalui rekayasa institusional, misalnya dengan mengubah sistem pemilihan umum. Namun, menurut saya, lebih penting lagi melalui penataan kembali peraturan-perundangan politik lain, khususnya UU tentang Partai Politik, yang memungkinkan – atau malah mengharuskan --  partai politik berakar pada konstituennya: sebuah harapan yang relatif tidak tertampung dalam RUU Partai Politik yang tengah digodog DPR dewasa ini.
Masalahnya, jika dicermati, hanya ada satu klausul yang mengarah pada tujuan dimaksud. Yakni Pasal 8 butir e, yang menyebutkan partai politik berkewajiban ‘melakukan pendidikan politik dan menyalurkan aspirasi politik’. Bagaimana kewajiban itu harus dilakukan tidaklah begitu jelas benar. Ini menunjukkan bahwa (rencana) kebijakan itu masih berorientasi pada sistem massa mengambang, yang berakibat pada terciptanya negara mengambang (Daniel Sparinga, 1998), yang  jelas-jelas merugikan rakyat. Jika partai politik masih mengambang sedemikian rupa maka hubungan yang bersifat kalkulatif dan transaksional tidak pernah akan terwujud.
Di pihak lain, penataan ulang institusi politik itu dapat pula dilakukan secara kultural. Hemat saya adalah dengan menciptakan ‘sistem distrik’ (baca: orientasi pada wilayah pemilihan dalam pemilu, bahkan dalam pengertian rakyat mampu melaksanakan pemilu lokal sebelum pemilu nasional berlangsung untuk menentukan utusan rakyat di parlemen nanti) sebagai budaya politik rakyat pada umumnya (bandingkan dengan Baswedan, yang lebih menekankan pada pengembangan social capital). Sebab, sistem pemilihan umum yang menganut sistem distrik (rekayasa institusi secara struktural) yang tidak diimbangi oleh ‘budaya politik yang berorientasi distrik’ ini tetap saja rawan dengan ‘premanisme politik’ atau ‘penunggang bebas’.
‘Budaya politik rakyat yang berorientasi distrik’ ini menjadi penting, bahkan mutlak, pertama, justru karena ia akan menjadi media atau alat bagi berjalannya mekanisme ‘kalkulatif dan transaksional’ dalam hubungan pemilih dan yang dipilih itu sendiri. Kedua, menjadi lebih penting lagi, karena adanya ‘kegagalan institusi’ sebagai akibat tidak cocoknya sistem pengorganisasian partai politik (demokrasi partai) yang sejatinya berasal dari satu peradaban tertentu (Barat), yang karenanya memiliki ‘sistem ritualnya’ sendiri (yang umumny berangkat dari paham liberal), jika dihadapkan pada mekanisme-mekanisme yang menyangkut cara memikirkan dan memformulasikan kepentingan yang ada dalam kehidupan masyarakat semacam ‘Masyarakat Indonesia’ ini pada umumnya (yang umumnya masih berorientasi pada kehidupan keluarga, kampung (lokalitas), dan ‘orang-orang seasal-usul’). Padahal, seperti ditulis Baswedan,  merujuk Przeworski (1991), memikirkan dan memformulasikan kepentingan adalah modal (media?) untuk mendapatkan manfaat dari demokrasi itu sendiri.
Itu berarti bahwa  menciptakan sebuah pengorganisasian politik setingkat wilayah pemilihan (distrik) adalah merupakan suatu keniscayaan. Itu berarti pula bahwa komunitas (atau desa adminsitratif) atau federasi antar komunitas (atau federasi antar desa) dalam skala satuan wilayah pemilihan sebagai suatu ‘mesin politik’, yang akan menggantikan peran formal partai politik, harus diupayakan (Zakaria, 2002). Dengan demikian, di sini, seperti yang dikemukakan Diamond (1994), kerja-kerja pengorganisasian dan pendidikan politik (dalam arti luas, tidak sekedar voter edocation), menjadi kegiatan-kegiatan yang mutlak pula harus dilakukan.
Pada masanya nanti, aliansi-aliansi komunitas dalam skala wilayah pemilihan inilah yang akan beraliansi atau berkoalisi secara strategis dengan partai-partai politik peserta pemilu yang ada demi terwujudnya suatu kontrak sosial baru untuk menggantikan kontrak sosial lama yang telah telah usang itu. Dengan begitu pula, kebuntuan pilihan para pejuang pro-demokrasi, semacam organisasi non-pemerintah misalnya, yang masih terjebak pada pilihan-pilihan masuk partai politik atau tidak, dapat diatasi. Kita memang butuh kesadaran dan imajinasi baru. Sebab, seperti dikatakan Partha Chaterjee (1993), kesengsaraan bangsa-bangsa di dunia ketiga selama ini justru terjadi karena menyerahnya kesadaran dan imajinasi ini, sehingga kita terjebak pada pilihan-pilihan yang telah ditentukan pihak lain.
Regrouping politik yang demikian itu tak membutuhkan perombakan peraturan-perundangan politik yang berlaku sekarang sekalipun. Banyak celah yang dapat disiasati. Buat apa menghabiskan tenaga, waktu dan uang, untuk mengerjakan hal-hal yang pasti menimbulkan resistensi dari pihak-pihak yang akan ‘dirugikan’ (baca; partai politik).
***
Semua itu tentu saja bukan suatu pekerjaan mudah. Tantangan utama yang akan dihadapi justru akan datang dari pihak yang memang diuntungkan oleh ‘sistem demokrasi’ ala pertandingan sepakbola itu sendiri. Di samping itu, juga menjadi sulit karena keharusan perubahan ini menyangkut suatu masyarakat yang tatanan institusionalnya selama ini telah diporakporandakan oleh kebijakan-kebijakan politik, ekonomi, dan budaya selama ini. Itu berarti, perubahan yang ingin diupayakan itu menyangkut suatu masyarakat yang modal sosialnya, saya lebih cendrung mengatakannya energi sosialnya (social energy), telah abih tandeh! (Zakaria, 2000). Dalam situasi yang demikian itu, warga masyarakat tak tahu lagi mana yang benar dan mana yang salah; mana yang seharusnya dan mana yang tidak perlu; dan seterusnya.
Meski begitu, pengorganisasian dan pendidikan politik ulang harus segera dilakukan. Ini memang pekerjaan besar. Namun dosa besar jika tidak segera dikerjakan. ***

MENDUDUKKAN UTUSAN RAKYAT Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment