Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Friday, June 15, 2012

DOKTRIN DEMOKRASI DALAM PERSPEKTIF TAUHID

Allah Ta’alaa berfirman dalam surat An Nahl, ayat 36 –yang artinya-, “Sesunggunya telah kami utus untuk tiap-tiap umat seorang rasul (yang memerintahkan) sembahlah Allah dan jauhilah thoghut”. Ayat di atas menjelaskan makna mengesakan Allah yang meliputi dua hal, yakni: menyembah Allah dan menjauhi thoghut. Siapa yang mengumpulkan dua perkara ini, maka dia tergolong kaum muwahhiduun (kaum yang mengesakan Allah). Sebaliknya, barang siapa menyembah Allah tapi tidak menjauhi thoghut, maka dia tergolong kaum musyrikuun. Thoghut adalah setiap sesuatu yang diperlakukan sebagai tandingan Allah, yakni makhluq yang diberi suatu hak oleh manusia, padahal hak tersebut seharusnya hanya diberikan kepada Allah, bukan kepada makhluq. Misalnya, hak untuk disembah merupakan hak yang khusus bagi Allah. Maka barang siapa yang memberikan hak penyembahan itu kepada makhluq berarti dia telah menjadikan makhluq itu sebagai thoghut. Begitu juga dengan hak untuk mengabulkan doa dan ditaati, itu merupakan hak ekslusif bagi Allah, maka barang siapa yang berdoa dan memberi ketaatan penuh kepada makhluq, berarti dia telah menjadikan makhluq itu sabagai thoghut. Dan siapa saja yang memperlakukan makhluq sebagai thoghut, maka dia telah melakukan sebuah kejahatan besar, yang disebut syirik. 
Allah berfirman dalam An Nisaa’ ayat 48 –artinya-, “sesunggunya Allah tidak mengampuni dosa tindakan menyekutukanNya dan mengampuni dosa selain itu kepada siapa yang Dia kehendaki”. Allah juga berfirman dalam Al Maidah ayat 72 –artinya- “Sesungguhnya siapa yang menyekutukan Allah maka sungguh Allah mengharamkan surga bagi dirinya, dan tempat mereka adalah neraka, dan tidaklah ada penolong bagi orang-orang dholim”. Dua ayat ini menunjukkan bahwa tidak ada dosa yang lebih besar dari pada menyekutukan Allah, yakni memberi hak-hak Allah kepada makhluq. 
MEMBERIKAN KEKUASAAN TERTINGGI UNTUK MENETAPKAN HUKUM KEPADA MAKHLUQ ADALAH PERBUATAN SYIRIK. 
Di antara hak-hak yang khusus bagi Allah adalah hak Allah untuk menetapkan mana yang halal dan mana yang haram, mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang terpuji dan mana yang tercela. Inilah hak Allah dalam hukum, bahwa Dia adalah satu-satunya Hakim tertinggi yang memiliki kedaulatan mutlak. Allah berfirman dalam Al An’am ayat 57 –artinya, “Menetapkan hukum hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi Keputusan yang terbaik”. 
Atas dasar itu, memberikan wewenang mutlak kepada makhluq untuk menentukan hukum merupakan salah satu pelanggaran terhadap aqidah islam, bahkan itu tergolong tindakan syirik, menyekutukan Allah Ta’ala. Masalah inilah yang diterangkan oleh Allah Ta’aalaa dalam surat At Taubah ayat 31, yang artinya, ““Mereka (Yahudi dan Nasrani) telah mengambil rahib-rahib dan pendeta-pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah dan Al Masih putra Maryam, padahal mereka tidak diseruh kecuali untuk menyembah kepada Ilaah yang satu, yang mana tidak ada ilaah lain selain Dia,…”.. Ibnu Katsir dalam Tafsirnya mengutarakan sebuah kisah terkait dengan ayat ini. Suatu hari, seorang nasrani (yang belakangan menjadi seorang shohabat) bernama Adiy bin Hatim ra. menemui Nabi saw. Dengan masih mengenakan kalung salib dari perak. Melihat kehadirannya itu, Nabi saw. membaca At Tawbah 31 –yang artinya-, “Mereka (ahli kitab) mengambil rahib-rahib dan pendeta-pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah dan Al Masih putra Maryam, padahal mereka tidak diseruh kecuali untuk menyembah kepada Ilaah yang satu, yang tidak ada ilaah lain selain Dia,…”. Mendengar ayat ini Adiy bin Hatim ra mengatakan, “mereka tidak menyembah rahib dan pendeta-pendeta itu”. Kemudian Nabi saw. membantah pernyataan Adiy bin Hatim ra itu dengan mengatakan, “bukankah pendeta-pendeta itu mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah bagi mereka, dan juga menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah bagi mereka, kemudian mereka (umat Yahudi dan Nasrani) mengikuti keputusan rahib-rahib dan pendeta-pendeta itu? Itulah penyembahan ahli kitab terhadap rahib-rahib dan pendeta-pendeta mereka” (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid II, hal 1353). 
Dari penjelasan Nabi saw ini bisa dipahami bahwa orang Yahudi dan Nasrani itu dianggap oleh Allah sebagai kaum yang menjadikan pendeta-pendeta sebagai tuhan. Penuhanan ahli kitab terhadap pendeta-pendeta mereka itu bukan dengan menganggap para pendeta itu sebagai pencipta dan pengatur alam semesta, tapi dengan memberikan hak mutlak kepada pendeta-pendeta tersebut untuk menentukan mana yang halal dan mana yang haram. Itulah yang dimaksud dengan menuhankan para pendeta. Al Hafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengutip penjelasan Hudzaifah bin Al Yaman ra, Abdullah bin Abbas ra serta para mufassir salaf yang lain mengenai ayat itu, mereka mengatakan “itu karena sesungguhnya mereka (yahudi dan nasrani) menuruti segala yang mereka halalkan dan yang mereka haramkan”. As Sudiy mengatakan, “mereka menaruh kesetiaan penuh kepada (keputusan) manusia, seraya meninggalkan (hukum) Kitabullah di belakang punggung mereka” (Jilid II, hal 1354). Artinya,
Yahudi dan Nasrani menuhankan pendeta-pendeta itu karena mereka menuruti segala keputusan mereka tanpa peduli terhadap hukum-hukum yang diturunkan oleh Allah. Itu artinya, mereka telah memberi hak tertinggi untuk menentukan hukum kepada para pendeta itu, maka mereka telah menjadikan para pendeta itu sebagai thoghut (tuhan/sesembahan selain Allah).
Pemahaman ini sesuai juga dengan Firman Allah dalam An Nisaa’ ayat 60 –artinya- “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan beriman kepada apa yang diturunkan sebelum kamu, namun mereka ingin berhukum kepada thoghut, padahal sungguh mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thoghut itu,…”. 
Mengenai ayat ini, Al Hafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, “Ayat ini adalah penginkaran Allah terhadap orang yang mengklaim beriman kepada apa yang diturunkan Allah kepada rasulNya dan kepada nabi-nabi sebelumnya, namun pada saat yang sama mereka ingin mengambil hakim untuk memutuskan perkara di antara mereka dari selain Kitabullah dan sunnah rasulNya, sebagaimana disebutkan dalam sebab turunya ayat ini. Ayat ini turun kepada seorang laki-laki dari kalangan anshor dan laki-laki yahudi yang sedang bersengketa. Karena masalah itu si Yahudi berkata, “hakim di antara aku dan kamu adalah Muhammad”, tapi si muslim justru berkata, “hakim di antara aku dan kamu adalah Ka’ab bin Al Asyrof”. Dikatakan juga bahwa ayat ini turun berkenaan dengan sekelompok kaum munafik yang secala lahir menampakkan keislaman, tapi mereka berhukum kepada hakim-hakim jahiliyyah…, namun sebenarnya cakupan ayat ini lebih umum dari semua persitiwa itu. Sesungguhnya ayat ini adalah celaan terhadap siapa saja yang berpaling dari Kitabullah dan sunnah, dan kemudian berhukum kepada selain keduanya berupa kebatilan. Dan ia (hakim selain kitabullah dan sunnah –pent) merupakan thoghut yang dimaksud dalam ayat itu. Maka dari itu, Allah berfirman –artinya “mereka hendak berhukum kepada thoghut”….(Jilid I hal. 768) 
Ibnu Qoyyim berkata dalam I’lam Al Muwaqi’iin, “Allah juga mengabarkan bahwa orang yang berhukum kepada selain yang dibawa oleh rasulullah saw. berarti telah berhukum kepada thoghut. Yang dimaksud dengan thoghut adalah segala sesuatu yang diperlakukan oleh manusia dengan cara yang melampaui ketentuan Allah, yakni dengan disembah, dituruti, dan ditaati. Dengan demikian, orang yang mengambil thoghut itu adalah setiap kaum yang berhukum kepada selain Allah dan rasulNya, atau kaum yang beribadah, taat dan tunduk kepada selain Allah. (hal. 45).

DOGMA DEMOKRASI MENJADIKAN RAKYAT SEBAGAI THOGHUT 
Jika kesimpulan dari uraian sebelumnya kita proyeksikan kepada doktrin demokrasi, maka jelas bahwa system demokrasi telah memberikan salah satu hak ilahiyyah kepada manusia (rakyat). Itu karena para pendukung demokrasi telah menyatakan dengan lisan mereka sendiri bahwa rakyat adalah satu-satunya pihak yang berdaulat dalam pemerintahan, suara rakyat adalah suara Tuhan, vox populi = vox dei. Artinya, kehendak rakyat adalah kehendak yang absolute, maka pemerintah harus tunduk sepenuhnya kepada kehendak rakyat dalam segenap aspirasi mereka, apa yang menjadi keinginan rakyat harus dituruti, dan apa yang tidak dikehandaki oleh rakyat harus ditinggalkan, tidak peduli apakah itu semua sesuai dengan kitabullah dan sunnah atau pun tidak. Bahkan, pemerintahan demokrasi memang tidak bermaksud menyesuaikan segala kebijakannya dengan kitabullah dan sunnah. Yang terpenting bagi mereka adalah mengabdi kepada kehendak rakyat dengan menuruti dan menghargai segala aspirasi mereka tanpa memandang hukum Allah SWT. Inilah mafhum dari kalimat “kedaulatan di tangan rakyat”. Bukankah ini yang telah disinggung oleh surat At Taubah ayat 31 dan An Nisaa’ ayat 60 tadi? 
Masalahnya tidak berhenti dalam ranah teori, tapi memiliki penampakan yang jelas dalam aplikasi. Mari kita lihat pemerintahan demokrasi yang menaungi umat islam saat ini. Negara demokrasi seperti yang kita diami ini tidak mewajibkan apa yang diwajibkan oleh Allah, tidak menegakkan had-had Allah, dan tidak mendasari segala kebijakan dan hukum yang diterapkannya dengan kitabullah dan sunnah. Mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah, mereka tidak mengharamkan riba, tidak mengaharamkan tabarruj, tidak mengharamkan tindakan-tindakan rusak yang mengatasnamakan seni, bahkan juga tidak mengharamkan iklan-iklan TV yang menawarkan kemusyrikan yang nyata (seperti ramalan dan primbon). Mereka tidak merasa berdosa atas semua itu. Mereka merasa telah berjalan di atas jalan yang benar, berjalan sesuai aspirasi rakyat, meski dengan itu mereka meninggalkan hukum-hukum Allah. Ini semua karena kita hidup dalam alam demokrasi, dimana syara’ tidak berdaulat, tapi manusia yang berdaulat, rakyat punya kebebasan pribadi yang tidak boleh diinterverensi oleh kekuatan apa pun, sekali pun kebebasan itu digunakan untuk melakukan sesuatu yang jelas-jelas melanggar hukum syara’. Padahal, dalam islam, Negara adalah penanggungjawab di dunia dan di akhirat, dan dia harus mengurus rakyatnya dengan benar. 
Allah berfirman kepada para penguasa dalam Al Maidah ayat 49, “dan hendaklah kamu putuskan perkara di antara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka (agar jangan sampai) mereka memalingkan kamu dari sebagian yang telah diturunkan oleh Allah kepadamu”. Ayat ini turun kepada Nabi saw pada saat beliau menjadi penguasa, dan berlaku bagi seluruh penguasa sesudah beliau. Perintah Allah kepada para penguasa dalam ayat ini jelas kontradiktif dengan doktrin demokrasi. Demokrasi mewajibkan penguasa untuk tunduk kepada kehendak rakyat, tapi, ayat ini justru mewajibkan penguasa untuk tetap merujuk kepada Kitabullah dan sunnah.
Bahkan ayat ini mewajibkan penguasa untuk tidak menghiraukan aspirasi-aspirasi rakyat (baca = hawa nafsu manusia) yang tidak berdasarkan Kitabullah dan sunnah. Dan ayat ini juga mewanti-wanti penguasa agar jangan sampai aspirasi-aspirasi itu (hawa nafsu manusia) bisa memalingkan mereka dari kewajiban penerapan hukum-hukum Allah. Seolah-olah dengan redaksi lain ayat tersebut berbunyi “wahai penguasa, putuskanlah segala permasalahan di antara rakyatmu dengan hukum Allah, dan janganlah engkau menuruti aspirasi-aspirasi yang muncul dari hawa nafsu mereka, dan jangan sampai aspirasi yang muncul dari hawa nafsu itu memalingkan kamu dari penerapan sebagian hukum Allah yang telah diturunkan kepadamu”, (namun Allah memiliki sebaik-baik kalam).
Dari ayat itu saja jelas dapat dipahami bahwa islam tidak mengajarkan doktrin “kedaulatan rakyat”, tapi islam mengajarkan “kedaulatan syara” (Lihat uraian Dr. Al Kholidi dalam “Kaidah Pokok Sistem Pemerintahan Islam”, hal. 7 sd 108). Artinya, syari’ah islamlah yang berdaulat di dalam Negara. Negara dan rakyat harus sama-sama tunduk kepada syara’. Seluruh hukum dan keputusan harus didasarkan pada pendapat dan aspirasi yang terpancar dari kitabullah dan sunnah. Maka, negara menjadikan syara’ sebagai acuan utama, bukan semata-mata aspirasi rakyat. Sebab, jika kehendak rakyat dijadikan kebenaran absolute, maka pada saat itu negara dan rakyatnya telah menjadikan rakyat itu sendiri sebagai thoghut.

DOKTRIN DEMOKRASI DALAM PERSPEKTIF TAUHID Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment