Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Tuesday, July 19, 2011

ANALISIS KINERJA DPRD DALAM ERA OTONOMI DAERAH


1. Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Desentralisasi tidak bisa dipisahkan dengan masalah sentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik, karena pada dasarnya berkenaan dengan “delegation of authority and responsibility” yang dapat diukur dari sejauh mana unit-unit bawahan memiliki wewenang dan tanggung jawab di dalam proses pengambilan keputusan (Miewald dalam Pamudji; 1984, 2). Pide (1997, 34) mengemukakan bahwa desentralisasi pada dasarnya adalah pelimpahan atau penyerahan kekuasaan atau wewenang dibidang tertentu secara vertikal dari institusi/lembaga/pejabat yang lebih tinggi kepada institusi/lembaga/fungsionaris bawahannya sehingga yang diserahi/ dilimpahi kekuasaan wewenang tertentu itu berhak bertindak atas nama sendiri dalam urusan tertentu tersebut. 
Selain itu, Rondinelli (1983, 69) mengemukakan, desentralisasi perlu dipilih dalam penyelenggaraan pemerintahan pembangunan, karena melalui desentralisasi akan dapat meningkatkan efektivitas dalam membuat kebijaksanaan nasional, dengan cara mendelegasikan tanggung jawab yang lebih besar kepada para pejabat tingkat lokal untuk merancang proyek-proyek pembangunan, agar sesuai dengan kebutuhan dan kondisi setempat. Desentralisasi akan dapat memungkinkan para pejabat setempat untuk lebih dapat mengatasi masalah-masalah yang selama ini dianggap kurang baik dan ciri-ciri prosedur yang sangat birokratis di dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan yang seringkali dialami oleh negara berkembang yang acapkali tercipta konsentrasi kekuasaan, otoritas dan sumber-sumber yang begitu berlebihan di tingkat pusat. Jika dilihat dari fungsi-fungsi pembangunan yang didesentralisasikan para pejabat, staf pada tingkat lokal atau unit-unit administratif yang lebih rendah, akan dapat meningkatkan pemahaman dan sensivitas (daya tanggap) mereka terhadap masalah dan kebutuhan setempat, karena mereka akan bekerja pada tingkat dimana semua permasalahan tersebut terasa paling menekan dan terlihat paling jelas.
Apabila dilihat dari sisi hubungan kerja, sistem penyelenggaraan model ini akan dapat lebih mendekatkan, mengakrabkan dan mempererat antara masyarakat dengan para pejabat, staf pelaksana dan hal ini akan memungkinkan mereka akan mendapatkan informasi yang lebih baik, yang diperlukan dalam proses perumusan rencana pembangunan dari pada apa yang mereka peroleh bila hanya menunggu di kantor pusat saja.


Desentralisasi juga dapat meningkatkan dukungan politis dan administratif bagi kebijaksanaan pembangunan nasional pada tingkat lokal, karena selama ini rencana-rencana pembangunan tingkat nasional acapkali tidak diketahui oleh penduduk setempat, sehingga dengan diketahuinya rencana pembangunan nasional pada tingkat lokal, maka disamping akan mendapatkan dukungan politis dan administratif pada tingkat lokal, juga dapat mendorong kelompok-kelompok sosial setempat untuk meningkatkan kemampuan partisipasinya dalam merencanakan dan mengambil keputusan yang mereka buat. Yang lebih penting lagi, desentralisasi ini juga dianggap dapat meningkatkan efisiensi pemerintah pusat, dengan cara mengurangi beban kerja rutin dan fungsi-fungsi manual yang dapat secara efektif diselesaikan oleh para staf pelaksana lapangan atau para pimpinan unit-unit administratif yang lebih rendah.
Disamping pendapat Rondinelli, Barkley (1978 : 2) mengemukakan bahwa desentralisasi dipandang dapat mendorong pengambilan keputusan yang lebih cepat dan lebih luas atau dengan kata lain memberi dukungan yang lebih konstruktif di dalam proses pengambilan keputusan. Sedangkan Mc. Gregor (1966 : 3) menegaskan, jika kita dapat menekan pengambilan keputusan dalam organisasi ke tingkat yang lebih rendah, maka kita akan cenderung memperoleh keputusan-keputusan yang lebih baik. Desentralisasi bukan saja akan dapat memperbaiki kualitas dari keputusan-keputusan yang diambil, tetapi juga akan dapat memperbaiki kualitas daripada pengambilan keputusan, karena orang cenderung untuk tumbuh dan berkembang secara lebih cepat manakala mereka dimotivasi secara efektif dan ini bisa terjadi jika kewenangan pengambilan keputusan didesentralisasikan. Hal demikian tadi harus menerapkan azas desentralisasi yang berarti pengambilan keputusan pada tingkat bawah organisasi dipandang sebagai cara terbaik untuk melahirkan keputusan-keputusan yang lebih sesuai dengan kepentingan organisasi besar.
Sejalan dengan pendapat diatas, Koesoemahatmadja (1979) mengemukakan bahwa desentralisasi dalam arti ketatanegaraan merupakan pelimpahan kekuasaan pemerintahan dari pusat kepada daerah-daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Desentralisasi adalah sistem untuk mewujudkan asas demokrasi, yang memberikan kesempatan kepada rakyat untuk ikut serta dalam proses penyelenggaraan kekuasaan negara, yang dapat dibagi dalam 2 (dua) macam bentuk. Pertama, dekonsentrasi yakni pelimpahan kekuasaan dari alat perlengkapan negara tingkat lebih atas kepada bawahannya guna melancarkan pelaksanaan tugas pemerintahan. Kedua, Desentralisasi ketatanegaraan atau desentralisasi politik yaitu pelimpahan kekuasaan perundangan dan pemerintahan kepada daerah-daerah otonom di lingkungannya. Dalam konteks ini, rakyat dengan mempergunakan saluran-saluran tertentu (perwakilan) ikut serta dalam pemerintahan. Desentralisasi ketatanegaraan dibagi lagi menjadi 2 (dua) macam, yakni desentralisasi fungsional serta desentralisasi teritorial yang terdiri dari otonomi dan tugas pembantuan.
Secara terminologis, cukup banyak pengertian otonomi yang dikemukakan oleh para pakar. Logemann (Koswara ; 2001, 59) memberikan konsep otonomi sebagai berikut :
“bahwa kebebasan bergerak yang diberikan kepada daerah otonom berarti memberi kesempatan  kepadanya untuk menggunakan prakarsanya sendiri dari segala macam kekuasaannya dan untuk mengurus kepentingan publik. Kekuasaan bertindak merdeka yang diberikan kepada satuan-satuan kenegaraan yang memerintah sendiri daerahnya itu adalah kekuasaan yang berdasarkan  inisiatif sendiri dan pemerintahan berdasarkan inisiatif sendiri”.

Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan  Daerah, dikemukakan tentang pengertian otonomi daerah, yaitu kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pemberian kewenangan otonomi  kepada daerah didasarkan kepada asas desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.  
Desentralisasi dan otonomi daerah dianggap dapat menjawab tuntutan pemerataan, pembangunan sosial ekonomi, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan politik yang efektif. Dalam konteks ini, persoalan desentralisasi dan otonomi daerah berkaitan erat dengan persoalan pemberdayaan, dalam arti memberikan keleluasaan dan kewenangan kepada masyarakat daerah untuk berprakarsa dan mengambil keputusan. Disamping itu, empowerment akan menjamin hak dan kewajiban serta wewenang dan tanggung jawab dari organisasi pemerintahan di tingkat daerah untuk dapat menyusun program, memilih alternatif dan mengambil keputusan dalam mengurus kepentingan masyarakat daerahnya sendiri.
Dari berbagai pendapat diatas terhadap pelaksanaan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan memberikan otonomi kepada daerah, dapat disimpulkan bahwa motivasi dan urgensi pemberian otonomi kepada daerah adalah sebagai upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, upaya melancarkan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan kemampuan daerah serta meningkatkan peran serta masyarakat dalam proses demokrasi di lapisan bawah, sehingga dalam konteks ini, analisis terhadap pelaksanaan tugas pokok dan fungsi DPRD sebagai lembaga legislatif di daerah menjadi sangat relevan, oleh karena salah satu prinsip yang terkandung dalam UU Nomor 22 tahun 1999 adalah pelaksanaan otonomi daerah harus dapat meningkatkan peran dan fungsi legislatif daerah, sehingga UU ini memberikan hak dan kewenangan yang cukup luas kepada DPRD agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya. 
2. Kinerja Organisasi 
Istilah kinerja atau penampilan kerja seringkali disamakan dengan istilah yang lain yaitu job performance. Teori tentang job performance adalah teori psikologi tentang proses tingkah laku kerja seseorang sehingga ia menghasilkan sesuatu yang menjadi tujuan dari pekerjaannya. Menurut Prawirosentono     (1992, 2) kinerja merupakan suatu hasil kerja yang dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggungjawab masing-masing, dalam rangka mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan etika.
Konsep dasar kinerja (the basic conceptions of performance) dapat dilakukan pendekatan melalui the engineering approach defines performance dan the economic marketplace approach. Kinerja menurut engineering approach diartikan sebagai rasio (perbandingan) antara sumber daya yang digunakan (input) dengan standar unit-unit kerja yang dihasilkan. Sedangkan the economic marketplace approach berkaitan dengan tingkat produksi yang dihasilkan, disesuaikan dengan penggunaan sumber daya tertentu (Widodo; 2001, 207).
Analisis kinerja merupakan suatu metode untuk memahami sejauhmana  kemajuan yang dicapai dibandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan. Kegiatan ini digunakan untuk melihat keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan visi dan misi suatu organisasi. Untuk melakukan analisis kinerja organisasi publik, diperlukan indikator kinerja, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif, yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang ditetapkan, sehingga indikator kinerja harus merupakan sesuatu yang dapat dihitung dan diukur untuk digunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat tingkat kinerja, baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun tahap setelah kegiatan selesai.
Lenvine dkk (1990) mengusulkan tiga konsep yang dapat dipergunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik, yaitu :
a.       Responsiveness, yakni kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan serta mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Secara singkat, responsiveness disini menunjukan keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas dimasukkan sebagai salah satu indikator kinerja karena responsivitas secara langsung menggambarkan kemampuan organisasi publik dalam menjalankan misi dan tujuannya, terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Responsivitas yang rendah ditunjukkan dengan ketidakselarasan antara pelayanan dan kebutuhan masyarakat. Hal tersebut jelas menunjukkan kegagalan organisasi dalam mewujudkan misi dan tujuan organisasi publik. Organisasi yang memiliki responsivitas rendah dengan sendirinya memiliki kinerja yang jelek pula.   
b.      Responsibility, yakni menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijakan organisasi, baik secara implisit atau eksplisit.
  1. Accountability, menunjuk pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik tunduk pada para pejabat politik yang dipilih oleh rakyat. Dalam konteks ini, konsep akuntabilitas publik dapat digunakan untuk melihat seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik itu konsisten dengan kehendak masyarakat banyak.    Kinerja organisasi publik tidak hanya bisa dilihat dari ukuran internal yang dikembangkan oleh organisasi publik atau pemerintah, seperti pencapaian target, akan tetapi kinerja sebaiknya harus dinilai dari ukuran eksternal, seperti nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Suatu kegiatan organisasi publik memiliki akuntabilitas yang tinggi kalau kegiatan itu dianggap benar dan sesuai dengan nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat.  
Selanjutnya, Dwiyanto (2001, 60) menambahkan beberapa indikator yang biasanya digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik, selain yang dikemukakan oleh Lenvine dkk (1990) yakni :
a.       Produktivitas
Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga efektivitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahami sebagai rasio antara input dan output. Konsep ini dirasa terlalu sempit dan kemudian General Accounting Office (GAO) mencoba mengembangkan  satu ukuran produktivitas yang lebih luas dengan memasukkan seberapa besar pelayanan publik itu memiliki hasil yang diharapkan sebagai salah satu indikator kinerja yang penting.
b.      Kualitas Layanan
Isu mengenai kualitas layanan cenderung menjadi semakin penting dalam menjelaskan kinerja organisasi pelayanan publik. Banyak pandangan negatif yang terbentuk mengenai organisasi publik muncul karena ketidakpuasan masyarakat terhadap kualitas layanan yang diterima dari organisasi publik. Dengan demikian, kepuasan masyarakat terhadap layanan dapat dijadikan indikator kinerja organisasi publik. Keuntungan utama menggunakan kepuasan masyarakat sebagai indikator kinerja adalah informasi mengenai kepuasan masyarakat seringkali tersedia secara mudah dan murah. 
Sebagai suatu proses perilaku seseorang atau sekelompok orang yang menghasilkan sesuatu sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan, maka kinerja antar orang yang satu dengan lainnya di dalam  situasi kerja dipengaruhi oleh  perbedaan karakteristik dari individu, disamping itu orang yang sama dapat menghasilkan performance kerja yang berbeda di dalam situasi yang berbeda pula, sehingga secara umum, kinerja dipengaruhi oleh dua hal, yaitu faktor-faktor individu dan faktor-faktor situasi.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pengukuran tentang job performance atau kinerja itu tergantung kepada jenis pekerjaannya dan tujuan dari organisasi. Johson dan Levin (Widodo ; 2001, 207) menyatakan bahwa faktor-faktor yang bisa digunakan dalam menilai kinerja adalah kualitas dan kuantitas pekerjaan, kerja sama, kepemimpinan, kehati-hatian, pengetahuan mengenai jabatan, kerajinan, kesetiaan, dapat tidaknya diandalkan dan inisiatif. Selanjutnya dijelaskan bahwa kinerja dapat dilihat berdasarkan kualitas kerja, kuantitas kerja, sampel dari suatu tugas yang merupakan bagian dari pekerjaan, waktu yang dibutuhkan untuk mempelajari tugas, jumlah promosi yang pernah dilampaui, rating kelompok serta rating atasan, sehingga pengukuran/penilaian kinerja merupakan proses mencatat dan mengukur pencapaian pelaksanaan kegiatan dalam arah pencapaian misi (mision accomplishment) melalui hasil-hasil yang ditampilkan berupa produk, jasa, ataupun suatu proses.
Prinsip-prinsip pemilihan ukuran kinerja menurut Johson dan Levin
(ibid) adalah :
“Evaluasi kembali ukuran yang ada,
pengukuran harus memotivasi tim kerja untuk pencapaian tujuan (Goal-driven Teamwork),
mengukur kegiatan yang penting, tidak hanya hasil keseluruhan,
proses pengukuran merupakan perangkat yang terintegrasi,
fokus pengukuran harus melibatkan akuntabilitas publik”.

Dalam konteks DPRD sebagai salah satu lembaga atau badan perwakilan rakyat di daerah, dimana didalamnya dilakukan berbagai aktivitas oleh sekelompok orang yang dipercayai melalui suatu mekanisme pemilihan, sehingga mencerminkan struktur dan sistem pemerintahan demokratis di daerah, maka secara formal lembaga ini memiliki hak, wewenang dan kewajiban didalam mengemban tugas sebagai wakil rakyat. Hak-hak yang dimiliki oleh DPRD sebagaimana tercantum dalam Pasal 19 UU Nomor 22 Tahun 1999 meliputi :
a.       Meminta pertanggungjawaban Gubernur, Bupati/Walikota ;
b.      Meminta keterangan kepada Pemerintah Daerah ;
c.       Mengadakan Penyelidikan ;
d.      Mengadakan perubahan atas Rancangan Peraturan Daerah ;
e.       Mengajukan pernyataan pendapat ;
f.       Mengajukan Rancangan Peraturan Daerah ;
g.      Menentukan Anggaran Belanja DPRD ;
h.      Menetapkan Peraturan Tata Tertib DPRD.

Pemberian hak-hak yang luas kepada DPRD, merupakan suatu petunjuk bahwa upaya demokratisasi pemerintahan daerah diharapkan makin menunjukkan bentuk yang lebih nyata, serta makin memperjelas arah pengembangan kapasitas dan kapabilitas DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah. Disamping itu, tugas dan kewenangan yang dimiliki DPRD sesuai dengan Pasal 18 UU Nomor 22 Tahun 1999 adalah :
  1. Memilih Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/ Wakil Walikota ;
  2. Memilih anggota MPR dari Utusan Daerah ;
  3. Mengususlkan pengangkatan dan pemberhentian Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota ;
  4. Bersama dengan Gubernur, Bupati atau Walikota membentuk Peraturan Daerah ;
  5. Bersama dengan Gubernur, Bupati atau Walikota menetapkan Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah ;
  6. Melaksanakan pengawasan terhadap :
1)      Pelaksanaan Peraturan Daerah dan Peraturan Perundang-undangan lain ;
2)      Pelaksanaan Keputusan Gubernur, Bupati atau Walikota ;
3)      Pelaksanaan Keputusan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah :
4)      Kebijakan Pemerintah Daerah ;
5)      Pelaksanaan kerja sama internasional di Daerah.
  1. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah terhadap rencana perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan daerah ;
  2. Menampung dan menindaklanjuti aspirasi Daerah dan masyarakat.  

Selain hak, tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh DPRD, Pasal 22 UU Nomor 22 Tahun 1999 menyebutkan bahwa DPRD mempunyai kewajiban :
  1. Mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan republik Indonesia ;
  2. Mengamalkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, serta mentaati segala peraturan perundang-undangan ;
  3. Membina demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah ;
  4. Meningkatkan kesejahteraan rakyat di Daerah berdasarkan demokrasi ekonomi ;
  5. Memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan masyarakat, serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya.

Dari uraian hak, tugas dan kewenangan serta kewajiban yang dimiliki oleh DPRD tersebut, maka hal ini menunjukkan bahwa DPRD sebagai wakil rakyat dituntut untuk selalu berkomunikasi dengan rakyat yang diwakilinya, agar mampu menyerap keinginan masyarakat dan mengetahui permasalahan-permasalahan yang ada dan dihadapi oleh masyarakat. Oleh karena itu, secara umum peran dan fungsi yang diemban oleh lembaga legislatif daerah sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 dapat dirumuskan ke dalam 4 ketagori, yakni :
  1. Fungsi Perwakilan
Fungsi perwakilan (representasi) pada hakekanya merupakan hubungan antara lembaga legislatif, khususnya anggota DPRD dengan anggota masyarakat yang mereka wakili, baik secara individu, berdasarkan kelompok maupun secara keseluruhan. Pandangan yang melihat bahwa hubungan tersebut merupakan salah satu masalah politik di dalam kehidupan sistem politik pada umumnya dan di dalam proses kehidupan badan legislatif pada khususnya, bertolak dari teori demokrasi yang mengajarkan bahwa anggota masyarakat mengambil bagian atau berpartisipasi di dalam proses perumusan dan penentuan kebijakan pemerintah. Dengan kata lain, pemerintah melakukan kegiatan sesuai dengan kehendak rakyat. Oleh karena sedemikian banyaknya rakyat dalam suatu sistem politik, maka demokrasi menentukan bahwa sebagian dari partisipasi anggota masyarakat dilakukan melalui wakil mereka di dalam badan legislatif. Dalam konteks ini, para wakil rakyatlah yang bertindak atas nama pihak yang mewakili dan merumuskan serta memutuskan kebijakan tentang berbagai aspek kehidupan, sehingga kita mengenal adanya Pemilihan Umum guna melembagakan partisipasi masyarakat dalam menentukan anggota badan legislatif. Oleh karena itu, idealnya anggota DPRD harus bertindak dan berperilaku sebagai representasi masyarakat untuk setiap tindak tanduk dalam seluruh kegiatannya. 
Memuaskan kehendak masyarakat atau kemauan publik adalah esensi dari fungsi anggota serta lembaga legislatif itu sendiri sebagai wakil rakyat. Akan tetapi perlu diingat bahwa badan legislatif merupakan salah satu unit dari sistem politik, disamping anggota masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok kepentingan, oleh karena itu anggota DPRD perlu mempertimbangkan berbagai kehendak atau opini yang ada, baik yang datang dari perorangan maupun dari berbagai kesatuan individu seperti kekuatan sosial politik, kelompok kepentingan, eksekutif dan sebagainya. Dengan demikian, para wakil rakyat dituntut untuk menyelaraskan berbagai kehendak atau opini tersebut dalam proses perumusan dan penetapan kebijakan, dengan mengutamakan kehendak atau opini publik yang diwakili tanpa mengorbankan sistem politik secara menyeluruh.
Atas dasar pemikiran tersebut, keberhasilan para wakil rakyat (DPRD) untuk menegakkan keserasian antara kepentingan anggota masyarakat yang diwakilinya dengan kepentingan berbagai kelompok dan lembaga menurut Sanit (1985, 205) harus memperhatikan empat faktor, yakni :
1)      Integritas dan kemampuan atau keterampilan anggota badan legislatif.
2)      Pola hubungan anggota badan tersebut dengan anggota masyarakat yang mereka wakili yang tercermin di dalam sistem perwakilan yang berlaku.
3)      Struktur organisasi badan legislatif yang merupakan kerangka formal bagi kegiatan anggota dalam bertindak sebagai wakil rakyat.
4)      Hubungan yang tercermin dalam pengaruh timbal balik antara badan legislatif dengan eksekutif dan lembaga-lembaga lainnya sebagai unit-unit pemerintahan di tingkat daerah, serta hubungan badan tersebut dengan lembaga-lembaga yang sama di tingkat yang lebih tinggi hierarkinya.
  
Berdasarkan kondisi tersebut, dapat digambarkan kemungkinan orientasi anggota DPRD dalam melaksanakan fungsinya sebagai lembaga legislatif di daerah. Tipe orientasi anggota DPRD menurut Sanit (ibid, 228) adalah sebagai berikut :
1)      Orientasi kepada nilai dan kepentingan anggota itu sendiri (wali/trustee).
2)      Orientasi kepada anggota masyarakat yang diwakilinya (delegasi/utusan).
3)      Orientasi gabungan tipe wali dan utusan (politico).
4)      Orientasi kepada organisasi politik yang menggerakkan dukungan terhadapnya (partisan).
5)      Orientasi kepada pemerintah (eksekutif).

Dari pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa  dari sekian banyak serta tingginya kompleksitas persoalan-persoalan yang dihadapi para wakil rakyat, maka idealnya fungsi representasi DPRD akan terpenuhi apabila anggota DPRD memenuhi persyaratan politik, pendidikan, moral, integritas, pengalaman, sehat jasmani dan rokhani serta kemampuan artikulasi yang memadai.  
  1. Fungsi Legislasi
Dengan mengikuti kelaziman teori-teori ketatanegaraan pada umumnya, maka fungsi utama lembaga perwakilan rakyat adalah di bidang legislatif. Keberadaan DPRD tidak dapat dilepaskan dari konsep “Trias Politica” yang ditawarkan oleh Montesquei (Thaib, 2001 ; 44), dengan memisahkan kekuasaan ke dalam tiga bidang kekuasaan, yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. Lebih lanjut, konsep Trias Politica menghendaki terciptanya suasana “Check and balances” karena masing-masing organ kekuasaan dapat saling mengawasi, saling menguji, sehingga tidak mungkin organ-organ kekuasaan itu melampaui batas kekuasaan yang telah ditentukan, atau dengan kata lain terdapat perimbangan kekuasaan antar lembaga-lembaga tersebut.
Dalam konteks DPRD sebagai lembaga legislatif, fungsi pembuatan peraturan daerah merupakan fungsi utama karena melalui fungsi ini, DPRD dapat menunjukkan warna dan karakter serta kualitasnya baik secara material maupun fungsional. Disamping itu, kadar peraturan daerah yang dihasilkan oleh DPRD dapat menjadi ukuran kemampuan DPRD dalam melaksanakan fungsinya, mengingat pembuatan suatu peraturan daerah yang baik harus dipenuhi beberapa persyaratan tertentu, sebagaimana dikemukakan oleh Soejito (1983, 22).
a.       Bahwa peraturan daerah harus ditetapkan oleh Kepala daerah dengan persetujuan DPRD yang bersangkutan.
b.      Peraturan daerah dibuat menurut bentuk yang ditentukan oleh Menteri Dalam Negeri.
c.       Peraturan daerah harus ditandatangani oleh Kepala Daerah serta ditandatangani oleh Ketua DPRD yang bersangkutan.
d.      Peraturan daerah yang memerlukan pengesahan tidak boleh diundangkan sebelum pengesahan itu diperoleh atau sebelum jangka waktu yang ditentukan oleh pengesahannya berakhir.
e.       Peraturan daerah baru mempunyai kekuatan hukum dan mengikat setelah diundangkan dalam lembaran daerah yang bersangkutan.  
  
Memperhatikan pendapat diatas, suatu peraturan daerah dapat dikatakan baik apabila telah memenuhi berbagai syarat tersebut, sehingga terlaksananya fungsi ini dengan baik akan sangat ditentukan oleh tingkat pemahaman anggota legislatif terhadap apa yang menjadi aspirasi masyarakat, kebutuhan daerah, proses pembuatan kebijakan serta pengawasan atas kebijakan yang dihasilkan.
  1. Fungsi Pengawasan
Bertitik tolak dari hakekat DPRD sebagai lembaga legislatif daerah, maka pengawasan terhadap eksekutif merupakan fungsi lain DPRD. Pengawasan dilakukan melalui penggunaan hak-hak yang dimiliki oleh DPRD. Tuntutan akan pelaksanaan fungsi pengawasan menjadi sangat penting, sebagaimana dikemukakan oleh Effendi (1989, 23).
“Pelaksanaan fungsi pengawasan oleh badan perwakilan rakyat terhadap perumusan pelaksanaan kebijaksanaan-kebijaksanaan Negara amat menarik perhatian peneliti ilmu politik maupun peneliti administrasi negara oleh karena itu merupakan suatu indikator dari pelaksanaan kedaulatan rakyat yang menjadi inti sistem demokrasi Pancasila.
…………. terlepas dari ada atau tidaknya penyelewengan atau pemborosan dan inefisiensi, berbagai bentuk pengawasan, termasuk pengawasan legislatif tetap diperlukan karena fungsi ini merupakan salah satu fungsi intern dalam pengelolaan pembangunan.
………….  bahwa pengawasan legislatif adalah salah satu pencerminan demokrasi Pancasila dan karena itu perlu dilaksanakan agar rakyat dapat berpartisipasi dalam pengelolaan pembangunan.   

Dengan demikian, pengawasan oleh DPRD terhadap penyelenggaraan pemerintahan sangat penting guna menjaga adanya keserasian penyelenggaraan tugas pemerintah dan pembangunan yang efisien dan berhasil guna serta dapat menghindari dan mengatasi segala bentuk penyelewengan yang dapat merugikan atau membahayakan hak dan kepentingan negara, daerah dan masyarakat. Fungsi pengawasan oleh DPRD adalah salah satu bentuk pengawasan yang sangat penting diperlukan pelaksanaannya dalam pengelolaan pembangunan, sebagai refleksi partisipasi masyarakat dan hakekat kedaulatan rakyat yang dilaksanakan lewat para wakilnya dalam lembaga perwakilan, sebagai hakekat demokrasi Pancasila.
  1. Fungsi Anggaran
Dalam UU Nomor 22 Tahun 1999, terdapat ketentuan yang mengatur tentang hubungan antara eksekutif dan legislatif, khususnya dibidang anggaran (Pasal 18 e). Sebenarnya, hubungan dibidang anggaran antara eksekutif dan legislatif telah tercermin dalam fungsi legislasi yang dimiliki oleh DPRD, mengingat APBD dituangkan kedalam Peraturan Daerah, sehingga tanpa adanya hubungan konstitusional tersebut, tidak mungkin ada Peraturan daerah yang akan mengatur segala sesuatu di bidang anggaran dan keuangan daerah.
Dalam konteks fungsi anggaran ini, hal yang paling mendasar adalah ketentuan konstitusional yang menggariskan bahwa kedudukan yang kuat diberikan kepada DPRD hendaknya disertai pula oleh tanggung jawab yang besar terhadap rakyat yang diwakilinya, mengingat kenyataan selama ini menunjukkan bahwa DPRD belum pernah menolak rancangan APBD yang disampaikan oleh pihak eksekutif pada setiap permulaan tahun anggaran, kecuali melakukan perubahan-perubahan. Dengan demikian, dalam hal menetapkan pajak maupun APBD, kedudukan DPRD lebih kuat daripada pemerintah. Hal ini menunjukkan besarnya kedaulatan rakyat dalam menentukan jalannya pemerintahan. 
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kinerja merupakan hasil kerja yang telah dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggungjawab yang dimilikinya, sehingga pengukuran kinerja merupakan metode untuk menilai kemajuan yang telah dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam organisasi dibandingkan dengan dengan tujuan yang telah ditetapkan. Pengukuran digunakan untuk penilaian atas keberhasilan, kegagalan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi organisasi yang didasarkan pada tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan visi dan misi organisasi. Indikator yang dapat dipergunakan untuk mengukur kinerja DPRD adalah sejauhmana pelaksanaan fungsi-fungsi yang melekat dalam institusi DPRD tersebut dilaksanakan dikaitkan dengan aspek responsivitas, produktivitas dan kualitas layanan. Meskipun DPRD sebagai lembaga legislatif daerah, namun penggunaan konsep organisasi publik dipandang tepat karena institusi ini merupakan lembaga yang berfungsi menyalurkan aspirasi masyarakat, membuat/menghasilkan kebijakan atau peraturan yang berdampak pada masyarakat banyak.
3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kinerja DPRD
Kinerja lembaga legislatif didalam sistem politik merupakan cermin dari kadar terlaksananya kehidupan bernegara yang demokrasi, sehingga kajian terhadap faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja lembaga ini menjadi sesuatu yang penting, mengingat tugas pokok dan fungsi yang diemban oleh lembaga legislatif daerah di era otonomi saat ini sangat  besar.  Johson dan Levin (ibid) menyatakan bahwa ada 2 (dua) macam faktor yang dapat mempengaruhi kinerja seseorang, yaitu :
a.       Faktor individual yang meliputi sikap, sifat-sifat kepribadian, sifat fisik, keinginan atau motivasinya, umur, jenis kelamin, pendidikan, pengalaman kerja, latar belakang budaya dan variabel-variabel personal lainnya.
b.      Faktor sosial dan organisasi, meliputi kebijaksanaan organisasi, jenis latihan dan pengawasan, sistem upah dan lingkungan sosial.
Melemahnya peran lembaga legislatif daerah sebagaimana mestinya sesuai dengan harapan masyarakat, disebabkan oleh  2 (dua) faktor utama. Kedua faktor penyebab itu adalah faktor internal dan faktor eksternal. Fried (1966) mengajukan 10 faktor yang menghambat berfungsinya lembaga politik, termasuk didalamnya lembaga legislatif daerah (DPRD). Faktor-faktor tersebut meliputi : informasi, keahlian, social power, popularitas, legitimasi, kepemimpinan, kekerasan (violence), peraturan (rules), economic power, man power dan jabatan (office). Sedangkan Curtis (1978) mengidentifkasi beberapa sumber kelemahan badan legislatif, yang meliputi kekurangan fasilitas kerja, kekurangan sarana penelitian dan kepustakaan, kekurangan tenaga sekretariat dan kurangnya spesialisasi komisi-komisi yang ada di lembaga tersebut.
Sementara itu, Imawan (1993, 79) mengklasifikasikan faktor-faktor yang dapat menghambat anggota legislatif dalam melaksanakan fungsinya kedalam 2 (dua) faktor, yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi :
  1. Peraturan Tata Tertib
Tujuan diciptakannya sebuah peraturan adalah agar tugas-tugas yang dijalankan dapat dilaksanakan secara tertib dan efisien. Namun, bila peraturan itu terlalu detail, hal ini dapat menghambat pelaksanaan satu tugas. Peraturan tata tertib yang terlalu detail inilah yang menjerat para anggota legislatif untuk melaksanakan tugasnya.
  1. Data dan Informasi
Hal yang paling menonjol dalam topik ini adalah terlambatnya anggota legislatif dalam memperoleh data dan informasi yang diperlukan dibandingkan pihak eksekutif. Kondisi ini dapat dimaklumi, sebab pihak eksekutiflah yang bergelut dengan masalah pemerintahan sehari-hari. Selain itu, untuk memutuskan satu tindakan/kebijakan yang sifatnya kolektif organisasi, jauh lebih sulit dibandingkan pada pihak eksekutif, mengingat banyaknya kepentingan yang ada dalam lembaga legislatif sehingga perlu adanya bargaining para anggota/kelompok. 
  1. Kualitas Anggota Legislatif
Secara formal, kualitas teknis anggota legislatif mengalami peningkatan, akan tetapi hal ini tidak berimplikasi secara signifikan terhadap peningkatan kinerja anggota legislatif. Persoalannya terpulang pada tekad dan mental anggota legislatif untuk benar-benar mewakili rakyat. Bukan rahasia umum, bahwa karena mereka dicalonkan oleh partai sehingga banyak anggota legislatif yang tidak memiliki akar dalam masyarakat. Kondisi semacam ini menimbulkan banyaknya anggota legislatif yang berperan seperti seorang birokrat, yang berfikir bahwa mereka harus dilayani rakyat dan bukan sebaliknya. 



Sedangkan yang termasuk dalam kategori faktor eksternal, adalah :
a.       Mekanisme Sistem Pemilu
Sistem pemilu yang kita anut, sebenarnya sudah sangat memadai untuk mendapatkan wakil rakyat yang representatif, namun mekanisme pelaksanaan sistem perwakilan berimbang dengan stelsel daftar yang kita anut, telah banyak memunculkan tokoh-tokoh masyarakat karbitan. Penggunaan vote getter yang dikenal selama ini, telah membuka kemungkinan bagi munculnya tokoh yang sama sekali tidak dikenal oleh masyarakat.  
b.      Kejumbuhan Kedudukan Eksekutif dan Legislatif.
Dalam sistem pemerintahan Indonesia, lembaga legislatif ditempatkan sebagai partner eksekutif. Partner dalam konteks ini lebih bersifat kooptasi, dimana satu pihak (eksekutif) kedudukannya jauh lebih kuat dari pihak yang lain (legislatif) sehingga kondisi ini sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing institusi/lembaga.
Sejalan dengan pendapat diatas, Thaib (2000, 65) mengemukakan bahwa paling tidak faktor-faktor internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap kinerja anggota legislatif dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, adalah :
  1. Faktor Internal
1)      Peraturan Tata Tertib
Mekanisme kerja intern lembaga legislatif diatur oleh sebuah peraturan tTata Tertib. Peraturan Tata Tertib ini dipandang terlalu rumit sehingga mengakibatkan para anggota legislatif sukar untuk melaksanakan tugasnya serta berperan lebih besar. Sebagai ilustrasi, penggunaan hak yang dimiliki oleh DPRD baru dapat dilaksanakan apabila diusulkan oleh sekurang-kurangnya 20 orang anggota yang berasal paling tidak dari 2 (dua) fraksi. Masalah yang muncul kemudian adalah Pertama jumlah minimal anggota legislatif untuk melaksanakan hak tersebut adalah terlalu besar, sebab cukup sulit untuk menghimpun pendukung sejumlah 20 orang. Kedua adalah keharusan terlibatnya paling tidak 2 (dua) fraksi. Ketentuan ini dapat menggagalkan pelaksanaan hak-hak DPRD jika hanya ada satu fraksi yang menginginkan penggunaan hak yang dimiliki oleh DPRD. Penolakan fraksi lain adalah suatu hal yang wajar karena setiap fraksi ingin agar penggunaan hak-hak tersebut berasal dari fraksinya sendiri. Kompetisi yang tidak sehat seperti ini, menurut Maswadi Rauf (ibid, 66) akan menghambat penggunaan hak-hak DPRD.  
2)      Kualitas Anggota
Faktor kualitas anggota merupakan faktor penting dalam mengoptimalkan peran lembaga legislatif. Peran yang lebih besar dari lembaga ini tidak akan mungkin dicapai bila para anggota lembaga tersebut tidak mempunyai kemampuan untuk itu. Kualitas anggota DPRD selama ini berada di bawah kualitas eksekutif, sehingga anggota DPRD belum sepenuhnya dapat mengimbangi kemampuan pemerintah untuk melaksanakan fungsinya. Kualitas dalam konteks ini ditinjau dari segi karier politik (pengalaman) dan segi pendidikan formal.   
3)      Sarana dan Anggaran
Keterbatasan dana yang tersedia bagi DPRD dapat menghambat pengembangan sarana penunjang yang diperlukan bagi kelancaran kerja institusi ini. Sarana penunjang yang dimaksud adalah ruang kerja bagi setiap anggota dan staff ahli yang berkemampuan. Sarana lain yang juga diperlukan adalah pelayanan informasi yang akan menyediakan berbagai informasi yang diperlukan oleh para anggota, sehingga tanpa informasi yang memadai dan mudah diperoleh, maka para anggota legislatif akan mengalami kesulitan dalam membahas berbagai masalah dengan mitra kerjanya.     
4)      Faktor penghambat lain yang dapat dimasukkan dalam faktor internal ini adalah tradisi dan kejadian dalam sejarah lembaga legislatif selama ini terutama setelah kembali ke UUD 1945 yang menempatkan DPRD pada posisi lemah apabila berhadapan dengan pemerintah.
  1. Faktor Eksternal
1)      Sistem Pemilihan
Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam sistem politik Indonesia, para calon anggota legislatif adalah calon-calon yang diajukan oleh organisasi politik mereka masing-masing. Mekanisme semacam ini, telah banyak memunculkan tokoh-tokoh masyarakat karbitan, sehingga kadangkala pemilih tidak tahu dan tidak mengenal calon-calon yang diajukan.
Dengan demikian sistem pemilihan yang dianut belum sepenuhnya mendukung munculnya anggota legislatif yang berbobot dan berkualitas. Selanjutnya dominasi pimpinan organisasi sosial politik yang mempunyai anggota di lembaga legislatif melalui fraksinya membuat anggota legislatif kurang bebas melaksanakan tugasnya. Kondisi ini mengakibatkan para anggota legislatif merasa lebih dekat dengan pimpinan organisasi sosial politiknya dibandingkan dengan rakyat pemilih.
2)      Latar Belakang Sejarah dan Iklim Politik yang Berlaku
Dalam sistem politik Indonesia, dominasi eksekutif terhadap legislatif sangat kuat. Hal ini dapat dilihat sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga Jaman Orde Baru, puncaknya terjadi pada saat dibubarkannya konstituante hasil Pemilu 1955 oleh Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959. Disamping itu, sistem ketatanegaraan kita memang menghendaki hal semacam itu, sebagaimana ditunjukan pada pasal 4 (1) UUD 1945, yang menegaskan bahwa “Presiden memegang kekuasaan pemerintahan”, sehingga dengan demikian, Presiden (eksekutif) memegang peranan yang sentral penyelenggaraan kehidupan negara.
Dalam konteks legislatif daerah (DPRD), kondisi diatas didasarkan pada UU Nomor 5 Tahun 1974, khususnya pasal 80 yang menyatakan bahwa Kepala Daerah mempunyai kekuasaan yang lebih bila dibandingkan dengan kekuasaan DPRD, sebab UU ini menganut dualisme peranan Kepala Daerah, yakni Kepala Daerah karena jabatannya juga merangkap sebagai Kepala Wilayah yang merupakan wakil pemerintah pusat di Daerah.    
3)      Masih Kurangnya Kesadaran terhadap Amanat Konstitusi
Dalam penjelasan UUD 1945 ditegaskan “… yang penting dalam pemerintahan dan dalam hal hidupnya Negara ialah semangat, semangat para penyelenggara Negara, semangat para pemimpin pemerintahan …”
Dalam kenyataannya, pihak eksekutif belum sepenuhnya mendukung hubungan kerja dengan legislatif, dimana selama ini suara lembaga legislatif sering tidak diperhatikan dengan sungguh-sungguh oleh pihak eksekutif, sehingga kondisi semacam ini bertentangan dengan semangat kekeluargaan yang diamanatkan oleh konstitusi, karena lembaga legislatif merupakan partner eksekutif, maka saran-saran yang diberikan oleh lembaga legislatif hendaknya diperhatikan oleh pihak eksekutif.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja lembaga legislatif dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi peraturan tata tertib, data dan informasi, tingkat pendidikan, pengalaman serta sarana dan prasarana. Sedangkan faktor eksternal terdiri atas mekanisme sistem pemilihan umum serta keserasian hubungan antara eksekutif dan legislatif sistem penyelenggaraan pemerintahan.  
Berdasarkan teori dan konsep yang telah dikemukakan, maka secara skematis model analisis yang akan dilakukan dalam mengkaji kinerja DPRD Propinsi Jawa Tengah dalam era otonomi daerah serta faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja DPRD dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi yang dimilikinya sebagai lembaga legislatif daerah, dapat digambarkan sebagai berikut :
      Variabel Pengaruh                                              Variabel Terpengaruh

 Pendidikan
    


Text Box: Kinerja DPRD










Penentuan variabel pengaruh (pendidikan, data/informasi serta pengalaman) terhadap kinerja DPRD Propinsi Jawa Tengah didasarkan pada pemikiran bahwa untuk lembaga legislatif daerah saat ini, kajian yang didasarkan atas mekanisme sistem pemilu sebagai faktor yang mempengaruhi kinerja DPRD dipandang tidak relevan, mengingat hal ini merupakan skope nasional. Disamping itu, pembahasan yang didasarkan pada hubungan eksekutif dan legislatif juga sudah tidak relevan lagi, karena dalam era otonomi daerah yang didasarkan pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, DPRD memiliki kekuasaan dan kewenangan yang sangat luar biasa, termasuk didalamnya penentuan anggaran DPRD itu sendiri.
B. Definisi Operasional

Dari landasan teoritis yang dikemukakan diatas, terlihat bahwa tingkat pendidikan, data/informasi serta pengalaman anggota DPRD berpengaruh terhadap kinerja DPRD Propinsi Jawa Tengah. Untuk mengukur sampai sejauh mana pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen tersebut, maka pengukuran terhadap variabel penelitian dilakukan melalui definisi operasional, dengan maksud membuat atau menentukan konsep tersebut menjadi variabel yang dapat diukur. Adapun definisi operasional dalam penelitian ini adalah :
1.      Variabel Kinerja DPRD dalam pelaksanaan Otonomi Daerah diukur dengan menggunakan instrumen pelaksanaan fungsi dan kegiatan DPRD Propinsi Jawa Tengah dalam kedudukannya sebagai lembaga legislatif daerah sesuai dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 melalui instrumen :
a.       Fungsi Perwakilan diukur melalui indikator integritas dan kemampuan anggota DPRD serta pola hubungan anggota DPRD dengan masyarakat.  
b.      Fungsi Legislasi diukur melalui indikator pelaksanaan hak inisiatif, pelaksanaan penetapan Peraturan Daerah dan pelaksanaan penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
c.       Fungsi Pengawasan diukur dengan menggunakan indikator-indikator pelaksanaan hak meminta keterangan, pelaksanaan hak mengajukan pertanyaan bagi masing-masing anggota, pelaksanan hak mengajukan pernyatan pendapat dan pelaksanaan hak penyelidikan.
d.      Fungsi Anggaran diukur dengan menggunakan indikator-indikator pelaksanaan hak inisiatif dalam bidang anggaran, responsivitas anggota Dewan terhadap kebutuhan daerah dan kondisi masyarakat dikaitkan dengan anggaran dan keuangan daerah.
2.      Variabel pendidikan anggota DPRD diukur dengan menggunakan instrumen faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja DPRD sebagaimana dikemukakan oleh Johson dan Levin (Widodo, 2001), Imawan (1993) dan Thaib (2000), yakni :
a.       Pendidikan formal, yakni pengaruh tingkat pendidikan formal yang dimiliki anggota Dewan terhadap kompetensi anggota DPRD dalam melaksanakan tugasnya.
b.      Pendidikan non formal, yakni pengaruh tingkat pendidikan non formal ya ng dimiliki anggota Dewan terhadap kompetensi anggota DPRD dalam melaksanakan tugasnya.
3.      Variabel Data/Informasi yang dimiliki anggota DPRD diukur dengan menggunakan instrumen faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja DPRD sebagaimana dikemukakan oleh Fried (1966), Imawan (1993) dan Thaib (2000) yakni :
a.       Ketersedian (akses) data/informasi, yakni tersedianya data dan informasi yang diperlukan oleh anggota DPRD dalam membahas berbagai masalah dengan mitra kerjanya.
b.      Kualitas data/informasi, yaitu data dan informasi yang dimiliki oleh anggota DPRD memiliki kualitas dan dapat dipergunakan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi.
c.       Validitas data/informasi, yaitu data dan informasi yang dimiliki oleh anggota DPRD memiliki validitas (relevan atau sesuai) dengan permasalahan yang dihadapi. 
d.      Pemanfaatan data/informasi, adalah data dan informasi yang dimiliki oleh anggota DPRD telah dimanfaatkan secara optimal dalam rangka memecahkan masalah yang dihadapi oleh publik (masyarakat).
4.      Variabel pengalaman anggota DPRD diukur dengan menggunakan instrumen faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja DPRD sebagaimana dikemukakan oleh Johson dan Levin (Widodo, 2001) dan Thaib (2000), yakni :
a.       Pengalaman di lembaga legislatif, yaitu pengaruh pengalaman anggota DPRD yang pernah duduk di lembaga legislatif terhadap pelaksanaan tugas pokok dan fungsi yang diembannya sebagai wakil rakyat.
b.      Pengalaman dalam organisasi kemasyarakatan, yaitu pengaruh pengalaman anggota DPRD yang pernah berkecimpung dalam organisasi kemasyarakatan terhadap pelaksanaan tugas pokok dan fungsi yang diembannya sebagai wakil rakyat.
c.       Pengalaman dalam partai politik, yaitu pengaruh pengalaman anggota DPRD dalam partai politik terhadap pelaksanaan tugas pokok dan fungsi yang diembannya sebagai wakil rakyat.


ANALISIS KINERJA DPRD DALAM ERA OTONOMI DAERAH Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment