Proses pembangunan nasional
yang berlangsung dewasa ini sedang mengalami pergeseran dari bingkai sistem
otoriter ke sistem demokrasi. Hal ini menyebabkan penyelenggaraan pemerintahan
menjadi sorotan yang tajam, terutama dalam aspek transparansi, akuntabilitas,
efisiensi dan efektifitas. Dalam konteks ini, penerapan prinsip-prinsip good
governance dalam pengelolaan pemerintahan menjadi suatu tuntutan utama, oleh
karena masyarakat mulai kritis dalam memonitor dan mengevaluasi manfaat serta
nilai yang diperoleh atas pelayanan dari instansi pemerintah.
Perkembangan dan pertumbuhan
masyarakat yang secara dinamis disertai dengan peningkatan taraf hidup dan
pendidikan masyarakat ditambah dengan berkembangnya kemajuan dibidang teknologi
dan informatika menjadikan peningkatan proses empowering dalam lingkungan
masyarakat. Oleh karena itu pelayanan birokrasi disektor publik juga diharapkan
mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi secara cepat dan dinamis sebagaimana
yang terjadi di masyarakat. Dimana dari monolog harus berani diubah menjadi
fleksibel, kolaboratif, alighment dan dialogis. Dan dari cara-cara sloganis
yang berkembang dikalangan birokrasi model orde baru sebaiknya dirubah dengan
pola kerja yang realistis, programis dan pragmatis.
Sampai saat ini aparat birokrasi
pemerintah belum sepenuhnya melaksanakan tugas sesuai dengan fungsi yang
dibebankan kepadanya berdasarkan
norma-norma yang ditetapkan dan diharapkan oleh masyarakat. Kondisi ini
dapat dilihat melalui berbagai penyimpangan yang terjadi sehingga semakin lama
semakin parah dan berakibat pada tingkat kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintah menurun. Kondisi ini diperparah dengan krisis moneter yang
mengakibatkan krisis ekonomi nasional dan semuanya bermuara pada krisis
kepercayaan.
Birokrasi pemerintahan sebagai suatu
bentuk organisasi sedang bergeser dengan beberapa upaya korektip, mengupayakan
netralitas tumbuhnya demokrasi, tumbuhnya orientasi pada masyarakat dan
tumbuhnya aspirasi dan kontrol masyarakat. Birokrasi sedang bergeser dari paradigma
sentralistik ke desentralistik, dari otoritarian ke egalitarian dan demokratis,
dari kedaulatan Negara ke kedaulatan rakyat, dari organisasi yang besar menjadi
ramping tapi kaya fungsi, dari rowing
(semua dikerjakan sendiri) menjadi stering
(mengarahkan). Upaya-upaya tersebut masih dibayangi oleh ketidakpastian dan
sedang mencari bentuk yang tepat. Pada dasarnya upaya tersebut diarahkan untuk
mendapatkan dukungan administrasi Negara yang mapan mengenai kelancaran dan
keterpaduan pelaksanaan tugas dan fungsi birokrasi dalam mewujudkan
administrasi yang makin handal, professional, efisiensi, efektif serta tanggap
terhadap aspirasi rakyat dan dinamika perubahan lingkungan.
Suatu organisasi didirikan sebagai suatu wadah
untuk mencapai suatu atau beberapa tujuan. Organisasi tersebut harus mengelolah
berbagai dan rangkaian kegiatan yang diarahkan menuju tercapainya tujuan
organisasi. Pelaksanakan rangkaian kegiatan dalam organisasi dilakukan oleh
manusia (humanbeing) yang bertindak sebagai aktor atau peserta dalam organisasi
yang bersangkutan, maka dengan sendirinya kinerja (performance) organisasi yang
bersangkutan banyak tergantung pada perilaku manusia yang terdapat dalam
organisasi tersebut.
Studi organisasi yang memusatkan
perhatian pada aspek-aspek manusia tampaknya mulai berkembang dan diminati
beberapa tahun terakhir ini, sehingga muncul konsep-konsep pemikiran mengenai
organisasi yang didorong oleh berbagai keberhasilan organisasi dalam
mengembangkan unsur manusia dalam perancangan dan penataan organisasi. Hal ini
juga merupakan suatu gejala pergeseran pandangan atau konsep pemikiran di
bidang organisasi yang dibangun berlandaskan pada dasar-dasar pemikiran
fungsionalis ke konsep-konsep pemikiran interpretive
paradigm. Salah satu gejala yang tampak dalam proses pergeseran ini adalah
makin meningkatnya perhatian aspek budaya dalam studi organisasi. Tidak hanya
sebagai salah satu bagian penting dalam studi organisasi, tetapi konsep budaya
dipergunakan sebagai metafora untuk menjelaskan perwujudan dan hakekat
organisasi. Penggunaannya dalam analisis organisasi, budaya tidak hanya
dipandang sebagai sesuatu yang ada dan hidup dalam suatu organisasi, tetapi
juga sesuatu yang dipergunakan sebagai
landasan pemikiran dalam pemahaman organisasi.
Sebagai suatu variabel dalam organisasi, budaya
dipelajari sebagai bagian dari sistem organisasi secara keseluruhan. Dalam
konteks ini, budaya dilihat sebagai sesuatu yang hidup di suatu organisasi yang
mengikat semua anggota organisasi dalam upaya mencapai tujuan bersama. Budaya
juga dapat dilihat sebagai bagian dari suatu lingkungan organisasi yang
mempengaruhi perilaku dan penampilan (performance)
organisasi.
Menurut Dwiyanto (2001) :
“Rendahnya kinerja
birokrasi publik sangat dipengaruhi oleh budaya paternalisme yang masih sangat
kuat, yang cenderung mendorong pejabat birokrasi untuk lebih berorientasi pada
kekuasaan daripada pelayanan, menempatkan dirinya sebagai penguasa dan
memperlakukan para pengguna jasa sebagai obyek pelayanan yang membutuhkan
bantuannya. Disamping itu, rendahnya kinerja juga disebabkan oleh sistem
pembagian kekuasaan yang cenderung memusat pada pimpinan. Struktur birokrasi
yang hierarkis mendorong adanya pemusatan kekuasaan dan wewenang pada atasan
sehingga pejabat birokrasi yang langsung berhubungan dengan para pengguna jasa
sering tidak memiliki wewenang yang memadai untuk merespons dinamika yang
berkembang dalam penyelenggaraan pelayanan”.
Ada banyak penjelasan yang dapat
dipergunakan dalam rangka memahami faktor yang terkait dan berpengaruh terhadap
kinerja organisasi publik. Osborne (1997) menjelaskan lima DNA sebagai kode
genetika dalam tubuh organisasi publik
yang mempengaruhi kapasitas dan perilakunya. Kelima kode genetika itu adalah
misi, akuntabilitas, konsekuensi, kekuasaan dan budaya, sehingga pengelolaan
dari kelima sistem kehidupan organisasi publik ini akan sangat menentukan
kualitas produk yang dihasilkan.
Di Indonesia secara etimologi budaya
berasal dari kata buddhi (akal) sehingga dikembangkan menjadi budi–daya, yaitu
kemampuan akal budi seseorang ataupun kelompok manusia. Banyak sarjana yang
memberikan definisi tentang budaya, antara lain Koentjoroningrat yang mendefinisikan kebudayaan sebagai
keseluruhan gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat, yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar.
Indonesia sebagai suatu negara dengan
kondisi masyarakat yang sangat heterogen dimana penduduknya terdiri kurang
lebih 300 suku bangsa (etnik). Heterogenitas masyarakat yang sangat besar ini
memiliki sistem nilai dan norma budaya masing-masing. Keunikan kebudayaan itu
biasanya menjadi acuan berpikir dan pegangan untuk bertindak, sehingga hal ini
sangat berpengaruh pada sikap hidup dan pola perilaku dalam masyarakat.
Kebudayaan memiliki arti yang sangat luas dan pemaknaannya sangat beragam,
serta merupakan sistem simbol yang dipakai manusia untuk memaknai kehidupan.
Sistem simbol berisi orientasi nilai, sudut pandang tentang dunia, maupun
sistem pengetahuan dan pengalaman kehidupan. Sistem simbol terekam dalam
pikiran yang dapat diaktualisasikan ke dalam bahasa tutur, tulisan, lukisan,
sikap, gerak, dan tingkah laku manusia.
Schein (1985) mengatakan :
“Dalam proses adaptasi diasumsikan
bahwa konsep budaya adalah sistem nilai yang dianut secara bersama-sama. Suatu
pola asumsi dasar yang ditemukan atau dikembangkan oleh sekelompok orang ketika
mereka belajar mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal yang
telah berhasil baik sehingga absah untuk diajarkan kepada para anggota baru
sebagai pedoman berperilaku.
Budaya adalah perilaku konvensional
masyarakat dan ia mempengaruhi semua tindakan meskipun sebagian besar tidak
disadarinya. Budaya memberikan stabilitas dan jaminan, karena dapat memahami
hal-hal yang sedang terjadi dalam masyarakat dan mengetahui cara menanggapinya.
Sebagai contoh dapat dilihat apabila seorang pegawai pindah ke tempat kerja
yang lain. Dalam lingkungan yang baru pegawai dituntut untuk perlu belajar
menyesuaikan diri dengan lingkungan yang
dihadapi untuk menghindari kemungkinan akan terjadi konsekwensi negatif.
Pemahaman kebudayaan yang sangat
beragam tersebut terjadi karena adanya varian budaya yang disebut dengan
kebudayaan lokal. Kebudayaan lokal lebih merupakan suatu tata nilai yang secara
ekslusif dimiliki oleh masyarakat etnik tertentu. Adanya variasi dan
keanekaragaman budaya akan mewarnai variasi pola perilaku masyarakat tempat
kebudayaan tersebut berlaku. Dalam konteks tersebut, perilaku individu dalam
organisasi juga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh varian lokalitas budaya
yang berkembang..
Birokrasi, sebagaimana organisasi
lainnya tidak lepas dari pengaruh lingkungan budaya, dalam aktivitasnya juga
terlibat secara intensif melalui pola-pola interaksi yang terbentuk di dalamnya
dengan sistem nilai dan budaya lokal. Budaya birokrasi berkembang disuatu
daerah tertentu tidak dapat dilepaskan dari pola budaya lingkungan sosial yang
melingkupinya. Sehubungan dengan itu, Agus Dwiyanto (2002) mengemukakan bahwa :
“Budaya birokrasi dapat digambarkan
sebagai sebuah sistem atau seperangkat nilai yang memiliki simbol, orientasi nilai,
keyakinan, pengetahuan dan pengalaman kehidupan yang terinternalisasi ke dalam
pikiran. Seperangkat nilai tersebut diaktualisasikan dalam sikap, tingkah laku
dan perbuatan yang dilakukan oleh setiap anggota dari sebuah organisasi yang
dinamakan birokrasi. Setiap aspek dalam kehidupan organisasi birokrasi selalu
bersinggungan dengan aspek budaya masyarakat setempat”.
Menurut Elashmawi dan Harris dalam
Prawirosentono (1999) mengatakan bahwa
berbagai bangsa di dunia ini mempunyai budaya yang berbeda satu sama lain.
Berdasarkan perbedaan budaya mengakibatkan perbedaan dalam perilaku (behavior) dan sikap (attitude) dalam
kegiatan organisasi, baik organisasi perusahan, rumah sakit, partai politik,
organisasi militer, organisasi gereja dan sebagainya. Perbedaan bangsa karena
geografis tempat tinggal asal juga
faktor lain yang menyebabkan perbedaan. Perbedaan perilaku ini berakibat pada perbedaan hasil dalam “job performance “ (kinerja tugas)
sebagai akibat dari perbedaan perilaku (behavior) dan akibat perbedaan budaya
asal. Padahal budaya asal dipengaruhi juga oleh lingkungan geografi dimana
mereka hidup atau berasal.
Secara umum perbedaan perilaku dan sikap manusia terhadap kinerja
dalam organisasi dalam diterangkan sebagai berikut :
a. Perbedaan geografis dari
sumber daya manusia dimana mereka tumbuh menyebabkan sikap budaya yang berbeda
dalam melaksanakan kegiatan dalam suatu organisasi.
b. Perbedaan budaya tercermin
dalam perbedaan perilaku (behavior) dan sikap (attitude) dalam melaksanakan
kegiatan dalam berbagai organisasi, baik organisasi perusahan maupun organisasi
keagamaan, sehingga menghasilkan tingkat kinerja yang berbeda pula.
Melalui penerapan sistem
politik sentralistik dan hegemonik, negara cenderung telah mengembangkan model
kebijakan dan sistem birokrasi pemerintahan yang mengarah pada penyeragaman di
hampir semua aspek kebijakan. Dalam kondisi demikian, variasi-variasi dan
keanekaragaman budaya lokal yang mewarnai sistem birokrasi di berbagai daerah
menjadi hilang. Varian lokal dalam birokrasi berubah menjadi keseragaman budaya
dengan ciri terjadinya sentralisasi kebijakan, pengambilan keputusan, ritual,
etos kerja, sampai model hubungan birokrasi dengan masyarakatnya.
Implementasi
kebijakan masyarakat yang bersifat
sentralistik dan penyeragaman tersebut di daerah dilakukan dengan penyusunan
sejumlah kebijakan teknis, yakni dalam bentuk petunjuk pelaksanaan dan petunjuk
teknis (juklak dan juknis). Penyimpangan dari juklak dan juknis tersebut akan
berakibat fatal karena selalu dianggap sebagai penyimpangan dari aturan baku
dan akan mendatangkan stigma yang tidak menguntungkan bagi birokrat karena
mempunyai konsekwensi terhadap karier mereka pada masa mendatang. Tidak bisa
dipungkiri bahwa budaya birokrasi di
Indonesia banyak dipengaruhi oleh budaya Jawa yang hirarkis dan tertutup yang
membuat seseorang untuk pandai menempatkan diri dalam masyarakat.
Budaya birokrasi dapat
digambarkan sebagai sistem atau seperangkat nilai yang memiliki simbol,
orientasi nilai, keyakinan pengetahuan dan pengalaman kehidupan yang
terinternalisasi ke dalam pikiran.
Seperangkat nilai tersebut diaktualisasikan dalam sikap, tingkah laku,
dan perbuatan yang dilakukan oleh setiap anggota dari sebuah organisasi, yang
dinamakan birokrasi. Setiap aspek dalam kehidupan organisasi birokrasi selalu
bersinggungan dengan aspek budaya masyarakat setempat. Birokrasi sebagaimana
organisasi lainnya, dalam setiap dinamika yang terjadi di dalamnya, selalu
memiliki korelasi dengan lingkungan eksternal. Karakter dan model birokrasi
yang selama ini berkembang di Indonesia pada hakekatnya adalah merupakan salah
satu bentuk interaksi yang terjalin
dengan lingkungan, baik yang menyangkut aspek politik, budaya, sosial, maupun
ekonomi.
Sebagai suatu sistem yang
terjalin melalui interaksi dengan lingkungan, corak hubungan paternalisme
sangat dominan dalam determinasi pelayanan publik. Dalam konteks ini, budaya
paternalisme dalam kinerja aparat birokrasi pemerintahan menunjuk pada hubungan
antara pimpinan sebagai pihak yang paling dominan apabila dibandingkan dengan
masyarakat selaku pengguna jasa, sehingga pola hubungan dipandang secara
hierarkis. Pihak pejabat birokrasi atau pimpinan ditempatkan lebih dominan
daripada aparat bawahan, kerena seorang pimpinan harus dapat memberikan
perlindungan terhadap bawahannya.
Dalam konteks ini,
paternalisme memiliki 2 (dua) dimensi yaitu : Pertama, hubungan paternalisme antar aparat birokrasi dengan
masyarakat. Kedua, hubungan
paternalisme yang terjadi antara pimpinan dan bawahan dalam sebuah organisasi.
Paternalisme yang pertama lebih menunjuk pada hubungan yang bersifat eksternal,
sedangkan yang kedua lebih menekankan pada hubungan yang bersifat internal.
Sifat budaya dualisme dalam birokrasi ini tercermin dalam pemberian pelayanan
publik, birokrasi memiliki orientasi nilai yang berbeda dan saling
bertentangan. Pada satu sisi, birokrasi dituntut harus loyal kepada pimpinan
dan pada sisi yang lain diharuskan untuk mengaktualisasikan prinsip abdi
masyarakat, yaitu sebagai pemberi pelayanan kepada masyarakat dan harus
mementingkan masyarakat yang dilayaninya.
Selain itu, budaya sebagai
seperangkat nilai biasanya sarat dengan simbolisme, sehingga dalam setiap
tindakannya, seseorang selalu berpegang teguh kepada 2 (dua) hal, yaitu, Pertama, filsafat atau pandangan hidup
yang religius dan mistis. Kedua, pada
sikap hidup yang etis dan menjunjung tinggi moral serta derajat hidupnya.
Pandangan hidup akan selalu dikaitkan dengan tindakan simbolis yang biasanya
banyak dipakai dan diwariskan secara turun temurun pada generasi
berikutnya.
Sejalan dengan pemahaman
diatas, Setiono (2000 : 100) mengemukakan bahwa ada beberapa kendala yang
berkaitan dengan kultur dan tradisi yang ada dalam kinerja birokrasi. Mentalitas pegawai adalah keadaan
mental, (pikiran/ rohani/batin/jiwa), watak, tabiat atau metode berpikir yang
dimiliki aparat yang mempengaruhi pola kerja melalui hubungannya dengan
lingkungan dimana ia bekerja. Pola
tindak, pola pikir aparat dalam melaksanakan pekerjaan ditempat di mana ia
bekerja, dapat mendorong aparat
birokrasi bekerja secara optimal.
Budaya paternalisme yang terus
ada di dalam aparat birokrasi pemerintahan sedikit banyak dipengaruhi oleh
faktor-faktor internal maupun eksternal pegawai atau aparat birokrasi sendiri.
Tersebut yaitu :
1. Faktor
Internal Pegawai
Sikap mentalitas
pegawai yang dapat menurunkan kemampuan aparat untuk berbuat optimal di
lingkungan kerja antara lain dapat di lihat melalui beberapa sikap yaitu adalah :
·
Sikap mental yang berorientasi membelanjakan daripada menghasilkan. Para
birokrat menganggap bahwa anggaran dan fasilitas mereka adalah milik negara
sehingga mereka tidak perlu bersusah payah untuk mengelolah secara baik apalagi
memberi nilai tambah pada aset-aset itu. Mereka bahkan cenderung ceroboh dalam mengelolah aset-aset
tersebut.
·
Sikap minta dilayani, bukan melayani. Sedikit banyak di Indonesia hal ini
merupakan warisan paham masa lampau baik masa kerajaan yang menempatkan
birokrat sebagai priyayi, maupun masa penjajahan yang menempatkan birokrat
sebagai ambtenaar yang memiliki
hak-hak dan status khusus.
·
Motivasi birokrat pada umumnya keliru (tidak memahami dan tidak sesuai
dengan fitrah dasar tugas institusi birokrasi). Mereka mendaftar menjadi
pegawai bukan untuk melayani dan mengabdi, melainkan mencari status dan gaji,
sehingga tentu saja tatkala mereka bekerja, orientasi mereka tidak sesuai
dengan tugas dan fungsi utama birokrasi.
Kesemua sikap mental itu menimbulkan dampak negatif berupa
ketidakprofesionalan aparatur birokrasi dalam bekerja, sehingga mereka tidak
mampu (capable) dalam menjalankan tugas secara baik.
2. Faktor Eksternal Pegawai.
Faktor Eksternal Pegawai dapat dilihat dari
sikap mental masyarakat yaitu watak, tabiat, pola berpikir masyarakat yang selalu memiliki korelasi dengan
lingkungan eksternal, yang pada hakekatnya merupakan suatu interaksi yang
terjalin dengan lingkungan, baik yang menyangkut aspek politik, budaya, sosial,
maupun ekonomi dalam mengemban tugas birokrasi secara baik. Namun di antara sikap tersebut di atas
masih terdapat sikap atau pola pikir masyarakat yang menghambat
pembangunan yang antara lain :
·
Sikap apatis (non partisipatif dan permisif), yakni tidak peduli dan tidak
mau tahu terhadap apapun yang terjadi di sekelilingnya, termasuk apa yang
terjadi pada birokrasi.
·
Mentalitas menerabas (hedonistik dan pragmatis) tidak mau repot dan
cenderung cari enak saja, sehingga ikut menyuburkan pungli dan kolusi
(Koentjoroningrat, dalam Setiono, 2000).
·
Rasa ketergantungan masyarakat yang berlebihan terhadap birokrasi, sehingga
mau menerima saja berbagai perlakuan yang menyimpang.
Pada tataran lokal kita
mengetahui adanya tuntutan otonomi daerah yang makin menguat, sementara dalam
konteks global kita mengetahui bahwa berbagai perubahan tengah terjadi dengan
cepat di seluruh dunia, baik dalam hal iptek, sistem informasi, perdagangan
politik, dan sebagainya. Berbagai perubahan itu menyebabkan lahirnya konsep
globalisasi, perdagangan bebas, meningkatnya intensitas hubungan antara
polarisasi dan ekonomi antar negara.
Fenomena-fenomena tersebut menyebabkan
birokrasi terus tertinggal dan sulit menyesuaikan berbagai perubahan yang
terjadi dengan cepat. Konsep, kebijakan, struktur dan pola kerja yang disusun
menjadi cepat kadaluwarsa (out of date)
sehingga tidak sesuai lagi dengan keadaan yang sudah berubah. Akibatnya
masyarakat menjadi semakin kecewa dengan kinerja birokrasi. Faktor-faktor
tersebut menyebabkan birokrasi memiliki “cacat bawaan” sehingga
fungsi-fungsinya tidak dapat tercapai dengan optimal. Untuk mengeliminir
aspek-aspek kendala itu, perlu dilakukan reformasi birokrasi untuk mengkaji
ulang paradigma birokrasi “lama” yang sudah usang.
Ini kenyataan yang kebenarannya sangat tinggi namun sayang bangsa kita tidak suka mengakuinya sehingga tidak merasa perlu melalukan perbaikan secara sistematis dan konsisten. Rada pesimistik bakal ada perubahan dalam waktu singkat. Namun, tetap optimis: setiap usaha perbaikan pasti ada pahala dari sisi Allah SWT. Make improvement at every time surely make a difference, at least, around us.
ReplyDelete