Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Tuesday, April 14, 2020

Dilema di Tengah Wabah Covid 19

SENDIRI: Dalam Kebersamaan dan Menghadap Tuhan

Pierre Suteki

Dikabarkan Guru besar Farmakologi Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKMKK) UGM, Profesor Iwan Dwiprahasto yang diumumkan positif terinfeksi virus corona pada Rabu (18/3) lalu meninggal dunia dalam usia 58 tahun pada Selasa (24/3) pukul 00.04 WIB di RSUP Sardjito Yogyakarta.

Guru Besar di kalangan perguruan tinggi konon mendapat tempat yang terhormat nan agung di universitasnya. Corona covid-19 seolah telah meluluhlantakkan keagungan martabat. Dahulu sebelum serangan "hama" ini merebak, setiap guru besar yang meninggal dapat dipastikan disemayamkan dulu di AUDITORIUM KAMPUS tercinta untuk mendapat penghormatan dalam sebuah upacara khusus. Istilah Jawa-nya: "disubyo-subyo pakurmatan luhur". Banyak handai taulan yang hadir ta'ziah.

Kini, jangankan kampus, mampir ke rumah yang dulu dia tinggali bersama anak dan istrinya pun tidak. Dari kamar jenazah / forensik langsung menuju ke makam. Handai taulan pun enggan merapat. Andai mungkin, jenazah pun diminta menuju makamnya sendiri. Sayang, hal itu tidak mungkin. Sendiri. Benar-benar dalam kesendirian. Hidup menyaksikan keadaan seperti ini, sungguh saya prihatin, trenyuh mengingat fakta bahwa ternyata manusia ini kecil, lebih kecil dari virus corona.

Kadang saya juga berpikir, merenung dengan segala kenakalan otak saya. Menyaksikan pandemi dunia ini dalam hati saya bertanya: siapakah sebenarnya yang disebut sebagai seorang memiliki akidah keimanan sejati? Pada status saya di fb sempat saya lontarkan bahwa PANDEMI COVID-19 TELAH MEN-DOWN GRADE AKIDAH SAYA. Benarkah bahwa lahir, mati, rezeki dan jodoh itu telah ditetapkan oleh sang Pencipta di LAUHUL MAHFUDZ jauh sebelum kita "mengada"? Lalu otak saya bertanya, apakah benar tausyiah Gus Baha Lasem yang intinya: ketika kita takut dengan kematian akibat corona, mungkin malaikat Izroil akan tertawa karena "matimu bukan disebabkan virus corona tapi "dibentak istri". Sungguh saya terhenyak dan sekaligus terpingkal membaca meme yang berisi tausyiah Gus Baha ini.

Di sisi lain, saya juga temukan banyak percakapan yang membahas tentang sikap kita menghadapi pandemi virus corona ini. Terpampang ada penjelasan dari sisi qodariyah dan jabariyah. Semuanya saling mengklaim kebenaran disertai dengan dalil dan dalih yang sulit terbantahkan. Tidak ada yang mampu membuktikan bahwa 100 % keyakinannya benar. Lalu mana yang benar menurut akal manusia dan mana yang benar menurut Alloh dan Rasul-Nya? Ulama terbelah, cendikiawan terbelah. Terbelah, dibelah oleh VIRUS yang tak kasat mata ini.

Mati, kematian memang sesuatu yang pasti tetapi sekaligus sesuatu yang bersifat MISTERI. Misteri gunung Merapi mungkin masih mudah ditebak awal, tengah dan akhir kisahnya.  Namun, kematian sulit ditebak purwa, madya dan wasana dalam perjalanan hidup manusia. Ada yang meninggal saat baru memulai hidup (purwa), ada yang meninggal saat ditengah hidup (madya), dan ada yang berakhir hidupnya benar-benar di usia sepuhnya (wasana). Di mana kita mati, dengan faktor apa kita mati / dengan cara apa kita mati, itu pun semua misteri. Di medan tempurkah, di atas kasurkah, kecelakaankah, saat sakitkah, saat sehatkah. Sungguh kita tidak tahu, bahkan meramalkan pun kita tak mampu.

Mati, kematian apakah akhir dari segalanya? Ia titik akhir atau hanya sebuah dinamika dari kehidupan panjang manusia. Adakah hidup setelah mati? Kita akan buktikan dalil dan dalih agama terhadap semuanya itu, nanti. Sekarang kita masih di wilayah hidup dan kehidupan yang mungkin masih dalam batas kekuasaan manusia. Manusia diberikan kekuasaan untuk memilih dalam menghadapi segala problema hidup dan kehidupan ini.

Ada kalanya problema itu bisa dihadapi sendiri, tapi ada kalanya kebersamaan justru ditentang dan menjadi masalah besar dan fatal. Jika kebersamaan itu selalu baik, mengapa kebersamaan secara fisik itu justru dilarang seperti kedaan pandemi corona ini. Doa bersama dilarang, sholat bersama (jamaah) di masjid dilarang, istighisah dilarang, majelis taklim dilarang untuk waktu yang ditentukan. Dan tampaknya kini social distancing saja tidak cukup melainkan harus melakukan PHYSICAL DISTANCING sebagaimana rekomendasi WHO.

Pemerintah menggunakan istilah social distancing untuk menghimbau masyarakat dalam upaya mencegah penyebaran virus Corona. Itulah mengapa, istllah dalam Bahasa Inggris itu kini populer di kalangan masyarakat luas. Social distancing dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai pembatasan sosial. Pada awalnya, frasa ini diartikan sebagai upaya menjaga jarak untuk menghentikan atau meredam penyebaran penyakit menular.

Namun, seperti dilansir dari Antara, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) kini mendesak agar semua kalangan lebih menggunakan frasa 'physical distancing' ketimbang social distancing.
Physical distancing di sini diartikan sebagai 'menjaga jarak fisik'.

Seperti dikutip dari Reuters, WHO mengubah frase bertujuan untuk merekomendasikan jarak fisik daripada jarak sosial dengan mendorong masyarakat tetap terhubung melalui media sosial. Menurut WHO, ide perubahan itu untuk menjernihkan konteks yang telah beredar di masyarakat luas, yakni imbauan untuk tetap berada di rumah selama pandemi virus Corona, bukan tentang memutuskan kontak dengan keluarga, kerabat, teman, maupun sahabat, melainkan lebih dalam konteks menjaga jarak secara fisik untuk memastikan penyakit COVID-19 tidak menyebar.

Sendiri dan kesendirian, akankah menjadi akhir dari kebersamaan kita dalam menuju Tuhan?

Tabik...!!!

Oleh : Prof. Steven Suteki

Dilema di Tengah Wabah Covid 19 Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment