Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Thursday, November 10, 2011

BUDAYA BIROKRASI PEMERINTAHAN DI INDONESIA


Proses pembangunan nasional yang berlangsung dewasa ini sedang mengalami pergeseran dari bingkai sistem otoriter ke sistem demokrasi. Hal ini menyebabkan penyelenggaraan pemerintahan menjadi sorotan yang tajam, terutama dalam aspek transparansi, akuntabilitas, efisiensi dan efektifitas. Dalam konteks ini, penerapan prinsip-prinsip good governance dalam pengelolaan pemerintahan menjadi suatu tuntutan utama, oleh karena masyarakat mulai kritis dalam memonitor dan mengevaluasi manfaat serta nilai yang diperoleh atas pelayanan dari instansi pemerintah.
Perkembangan dan pertumbuhan masyarakat yang secara dinamis disertai dengan peningkatan taraf hidup dan pendidikan masyarakat ditambah dengan berkembangnya kemajuan dibidang teknologi dan informatika menjadikan peningkatan proses empowering dalam lingkungan masyarakat. Oleh karena itu pelayanan birokrasi disektor publik juga diharapkan mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi secara cepat dan dinamis sebagaimana yang terjadi di masyarakat. Dimana dari monolog harus berani diubah menjadi fleksibel, kolaboratif, alighment dan dialogis. Dan dari cara-cara sloganis yang berkembang dikalangan birokrasi model orde baru sebaiknya dirubah dengan pola kerja yang realistis, programis dan pragmatis.
Sampai saat ini aparat birokrasi pemerintah belum sepenuhnya melaksanakan tugas sesuai dengan fungsi yang dibebankan kepadanya berdasarkan  norma-norma yang ditetapkan dan diharapkan oleh masyarakat. Kondisi ini dapat dilihat melalui berbagai penyimpangan yang terjadi sehingga semakin lama semakin parah dan berakibat pada tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah menurun. Kondisi ini diperparah dengan krisis moneter yang mengakibatkan krisis ekonomi nasional dan semuanya bermuara pada krisis kepercayaan.
Birokrasi pemerintahan sebagai suatu bentuk organisasi sedang bergeser dengan beberapa upaya korektip, mengupayakan netralitas tumbuhnya demokrasi, tumbuhnya orientasi pada masyarakat dan tumbuhnya aspirasi dan kontrol masyarakat. Birokrasi sedang bergeser dari paradigma sentralistik ke desentralistik, dari otoritarian ke egalitarian dan demokratis, dari kedaulatan Negara ke kedaulatan rakyat, dari organisasi yang besar menjadi ramping tapi kaya fungsi, dari rowing (semua dikerjakan sendiri) menjadi stering (mengarahkan). Upaya-upaya tersebut masih dibayangi oleh ketidakpastian dan sedang mencari bentuk yang tepat. Pada dasarnya upaya tersebut diarahkan untuk mendapatkan dukungan administrasi Negara yang mapan mengenai kelancaran dan keterpaduan pelaksanaan tugas dan fungsi birokrasi dalam mewujudkan administrasi yang makin handal, professional, efisiensi, efektif serta tanggap terhadap aspirasi rakyat dan dinamika perubahan lingkungan. 
Suatu organisasi didirikan sebagai suatu wadah untuk mencapai suatu atau beberapa tujuan. Organisasi tersebut harus mengelolah berbagai dan rangkaian kegiatan yang diarahkan menuju tercapainya tujuan organisasi. Pelaksanakan rangkaian kegiatan dalam organisasi dilakukan oleh manusia (humanbeing) yang bertindak sebagai aktor atau peserta dalam organisasi yang bersangkutan, maka dengan sendirinya kinerja (performance) organisasi yang bersangkutan banyak tergantung pada perilaku manusia yang terdapat dalam organisasi tersebut.
Studi organisasi yang memusatkan perhatian pada aspek-aspek manusia tampaknya mulai berkembang dan diminati beberapa tahun terakhir ini, sehingga muncul konsep-konsep pemikiran mengenai organisasi yang didorong oleh berbagai keberhasilan organisasi dalam mengembangkan unsur manusia dalam perancangan dan penataan organisasi. Hal ini juga merupakan suatu gejala pergeseran pandangan atau konsep pemikiran di bidang organisasi yang dibangun berlandaskan pada dasar-dasar pemikiran fungsionalis ke konsep-konsep pemikiran interpretive paradigm. Salah satu gejala yang tampak dalam proses pergeseran ini adalah makin meningkatnya perhatian aspek budaya dalam studi organisasi. Tidak hanya sebagai salah satu bagian penting dalam studi organisasi, tetapi konsep budaya dipergunakan sebagai metafora untuk menjelaskan perwujudan dan hakekat organisasi. Penggunaannya dalam analisis organisasi, budaya tidak hanya dipandang sebagai sesuatu yang ada dan hidup dalam suatu organisasi, tetapi juga  sesuatu yang dipergunakan sebagai landasan pemikiran dalam pemahaman organisasi.
Sebagai suatu variabel dalam organisasi, budaya dipelajari sebagai bagian dari sistem organisasi secara keseluruhan. Dalam konteks ini, budaya dilihat sebagai sesuatu yang hidup di suatu organisasi yang mengikat semua anggota organisasi dalam upaya mencapai tujuan bersama. Budaya juga dapat dilihat sebagai bagian dari suatu lingkungan organisasi yang mempengaruhi perilaku dan penampilan (performance) organisasi.
Menurut Dwiyanto (2001) :
“Rendahnya kinerja birokrasi publik sangat dipengaruhi oleh budaya paternalisme yang masih sangat kuat, yang cenderung mendorong pejabat birokrasi untuk lebih berorientasi pada kekuasaan daripada pelayanan, menempatkan dirinya sebagai penguasa dan memperlakukan para pengguna jasa sebagai obyek pelayanan yang membutuhkan bantuannya. Disamping itu, rendahnya kinerja juga disebabkan oleh sistem pembagian kekuasaan yang cenderung memusat pada pimpinan. Struktur birokrasi yang hierarkis mendorong adanya pemusatan kekuasaan dan wewenang pada atasan sehingga pejabat birokrasi yang langsung berhubungan dengan para pengguna jasa sering tidak memiliki wewenang yang memadai untuk merespons dinamika yang berkembang dalam penyelenggaraan pelayanan”.
Ada banyak penjelasan yang dapat dipergunakan dalam rangka memahami faktor yang terkait dan berpengaruh terhadap kinerja organisasi publik. Osborne (1997) menjelaskan lima DNA sebagai kode genetika  dalam tubuh organisasi publik yang mempengaruhi kapasitas dan perilakunya. Kelima kode genetika itu adalah misi, akuntabilitas, konsekuensi, kekuasaan dan budaya, sehingga pengelolaan dari kelima sistem kehidupan organisasi publik ini akan sangat menentukan kualitas produk yang dihasilkan.


Di Indonesia secara etimologi budaya berasal dari kata buddhi (akal) sehingga dikembangkan menjadi budi–daya, yaitu kemampuan akal budi seseorang ataupun kelompok manusia. Banyak sarjana yang memberikan definisi tentang budaya, antara lain   Koentjoroningrat  yang mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat, yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar.
Indonesia sebagai suatu negara dengan kondisi masyarakat yang sangat heterogen dimana penduduknya terdiri kurang lebih 300 suku bangsa (etnik). Heterogenitas masyarakat yang sangat besar ini memiliki sistem nilai dan norma budaya masing-masing. Keunikan kebudayaan itu biasanya menjadi acuan berpikir dan pegangan untuk bertindak, sehingga hal ini sangat berpengaruh pada sikap hidup dan pola perilaku dalam masyarakat. Kebudayaan memiliki arti yang sangat luas dan pemaknaannya sangat beragam, serta merupakan sistem simbol yang dipakai manusia untuk memaknai kehidupan. Sistem simbol berisi orientasi nilai, sudut pandang tentang dunia, maupun sistem pengetahuan dan pengalaman kehidupan. Sistem simbol terekam dalam pikiran yang dapat diaktualisasikan ke dalam bahasa tutur, tulisan, lukisan, sikap, gerak, dan tingkah laku manusia.
Schein (1985) mengatakan  :
“Dalam proses adaptasi diasumsikan bahwa konsep budaya adalah sistem nilai yang dianut secara bersama-sama. Suatu pola asumsi dasar yang ditemukan atau dikembangkan oleh sekelompok orang ketika mereka belajar mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal yang telah berhasil baik sehingga absah untuk diajarkan kepada para anggota baru sebagai pedoman berperilaku.
Budaya adalah perilaku konvensional masyarakat dan ia mempengaruhi semua tindakan meskipun sebagian besar tidak disadarinya. Budaya memberikan stabilitas dan jaminan, karena dapat memahami hal-hal yang sedang terjadi dalam masyarakat dan mengetahui cara menanggapinya. Sebagai contoh dapat dilihat apabila seorang pegawai pindah ke tempat kerja yang lain. Dalam lingkungan yang baru pegawai dituntut untuk perlu belajar menyesuaikan diri dengan  lingkungan yang dihadapi untuk menghindari kemungkinan akan terjadi konsekwensi negatif.
Pemahaman kebudayaan yang sangat beragam tersebut terjadi karena adanya varian budaya yang disebut dengan kebudayaan lokal. Kebudayaan lokal lebih merupakan suatu tata nilai yang secara ekslusif dimiliki oleh masyarakat etnik tertentu. Adanya variasi dan keanekaragaman budaya akan mewarnai variasi pola perilaku masyarakat tempat kebudayaan tersebut berlaku. Dalam konteks tersebut, perilaku individu dalam organisasi juga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh varian lokalitas budaya yang berkembang..
Birokrasi, sebagaimana organisasi lainnya tidak lepas dari pengaruh lingkungan budaya, dalam aktivitasnya juga terlibat secara intensif melalui pola-pola interaksi yang terbentuk di dalamnya dengan sistem nilai dan budaya lokal. Budaya birokrasi berkembang disuatu daerah tertentu tidak dapat dilepaskan dari pola budaya lingkungan sosial yang melingkupinya. Sehubungan dengan itu, Agus Dwiyanto (2002) mengemukakan bahwa :
“Budaya birokrasi dapat digambarkan sebagai sebuah sistem atau seperangkat nilai yang memiliki simbol, orientasi nilai, keyakinan, pengetahuan dan pengalaman kehidupan yang terinternalisasi ke dalam pikiran. Seperangkat nilai tersebut diaktualisasikan dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan yang dilakukan oleh setiap anggota dari sebuah organisasi yang dinamakan birokrasi. Setiap aspek dalam kehidupan organisasi birokrasi selalu bersinggungan dengan aspek budaya masyarakat setempat”.
Menurut Elashmawi dan Harris dalam Prawirosentono (1999)  mengatakan bahwa berbagai bangsa di dunia ini mempunyai budaya yang berbeda satu sama lain. Berdasarkan perbedaan budaya mengakibatkan perbedaan dalam perilaku  (behavior) dan sikap (attitude) dalam kegiatan organisasi, baik organisasi perusahan, rumah sakit, partai politik, organisasi militer, organisasi gereja dan sebagainya. Perbedaan bangsa karena geografis tempat tinggal asal  juga faktor lain yang menyebabkan perbedaan. Perbedaan perilaku ini berakibat  pada perbedaan hasil dalam “job performance “ (kinerja tugas) sebagai akibat dari perbedaan perilaku (behavior) dan akibat perbedaan budaya asal. Padahal budaya asal dipengaruhi juga oleh lingkungan geografi dimana mereka hidup atau berasal.
Secara umum perbedaan  perilaku dan sikap manusia terhadap kinerja dalam organisasi dalam diterangkan sebagai berikut  :
a.      Perbedaan geografis dari sumber daya manusia dimana mereka tumbuh menyebabkan sikap budaya yang berbeda dalam melaksanakan kegiatan dalam suatu organisasi.
b.     Perbedaan budaya tercermin dalam perbedaan perilaku (behavior) dan sikap (attitude) dalam melaksanakan kegiatan dalam berbagai organisasi, baik organisasi perusahan maupun organisasi keagamaan, sehingga menghasilkan tingkat kinerja yang berbeda pula.
Melalui penerapan sistem politik sentralistik dan hegemonik, negara cenderung telah mengembangkan model kebijakan dan sistem birokrasi pemerintahan yang mengarah pada penyeragaman di hampir semua aspek kebijakan. Dalam kondisi demikian, variasi-variasi dan keanekaragaman budaya lokal yang mewarnai sistem birokrasi di berbagai daerah menjadi hilang. Varian lokal dalam birokrasi berubah menjadi keseragaman budaya dengan ciri terjadinya sentralisasi kebijakan, pengambilan keputusan, ritual, etos kerja, sampai model hubungan birokrasi dengan masyarakatnya.
Implementasi kebijakan  masyarakat yang bersifat sentralistik dan penyeragaman tersebut di daerah dilakukan dengan penyusunan sejumlah kebijakan teknis, yakni dalam bentuk petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis (juklak dan juknis). Penyimpangan dari juklak dan juknis tersebut akan berakibat fatal karena selalu dianggap sebagai penyimpangan dari aturan baku dan akan mendatangkan stigma yang tidak menguntungkan bagi birokrat karena mempunyai konsekwensi terhadap karier mereka pada masa mendatang. Tidak bisa dipungkiri  bahwa budaya birokrasi di Indonesia banyak dipengaruhi oleh budaya Jawa yang hirarkis dan tertutup yang membuat seseorang untuk pandai menempatkan diri dalam masyarakat.
Budaya birokrasi dapat digambarkan sebagai sistem atau seperangkat nilai yang memiliki simbol, orientasi nilai, keyakinan pengetahuan dan pengalaman kehidupan yang terinternalisasi ke dalam pikiran.  Seperangkat nilai tersebut diaktualisasikan dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan yang dilakukan oleh setiap anggota dari sebuah organisasi, yang dinamakan birokrasi. Setiap aspek dalam kehidupan organisasi birokrasi selalu bersinggungan dengan aspek budaya masyarakat setempat. Birokrasi sebagaimana organisasi lainnya, dalam setiap dinamika yang terjadi di dalamnya, selalu memiliki korelasi dengan lingkungan eksternal. Karakter dan model birokrasi yang selama ini berkembang di Indonesia pada hakekatnya adalah merupakan salah satu  bentuk interaksi yang terjalin dengan lingkungan, baik yang menyangkut aspek politik, budaya, sosial, maupun ekonomi.
Sebagai suatu sistem yang terjalin melalui interaksi dengan lingkungan, corak hubungan paternalisme sangat dominan dalam determinasi pelayanan publik. Dalam konteks ini, budaya paternalisme dalam kinerja aparat birokrasi pemerintahan menunjuk pada hubungan antara pimpinan sebagai pihak yang paling dominan apabila dibandingkan dengan masyarakat selaku pengguna jasa, sehingga pola hubungan dipandang secara hierarkis. Pihak pejabat birokrasi atau pimpinan ditempatkan lebih dominan daripada aparat bawahan, kerena seorang pimpinan harus dapat memberikan perlindungan terhadap bawahannya.
Dalam konteks ini, paternalisme memiliki 2 (dua) dimensi yaitu : Pertama, hubungan paternalisme antar aparat birokrasi dengan masyarakat. Kedua, hubungan paternalisme yang terjadi antara pimpinan dan bawahan dalam sebuah organisasi. Paternalisme yang pertama lebih menunjuk pada hubungan yang bersifat eksternal, sedangkan yang kedua lebih menekankan pada hubungan yang bersifat internal. Sifat budaya dualisme dalam birokrasi ini tercermin dalam pemberian pelayanan publik, birokrasi memiliki orientasi nilai yang berbeda dan saling bertentangan. Pada satu sisi, birokrasi dituntut harus loyal kepada pimpinan dan pada sisi yang lain diharuskan untuk mengaktualisasikan prinsip abdi masyarakat, yaitu sebagai pemberi pelayanan kepada masyarakat dan harus mementingkan masyarakat yang dilayaninya.
Selain itu, budaya sebagai seperangkat nilai biasanya sarat dengan simbolisme, sehingga dalam setiap tindakannya, seseorang selalu berpegang teguh kepada 2 (dua) hal, yaitu, Pertama, filsafat atau pandangan hidup yang religius dan mistis. Kedua, pada sikap hidup yang etis dan menjunjung tinggi moral serta derajat hidupnya. Pandangan hidup akan selalu dikaitkan dengan tindakan simbolis yang biasanya banyak dipakai dan diwariskan secara turun temurun pada generasi berikutnya.   
Sejalan dengan pemahaman diatas, Setiono (2000 : 100) mengemukakan bahwa ada beberapa kendala yang berkaitan dengan kultur dan tradisi yang ada dalam kinerja birokrasi. Mentalitas pegawai adalah keadaan mental, (pikiran/ rohani/batin/jiwa), watak, tabiat atau metode berpikir yang dimiliki aparat yang mempengaruhi pola kerja melalui hubungannya dengan lingkungan dimana ia bekerja.  Pola tindak, pola pikir aparat dalam melaksanakan pekerjaan ditempat di mana ia bekerja, dapat mendorong aparat  birokrasi bekerja secara optimal.
Budaya paternalisme yang terus ada di dalam aparat birokrasi pemerintahan sedikit banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor internal maupun eksternal pegawai atau aparat birokrasi sendiri. Tersebut yaitu :
1.    Faktor Internal Pegawai
Sikap mentalitas pegawai yang dapat menurunkan kemampuan aparat untuk berbuat optimal di lingkungan kerja antara lain dapat di lihat melalui   beberapa sikap yaitu  adalah :
·         Sikap mental yang berorientasi membelanjakan daripada menghasilkan. Para birokrat menganggap bahwa anggaran dan fasilitas mereka adalah milik negara sehingga mereka tidak perlu bersusah payah untuk mengelolah secara baik apalagi memberi nilai tambah pada aset-aset itu. Mereka bahkan cenderung ceroboh dalam mengelolah aset-aset tersebut.
·         Sikap minta dilayani, bukan melayani. Sedikit banyak di Indonesia hal ini merupakan warisan paham masa lampau baik masa kerajaan yang menempatkan birokrat sebagai priyayi, maupun masa penjajahan yang menempatkan birokrat sebagai ambtenaar yang memiliki hak-hak dan status khusus.
·         Motivasi birokrat pada umumnya keliru (tidak memahami dan tidak sesuai dengan fitrah dasar tugas institusi birokrasi). Mereka mendaftar menjadi pegawai bukan untuk melayani dan mengabdi, melainkan mencari status dan gaji, sehingga tentu saja tatkala mereka bekerja, orientasi mereka tidak sesuai dengan tugas dan fungsi utama birokrasi.
Kesemua sikap mental itu menimbulkan dampak negatif berupa ketidakprofesionalan aparatur birokrasi dalam bekerja, sehingga mereka tidak mampu (capable) dalam menjalankan tugas secara baik.
2.   Faktor Eksternal Pegawai.
 Faktor Eksternal Pegawai dapat dilihat dari sikap mental masyarakat yaitu watak, tabiat, pola berpikir masyarakat  yang selalu memiliki korelasi dengan lingkungan eksternal, yang pada hakekatnya merupakan suatu interaksi yang terjalin dengan lingkungan, baik yang menyangkut aspek politik, budaya, sosial, maupun ekonomi dalam mengemban tugas birokrasi secara  baik. Namun di antara sikap tersebut di atas masih terdapat sikap atau pola pikir masyarakat yang menghambat pembangunan  yang antara lain :
·         Sikap apatis (non partisipatif dan permisif), yakni tidak peduli dan tidak mau tahu terhadap apapun yang terjadi di sekelilingnya, termasuk apa yang terjadi pada birokrasi.
·         Mentalitas menerabas (hedonistik dan pragmatis) tidak mau repot dan cenderung cari enak saja, sehingga ikut menyuburkan pungli dan kolusi (Koentjoroningrat, dalam Setiono, 2000).
·         Rasa ketergantungan masyarakat yang berlebihan terhadap birokrasi, sehingga mau menerima saja berbagai perlakuan yang menyimpang.
Pada tataran lokal kita mengetahui adanya tuntutan otonomi daerah yang makin menguat, sementara dalam konteks global kita mengetahui bahwa berbagai perubahan tengah terjadi dengan cepat di seluruh dunia, baik dalam hal iptek, sistem informasi, perdagangan politik, dan sebagainya. Berbagai perubahan itu menyebabkan lahirnya konsep globalisasi, perdagangan bebas, meningkatnya intensitas hubungan antara polarisasi dan ekonomi antar negara.
Fenomena-fenomena tersebut menyebabkan birokrasi terus tertinggal dan sulit menyesuaikan berbagai perubahan yang terjadi dengan cepat. Konsep, kebijakan, struktur dan pola kerja yang disusun menjadi cepat kadaluwarsa (out of date) sehingga tidak sesuai lagi dengan keadaan yang sudah berubah. Akibatnya masyarakat menjadi semakin kecewa dengan kinerja birokrasi. Faktor-faktor tersebut menyebabkan birokrasi memiliki “cacat bawaan” sehingga fungsi-fungsinya tidak dapat tercapai dengan optimal. Untuk mengeliminir aspek-aspek kendala itu, perlu dilakukan reformasi birokrasi untuk mengkaji ulang paradigma birokrasi “lama” yang sudah usang.

BUDAYA BIROKRASI PEMERINTAHAN DI INDONESIA Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

1 komentar:

  1. Ini kenyataan yang kebenarannya sangat tinggi namun sayang bangsa kita tidak suka mengakuinya sehingga tidak merasa perlu melalukan perbaikan secara sistematis dan konsisten. Rada pesimistik bakal ada perubahan dalam waktu singkat. Namun, tetap optimis: setiap usaha perbaikan pasti ada pahala dari sisi Allah SWT. Make improvement at every time surely make a difference, at least, around us.

    ReplyDelete