Allah Ta’alaa
berfirman dalam surat An Nahl, ayat 36 –yang artinya-, “Sesunggunya telah kami
utus untuk tiap-tiap umat seorang rasul (yang memerintahkan) sembahlah Allah
dan jauhilah thoghut”. Ayat di atas menjelaskan makna mengesakan Allah yang
meliputi dua hal, yakni: menyembah Allah dan menjauhi thoghut. Siapa yang
mengumpulkan dua perkara ini, maka dia tergolong kaum muwahhiduun (kaum yang
mengesakan Allah). Sebaliknya, barang siapa menyembah Allah tapi tidak menjauhi
thoghut, maka dia tergolong kaum musyrikuun. Thoghut adalah setiap sesuatu yang
diperlakukan sebagai tandingan Allah, yakni makhluq yang diberi suatu hak oleh
manusia, padahal hak tersebut seharusnya hanya diberikan kepada Allah, bukan
kepada makhluq. Misalnya, hak untuk disembah merupakan hak yang khusus bagi
Allah. Maka barang siapa yang memberikan hak penyembahan itu kepada makhluq
berarti dia telah menjadikan makhluq itu sebagai thoghut. Begitu juga dengan
hak untuk mengabulkan doa dan ditaati, itu merupakan hak ekslusif bagi Allah,
maka barang siapa yang berdoa dan memberi ketaatan penuh kepada makhluq,
berarti dia telah menjadikan makhluq itu sabagai thoghut. Dan siapa saja yang
memperlakukan makhluq sebagai thoghut, maka dia telah melakukan sebuah
kejahatan besar, yang disebut syirik.
Allah berfirman
dalam An Nisaa’ ayat 48 –artinya-, “sesunggunya Allah tidak mengampuni dosa
tindakan menyekutukanNya dan mengampuni dosa selain itu kepada siapa yang Dia
kehendaki”. Allah juga berfirman dalam Al Maidah ayat 72 –artinya-
“Sesungguhnya siapa yang menyekutukan Allah maka sungguh Allah mengharamkan
surga bagi dirinya, dan tempat mereka adalah neraka, dan tidaklah ada penolong
bagi orang-orang dholim”. Dua ayat ini menunjukkan bahwa tidak ada dosa yang
lebih besar dari pada menyekutukan Allah, yakni memberi hak-hak Allah kepada
makhluq.
MEMBERIKAN
KEKUASAAN TERTINGGI UNTUK MENETAPKAN HUKUM KEPADA MAKHLUQ ADALAH PERBUATAN
SYIRIK.
Di antara
hak-hak yang khusus bagi Allah adalah hak Allah untuk menetapkan mana yang
halal dan mana yang haram, mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik
dan mana yang buruk, mana yang terpuji dan mana yang tercela. Inilah hak Allah
dalam hukum, bahwa Dia adalah satu-satunya Hakim tertinggi yang memiliki
kedaulatan mutlak. Allah berfirman dalam Al An’am ayat 57 –artinya, “Menetapkan
hukum hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi
Keputusan yang terbaik”.
Atas dasar itu,
memberikan wewenang mutlak kepada makhluq untuk menentukan hukum merupakan
salah satu pelanggaran terhadap aqidah islam, bahkan itu tergolong tindakan
syirik, menyekutukan Allah Ta’ala. Masalah inilah yang diterangkan oleh Allah
Ta’aalaa dalam surat At Taubah ayat 31, yang artinya, ““Mereka (Yahudi dan
Nasrani) telah mengambil rahib-rahib dan pendeta-pendeta mereka sebagai
tuhan-tuhan selain Allah dan Al Masih putra Maryam, padahal mereka tidak
diseruh kecuali untuk menyembah kepada Ilaah yang satu, yang mana tidak ada
ilaah lain selain Dia,…”.. Ibnu Katsir dalam Tafsirnya mengutarakan sebuah
kisah terkait dengan ayat ini. Suatu hari, seorang nasrani (yang belakangan
menjadi seorang shohabat) bernama Adiy bin Hatim ra. menemui Nabi saw. Dengan
masih mengenakan kalung salib dari perak. Melihat kehadirannya itu, Nabi saw.
membaca At Tawbah 31 –yang artinya-, “Mereka (ahli kitab) mengambil rahib-rahib
dan pendeta-pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah dan Al Masih putra
Maryam, padahal mereka tidak diseruh kecuali untuk menyembah kepada Ilaah yang
satu, yang tidak ada ilaah lain selain Dia,…”. Mendengar ayat ini Adiy bin
Hatim ra mengatakan, “mereka tidak menyembah rahib dan pendeta-pendeta itu”.
Kemudian Nabi saw. membantah pernyataan Adiy bin Hatim ra itu dengan
mengatakan, “bukankah pendeta-pendeta itu mengharamkan apa yang dihalalkan oleh
Allah bagi mereka, dan juga menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah bagi
mereka, kemudian mereka (umat Yahudi dan Nasrani) mengikuti keputusan
rahib-rahib dan pendeta-pendeta itu? Itulah penyembahan ahli kitab terhadap
rahib-rahib dan pendeta-pendeta mereka” (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid II, hal
1353).
Dari penjelasan
Nabi saw ini bisa dipahami bahwa orang Yahudi dan Nasrani itu dianggap oleh
Allah sebagai kaum yang menjadikan pendeta-pendeta sebagai tuhan. Penuhanan
ahli kitab terhadap pendeta-pendeta mereka itu bukan dengan menganggap para
pendeta itu sebagai pencipta dan pengatur alam semesta, tapi dengan memberikan
hak mutlak kepada pendeta-pendeta tersebut untuk menentukan mana yang halal dan
mana yang haram. Itulah yang dimaksud dengan menuhankan para pendeta. Al Hafidz
Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengutip penjelasan Hudzaifah bin Al Yaman ra,
Abdullah bin Abbas ra serta para mufassir salaf yang lain mengenai ayat itu,
mereka mengatakan “itu karena sesungguhnya mereka (yahudi dan nasrani) menuruti
segala yang mereka halalkan dan yang mereka haramkan”. As Sudiy mengatakan,
“mereka menaruh kesetiaan penuh kepada (keputusan) manusia, seraya meninggalkan
(hukum) Kitabullah di belakang punggung mereka” (Jilid II, hal 1354). Artinya,
Yahudi dan
Nasrani menuhankan pendeta-pendeta itu karena mereka menuruti segala keputusan
mereka tanpa peduli terhadap hukum-hukum yang diturunkan oleh Allah. Itu
artinya, mereka telah memberi hak tertinggi untuk menentukan hukum kepada para
pendeta itu, maka mereka telah menjadikan para pendeta itu sebagai thoghut
(tuhan/sesembahan selain Allah).
Pemahaman ini sesuai juga dengan Firman Allah dalam An Nisaa’ ayat 60 –artinya- “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan beriman kepada apa yang diturunkan sebelum kamu, namun mereka ingin berhukum kepada thoghut, padahal sungguh mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thoghut itu,…”.
Pemahaman ini sesuai juga dengan Firman Allah dalam An Nisaa’ ayat 60 –artinya- “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan beriman kepada apa yang diturunkan sebelum kamu, namun mereka ingin berhukum kepada thoghut, padahal sungguh mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thoghut itu,…”.
Mengenai ayat
ini, Al Hafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, “Ayat ini adalah
penginkaran Allah terhadap orang yang mengklaim beriman kepada apa yang
diturunkan Allah kepada rasulNya dan kepada nabi-nabi sebelumnya, namun pada
saat yang sama mereka ingin mengambil hakim untuk memutuskan perkara di antara
mereka dari selain Kitabullah dan sunnah rasulNya, sebagaimana disebutkan dalam
sebab turunya ayat ini. Ayat ini turun kepada seorang laki-laki dari kalangan anshor
dan laki-laki yahudi yang sedang bersengketa. Karena masalah itu si Yahudi
berkata, “hakim di antara aku dan kamu adalah Muhammad”, tapi si muslim justru
berkata, “hakim di antara aku dan kamu adalah Ka’ab bin Al Asyrof”. Dikatakan
juga bahwa ayat ini turun berkenaan dengan sekelompok kaum munafik yang secala
lahir menampakkan keislaman, tapi mereka berhukum kepada hakim-hakim
jahiliyyah…, namun sebenarnya cakupan ayat ini lebih umum dari semua persitiwa
itu. Sesungguhnya ayat ini adalah celaan terhadap siapa saja yang berpaling
dari Kitabullah dan sunnah, dan kemudian berhukum kepada selain keduanya berupa
kebatilan. Dan ia (hakim selain kitabullah dan sunnah –pent) merupakan thoghut
yang dimaksud dalam ayat itu. Maka dari itu, Allah berfirman –artinya “mereka
hendak berhukum kepada thoghut”….(Jilid I hal. 768)
Ibnu Qoyyim
berkata dalam I’lam Al Muwaqi’iin, “Allah juga mengabarkan bahwa orang yang
berhukum kepada selain yang dibawa oleh rasulullah saw. berarti telah berhukum
kepada thoghut. Yang dimaksud dengan thoghut adalah segala sesuatu yang
diperlakukan oleh manusia dengan cara yang melampaui ketentuan Allah, yakni
dengan disembah, dituruti, dan ditaati. Dengan demikian, orang yang mengambil
thoghut itu adalah setiap kaum yang berhukum kepada selain Allah dan rasulNya,
atau kaum yang beribadah, taat dan tunduk kepada selain Allah. (hal. 45).
DOGMA
DEMOKRASI MENJADIKAN RAKYAT SEBAGAI THOGHUT
Jika kesimpulan
dari uraian sebelumnya kita proyeksikan kepada doktrin demokrasi, maka jelas
bahwa system demokrasi telah memberikan salah satu hak ilahiyyah kepada manusia
(rakyat). Itu karena para pendukung demokrasi telah menyatakan dengan lisan
mereka sendiri bahwa rakyat adalah satu-satunya pihak yang berdaulat dalam
pemerintahan, suara rakyat adalah suara Tuhan, vox populi = vox dei. Artinya,
kehendak rakyat adalah kehendak yang absolute, maka pemerintah harus tunduk
sepenuhnya kepada kehendak rakyat dalam segenap aspirasi mereka, apa yang
menjadi keinginan rakyat harus dituruti, dan apa yang tidak dikehandaki oleh
rakyat harus ditinggalkan, tidak peduli apakah itu semua sesuai dengan
kitabullah dan sunnah atau pun tidak. Bahkan, pemerintahan demokrasi memang
tidak bermaksud menyesuaikan segala kebijakannya dengan kitabullah dan sunnah.
Yang terpenting bagi mereka adalah mengabdi kepada kehendak rakyat dengan
menuruti dan menghargai segala aspirasi mereka tanpa memandang hukum Allah SWT.
Inilah mafhum dari kalimat “kedaulatan di tangan rakyat”. Bukankah ini yang
telah disinggung oleh surat At Taubah ayat 31 dan An Nisaa’ ayat 60 tadi?
Masalahnya tidak
berhenti dalam ranah teori, tapi memiliki penampakan yang jelas dalam aplikasi.
Mari kita lihat pemerintahan demokrasi yang menaungi umat islam saat ini.
Negara demokrasi seperti yang kita diami ini tidak mewajibkan apa yang
diwajibkan oleh Allah, tidak menegakkan had-had Allah, dan tidak mendasari
segala kebijakan dan hukum yang diterapkannya dengan kitabullah dan sunnah.
Mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah, mereka tidak
mengharamkan riba, tidak mengaharamkan tabarruj, tidak mengharamkan tindakan-tindakan
rusak yang mengatasnamakan seni, bahkan juga tidak mengharamkan iklan-iklan TV
yang menawarkan kemusyrikan yang nyata (seperti ramalan dan primbon). Mereka
tidak merasa berdosa atas semua itu. Mereka merasa telah berjalan di atas jalan
yang benar, berjalan sesuai aspirasi rakyat, meski dengan itu mereka
meninggalkan hukum-hukum Allah. Ini semua karena kita hidup dalam alam
demokrasi, dimana syara’ tidak berdaulat, tapi manusia yang berdaulat, rakyat
punya kebebasan pribadi yang tidak boleh diinterverensi oleh kekuatan apa pun,
sekali pun kebebasan itu digunakan untuk melakukan sesuatu yang jelas-jelas
melanggar hukum syara’. Padahal, dalam islam, Negara adalah penanggungjawab di
dunia dan di akhirat, dan dia harus mengurus rakyatnya dengan benar.
Allah berfirman
kepada para penguasa dalam Al Maidah ayat 49, “dan hendaklah kamu putuskan
perkara di antara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka (agar
jangan sampai) mereka memalingkan kamu dari sebagian yang telah diturunkan oleh
Allah kepadamu”. Ayat ini turun kepada Nabi saw pada saat beliau menjadi
penguasa, dan berlaku bagi seluruh penguasa sesudah beliau. Perintah Allah
kepada para penguasa dalam ayat ini jelas kontradiktif dengan doktrin
demokrasi. Demokrasi mewajibkan penguasa untuk tunduk kepada kehendak rakyat,
tapi, ayat ini justru mewajibkan penguasa untuk tetap merujuk kepada Kitabullah
dan sunnah.
Bahkan ayat ini
mewajibkan penguasa untuk tidak menghiraukan aspirasi-aspirasi rakyat (baca =
hawa nafsu manusia) yang tidak berdasarkan Kitabullah dan sunnah. Dan ayat ini
juga mewanti-wanti penguasa agar jangan sampai aspirasi-aspirasi itu (hawa
nafsu manusia) bisa memalingkan mereka dari kewajiban penerapan hukum-hukum
Allah. Seolah-olah dengan redaksi lain ayat tersebut berbunyi “wahai penguasa,
putuskanlah segala permasalahan di antara rakyatmu dengan hukum Allah, dan
janganlah engkau menuruti aspirasi-aspirasi yang muncul dari hawa nafsu mereka,
dan jangan sampai aspirasi yang muncul dari hawa nafsu itu memalingkan kamu
dari penerapan sebagian hukum Allah yang telah diturunkan kepadamu”, (namun
Allah memiliki sebaik-baik kalam).
Dari ayat itu
saja jelas dapat dipahami bahwa islam tidak mengajarkan doktrin “kedaulatan
rakyat”, tapi islam mengajarkan “kedaulatan syara” (Lihat uraian Dr. Al Kholidi
dalam “Kaidah Pokok Sistem Pemerintahan Islam”, hal. 7 sd 108). Artinya,
syari’ah islamlah yang berdaulat di dalam Negara. Negara dan rakyat harus
sama-sama tunduk kepada syara’. Seluruh hukum dan keputusan harus didasarkan
pada pendapat dan aspirasi yang terpancar dari kitabullah dan sunnah. Maka,
negara menjadikan syara’ sebagai acuan utama, bukan semata-mata aspirasi
rakyat. Sebab, jika kehendak rakyat dijadikan kebenaran absolute, maka pada
saat itu negara dan rakyatnya telah menjadikan rakyat itu sendiri sebagai
thoghut.
0 komentar:
Post a Comment